• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kritik, Konvensi, Gerakan Sastra Membela

Dalam dokumen Bahan Kuliah Sosiologi Sastra 0 (Halaman 172-175)

BAB XIV KRITIK PENELITIAN SOSIOLOGI SASTRA

C. Kritik, Konvensi, Gerakan Sastra Membela

Kritik tajam selalu menyentuh konvensi sosiologi sastra. Konvensi itu sebenarnya kelanjutan dari invensi. Invensi itu temuan apa saja yang terkait dengan data-data sastra. Temuan sosiologis dalam sastra akan melahirkan sebuah konvensi. Invensi awal sosiologi sastra, saya kira berasal dari anggapan sastra sebagai refleksi realitas sosial. Invensi ini didahului oleh dugaan konsep cermin, yang berasal dari seni lukis. Lukisan natural, dianggap meniru alam.

Invensi dasar itu, selanjutnya berkembang luas dalam sastra. Sosiologi sastra pun akhirnya mengikuti paham itu, yang menganggap sastra natural juga mengangkat dari realitas sosial. Posisi inilah yang melahirkan sebuah konvensi, sastra dan masyarakat tidak dapat dipisahkan. Maka, pemahaman konvensional yang disebut struktural sering terganggu dan terpatahkan. Sastra sebagai konvensi struktur, sering menemui jalan buntu. Karenanya, sosiologi sastra menjadi jalan alternatif sebagai gerakan pemahaman sastra.

Sosiologi sastra juga dapat membantu konvensi historis sastra. Menyusun sejarah sastra memerlukan kondisi sosial dan politik. Selain itu sosiologi sastra juga membantu pemahaman teks-teks dalam sastra bandingan. Astra bandingan intertekstual, jelas tidak akan lepas dari sosiologi sastra. Intertekstualitas ini dikenal sosiolog karena juga merupakan bagian teori sosiologis. Intertekstualitas biasanya menarik para pemerhati sastra bandingan. Namun, hal ini dapat diawali dengan penelitian sosiologi sastra pada dua karya atau lebih, lalu dibandingan.

Kristeva mengeklaim bahwa sastra sebaiknya dilihat sebagai reaksi terhadap sejarah sendiri. Sastra merupakan jawaban atas sejarah sosial. Hal ini paralel dengan argumen yang digunakan oleh Popper, dan, baru-baru ini, juga oleh Giddens (1976), bahwa manusia dalam masyarakat selalu bereaksi terhadap sejarah mereka sendiri. Melalui studi sosiologi sastra, kita dapat menyusun sejarah sosial dan sejarah sastra. Hal ini sekaligus menegaskan betapa pentingnya penelitian sosiologi sastra. Aspek historis tetap penting dilakukan guna menemukan benang-benang merah yang terungkap dalam sastra. Fungsi sastra demikian, menandai pentingnya konvensi sosiologi sastra sebagai gerakan sosial sastra. Sastra menjadi jalur ilmu sosial yang mengisahkan sejarah sosial.

Dalam kaitan itu, Hall (1979) berpendapat bahwa konvensi, hukum, dan sosiologis tidak mungkin memiliki kesadaran, hingga dapat membaca secara tepat yang terungkap dalam sastra. Konvensi sastra sering kehilangan arah, ketika berhadapan dengan carut marut kehidupan sosial. Kesadaran sastrawan pun sering ada yang melupakan sejarah sosial. Namun ahli sosiologi sastra, jelas dapat menelusur kemungkinan historis masyarakat yang terlukis dalam sastra. Sastra merupakan dokumen historis. Pada tataran ini, konvensi sastra sedikit demi sedikit menuntun dan merangkum gerakan sastra dari waktu ke waktu. Hanya saja, gerakan sastra itu meloncat-loncat, tidak tertata sebagai sejarah sosial. Maka tugas peneliti sosiologi sastra adalah merekayasa ulang gerakan itu menjadi sebuah konvensi kritis yang dapat dipertanggungjawabkan.

Argumen tersebut sama sekali tidak membahagiakan semua pihak, terutama para sosiolog. Mereka cenderung terlalu idealis dalam menganggap bahwa kesadaran itu sendiri adalah kekuatan bergerak dalam urusan sosial. Manusia sering mengambil sejumlah pendekatan struktural fungsional lebih realistis dalam memahami sastra secara sosiologis. Hal ini terutama berlaku untuk mempelajari pengaruh sastra dari fakta sastra. Pemanfaatan sumber sastra berdasarkan pengalamannya sendiri. Situasi ini memang kompleks; keadaan sosial baru pada gilirannya akan mengarah pada dialog intertekstual. Kadang-kadang terjadi bahwa

dialog intertekstual dapat mendahului pengalaman sosial, tetapi kita cenderung hanya untuk menyadari keadaan masyarakat.

