• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dilema Sastra sebagai Cermin Sosial

Dalam dokumen Bahan Kuliah Sosiologi Sastra 0 (Halaman 168-172)

BAB XIV KRITIK PENELITIAN SOSIOLOGI SASTRA

A. Dilema Sastra sebagai Cermin Sosial

Setiap pengkaji sosiologi sastra, selalu merujuk sastra sebagai cermin masyarakat. Namun, hingga kini banyak kritikus sosiologi sastra selalu meragukan sastra sebagai cermin. Konsep cermin ini, ternyata memang membutuhkan pemahaman tajam. Maksudnya, tentu tidak seluruh karya sastra harus dibedah lewat kacamata tersebut. Watt (1964:299-312) menyatakan bahwa ada beberapa karya sastra yang boleh dianalisis dengan paradigm sosiologi sastra. Kata boleh, ini menandai bahwa ada karya yang tidak tepat dikaji menggunakan teori cermin.

Saya sadar, fakta sastra memang berbeda dengan fakta masyarakat. Sastra yang memuat sejarah pun, selalu tidak mudah dikatakan cermin sejarah. Hal ini amat tergantung, siapa yang menulis sejarah. Memang, kesadaran historis akan dapat menangkap hubungan sastra dan masyarakat. Namun tidak berarti sastra itu sekedar mencerminkan sejarah. Sastra dapat menghilangkan, memodifikasi, dan mengubah warna sejarah atas jasa imajinasi, Maka kalau ahli sosiologi sastra akan mengungkap sastra sebagai pencerminan (mirroring) hidup bermasyarakat, konteks cermin perlu dirunut secara profesinal.

Sastra sebagai cermin, kadang-kadang memang menyesatkan. Paling tidak, ada dua alasan, yaitu (1) sastra kadang-kadang memoles situasi, hingga masyarakat tidak direkam sebagai adanya, (2) sastrawan juga bisa pura-pura, melukiskan masyarakat, padahal itu cermin dirinya. Memang, harus diakui bahwa penelitian-penelitian sosiologi sastra senantiasa berupaya menarik benang-benang merah hubungan sastra dengan masyarakat. Hubungan trsebut tidak selalu simetris, sejajar, dan ada kalanya berkebalikan. Pelacakan hubungan keduanya, sebagian besar masih dilakukan secara konstan, dan belum dilakukan secara mendalam. Konstan, artinya hanya berdasarkan data-data yang tidak diinterelasikan dengan teks yang lain. Dalam setiap kasus dasar-dasar profesi sastra tampaknya telah dikembangkan jauh sebelum abad ke delapan belas, dalam berbagai kota kecil, pastoral dan suku. Di Yunani para penyair Anglo-Saxon semua mengungkapkan makhluk-makhluk dengan mengucapkan atau menyanyikan perbuatan heroik dan mengesankan eksploitasi lainnya dari para pemimpin suku, di aula dan halaman dari pemimpin local. Pada tataran itu, sastra sering melakukan eksplorasi luar biasa terhadap dunia.

Improvisasi narasi puisi epik akhirnya disusun dan tertulis, diramu dengan pendapat modern, membuang antusiasme demokratis, memanfaatkan kedermawanan teori sebelumnya tentang kesadaran kolektif atau rakyat. Penulis profesional biasanya juga mengungkapkan tradisi rakyat dengan penuh daya pikat. Karena itu analisis sosial dalam sastra perlu memperhatikan masalah nilai sastra dan pola-pola penerimaan karya sastra dalam masyarakat. Sastra adalah fenomena sosial dan sekaligus fenomena pribadi. Rumitnya lagi, kalau konsep cermin itu

berkaitan dengan sastra lisan dan atau sastra anonim. Banyak masalah ketika meneliti sebuah cermin diri pengarang, karena tidak tahu siapa yang menulis atau yang melisankan karya sastra.

