• Tidak ada hasil yang ditemukan

1) Prodi Peternakan Faperta Universitas Tanjungpura a) duta.setiawan@faperta.untan.ac.id

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kecernaan sapi PO yang diberi pakan menggunaan tepung sagu afkir untuk menggantikan tepung jagung. Bahan pakan dalam penelitian ini adalah dua belas ekor sapi PO dibagi dalam empat macam perlakuan dan tiga ulangan, setiap ulangan terdiri dari satu ekor sapi PO. Pakan yang digunakan terdiri dari 60% hijauan berupa rumput lapang dan 40% konsentrat yang terdiri dari bekatul, tepung jagung, bungkil sawit, tepung sagu afkir, tetes, garam, mineral dan urea. Perlakuan yang diberikan adalah P0 (tepung jagung 25%, tepung sagu afkir 0% dari total konsentrat), P1 (tepung jagung 15%, tepung sagu afkir 10% dari total konsentrat), P2 (tepung jagung 5%, tepung sagu afkir 20% dari total konsentrat) dan P3 (tepung jagung 0 %, tepung sagu afkir 25% dari total konsentrat). Parameter yang diamati adalah konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata dari keempat perlakuan yaitu P0, P1, P2 dan P3 berturut-turut untuk konsumsi pakan adalah sebesar 4,76; 4,52; 4,58 dan 3, 97 kg/ekor/hari, pertambahan bobot badan 0,79; 0,72; 0,78 dan 0,58, kecernaan bahan kering ransum sebesar 55,20; 53,84; 54,47 and 51,81 dan kecernaan bahan organik ransum sebesar 59,73; 59,64; 60,35 and 57,92. Kesimpulan yang didapat adalah penggunaan tepung sagu afkir untuk menggantikan tepung jagung hingga tingkat 25% dalam konsentrat tidak berpengaruh terhadap kecernaan sapi PO.

Kata kunci : Sapi PO, tepung sagu afkir, konsumsi, kecernaan

Abstract

The purpose of this research are to determine the effects of substitution on corn meal by sago flour reject in ration up to digestibility local cattle and to determine the level of it substitution. This research used twelve local cattle that was devided into four treatments and three replications, which each replication consisted of one local cattle. Ration consisted of 60% native grass and 40% concentrate, that consisted of rice brand, corn meal, palm cake, reject sago flour, molasses, salt, mineral, and urea. The treatments given were P0 (25% corn meal, 0% reject sago flour from total concentrate), P1 (15% corn meal, 10% reject sago flour from total concentrate), P2 (5% corn meal, 20% reject sago flour, from total concentrate) and P3 (0% corn meal, 25% reject sago flour, from total concentrate). The perceived variables were , feed consumption, daily body weight gain, dry matter digesbility and organic matter digesbility. The results showed that the average of the four treatments, namely P0, P1, P2 and P3 respectively for the feed consumption is equal to 4,76; 4,52; 4,58 and 3,97 kg/head/day, body weight gain of 0,79; 0,72; 0,78 and 0,58, dry matter digesbility of 55,20; 53,84; 54,47 and 51,81 and organic matter digesbility 59,73; 59,64; 60,35 and 57,92. The concluded that substitution on corn meal with reject sago flour until 25% in the concentrate levels did not significant affect the digestibility of local cattle.

170 Pendahuluan

Propinsi Kalimantan Barat merupakan salah satu daerah pengembangan sapi, terus berupaya meningkatan populasi dan produksi ternak sapi melalui upaya khusus sapi indukan wajib bunting (UPSUS SIWAB) di berbagai kabupaten yang ada dengan tujuan untuk mewujudkan kemandirian pangan asal hewan, perlu dilakukan usaha untuk mengantisipasi permintaan produk ternak ruminansia yang terus meningkat setiap tahunnya. Salah satu ternak yang dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan daging tersebut adalah ternak sapi. Produktifitas ternak, khususnya ternak ruminansia sangat dipengaruhi oleh faktor pakan baik kualitas maupun kuantitasnya. Namun kenyataan dilapangan sapi yang ada di Kalimantan Barat banyak yang memiliki body condition score (BCS) yang kurus berkisar 2-3 ini bisa dipastikan akan mengalami kekurangan nutrien, baik untuk hidup pokok maupun produksi. Menurut Santoso, (2001) pada bisnis penggemukan sapi potong, biaya pakan dapat mencapai 70-80 % dari biaya produksi sehingga dalam pemberiannya harus mempertimbangkan ketersediaan, kecukupan gizi dan murah harganya.

