• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teknik Analisis Data

Dalam dokumen Bahan Kuliah Sosiologi Sastra 0 (Halaman 74-78)

BAB V METODE PENELITIAN SOSIOLOGI SASTRA

D. Teknik Analisis Data

Data yang telah diklasifikasikan, tinggal dianalisis secara mendalam. Teknik analisis yang digunakan tegrantung pula perspektif yang dipilih. Teori pun akan mempengaruhi teknik analisis. Analisis pada dasarnya adalah proses pemaknaan. Yang perlu dicamkan, penelitian sosiologi sastra selalu menggunakan tafsir sosial. Kecemerlangan, semangat dan wawasan penelitian sosiologi sastra, adalah salah satu yang sulit untuk berdamai dengan penelitian lain. Berdamai, artinya penelitian yang dicampuradukkan, dikombinasikan, hingga hasilnya tidak maksimal. Teknik analisis yang bagus tentu tidak banyak campuraduk.

Analisis data memang tidak mudah, padahal ini kunci penelitian sastra. Kritik selalu hadir, ketika analisis sosiologi sastra selalu gagal di tengah jalan. Nadeak (1984:34-35) menekankan hadirnya keretakan bingkai analisis sosiologi sastra. Hal ini terjadi disebabkan oleh tiga hal, yaitu (1) kata orang dunia sastra sering sepi dari pembaca, hingga sastra selalu terpencil dan terasing, (2) karena pengarang itu manusia, karyanya selalu tergantung pada alam manusia, (3) masyarakat sastra belum mampu memancing penerbit hingga dapat hidup dari penerbitan buku. Atas dasar tiga hal itu, memang analisis sosiologi sastra perlu cermat. Pembaca, pengarang, dan penerbit adalah dunia sosial yang perlu mendapat perhatian. Ketiganya sering tergantung pada ketidakstabilan manusia dan situasi sosial yang melingkupinya.

Bahkan kritikus Turnell (1950) agak tidak setuju dengan pandangan bahwa potret Proust tentang ketidakstabilan manusia entah bagaimana menunjukkan kurangnya kepercayaan moral. Proust berpendapat bahwa manusia sering mengalami goncangan moral. Karena itu teknik analisis yang digunakan perlu mewadahi keadaan demikian. Novel sering mengisahkan ketidakberesan moral manusia. Kesalahan membaca novel berdasarkan kurangnya kesadaran akan realitas sosial yang digambarkan Proust, tidak akan memperoleh makna yang utuh. Teknik analisis sosiologi sastra yang ditawarkan Proust memiliki dua jalur, yaitu: (1) terletak pada kenyataan bahwa deskripsi sosial di atas segalanya, (2) sifat diri dalam dunia modern ini begitu sangat masuk akal. Kedua teknik penelitian ini, menghendaki peneliti menyajikan analisis secara deskriptif-interpretatif. Melalui proses analisis ini, makna akan ditemukan. Makna selalu tersembunyi, karenanya teknik analisis perlu dipegang erat.

Analisis data adalah puncak penelitian. Titik kulminasi ini akan sukses atau gagal, tergantung bagaimana mengimplementasikan teori ke dalam tumpukan data yang telah diklasifikasikan. Dalam konteks sosiologi sastra Barat, yang populer sebagai landasan analisis adalah teori Marxis. Di Timur (Indonesia), teori Marxis juga pernah berkembang, namun biasanya banyak dicurigai. Namun, di Indonesia teori Marxis sering kurang sukses. Penelitian yang menerapkan teknik analisis Marxis sering diwaspadai. Pandangan kaum Marxis mengabaikan beberapa karya bangsawan (priyayi). Filsafat sejarah adalah salah satu yang dibayangkan kembali pada campuran manusia pribadi dan masyarakat. Hal itu adalah persis yang menunjukkan Proust dalam suatu masyarakat yang kompleks. Kesulitan memahami novel terjadi sebagai akibat dari konflik antara pengakuan dari ketidakstabilan hampir semua karakter utama dan permintaan kejamnya perilaku.

Proust sering tidak disukai para peneliti sosiologi sastra karena dalam analisis tokoh-tokoh sangat tidak stabil. Ketidakstabilan ini tentu saja tergantung tepat tidaknya memanfaatkan teknik analisis. Hal itu juga terjadi, sebab Proust sedang mencoba untuk menggambarkan kesulitan kepribadian di dunia modern. Dengan demikian ia datang ke kesimpulan yang tidak berarti pesimis. Argumen Proust adalah, dalam arti bahwa dalam masyarakat yang kompleks (yaitu Paris bukan Combray, atau, kota bukan negara) disajikan asumsi banyak peran. Dunia memang kompleks, karena menawarkan kemungkinan beberapa kebebasan dari peran masa lalu. Proses analisis seharusnya memahami pribadi dan kehidupan sosial.