Harus diakui, bahwa kesadaran untuk menghubungkan antara sastra dan masyarakat akhir-akhir ini cukup meningkat. Sastra kadang-kadang memainkan keajaiban yang merupakan bagian penting dari kehidupan masyarakat. Di zaman modern penyair termasuk sebagai pewaris sejarah. Penyair sebagai penulis profesional, setidaknya di Barat, adalah penerima patronase dari keuasaan tertentu. Penyair yang baik, dilindungi oleh negara. Tentu berbeda dengan di nusantara, kadang-kadang penyair yang hebat, hidupnya masih terlantar. Itulah cermin diri kekuasaan nusantara, yang belum melek sastra.

Tugas utama ahli sosiologi sastra, seyogyanya menangkap kemungkinan sastra sebagai refleksi kehidupan bermasyarakat. Hubungan tersebut akan Nampak pada masalah fungsi sastra dan bagaimana nilai sastra berkaitan dengan kehidupan sosial. Watt (1964:302) masih meyakini penelitian dan pemikiran Taine, tentang keterkaitan ras, momen, dan lingkungan dalam karya sastra. Ketiganya merupakan faktor sosial yang penting dalam kehidupan sastra. Yang menjadi masalah, ketika karya sastra melukiskan tiga hal itu secara cermat, masih ada dua pendapat yang berseberangan. Di satu pihak, karya yang mencerminkan kehidupan secara detail, dianggap rendah kualitasnya. Di lain pihak, karya yang cerdas menyembunyikan cermin kehidupan, dianggap karya yang berkualitas.

Kalau demikian, membaca dan menilai karya sastra memang tidak mudah. Paling tidak, kacamata menilai sastra sebagai refleksi sosial, perlu mempertimbangkan berbagai faktor. Istilah refleksi, merupakan unsur yang diturunkan dari masyarakat, bahwa sastra memuat berbagai aktivitas sosial. Refleksi dan cermin sering disamakan. Keduanya memberikan sumbangan dalam mengantarkan realitas sosial ke dalam sastra. Yang perlu diperhatikan, karya sastra ada kalanya hanya menangkap kehidupan masyarakat dalam konteks permukaan saja. Kedalaman karya sastra, tentu akan menangkap hal-hal yang ada di balik unsur permukaan itu. Maka penelitian sosiologi sastra perlu menangkap hal ihwal di balik yang tampak itu. Yang tidak tampak juga tercermin bening ke dalam karya, Mungkin sekali, yang tidak tampak itu justru realitas sosial yang sesungguhnya.

Dunia cermin, perlu memperhatikan bahwa sastra adalah fakta imajinasi, karena itu tidak selalu reliable kalau sastra dijadikan sandaran relfkesi sosial. Sastra sering memoles kehidupan sosial. Banyak hal-hal yang menyangkut kekerasan masyarakat, namun ditampilkan secara halus oleh sastrawan, begitu pula sebaliknya. Biasanya, setiap genre karya sastra juga merupakan refleksi kelompok sosial tertentu. Puisi-puisi keagamaan, sering berat sebelah menampilkan ideologi tertentu. Sastra romantik, biasanya yang dengan tekun mencerminkan masyarakatnya. Bahkan ada kalanya cermin vulgar mewarnai sastra romantik. Setiap perubahan dalam masyarakat, tentu menjadi wajah cermin. Sastra akan mencemrinkan dunia apa pun di sekeliling, didekat, dan juga yang jauh sekalipun.

Masyarakat yang semakin radikal, sering menjadi peta cermin akurat bagi sastrawan. Sastrawan akan melakukan petualangan imajinatif untuk menggugah daya fantasinya. Banyak hal yang sebenarnya biasa, digarap menjadi luar biasa dalam karya sastra. Rata-rata penulis akan melukiskan keadaan masyarakat secara sosiologis. Sastrawan menggunakan konsep cermin imajinatif dalam menangkap karakter individu dan kelompok. Yang harus direnungkan, peneliti sosiologi sastra dalam konteks cermin perlu memperhatikan: (1) sastra selalu selektif dalam merefleksikan masyarakat, (2) sastra senantiasa memanfaatkan pola atau

kesadaran tak langsung dalam melukiskan masyarakat. Karya sastra sering memunculkan fakta-fakta yang tidak masuk akal. Oleh karena sastra sebagai cermin, banyak mengundang perdebatan. Sastra yang bermaksud mengungkapkan realitas sosial apa adanya, kadang-kang tidak menarik. Sebaliknya, sastra yang terlalu banyak bermain imajinasi, hingga sastra itu kabur mengolah realitas.