Perlu melakukan terobosan baru untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal dari usaha penggemukan ternak sapi potong, diperlukan upaya untuk menekan biaya pakan. Salah satu cara yang dilakukan yakni mencari terobosan baru dengan memanfaatkan bahan- bahan pakan yang belum lazim digunakan yang berasal dari limbah pertanian maupun limbah industri pengolahan hasil- hasil pertanian. Zakiatulyaqin (2016) mengatakan pemanfaatan sumber daya lokal secara optimal merupakan langkah strategis dalam upaya mencapai efisiensi usaha produksi ternak ruminansia di Indonesia. Kalimantan Barat memiliki perkebunan sagu yang sangat luas dan menghasilkan limbah sagu yang belum termanfaatkan secara optimal untuk pakan ternak. Haryanto dan Pangloli (1992), bahwa sagu dapat digunakan sebagai pakan ternak yang diberikan secara langsung maupun dapat digunakan sebagai bahan pencampur dalam industri pakan ternak seperti ayam, bebek, itik, babi, dan ternak ruminansia untuk menggantikan tepung jagung dan serealia lainnya. Sedangkan menurut Martaguri (2011) sagu yang mempunyai kadar serat lebih dari 12% sangat cocok untuk pakan ruminansia. Salah satu bahan yang digunakan adalah tepung sagu yang sudah tidak layak dimakan manusia, yaitu tepung sagu yang agak berwarna hitam atau biasa disebut tepung sagu afkir.

Tepung sagu afkir adalah tepung sagu yang bila dilihat dari bentuk fisik dan kualitasnya kurang baik, sehingga tidak layak dikonsumsi oleh manusia. Namun kandungan energinya sangat tinggi yaitu 95,12%, bahkan lebih tinggi dari energi tepung jagung (77,74). Dengan demikian, tepung sagu afkir ini masih dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak. Pemberian pakan pada sapi, yang harus diperhatikan selain kuantitas pakan adalah kualitas dari pakan yang diberikan. Bila sapi diberi pakan sesuai dengan kebutuhannya dengan kualitas yang baik maka produktivitasnya akan tinggi pula. Kualitas pakan ditentukan oleh kandungan nutrien dan kecernaannya. Nutrien yang terdapat dalam pakan dapat dimanfaatkan oleh tubuh ternak untuk proses-proses fisiologis ternak tersebut. Sedangkan kecernaan yang baik mengindikasikan bahwa pakan tersebut mudah dicerna menghasilkan zat-zat makanan yang mudah diserap oleh tubuh. Berdasarkan alasan di atas, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui kecernaan sapi PO yang mengkonsumsi tepung sagu afkir sebagai pakan ternak. Materi Dan Metode

Materi Penelitian

Materi dalam Penelitian ini penggunaan tepung sagu afkir untuk menggantikan tepung jagung dalam ransum ini menggunakan ternak sapi PO sebanyak dua belas ekor berumur 2 tahun dengan bobot rata-rata 164,60±26,02 kg. Peralatan yang digunakan antara lain kandang individu berukuran 2x1 m2. Penyusun bahan pakan yang digunakan dalam ransum percobaan terdiri dari rumput lapang, konsentrat menggunakan campuran bahan seperti tepung sagu afkir, jagung kuning, bungkil kelapa, dedak padi, tetes, garam dan premik.

171 Metode Penelitian

Ternak yang digunakan sapi Peranakan Ongole (PO) sebanyak 12 ekor dibagi menjadi 3 kelompok dan masing-masing kelompok akan mendapatkan 4 perlakuan ransum secara acak, keempat perlakuan ransum tersebut adalah: P0= rumput lapang dan pakan konsentrat dengan kandungan tepung sagu afkir 0 % dan tepung jagung 35% (kontrol); P1= rumput lapang dan pakan konsentrat dengan kandungan tepung sagu afkir 10 % dan tepung jagung 25%; P2= rumput lapang dan pakan konsentrat dengan kandungan tepung sagu afkir 25 % dan tepung jagung 10%; P3= rumput lapang dan pakan konsentrat dengan kandungan tepung sagu afkir 35 % dan tepung jagung 0%. Pemeliharaan ternak sapi PO dilakukan dalam kandang individu selama 3 bulan. Masa adaptasi pakan (preliminary) penelitian ini dua minggu pertama dan pada minggu ketiga sampai minggu ke dua belas dilakukan pengamatan. Pemberian pakan 2.5-3% dari bobot badan dilakukan dua kali sehari pada pagi hari pukul 07.00-08.00 WIB dan pada sore hari pada pukul 16.00-17.00 WIB. Pakan diberikan dengan cara dicampur antara konsentrat dengan rumput lapang, sedangkan air minum diberikan secara ad libitum. Pakan terlebih dahulu ditimbang sebelum diberikan, dan sisa pakan yang tidak terkonsumsi juga ditimbang perhari. Penimbangan bobot badan ternak dilakukan setiap bulan.

