• Tidak ada hasil yang ditemukan

Variasi Metode Separasi Spermatozoa Serta Gen-Gen Penentu Jenis Kelamin Ternak Mammalia: Pengetahuan Dasar untuk Aplikasi Yang Efektif dan Efisien

Avicenna, M. F.

1,a)

, Widodo

2,b)

dan S.D. Rasad

3,c)

1 Mahasiswa Magister Bioteknologi, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada 2 Dosen Program Studi Magister Bioteknologi, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada 3 Dosen Reproduksi Ternak, Departemen Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran

a) fahmyavicenna@gmail.com; b)widodohs@ugm.ac.id; c)d447je.sdr@gmail.com

Abstrak

Pada Industri peternakan, metode bioteknologi terbaru akan menjadi suatu poin penting untuk dapat diaplikasikan dan memenuhi kebutuhan produksi yang efektif dan efisien. Salah satu penerapan bioteknologi yang saat ini digunakan dalam memenuhi kebutuhan populasi ternak adalah penerapan metode separasi spermatozoa. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan suatu jenis kelamin ternak yang dikehendaki untuk stok hewan dimasa yang akan datang. Terdapat beberapa metode separasi kromosom pada spermatozoa, yakni mengunakan metode Gradien Percoll, metode kolom Bovine Serum Albumin (BSA), dan flowcytometry yang masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan. Oleh karenanya, dibutuhkan suatu langkah yang dilakukan untuk mengetahui keakuratan metode yang telah dilakukan, yakni dengan cara identifikasi/verifikasi secara molekuler. Integrasi gen-gen yang mempengaruhi komposisi kromosom X atau Y pada spermatozoa yang telah diseparasi. Terdapat beberapa gen-gen yangbereran penting dalam penentuan jenis kelamin pada ternak, yakni untuk ternak Jantan meliputi gen Sry dan Amely, sedangkan untuk ternak betina yakni Foxl2 dan Amelx. Pada studi literatur ini, akan diidentifikasi jenis-jenis metode separasi spermatozoa dan gen-gen penentu jenis kelamin pada hewan ternak Ruminansia.

Abstract

In Livestock industries, newest biotechnological methods will be as the most important applicable point in effectiveness and efficiency of animal production. One of biotechnological methods that suitable within the livestock population needs is spermatozoa separation. Application of this method is to determine the animal offspring pre-pregnancy that suitable with the industry need, as the animal stock in the future. These are some methods in sperm separation, such as Percoll gradient method, Bovine Serum Albumin (BSA) column method, and flowcytometry that have some strength and weak points of each other. Because of that factors, we need to know, how to identify the accuracy of those methods. Molecular verification is the way to knowing and solve the problem. Integration of genes in spermatozoa affects the X and Y sperm development. There are contains some genes that involved in X and Y Sperm development, such as Sry and Amely for male/ Y-chromosome sex development and Foxl2 and Amelx for female/ X-chromosome sex development, respectively. In this review, we describe of those sperm separation methods and the sex-development genes in livestock ruminants.

Keywords: Livestock Ruminants, Sperm Separation Methods, Genes Variation.

Pendahuluan

Teknologi reproduksi berbantuan saat ini semakin berkembang di dunia medis dan industri, khususnya pada industry peternakan. Beberapa contoh dari teknologi reproduksi berbantuan yakni seperti In vitro

101 (ET), Inseminasi Buatan (IB) dan yang saat ini sedang banyak dilakukan penelitian dan aplikasinya adalah seleksi atau separasi spermatozoa X dan Y. Hal ini didasari dengan kebutuhan populasi ternak

offspring (anakan) yang jenis kelaminnya tidak dapat diduga sehingga stok ternak anakan tidak sesuai

dengan kebutuhan. Oleh karenanya, metode separasi spermatozoa X dan Y dapat menjadi sebuah solusi bagi peternak untuk mendapatkan hewan anakannya yang sesuai dengan kebutuhan, misalnya peternak sapi perah banyak membutuhkan anakan betina yang lebih banyak disbanding dengan anakan jantan untuk digunakan sebagai stok ternak perah dimasa yang akan datang.

Di sisi lain, selain dari separasi spermatozoa yang menjadi salah satu teknologi yang sangat diper-hitungkan, para Ilmuwan melakukan penelitian terkait dengan kromosom X dan Y pada spermatozoa dengan mengidentifikasi gen-gen yang berperan penting dalam penentuan kromosom X dan Y. Terdapat gen-gen yang terkandung didalam spermatozoa sehingga gen penentu jenis kelamin sangat penting untuk diketahui sehingga dapat dijadikan sebagai biomarker.