Kalau begitu, cermin dalam sastra memang tidak selamanya bening. Ada cermin buram. Sastra sering melukiskan dunia hitam dan gelap. Sastra justru tertarik pada dunia sosial yang remang-remang. Itulah sebabnya, konsep cermin perlu dipertimbangkan masak-masak. Cermin bukan berarti harus menampilkan apa adanya. Cermin justru emnampilkan yang sering berkebalikan dengan realitas sosial. Maka peneliti sosiologi sastra yang kurang cerdas, akan terjebak dalam menafsirkan fakta sosial.

B. Peranan Ilmu Sosial dalam Kritik Sastra

Peranan ilmu sosial dalam kritik sastra cukup besar. Sastra amat membutuhkan kehidupan sosial, begitu pula sebaliknya. Kramer (1970:437-439) menyatakan bahwa peranan sosial dalam kritik sastra merupakan jembatan emas antara sastrawan dengan audien. Pada dasarnya interes sastra amat penting dalam perubahan sosial. Sastra seolah-olah menjadi agen perubahan sosial budaya. Maka tugas kritikus akan menemukan agen-agen prubahan itu.

Grafik perjalanan penelitian sosiologi sastra amat kritis. Sebenarnya ide ini, juga dirancang untuk menghasilkan penelitian sosial sastra yang objektif. Yang dimaksud objektif, karena didukung oleh data-data sosial, data-data estetis, dan data kemanusiaan yang dapat dipahami oleh peneliti. Hipotesis dalam penelitian sosiologi sastra memang penting. Namun, hipotesis tidak harus secara eksplisit. Hipotesis dapat disisipkan pada latar belakang penelitian. Tentu saja pemeriksaan data secara berulang-ulang lebih mungkin akurat dibandingkan dengan teknik bebas. Ketika hipotesis belum teruji, diilustrasikan dengan contoh-contoh dipilih dengan cermat, atau perasaan empati ke dalam suatu periode karya sastra. Dengan menguasai observasi cermat secara heuristik, yaitu pembacaan teliti, dapat memetakan penelitian sosial sastra.

Pada saat yang sama penelitian sosiologi sastra menuntut elaborasi yang paling menyeluruh. Dalam kaitan ini, Mannheim berpendapat bahwa tidak hanya konten sosial yang perlu diperhatikan, tetapi juga simbol-simbol lain yang membangun sastra. Kata memiliki arti yang berbeda untuk kelompok sosial yang berbeda. Permainan imajinasi sastrawan kadang-kadang sulit dicerna oleh peneliti. Banyak kata yang bersifat simbolik, ternyata juga merupakan potret kehidupan sosial. Konsep-konsep tertentu dalam karya sastra sering dapat menunjukkan tidak adanya muatan sosial. Paling tidak wilayah penelitian sosiologi sastra, akan memperhatikan beberapa hal: (1) pola kehidupan historis-sosial yang berorientasi pada pragmatisme, (2) kemampuan intelektual yang dominan menjadi penting dalam menyelami situasi sosial, (3) masalah moral yang membangun kehidupan sosial lebih rapi, perlu mendapat tekanan khusus.

Sastra juga sering mengungkap berbagai prasangka sosial dari berbagai dengan bungkus estetika dan moral. Tujuan berkarya dari penulis yang menarik, sadar atau tidak, tentu memiliki tampilan sosial yang berbeda. Sistem honorarium akan membuang cahaya kehidupan sosial, apalagi kalau ada pesanan dalam karya sastra. Sastra pesanan sering mengingkari jati diri sosial. Beberapa asumsi, sastra pesanan sering terhegemoni oleh daya tarik ekonomi. Oleh sebab itu, tugas peneliti soiologi sastra perlu menjelajahi estetika sastra. Perkembangan tubuh pemikiran

melalui situasi struktural yang terkait dengan negara secara keseluruhan dan dengan perubahan waktu, sering menjadi catatan penting bagi sastrawan.