Parameter pada penelitian yang diamati adalah konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik. Data yang diperoleh dianalisis dengan Sidik Ragam (ANOVA) dan apabila terdapat perbedaan dilanjutkan dengan uji Duncan (Mattjik dan Sumertajaya, 2002).

Hasil dan Pembahasan

Konsumsi Pakan

Rata-rata konsumsi pakan pada sapi P0, P1, P2 dan P3 berturut-turut adalah 4,76 kg; 4,52kg; 4,58 kg, dan 3,97 kg. Hasil analisis variansi terhadap konsumsi pakan (BK) menunjukkan hasil berbeda tidak nyata, artinya bahwa substitusi tepung jagung dengan tepung sagu afkir sampai tingkat 35% dalam konsentrat tidak berpengaruh terhadap konsumsi pakan sapi PO. Hal ini diperkirakan karena secara fisik tepung sagu afkir yang digunakan mempunyai tekstur yang halus dan tidak begitu beraroma sehingga setelah bercampur dengan bahan konsentrat lain akan menyatu dengan bau dan tekstur yang sama dengan pakan yang tanpa tepung sagu afkir (pakan kontrol). Selain itu dari segi kualitasnya tepung sagu afkir mempunyai kandungan TDN yang lebih tinggi dari pada jagung yaitu sebesar 88,21%. Tetapi proteinnya sangat rendah. Hal ini mengakibatkan protein tepung sagu afkir hampir masih di bawah protein tepung jagung. Karena alasan tersebut maka pakan perlakuan yang menggunakan tepung sagu afkir akan memberikan tingkat palatabilitas yang sama dengan pakan kontrol. Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi pakan adalah palatabilitas. Kartadisastra (1997) mengatakan bahwa palatabilitas pakan dicerminkan oleh organoleptiknya seperti kenampakan, bau, rasa, dan teksturnya.

Kisaran persentase konsumsi bahan kering yaitu antara 2,2 - 2,4% dari bobot badan. Nilai ini masih dalam kisaran standar konsumsi bahan kering sapi yaitu antara 2,2% sampai 4% dari bobot badan (NRC, 2000). Tingkat konsumsi pakan dipengaruhi oleh kualitas ransum yang dapat dilihat dari kandungan nutriennya. Menurut Kamal (1997), bahwa tinggi rendahnya kandungan energi dalam pakan berpengaruh terhadap banyak sedikitnya konsumsi pakan. Kandungan Total Digestible Nutrien (TDN) tepung sagu afkir sebesar 83,21% lebih tinggi dari pada tepung jagung yaitu sebesar 66,41%, akan tetapi kandungan energi pada ransum keempat perlakuan masih berada dalam kisaran yang relatif sama. Hal inilah yang menyebabkan tingkat konsumsi pakan yang sama.

Selain itu tingkat konsumsi juga dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor diantaranya yaitu dari hewan itu sendiri (bobot badan, jenis kelamin, umur, faktor genetik, dan tipe bangsa sapi), makanan yang diberikan, dan lingkungan tempat hewan tersebut dipelihara (McDonal et al., 2011). Faktor ternak dan kondisi lingkungan kandang penelitian yang relatif sama.