Metode Separasi Spermatozoa

Terdapat beberapa metode separasi spermatozoa yang banyak dilakukan oleh para peneliti untuk mendapatkan sperma X maupun Y secara efektif dan efisien dari segi waktu pengerjaannya, nilai ekonomis dari suatu metode yang digunakan sampai dengan kualitas terbaik pada spermatozoa hasil separasi. Metode-metode separasi spermatozoa yang banyak digunakan oleh peneliti yakni metode

Swim-up, metode gradient Percoll, kolom Bovine Serum Albumin (BSA), dan yang terkini adalah

metode Flowcytometry. Selain dari separasi sperma X dan Y, metode-metode tersebut dapat memisahkan sperma motil dan immotil sehingga nilai motilitas dari spermatozoa dapat meningkat.

Metode Swim-up

Menurut Arias et al. (2017), metode Swim-up merupakan suatu metode yang digunakan untuk memisahkan spermatozoa X dan Y dengan metode yang cukup mudah dan menghasilkan spermatozoa yang motil dalam jumlah banyak untuk menjaga fungsi spermatozoa dan mengurangi efek dari Reactive

Oxygen Species (ROS) atau yang lebih dikenal dengan radikal bebas yang dapat mempengaruhi

spermatozoa tersebut maupun bagi lingkungan. Metode Swim-up ternyata metode separasi paling tua namun memiliki tahapan yang mudah dan lebih murah untuk digunakan dalam fertilisasi In Vitro (IVF) pada manusia maupun hewan. Berdasarkan pada perpindahan sperma dari dasar/bentuk pellet ke posisi paling atas pada supernatant. Selain itu, sperma hasil separasi menggunakan metode Swim-up memiliki tingkat abnormalitas yang rendah. Hal ini didasari tidak adanya senyawa lain yang dapat merusak morfologi spermatozoa. Tingkat kromatin spermatozoa yang terkondensasi pun menurun dengan metode swim-up (Henkell et. al., 1994; Arias et. al., 2017). Kondensasi spermatozoa terjadi setelah spermatozoa keluar dari bagian caput epididymis dan terjadi transit pada cauda epidydimis (ketika terjadi pembentukan ikatan disulfide). Bentuk ikatan disulfida membutuhkan kofaktor oksidasi, yakni NADPH (Chapman and Michael, 2003).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Lucio et. al. (2012) mengenai pengujian/perbandingan penggunaan metode Swim-up dengan metode gradient Percoll yakni sebagai berikut:

Tabel 1. Rata-rata Membran dan Integritas Akrosom pada Perlakuan Seleksi Spermatozoa X

Perlakuan Kondisi Spermatozoa

LWI LWA DWI DWA

Kontrol 9.25 52.00 6.38 32.38

Swim-up termodifikasi 9.75 59.25 3.25 23.88

Gradien densitas 7.00 71.87 1.65 20.00

Swim-up termodifikasi

dengan gradient densitas 6.38 79.37 0.63 17.88

Keterangan: LWI (Live With Intact Acrosome), LWA (Live Without Acrosome), DWI (Dead with Intact

Acrosome), DWA (Dead Without Acrosome), Lucio et. al. (2012)

Hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa spermatozoa yang hidup dengan akrosom utuh paling tinggi adalah dengan metode Swim-up termodifikasi. Tudung akrosom mengandung enzim hialuronidase yang

102 berfungsi untuk melindungi inti sperma dan integritas DNA yang akan berpengaruh dalam pross fertilisasi pada sel telur.

Tabel 2. Rasio Jenis Kelamin Analisis PCR In vitro setelah Separasi Spermatozoa dan Analisis PCR

Perlakuan Jumlah Embryo Jantan Betina

n (%) n (%)

Kontrol 427 54.80 (234) 45.20 (193)

Swim-up termodifikasi 76 38.20 (29) 61.80 (47)

Gradien densitas 89 40.60 (36) 59.40 (53)

Swim-up termodifikasi dengan

gradient densitas 71 39.40 (28) 60.60 (43)

Total Embryo yang di-sexing

menggunakan PCR 663

Lucio et. al. (2012)

Rasio jenis kelamin yang dihasilkan dengan persentase tinggi setelah diberi perlakuan yakni berasal dari spermatozoa yang diberi perlakuan gradient densitas untuk jenis kelamin jantan, sedangkan berdasarkan metode Swim-up, jumlah offspring betina lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa dengan metode gradient densitas dapat digunakan untuk pemilihan sperma dengan kromosom X karena dengan metode sentrifugasi pada layer yang dibuat dengan konsentrasi yang berbeda, berat molekul dari sperma dapat terlihat sehingga dengan begitu, spermatozoa X didapatkan pada fraksi bawah pada layer, sedangkan fraksi atas pada metode ini terdapat kromosom Y yang bercampur dengan spermatozoa yang telah mati karena tidak tahan terhadap perlakuan, baik dari media separasi maupun dari efek sentrifugasi.