Langkah analisis data berikut ini bisa diikuti, tentu dengan kemungkinan adanya penyimpangan berdasarkan obyek dan masalah penelitian. Yang perlu ditekankan dalam analisis yaitu: (1) analisis diawali dari asumsi bahwa penelitian selalu bermula dari pertanyaan yang berkaitan lengan gejala yang muncul sebagai akibat hubungan antara karya sastra dan lingkungan sosialnya, (2) peneliti

memanfaatkan konsep pemahaman (verstehen) terhadap karya sastra secara mendalam dengan mengungkapkan dan menguraikan gejala sosial, (3) data yang dianalisis bisa berasal dari berbagai hal yang menyangkut hubungan-hubungan antara karya sastra dan sistem sosial, (4) nilai-nilai dan norma tingkah Iaku, riwayat hidup pengarang, proses penerbitan, pembaca sasaran, dan berbagai isu sosial lain bisa saja dianalisis lebih mendalam.

Dalam dunia modern, keterbukaan suatu masyarakat yang kompleks berarti bahwa identitas bukan lagi sesuatu yang diberikan tetapi sesuatu yang diperjuangkan penuh ketekunan, hingga dapat ditemukan atau diciptakan. Kritikus yang lambat menjelaskan ketidakstabilan karakter sosial, akan dibantah oleh sastrawan. Kondisi modern biasanya menawarkan peningkatan jenis kebebasan tertentu, itu adalah suatu kondisi di banyak cara untuk dihargai. Dunia modern sering melahirkan paradoks kehidupan sosial. Paradoks Proust adalah sekarang mudah dijelaskan. Menghormati harus diberikan kepada peran bahwa orang-orang agar bermain di balik topeng mereka dapat mengembangkan identitas mereka. Karakter dalam novel yang menghormati peran sosial sangat dikagumi.

Kemampuan untuk menghormati peran sosial tokoh terdiri dari elemen kunci yang dalam paham Durkheim, disebut kultus individu. Hal ini merupakan keyakinan masyarakat modern, dan pekerjaan yang telah diperiksa dengan efisiensi tak kenal lelah oleh Goffman. Etika, dengan kata lain, mungkin dalam hal-hal pribadi untuk mencegah aktor yang dipikirkannya. Jelas, bagaimanapun, bahwa analisis hebat Proust tentang stabilitas karakter dalam masyarakat kompleks seperti untuk menyingkirkan setiap asumsi Marxis. Kasus Marxisme Jean Paul Sartre, dimana Sartre mempelopori keterbukaan otentik. Proust menuntut penampilan orang-orang dengan keterbukaan nilai otentik. Dia menyadari bahwa upaya untuk menghargai manusia pada saat tertentu mengarah pada otoritarianisme karena akan mencegah ketidakstabilan karakter diperlukan bilamana orang tersebut adalah untuk membuat identitas sendiri.

Jika demikian, menurut hemat saya analisis data perlu mempertimbangkan sejumlah hal yang terjadi di dunia modern. Sastrawan akan memotret dunia modern yang gelap. Paling tidak, analisis sosiologi sastra dapat mengungkap: (1) apa yang terjadi di dunia modern, ketika karakter sudah tergilas oleh pergolakan sosial, (2) seberapa jauh manusia modern dalam sastra memiliki otoritas sosial, (3) bagaimana obsesi sastrawan mengembangkan tokoh hero, hingga muncul karakter yang dialektik. Analisis semacam itu akan mempertegas peran sosiologi sastra membangun teks-teks sosial baru lewat sastra. Hasil analisis kemungkinan lebih indah warnanya, dibanding yang diimajinasikan sastrawan.

Menurut Bakhtin (baca Todorov, 1984: 99-100) kemungkinan posisi karya sastra yang sejajar dengan kesadaran ganda, akan menyulitkan teknik analisis data. Dengan kesadaran ganda, seniman dapat menciptakan tokoh-tokoh dan peristiwa yang berbeda dengan dirinya sendiri, sehingga karya seni sastra bukan refleksi diri belaka, bukan juga refleksi biografi. Kredo semacam ini penting diperhatikan oleh peneliti sosiologi sastra. Terlebih lagi, Hauser (1985: 89) memberikan kemungkinan bahwa sesungguhnya karya seni sastra lebih banyak dipengaruhi oleh masyarakat, daripada mempengaruhinya. Sastra sering terjebak oleh perilaku sosial. Sastra harus membuat eksperimen ekspresif terhadap tindakan sosial. Sebaliknya, sastra ada kalanya kurang mampu menggerakkan masyarakat. Dalam keadaan demikian, analisis sosiologi sastra perlu ekstra hati-hati.