Sebagian besar perhatian dialog intertekstual yang tertarik pada sosiologi sastra, terutama pada paham genesis sastra. Sebenarnya kalau mampu merunut genentika sastra secara intertekstual, besar sumbangannya terhadap sejarah sosial. Sayangnya, seluruh bagian spesifikasi sosial seringkali tidak mengevaluasi atau mengurangi bahan sastra, tetapi hanya memberitahu pada kita tentang bagaimana impuls sastra dipandu oleh masyarakat tertentu. Impuls sastra itu setiap masyarakat sering berbeda, tergantung daya tarik masing-masing. Sebuah konsekuensi dari hal ini adalah sastra harus terus dinilai dalam hal estetika. Pemahaman dari kejadian sosial sastra adalah pemahaman tentang kekuatan sosial yang memungkinkan sastra berkembang.

Impuls sastra juga dipengaruhi oleh kehebatan sastrawan. Banyak masyarakat yang sudah tergila-gila pada karya William Shakesspeare, John Keat, R. Ng. Sindusastra, A.A. Cummings, Gothic, Empu Sedah dan Panuluh, dan sebagainya. Nama besar sastrawan sering menjadi bagian impuls sastra. Dalam kapasitas ini, kadang-kadang peneliti enggan melakukan interteks, sudah mengevaluasi bahwa karya yang dihadapi itu hebat. Padahal, di masa lalu justru banyak karya sastra yang memiliki sejarah sosial dan genetika sama.

Dalam penelitian sosiologi sastra, yang pertama dapat dilakukan adalah memeriksa aspek masyarakat yang memungkinkan sebuah budaya sastra dilahirkan. Yang kedua, baru mencermati hal-hal lain, seperti pengaruh sosial ke dalam sastra atau sebaliknya. Aktivitas ini mau tidak mau, akan bersentuhan dengan genetika sastra, produksi sastra, dan fungsi sastra. Sastra dan seni yang hebat mungkin untuk mencatat kekuatan yang memungkinkan sebuah budaya sastra untuk dilahirkan tetapi tidak dapat memprediksi secara tepat apa yang akan dihasilkan. Banyak hal yang dapat membonceng kelahiran sastra. Banyak pula kejajdian sosial yang tidak terduga, akan mempengaruhi kehadiran sastra.

Kekuatan sosial ternyatai beragam dan belum sistematis dipertimbangkan dalam karya sastra. Aspek sosial dalam sastra kadang-kadang tidak tertata, melainkan berada pada hal apa saja. Sastra tidak pernah mensistematiskan data yang diekspresikan. Yang jelas, mobilitas sosial akan menyedot perhatian sastrawan untuk berspekulasi estetis. Peter Burke (1974), misalnya, telah berpendapat bahwa mobilitas sosial adalah syarat perlu dari Renaisans Italia. Kasusnya diperkuat ketika jumlah seniman dan sastrawan membantu menjelaskan keunggulan Florence pada masa Renaisans. Sastrawan, boleh saya nyatakan sebagai pembaharu dalam berbagai hal. Jika di Italia, sastra menjadi renaisans zaman, di Indonesia pun seringkali demikian. Jika pemerintahan bengkok, sastra yang meluruskan.

Selanjutnya, dalam review dari teori memungkinkan, dia menyarankan bahwa periode budaya besar timbul pada saat-saat vakum budaya. Istilah vakum budaya sebenarnya tidak terlalu tepat, sebab budaya itu selalu muncul ketika ada aktivvitas manusia. Apalagi di periode renaisans, budaya akan selalu mengitari dari waktu ke waktu. Budaya itu luas, seluas tindakan manusia. Max Weber menyatakan bahwa pedagang kota Eropa tertarik pada budaya puritanisme karena penekanannya pada disiplin sebagaimana diatur dalam buku sesuai gaya mereka sendiri. Disiplin itu sebuah budaya, yang menarik perhatian sastrawan. Manusia sering tidak disiplin ketika memburu materi atau duniawi. Sejak klaim Weber itu bahwa disiplin itu merupakan prasyarat yang diperlukan untuk industrialisme, dapat dikatakan bahwa disiplin yang diperlukan untuk tempat kerja itu sebagai konsekuensinya penciptaan pemikiran yang ketat. Sastra di era industri sering menyoroti persoalan disiplin

sebagai jalur budaya. Disiplin memiliki konvensi yang lentur di jagad masyarakat industri. Terlebih lagi di era masyarakat non industri, disiplin semakin kurang diperhatikan.

