• Tidak ada hasil yang ditemukan

Resepsi Sosial Sastra

Dalam dokumen Bahan Kuliah Sosiologi Sastra 0 (Halaman 98-101)

BAB VI DIALEKTIKA PENELITIAN SOSIAL SASTRA

D. Resepsi Sosial Sastra

Resepsi sosial sastra merupakan penelitian tanggapan audien terhadap sastra. Resepsi masyarakat terhadap sastra sering berbeda-beda. Tiap golongan juga sering mananggapi karya sastra penuh variasi. Resepsi sosial sastra justru

memiliki nilai pragmatic sastra yang penting. Hal ini menuntut tingkat keterampilan tinggi, untuk melacak cara-cara di mana sebuah karya sastra adalah benar-benar diterima oleh masyarakat tertentu pada suatu saat historis tertentu. Segers (2000:35) menyatakan bahwa resepsi sastra banyak terkait dengan kebutuhan pembaca. Namun, dalam pandangan Junus (1885:84-86), yang dikemukakan Segers tidak terlalu jelas kaitannya dengan resepsi sosiologis. Bagi Junus, sastra memang banyak terkait dengan resepsi sosiologis, ketika ada sentuhan sastra pada pembaca. Dalam fenomena empiris, sastra memang dikemas untuk mempengaruhi pembaca. Itulah sebabnya, karya sastra perlu dipelajari dalam kaitannya dengan reaksi pembaca. Saya sepaham dengan konsep ini, ketika peneliti hendak melacak resepsi kolektif terhadap karya sastra.

Berkat resepsi sosiologis, sastra menjadi milik pembaca secara sungguh- sungguh. Di Indonesia, resepsi sastra memang belum begitu diminati. Apalagi resepsi sastra secara sosiologis, masih dipandang sulit dan rumit. Padahal hampir tidak pernah ada karya sastra yang tanpa resepsi sosiologis. Resepsi sosiologis akan menaikkan harga karya sastra. Jadi tidak mengherankan kalau resepsi sastra Guy de Maupassant di Inggris selama 1880s dan 1890s membantu efek transisi dari sastra Inggris ditembus oleh seorang seksualitas naif atau miring ke sudut pandang dunia modern. Resepsi sastra panglipur wuyung di Indonesia tahun 1970an, juga telah mengajak pembaca berpikir romantik terhadap dunia. Persoalan seks menjadi tumpuan mamsyarakat di jagad roman panglipur wuyung. Begitu pula novel-novel yang terkategorikan popular sering lebih panas dan berani mengungkap masalah seks. Dalam novel Thomas Hardy dan George Moore, misalnya, seks diperlakukan lebih langsung daripada di novel Dickens dan George Eliot, dan perubahan ini berfungsi untuk menggambarkan konflik nilai, Victoria di Inggris akhir, antara praktisi sastra tradisional dan para inovator.

Sayam paham, begitu besar di Inggris resepsi sastra telah gilang-gemilang. Rakyat yang melek huruf biasanya amat menentukan resepsi sastra itu. Bahkan, Lowenthal telah menunjukkan bagaimana di Jerman antara 1880 dan 1920 kelas men engah dan kelas atas berhasil berasimilasi seperti yang diekspresikan Doestoevsky ke dalam ideologi mereka sendiri yang aneh. Tema dominan dalam kritik sastra Jerman, yang menjadi sumber utama Lowenthal, dalam periode ini adalah penekanan pada irrationalism Dostoevsky. Lowenthal terhubung dengan pertumbuhan kontemporer masyarakat bisnis besar dan masyarakat kapitalis sepenuhnya. Jika struktur ekonomi dan politik raksasa itu harus diterima oleh rakyat, cita-cita persaingan antara manusia melalui pengembangan nalar harus diganti dengan penghormatan pada ide non-rasional. Untuk para kritikus Jerman Dostoyevsky muncul sebagai anti-intelektual, mistis, dunia lain, dan tegas menentang gagasan sosialisme. Novelnya dapat digunakan sebagai senjata intelektual terhadap upaya untuk menata kembali masyarakat seperti yang diusulkan oleh sosialisme Jerman. Lowenthal menunjukkan, gambaran krisis kesadaran yang mendalam bangsa Jerman selama empat puluh tahun dan yang ke berujung pada irrationalism ekstrim, antiintelektualisme, dan anti-sosialisme dari Nazi.

