• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teknik Klasifikasi Data

Dalam dokumen Bahan Kuliah Sosiologi Sastra 0 (Halaman 72-74)

BAB V METODE PENELITIAN SOSIOLOGI SASTRA

C. Teknik Klasifikasi Data

Data penelitian sosiologi sastra amat beragam. Data yang beragam akan membosankan, jika tanpa dikelola. Data itu cukup banyak, bertebaran, sehingga perlu langkah-langkah yang disebut klasifikasi data. Klasifikasi data, dilakukan setelah pengumpulan data selesai. Pengumpulan data biasanya masih amat carut marut, belum tertata, karena itu klasifikasi data amat diperlukan. Klasifikasi juga disebut kategorisasi data.

Dasar klasifikasi data tentu mengikuti teori yang telah dirajut. Teori sosiologi sastra ada berbagai macam, tergantung masalah atau sasaran yang dibahas. Kalau saya perhatikan, beberapa penulis telah mencoba untuk membuat klasifikasi masalah sosiologi sastra. Wellek dan Warren (1989) dalam bukunya tentang “kitab belajar sastra” membuat klasifikasi yang singkatnya sebagai berikut.

Pertama, sosiologi sastra yang memasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil sastra. Klasifikasi ini termasuk sosiologi pengarang. Teks sastra hanyalah pendukung, untuk memahami siapa pengarang. Kedudukan sosial pengarang memiliki andil makna terhadap teks sastra. Dalam banyak penelitian, pengarang bisa diperlakukan sebagai individu maupun sebagai suatu sistem. Dengan demikian kita dapat menekankan penelitian pada Pramoedya Ananta Toer, SH. Mintardja, Seno Gumira Adjidarmo, R. Ng. Ranggawarsita, saja atau kepada sistem pengarang yang ada di Indonesia dengan memasalahkan, kelompok umur, tingkat pendidikan, kecenderungan ideologi, agama, dar lain-lain.

Kedua, sosiologi sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri; yang menjadi pokok penelaahan adalah apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Hal ini dapat saya kategorikan sosiologi sastra tekstual. Dalam hal ini kita bisa memusatkan perhatian pada sebuah teks sastra atau beberapa karya. Karya tersebut dikaji dari sisi kemasyarakatan yang mengitarinya. Klasifikasi semacam ini, akan menemukan aneka macam teks sosial sastra. Teks dipandang sebagai refleksi historis dan dunia sekitar. Teks sastra merupakan sebuah dokumen.

Ketiga, sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sasta. Sastra ditulis untuk dibaca. Pembaca karya sastra berasal dari bermacam-macam golongan, kelompok, agama, pendidikan, umur, dan sebagainya. Hal ini tergolong sosiologi sastra pragmatik. Pertanyaan penelitian bisa diajukan terhadap pengaruh karya sastra itu terhadap sekelompok pembaca, dan jika pengaruh itu dianggap buruk oleh masyarakat umum atau pemerintah, misalnya, bisa saja karya sastra itu dilarang beredar. Wiji Tukul, Emha Ainun Nadjib, Any

Asmara termasuk sastrawan yang karya-karya dapat mempengaruhi pembaca, hingga ada beberapa yang dilarang beredar. Karya sastra panglipur wuyung dan yang memuat revolusi serta pornografi, pernah dilarang di era tahun 1960-an.

Klasifikasi tersebut di atas tidak banyak berbeda dengan bagan yang dibuat oleh Ian Watt (1964) dalam eseinya yang berjudul Lireralure and Society. Esei itu membicarakan hubungan timbal-balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat seperti berikut ini. Ketiga hal itu merupakan kutub-kutub sastra. Ketiga kutup itu yang akan mewarnai konteks data. Setiap data akan menuangkan konteks yang berbeda- beda, tergantung penafsiran.

Pertama, konteks sosial pengarang. Ini ada hubungannya dengan kehidupan msyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam pokok ini termasuk juga faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi si pengarang di samping mempengaruhi isi karya sastranya terutama bagaimana pengarang mendapatkan mata pencahariannya. Apakah ia menerima bantuan dari pengayom atau patron, atau dari masyarakat secara langsung, atau dari kerja rangkap; profesionalisme dalam kepengarangan; sejauh mana pengarang itu menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi, dan hubungan antara pengarang dan masyarakat dalam hal ini sangat penting, sebab sering didapati bahwa macam masyarakat yang dituju itu menentukan bentuk dan isi karya sastra.

Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat, sampai sejauh mana sastra dapat dianggap mencerminkan keadaan masyarakat. Pengertian "cermin" di sini sangat kabur, dan oleh karenanya banyak disalahtafsirkan dan disalahgunakan. Yang terutama yang perlu mendanat perhatian adalah (a) Sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis, sebab banyak ciri-ciri masyarakat yang ditampilkan dalam karya sastra itu sudah ;idak berlaku lagi pada waktu ia ditulis; (b) Sifat "lain dari yang lain" seorang pengarang sering mem- pengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karjanya; (c) Genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh masyarakat; (d) Sastra yang berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya mungkin saja tidak bisa dipercaya sebagai cermin masyarakat. Demikian juga sebaliknya, karya yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat secara teliti barangkali masih dapat dipergunakan sebagai bahan untuk mengethui keadaan masyarakat. Pandangan sosial pengarang harus diperhitungkan apabila kita menilai karya sastra sebagai cermin masyarakat.

Ketiga, fungsi sosial sastra. Di sini kita terlibat dalam sejumlah pertanyaan- pertanyaan, seperti (1) Sampai seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial? dan (2) Sampai berapa jauh nilai sastra dipengaruhi nilai sosial? Dalam hubungan ini, ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu: (a) sudut pandangan ekstrim kaum Romantik, misalnya, menganggap bahwa sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi; dalam anggapan ini tercakup juga pendirian bahwa sastra harus berfungsi sebagai pembaharu dan perombak; (b) dari sudut lain dikatakan bahwa sastra bertugas sebagai penghibur belaka; dalam hal ini, gagasan "seni untuk seni" tak ada bedanya dengan praktek melariskan dagangan untuk meneapai best seller, dan (c) semacam kompromi dapat dicapai dengan meminjam sebuah slogan klasik: sastra harus mengajarkan sesuatu dengan semangat sosial. Karya sastra tidak dapat dipahami secara selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkan. Sastra harus dipelajari dalam konteks yang seluas-luasnya, dan tidak hanya dirinya sendiri. Setiap karya sasta adalah hasil dari pengaruh timbal-

balik yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural, dan karya sastra itu sendiri merupakan obyek budaya yang rumit. Tak ada karya sastra besar yang diciptakan berdasarkan gagasan sepele dan dangkal; dalam pengertian ini sastra adalah kegiatan pang sungguh-sungguh. Setiap karya sastra yang bias bertahan lama pada hakikatnya adalah monumental, baik dalam hubungannya dengan ke- budayaan sumbernya maupun dalam hubungannya dengan orang-seorang. Karya sastra bukan merupakan moral dalam konsep yang sempit, yakni yang sesuai dengan suatu kode dan sistem tindak-tanduk tertentu, melainkan dalam pengertian bahwa terlibat dalam kehidupan dan menampilkan tanggapan evaluatif terhadapnya. Dengan demikian sastra adalah gambaran sistem moral masyarakatnya.

Masyarakat dapat mendekati karya sastra dari dua arah: pertama, sebagai suatu kekuatan atau faktor manusia. Yang memiliki keistimewaan, dan kedua, kecenderungan spiritual maupun kultural yang bersifat kolektif. Bentuk dan isi karya dengan demikian dapat menawarkan perkembangan sosiologis, atau menunjukkan h a l - h a l halus dalam watak kultural. Kritik sastra seharusnya lebih dari sekedar perenungan estetis yang tanpa pamrih; ia harus melibatkan diri dalam suatu tujuan tertentu. Kritik adalah kejutan pnting yang harus mampu memahami sastra tidak dengan cara mendikte sastrawan atau memilih tema tertentu, misalnya, melainkan dengan menciptakan iklim tertentu yang bermanfaat bagi penciptaan sastra besar.

Kritikus bertanggung jawab baik kepada sastra masa silam maupun sastra masa datang. Dari sumber sastra yang sangat luas itu kritikus harus memilih yang sesuai untuk masa kini. Perhatiannya bukanlah seperti pengumpul benda- benda kuno yang kerjanya hanya menyusun kembali, tetapi memberi penafsiran seperti yang dibutuhkan oleh masa kini. Setiap generasi membutuhkan pilihan yang berbeda-beda, tugas kritikus untuk menggali masa lalu tak ada habisnya.

Atas dasar hal tersebut, klasifikasi data memang tidak boleh ditinggalkan oleh seorang peneliti. Klasifikasi yang baik, tentu dilakukan secara cermat, dengan model gunting lipat, pindah ke sana kemari, tergantung pemaknaan kita. Data yang berserakan itu ditata, diklasifikasi, dimaknai, dan dilacak indikatornya secara jelas. Kalau perlu, klasifikasi data didahului dengan terjemahan, pemaknaan. Pemaknaan dengan mengedepankan tafsiran terbuka, cair, lentur, dan total. Tafsiran akan menghubungkan sastra dan masyarakat, sebagaimana dinyatakan Wiyono (1974:4) sastra dapat menjadi alat pendidikan agama, dan selanjutnya juga menjadi alat pendidikan moral. Moral adalah bagian hidup bermasyarakat. Pahlawan rakyat dan tokoh-tokoh sering membawa pesan ajaran moral.

Dalam dokumen Bahan Kuliah Sosiologi Sastra 0 (Halaman 72-74)