172 Pertambahan Bobot Badan

Hasil analisis Anova pada penelitian menunjukkan bahwa perlakuan tidak berbeda nyata terhadap pertambahan bobot badan (P>0,05). Hal ini dikarenakan pemberian ransum pada setiap perlakuan memiliki kandungan protein yang masih sesuai standar persyaratan mutu konsentrat yang ditetapkan dalam SNI untuk sapi penggemukan kandungan PK minimal 12% sehingga menghasil-kan pertambahan bobot badan yang tidak berbeda nyata (NRC, 2000). Pertambahan bobot badan yang diperoleh pada penelitian ini berkisar 0,59-0,79 kg/ekor/hari. Hasil ini masih dibawah laporan Setiawan et al. (2016) bahwa sapi PO jantan yang diberi Perlakuan Pakan yang Mengandung Tepung Daun Murbei Sebagai Pengganti Konsentrat mampu mencapai pertambahan bobot badan sebesar 0,73-1,00 kg. Kebutuhan BK dan kebutuhan hidup pokok semakin meningkat seiring dengan meningkatnya bobot hidup ternak (Parakkasi 1999) sehingga jumlah nutrien yang tersisa untuk pertumbuhan pada sapi penelitian relatif sama. Rataan pertambahan bobot badan sapi PO pada penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Konsumsi dan Pertambahan Bobot Badan (PBB) Sapi PO dengan Perlakuan Pakan Tepung Sagu Afkir sebagai Pengganti Tepung Jagung dalam Ransum.

Kecernaan Bahan Kering

Kecernaan bahan kering ransum pada sapi PO yang diberi pakan tepung sagu afkir sebagai pengganti tepung jagung dalam ransum disajikan pada tabel 1. Rataan kecernaan bahan kering sapi PO selama penelitian tidak berbeda nyata dengan nilai terendah sampai tertinggi berturut- turut sebagai berikut P0, P2, P1dan P3 adalah 55,20%; 54,47%; 53,84% dan 51,81%. Hasil ANOVA menunjukan bahwa penggunaan tepung sagu afkir dalam ransum pada level 0%, 10% , 25% dan 35% berpengaruh tidak nyata terhadap kecernaan bahan kering. Kecernaan bahan kering yang sama pada penelitian karena sapi PO mengkonsumsi bahan kering dari keempat perlakuan juga berbeda tidak nyata. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa kecernaan bahan kering ber-hubungan linier dengan tingkat konsumsinya. Banyak sedikitnya tingkat konsumsi pakan sangat berpengaruh terhadap kecernaan bahan kering dan bahan organik.

Kecernaan bahan kering dalam rasnum dipengaruhi oleh jumlah pakan yang dikonsumsi, konsumsi yang hampir sama menyebabkan aliran digesta pakan juga hampir sama. Sedangkan aliran digesta berhubungan dengan lama waktu yang digunakan mikroba untuk mendegradasi bahan pakan. Semakin cepat aliran digesta dari bahan pakan maka waktu yang digunakan mikroba untuk mendegradasi bahan

4,76 4,52 4,58 3,97 0,79 0,72 0,78 0,59 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 5 P0 P1 P2 P3 K ILO G R AM PERLAKUAN Konsumsi Pakan PBB

173 pakan semakin berkurang, sehingga daya cerna menjadi semakin menurun atau sebaliknya. Hal ini senada dengan pendapat Soeparno (2011) bahwa kecepatan aliran digesta dapat mengurangi pencernaan dalam rumen dan menurunkan daya cerna.

Tabel 1. Rataan Hasil Penelitian Kecernaan Bahan Kering dan Kecernaan Bahan Organik Sapi PO dengan Perlakuan Pakan Tepung Sagu Afkir sebagai Pengganti Tepung Jagung dalam Ransum Perlakuan Kecernaan Bahan

Kering Kecernaan Bahan Organik P0 55,20±0,51 59,73±0,72 P1 53,84±0,08 59,64±0,33 P2 54,47±0,04 60,35±0,84 P3 51,81±0,48 57,92±0,62 Keterangan:

P0= rumput lapang dan pakan konsentrat dengan kandungan tepung sagu afkir 0 % dan tepung jagung 35% P1= rumput lapang dan pakan konsentrat dengan kandungan tepung sagu afkir 10 % dan tepung jagung 25% P2= rumput lapang dan pakan konsentrat dengan kandungan tepung sagu afkir 25 % dan tepung jagung 10% P3= rumput lapang dan pakan konsentrat dengan kandungan tepung sagu afkir 35 % dan tepung jagung 0%