Mannheim mungkin ada keraguan terhadap ilmu sosial, apakah itu berlaku untuk sastra, atau mempunyai keuntungan apapun bagi sastra. Setelah terlihat bahwa disiplin studi sosiologi sastra menjadi jelas dan banyak keuntungan. Dalam dunia objektivitas, memungkinkan sarjana sosiologi sastra menyoroti kekuatan sejarah pemikiran sosial dalam sastra. Dalam dunia sastra kelengkapan sosial jelas lebih unggul. Pendekatan sosial lainnya telah diterapkan secara parsial dan sporadis, tetapi sosiologi sastra sering menghadapi aneka benturan. Seperti halnya sosiologi pengetahuan, sosiologi sastra juga memurnikan konsep lama dan baru. Tanpa mengurangi pentingnya faktor ekonomi, aspek pragmatis juga menjadi faktor intelektual dalam memproduksi perubahan sosial. Sastra jelas menawarkan sejumlah getaran perubahan sosial.

Selain itu, penelitian sosiologi sastra berguna dalam berbagai bidang penelitian sosial. Hal ini mungkin paling mudah diterapkan dalam studi biografis dari individu untuk menjelaskan mengapa orang-orang berpikir seperti yang mereka lakukan. Studi sosiologi sastra tidak dapat diragukan lagi, misalnya, yang sekarang puisi yang dapat dipahami dalam konteks sosial. Puisi menemukan bagaimana pendekatan segar untuk menangkap aspek sosial yang terpantul dalam karya transendentalisme, realisme, naturalisme, magisme, dan kebangkitan kembali puisi metafisik. Sejarah intelektual dengan menunjukkan apa yang dapat mempengaruhi getaran sosial sastra. Seperti telah ditunjukkan, sistem ini tidak menyatakan bahwa semua pikiran sosial ditentukan. Pola pikiran sosial adalah bagian dari keseimbangan masyarakat, dan perubahan pemikiran dapat mengubah keseimbangan seluruh kesetimbangan.

Mannheim mengatakan bahwa alam khusus studi ini adalah interkoneksi antara sastra, pikiran, dan masyarakat. Tentu ada hubungan di pesawat intelektual antara satu orang dengan yang lain dan saling mempengaruhi. Bahkan mungkin ada bahaya dari teknik terkemuka sarjana bidang sosiologi, tapi konsekuensi ini tidak bisa dihindari, karena tujuannya adalah bukan untuk menghasilkan sosiologi sastra, tetapi untuk menggunakan tafsiran sastra.

Untuk menentukan imitasi sastra, sosiologi pengetahuan juga menandai wilayahnya kekuatan tersendiri. Salah satu nilai kekuatan utama adalah bahwa ia menawarkan panduan dari sudut pandang sosial tertentu. Selain membuka wawasan baru, mereka telah menggunakan teknik yang mirip sebelumnya. Penerapan metodologi yang lengkap akan menuntut pemeriksaan luar biasa menyeluruh dari semua aspek masalah. Karena menekankan hubungan antara pikiran dan masyarakat, pertimbangan sosial dengan memasukkan mereka berdua perlu diperhatikan. Tetapi karena kebesaran sastra itu tidak mengesampingkan kritik, maka penelitian sosiologi sastra perlu hati-hati. Seperti Harry H Dark mengatakan, tugas utama kritik untuk menjelaskan, menafsirkan dan evaluasi, tugas sosiolog sastra pun tidak jauh berbeda.

Kerangka sosial akan membingkai kritik sastra. Kritik sastra yang memperhatikan aspek sosial disebut kritik sosiologi sastra. Kritik sosial akan mendudukkan sastra pada skala proporsional. Kritik sosiologi sastra sudah menjadi sebuah kebutuhan. Untuk pengembangan sastra ke depan, perlu ada kritik yang tajam. Kritik sosiologi sastra akan mendudukkan sastra sebagaimana adanya. Peran ilmu sosial dalam sosiologi sastra dan sebaliknya ditantang, untuk mengejawantahkan diri.

Dalam dokumen Bahan Kuliah Sosiologi Sastra 0 (Halaman 168-172)