Sains jelas memiliki perangkat peralatan yang akurat untuk mendeteksi secara objektif gejala-gejala kemanusiaan. Tetapi ada gejala dan wilayah

pengalaman yang lain, yang hanya dapat dipahami secara subjektif, termasuk wilayah pengalaman dalam karya seni sastra. Karya sastra sesungguhnya tidak mempermasalahkan benar dan salah. Demikian juga, sosiologi sastra tidak mempermasalahkan nilai karya sastra. Sosiologi sastra hanya menunjukkan inte- relasi nilai-nilai estetis dalam perubahan struktur sosial, nilai-nilai estetis dipertimbangkan sebagai akibat interelasi tersebut. "Mungkin dalam hubungan inilah dianggap tepat penggunaan metafora yang mengacu pada keabadian seni. Energi- energi karya seni mengatasi kreator-kreator tunggalnya, yang biasanya dinyatakan melalui metafora ars longa, vita brevis (seni berkelanjutan, sedangkan kehidupan berusia pendek).

Goldmann (1977: 7) selalu menolak evidensi empiris yang dianggap memiliki ciri-ciri abstrak dan dangkal, karena tanpa integrasi dengan totalitas. Sebaliknya, transendensi dalam karya sastra dengan sendirinya tidak membawa subjek di luar sejarah, melainkan di luar individu. George A. Huaco (1970: 551) mengidentifikasi lima faktor yang berpengaruh terhadap entitas karya sastra, yaitu: 1) patron, 2) pengarang, 3) kritikus, 4) penerbit, dan 5) publik pembaca. Dalam analisis data, lima hal ini perlu dipertimbangkan. Pertimbangan penting, tergantung fokus yang diteliti. Analisis data harus memiliki fokus yang jelas, agar tidak simpang siur. Analisis data demikian, lebih terkait dengan pemaknaan sastra yang terkait dengan produksi sastra. Sastra menjadi pijaran bagi produktivitas masyarakat.

Bila analisis data berpusar pada teks sastra, tentu analisis lebih ke arah tafsiran. Gagasan Swingewood (1971:11-15) saya kira patut dicatat, untuk bahan referensi analisis data. Menurut dia, esensi analisis data sosiologis harus dilakukan secara ilmiah, sehingga mampu mengungkap: (1) kehidupan manusia di masyarakat secara objektif, (2) memaknai lembaga-lembaga sosial, (3) memahami proses sosial, dengan menelusuri bagaimana masyarakat itu “mungkin” (berkembang, mundur). Tiga aspek tersebut dapat dikaitkan dengan persoalan sosiologis yang mengitari hidup manusia, yaitu (a) stabilitas sosial, (b) kesinambungan masyarakat, (c) cara individu datang pada kelompok dan menerima lembaga sosial, (d) proses masyarakat yang berubah secara bertingkat, (e) revolusi masyarakat dari tipe satu ke tipe lain.

Sastra dalam pandangan sosiologis, mau tidak mau akan merefleksikan sebuah fenomena sosial. Fenomena tersebut menjadi pijakan analisis data. Di antara fenomena termaksud adalah: (1) dunia sosial manusia, (2) bagaimana manusia menyesuaikan diri, dan (3) seberapa jauh manusia ada keinginan untuk mengubahnya. Keinginan manusia di masyarakat bermacam-macam, antara lain (a) menciptakan hubungan sosial yang harmoni dalam keluarga, masyarakat, dan negara, (b) melukiskan hubungan manusia dengan politik, budaya, dan konflik serta ketegangan kelompok sosial.

Jika demikian, analisis sosiologi sastra perlu memperhatikan aspek-aspek sosial. Setiap gerak tafsir, perlu ditujukan pada konteks sosiologis. Betapa pun karya itu berbentuk absurd, puisi buta, tetap dianalisis ke arah kehidupan sosial. Manusia selalu menjadi acuan utama, karya yang dihadapi itu tidak secara langsung membicarakan manusia. Sastra tetap karya seni yang mengisahkan manusia. Biarpun berbicara masalah batu, burung, pohon, sastra semacam itu harus dianalisis sebagai keutuhan hidup manusia.

Dalam dokumen Bahan Kuliah Sosiologi Sastra 0 (Halaman 74-78)