Kecernaan Bahan Organik

Kecernaan bahan organik pada sapi PO yang diberi pakan tepung sagu afkir sebagai pengganti tepung jagung dalam ransum disajikan pada tabel 1. Rataan kecernaan bahan organik sapi PO jantan selama penelitian dari nilai tertinggi hingga terendah berturut-turut dari P2, P0, P1, dan P3 adalah 60,35%; 59,73%; 59,64 dan 57,92%. Hasil anova menunjukan bahwa penggunaan tepung sagu afkir dalam ransum pada level 0%, 10%, 25% dan 35% berpengaruh tidak nyata terhadap kecernaan bahan organik. Hal ini disebabkan karena tepung sagu afkir merupakan karbohidrat mudah larut, mudah dimanfaatkan oleh mikrobia rumen untuk difermentasi menjadi asam lemak terbang (VFA). Hasilnya dapat dimanfaatkan untuk penyediaan energi bagi mikrobia rumen, karena mikrobia rumen selain membutuhkan N juga membutuhkan energi untuk sintesis protein mikrobia. Sintesis mikrobia di dalam rumen membutuhkan suplay nitrogen dan energi yang berasal dari karbohidrat mudah larut. Selain itu sinkronisasi penyediaan sumber N dan energi dapat mendukung sintesis protein mikrobia.

Pakan sapi pada penelitian ini mengandung sejumlah karbohidrat yang berupa selulosa, hemiselulosa, pati, dan karbohidrat lain yang mudah larut. Hasil akhir dari proses fermentasi karbohidrat adalah asam lemak terbang (VFA) yang merupakan sumber rantai karbon (Kamal, 1994). Interaksi ammonia dengan asam lemak terbang digunakan untuk sintesa asam-asam amino dengan tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan mikrobia rumen. Meningkatnya mikrobia rumen terutama bakteri selulolitik akan meningkatkan kecernaan pakan terutama pakan serat.

Konsumsi bahan organik antar perlakuan yang mengandung tepung sagu afkir berbeda tidak nyata, hal ini juga menyebabkan kecernaan bahan organik berbeda tidak nyata. Kecernaan bahan organik mempunyai korelasi positif dengan konsumsi bahan organik. Hal ini sesuai dengan pendapat McDonald

et al (2010), bahwa kecernaan bahan organik berhubungan linier dengan konsumsi bahan organiknya.

Tingkat konsumsi pakan akan berpengaruh terhadap kecernaan bahan kering dan bahan organiknya. Kecernaan bahan organik menggambarkan ketersediaan zat gizi dari pakan, dengan meningkatnya jumlah mikrobia maka semakin banyak nutrien pakan yang tersedia bagi ternak. Mikroba rumen memfermentasi pakan sehingga mampu mencerna sejumlah besar hijauan maupun pakan kasar lainnya. Kesimpulan

Berdasarkan hasil anova dan pembahasan pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan tepung sagu afkir dalam ransum pada perlakuan P0 (0%), P1(10%), P2 (25%) dan P3 (35%) tidak berpengaruh nyata terhadap kecernaan sapi Peranakan Ongole.

174 Daftar Pustaka

Anggorodi R. 1999. Ilmu Peternakan Umum. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Haryanto, B. dan P, Pangloli., 1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius. Jakarta

Kamal, M., 1994. Nutrisi Ternak I. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Muda. Yogyakarta. Khalil, MN Lestari, and Hermon.2015. The Use of Local Mineral Formulas as a Feed Block Supplement

for Beef Cattle Fed on Wild Forages. Journal Med Pet Vol 38 (1): 34-41

Martaguri, I., Mirnawati dan H. Muis. 2011. Peningkatan Kualitas Ampas Sagu Melalui Fermentasi Sebagai Bahan Pakan Ternak. Jurnal Peternakan Vol 8 (1): 38-43

Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Jilid I. Edisi ke-2. Bogor: Institut Pertanian Bogor (IPB)-Press.

McDonald, P., Edwards, R., Greenhalgh, J. 2010. Animal Nutrition. 7th Ed. New York.

NRC, 2000. Nutrient Requirements of Beef Cattle. 7th Revised Edition. National Academy of Science. Washington DC.

Setiawan, D. 2012. Performa Sapi Peranakan Ongole yang diberi Pakan Tepung Daun Murbei dengan Kombinasi Konsentrat yang Berbeda. Tesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Setiawan, D dan H. Nuraini. 2016. Penampilan Produksi Sapi Peranakan Ongole yang Diberi Pakan Konsentrat yang Mengandung Tepung Daun Murbei. Jurnal Agripet Vol 16 (1): 16-22.

Zakiatulyaqin, I Suswanto, RB Lesatari, dan A Mulyadi. 2016. Pengembangan Pakan Ternak berbasis Limbah Sawit. Laporan Akhir MP3EI. Pontianak. Indonesia.

175

Peran dan curahan waktu kerja wanita dalam meningkatkan Produksi sapi

Garis besar

Dokumen terkait