Bayangkan, di Indonesia yang tengah gerah memasuki era reformasi saja disiplin diabaikan. Banyak anggota DPR RI yang mangkir, tidak ahdir sidang, dan kalau sidang ada yang tidur. Hal-hal semacam ini sering menarik perhatian para sastrawan. Ketika kekuasaan mulai tidak disiplin, sastrawan pasti akan melirik dan mengingatkannya secara ekspresif. Budaya tidak disiplin, menandai lahirnya konvensi dan genre sastra yang bermacam-macam. Puisi biasanya menjadi genre pilihan untuk melakukan gerakan sastra dalam bentuk kontrol sosial.

Masyarakat melalui konvensi, genre dan gerakan sastra jelas saling mempengaruhi satu sama lain. Konvensi yang paling mendalam, terutama di tingkat mimesis yang oleh Auerbach dimunculkan dalam bentuk realisme. Genre artistik realis seperti drama tragis, epik dan novel tampaknya berhubungan dengan perubahan sosial. Perlu dicatat bahwa area sosiologi sastra ini telah menghasilkan (sering oleh penulis yang tidak akan menganggap dirinya sosiolog) pengobatan khususnya hubungan sastra dan masyarakat. Ketika kekuasaan sedang rabun, rapuh, dan buta humanisme, sastrawan akan memberi peringatan estetis. Penulis yang karyanya cocok dalam kategori ini termasuk WP Ker, CS Lewis, Lionel Trilling, Poggioli, dan Leslie Fiedler. Di Indonesia, hampir seluruh sastrawan seperti Turiyo Ragilputro, Suwardi Endraswara, Hamid Jabar, Jamal D Rahman, Asep Semboja, Evi Idawati, Abidah El Khalidy, dan sebagainya senantiasa menjadi pengawas lajunya roda sosial. Maka analisis novel dalam gerakan realis dan modernis adalah subyek penting dalam penelitian sosiologi sastra.

Jika ahli sosiologi sastra kendor, tidak melakukan penelitian ke arah sastra dan kekuasaan, pemerintah seringkali tuli. Pemerintah tidak mau melek terhadap kritik sosial sastra. Hal ini tentu tergantung kepiawaian sosiolog sastra, untuk membawakan karyanya agar tetap memiliki nyali. Jika perspektif sosiologi sastra tersebut lengah, tidak berarti bahwa sastra sedang kurang perhatiannya pada masyarakat. Sosiologi sastra justru ingin menunjukkan keterkaitan erat di antara keduanya. Sebagai contoh, adalah konsep adil yang dinyatakan Proust. Untuk menulis novel di sebagian masyarakat borjuis; adil dapat menjadi pendorong untuk menulis sebuah novel modernis. Namun, ini adalah faktor yang hanya mempengaruhi impuls sastra dasar. Mereka boleh menampilkan masyarakat dalam sastra dalam bentuk gambar terbalik. Artinya, kondisi masyarakat dapat dilukiskan apa saja, sesuai keinginan novelis. Novel modernis mungkin telah tersedia, namun itu semua menurut Proust mungkin tidak muncul dalam konteks sosial yang sangat luar biasa.

Keadilan memang selalu tidak pernah mencapai optimal. Sastrawan sering bertubi-tubi memotret keadilan di negara ini. Sastrawan di ibu kota, seperti Putu Wijaya, Ayu Utami, dan lain-lain tentu berbeda dengan sastrawan di desa-desa dalam memotret keadilan. Namun, bagi ahli sosiologi sastra, siapapun yang mengekspresikan keadilan, tidak menjadi masalah. Keadilan itu persoalan sosial yang terus menggerus bangsa. Sosiologi sastra, mengenal dua perbedaan penelitian penting, ketika berhadapan dengan keadilan, kesenjangan sosial, dan ketidakberesan budaya penguasa. Dua perbedaan penelitian itu meliputi:

Pertama, perbedaan antara masyarakat menentukan dan masyarakat yang memungkinkan dan mendorong bentuk-bentuk ekspresif tertentu. Yang pertama ini alami mengarah untuk mengobati sastra sebagai suatu gejala dari proses sosial. Prinsip-prinsip Marxis yang percaya bahwa mereka memiliki konsekuensi tak

terelakkan dalam teks sastra. Teori Marxis biasanya tidak akan lepas dari perkembangan sejarah. Sebaliknya, pendekatan sosiologi memperlakukan sastra dalam kata seperti kenyataan sosial. Kekuatan sosial yang mendorong impuls sastra di satu arah atau lainnya yang layak dipertimbangkan, tapi tidak ada teori penentuan tentang impuls sastra itu sendiri.

Kedua, konsep masyarakat memungkinkan menjelaskan bahwa preferensi keberaksaraan kaum bourjuis sering melandasi paham Marxis. Yang terakhir ini menunjukkan hubungan mekanistik antara kepentingan ekonomi kelas dan sastra. Hal ini nampaknya tidak masuk akal dalam pandangan kesenjangan yang cukup besar antara iklim kehidupan sastra dan situasi ekonomi dari seluruh kelas. Keberaksaraan bourjuis merupakan konsep yang lebih bermakna. Bourjuasi adalah pembawa sifat tertentu yang dapat diterjemahkan ke dalam budaya sastra yang kuat. Perbedaan mungkin juga diakui secara terbuka. Ada batasan yang sangat ketat untuk kegunaan filsafat Marxis dalam konteks sejarah. Dimana Marxis melihat dunia modern hanya dalam hal konflik kelas, sedangkan sosiolog ingin menegaskan bahwa kenaikan kompleksitas sebagai akibat dari industrialisasi telah berubah dengan cara yang signifikan bahkan yang konflik kelas harus ditinggalkan. Perbedaan ini akan membuktikan penting dalam mengembangkan pandangan dari novel yang melukiskan oposisi dengan kaum Marxis.

Kalau saya perhatikan, teori Marxis memang berguna dalam penelitian sosiologi sastra. Hanya saja, teori ini sering hanya berkutat pada perjuangan kelas. Padahal tidak setiap bangsa memiliki kelas sosial. Selain itu, gagasan Marxis yang ke arah ekonomi kapitalis, kadang-kadang bertentangan dengan kondisi sastra idealis. Menurut Semi (1993:74) semula dalam penelitian sosiologis, memang bertumpu dari analisis instrinsik yang menitikberatkan perwatakan tokoh. Tokoh yang bernilai tinggi itu dibentuk oleh masyarakat dan lahir atas gejolak kemasyarakatan. Tokoh tersebut harus gagah berani tampil ke depan untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat kelas bawah menghadapi penguasa dan kaum bourjuis. Karya semacam ini telah melahirkan karya sastra realisme sosialis. Perjuangan tokoh kaum buruh (proletar) melawan aristokrat (bangsawan, feodalistik). Suasana demikian memunculkan konvensi-konvensi sastra yang berjalan seiring dengan gerakan sastra modern, sudah sering melampaui batas- batas ekonomi dan kungkungan kapitalis.

Gerakan sastra propagandis, tentu memiliki kecenderungan menyerang. Penguasa yang terlalu otoriter, korup, dan nepotis akan diusik terus oleh sastrawan. Pada saat itu gerakan sastra selalu mengoreksi pemerintah. Hegemoni kekuasaan dianggap menjadi musuh sastrawan. Itulah sebabnya, memahami karya sastra yang tendensius, membutuhkan tafsir khusus. Konvensi sastra yang memperjuangkan masyarakat minor, merginal, wong cilik, yang murni dan jernih idealismenya saya sebut sastra membela. Konvensi sastra membela sering tidak begitu dihiraukan oleh gerakan sastra keras. Gerakan sastra keras jelas dapat disebut sastra membela. Pembelaan sastra yang bebas dari kepentingan individu, memang banyak tidak disukai oleh penguasa. Maka sering terjadi pencekalan sastrawan. Sastrawan yang secara sosial bersuara keras, ada yang terpaksa ditangkap atau dicap beraliran kiri. Gerakan sastra kiri, yang mengkritisi ideologi kekuasaan, sebenarnya juga termasuk sastra membela.

Dalam dokumen Bahan Kuliah Sosiologi Sastra 0 (Halaman 172-175)