Lowenthal menjatuhkan pilihan tentang Dostoyevsky untuk menjelaskan masalah krisis sosial yang belum benar-benar menyentuh pada pilihan penulis untuk studi dan analisis. Sangat menarik untuk dicatat bahwa pada titik ini sebagian besar sosiolog sastra dan kritik sastra sepakati sebagai suatu studi penulis besar dan teks justru karena kebesaran mereka menyiratkan wawasan jauh ke dalam manusia dan kondisi sosial. Jadi, di satu pihak menurut Leo

Lowenthal, artis dianggap mampu menggambarkan apa yang lebih nyata seperti halnya realitas itu sendiri. Di lain pihak, Richard Huggart menyatakan bahwa sastra besar akan menembus lebih dalam pengalaman manusia karena memiliki kapasitas untuk bersatu, untuk mengungkapkan pola keluar dari massa yang berantakan. Dalam hal ini, sastrawan besar seperti memiliki magnet menarik besi, hingga mampu menggambarkan manusia seluruhnya secara mendalam.

Kriteria spesifik nampak di sini bahwa resepsi sastra merupakan bentuk kegigihan terhadap sastra besar terus bertahan. Sastra juga sering membawa ke dalam keraguan sifat dari setiap sosiologi budaya massa, budaya populer, dan sebagainya, yang dalam pandangan ini, tidak memiliki pesan untuk anak cucu atau mengandung wawasan jauh ke dalam kondisi sosial manusia. Tetapi jika tujuan dasar sosiologi adalah memahami sifat dan cara kerja semua masyarakat dan posisi manusia di dalamnya, kemudian budaya populer pasti mengklaim status yang wajar. Jika argumen Lowenthal diterima, bahwa sastra mencakup nilai-nilai fundamental dan simbol-simbol yang menyediakan kohesi kepada kelompok yang berbeda dalam masyarakat, maka budaya populer dapat digunakan sebagai 'alat diagnostik' untuk menganalisa manusia modem, terutama karena telah menjadi begitu luas diproduksi dan berasimilasi.

Kadang-kadang karya sastra ditolak oleh sekelompok masyarakat. Penolakan ini, tentu menjadi tanda adanya resepsi negative. Penolakan sastra pun sebenarnya sebuah resepsi kritis. Ketika simbol-simbol karya sastra merendahkan martabat masyarakat, sastra akan ditolak mentah-mentah. Karya sastra dianggap mencaci maki keadaan. Karya yang mengolok-olok, jelas kurang memiliki daya keberterimaan di lingkungan sosialnya. Berbeda dengan sastra yang memuat sanjungan, resepsi masyarakat sering berlebihan.

Saini, K.M. (1986) pernah menulis buku kecil tentang protes sosial dalam sastra. Kata protes ini sebenarnya merupakan bentuk resepsi sosial. Karya sastra di era Lekra, biasanya yang memuat protes. Jaman Wiji Tukul, Suwarna Pragolapati, dan Caknun dicekal karya-karyanya, berarti resepsi semakin gigih. Pada suasana demikian sebenarnya sastra sudah menyentuh pembaca. Pembredelan karya sastra, larangan beredar, sebenarnya merupakan bentuk resepsi berlebihan. Jika resepsi karya sastra itu positif, maka karya sastra akan semakin subur dan tahan sepanjang jaman.

Biasanya, sastra yang dipanggungkan jauh lebih reseptif. Sastra wayang, biasanya jauh lebih menarik penonton. Resepsi penonton secara kolektif kadang- kadang menentang, protes, dan melawan. Bayangkan, ketika tokoh idola pewayangan oleh dalang disanggit kalah, satria kalah oleh raksasa, penonton sontak heboh. Begitu pula pemanggungan karya sastra, yang melukiskan tokoh- tokoh jungkir balik, sering menimbulkan resepsi yang berbeda-beda. Tokoh kontroversial, sering memunculkan polemik sosial.

Dalam dokumen Bahan Kuliah Sosiologi Sastra 0 (Halaman 98-101)