Metode Gradien Percoll

Beberapa penelitian menggunakan metode gradient Percoll untuk separasi spermatozoa X dan Y. Menurut Pertoft (2000), saat ini sentrifugasi merupakan suatu metode yang paling banyak digunakan untuk isolasi dan separasi pada sel. Metode sentrifugasi ini menggunakan prinsip atas perbedaan massa jenis atau densitas dari suatu jenis sel sehingga dapat dipisahkan. Salah satu metode yang menggunakan prinsip dari sentrifugasi adalah metode gradient Percoll. Berdasarkan keterangan GE Healthcare Company (2007), Percoll merupakan suatu media yang digunakan untuk separasi sel dengan komposisi berupa lapisan silica nondialyzable polyvinylpyrrolidone (PVP) dengan densitas 1.130 ± 0.005 g/ml dengan konduktivitas 1.0 mS/cm, Osmolalitas <25 mOsm/kg H2O , viskositas 10 ± 5 cP pada suhu 20 oC, dan pH 9.0 ±0.5 pada suhu 20 oC serta bersifat non-toksik.

Terdapat kelemahan dari penggunaan Percoll sebagai media separasi, yakni mengandung efek endotoksin (Chen and Bongso, 1999). Sedangkan menurut Mendes et al. (2003), Tingkatan dari Percoll pada komposisi yang berbeda dan variasinya akan berakibat pada tingkat lisis dan perkembangan embryo. Berdasarkan penelitian Samardzija et al. (2006), Tingkat motilitas sperma sebelum dilakukan proses separasi yakni 50 ± 3.65% dan setelah dilakukan separasi sebesar 66.67 ± 4.01% untuk BoviPure® dan 64.17 ± 3.75% untuk Percoll®. Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat suatu perbedaan tingkat motilitas pada spermatozoa sebelum dan setelah diberikan perlakuan dengan hasil yang ckup signifikan. Perlakuan separasi menggunakan BoviPure dan Percoll dapat meningkatkan nilai motilitas sperma. Faktor yang mempengaruhi adalah senyawa yang terkandung pada reagen-reagen tersebut yang dapat menurunkan populasi spermatozoa yang memiliki kualitas yang rendah.

Metode gradient Percoll digunakan pula pada ternak perah komersial di Thailand. Menurut Promthep

et al. (2016), karakteristik spermatozoa sebelum dan setelah diseparasi menggunakan gradient Percoll

103 Tabel 3. Karakteristik sperma sebelum dan setelah diseparasi menggunakan gradient Percoll.

Parameter Spermatozoa Segar

Setelah diseparasi menggunakan gradient Percoll (%)

50 60 65-70 75-80 Konsentrasi (x106 ml) 852.93 ± 30.2 138.86 ± 6.51 144.14. ± 5.04 414.93 ± 30.32 35.29 ± 1.05 Motilitas (%) 92.50 ± 0.51 84.00 ± 0.55 90.29 ± 0.62 95.86 ± 0.46 22.57 ± 0.59 Viabilitas (%) 92.71 ± 0.69 91.36 ± 0.95 93.43 ± 0.44 93.57 ± 0.57 78.50 ± 0.58 Morfologi normal (%) 46.07 ± 0.64 35.57 ± 0.55 33.64± 0.43 39.07 ± 0.44 33.57 ± 0.40 Promthep et. al. (2016)

Tabel 4. Pengaruh perlakuan Percoll pada Persentase Jenis Kelamin Anakan setelah TE dan IB

Perlakuan Transter Sapi Bunting

(%)

Jenis Kelamin Anakan (%) Jantan Betina

Transfer Embryo (TE) 69 28 (40.58%) 9 (32.15%) 19 (67.86%)

Inseminasi Buatan (IB) 150 60 (40.00%) 12 (28.57%) 30 (71.43%) Inseminasi Buatan (IB)

tanpa Separasi Sperma 128 59 (46.09%) 29 (46.15%) 30 (50.85%) Promthep et. al. (2016)

Metode Kolom Bovine Serum Albumin (BSA)

Separasi menggunakan Bovine Serum Albumin (BSA) merupakan salah satu metode yang cukup umum digunakan dalam kegiatas separasi spermatozoa X dan Y. Berdasarkan penelitian Afiati (2004), Separasi menggunakan BSA sangat begantung pada konsentrasi BSA serta durasi kemampuan spermatozoa menembus laruan BSA serta konsentrasi spermatozoa yang akan dipisahkan dalam suatu larutas/cairan pengencer. Sudarma dkk (2014) melakukan penellitian mengenai separasi spermatozoa ternak babi menggunakan level albumin yang berbeda dengan konsentrasi masing-masing 10% dan 30%, 10% dan 40%, 10% dan 50%, serta 10% dan 60%. Hasil yang didapatkan adalah pada 15 menit pertama, spermatozoa dapat menembus lapisan 10%. Pada menit ke 30, spermatozoa dapat menembus layer dengan konsentrasi 10% dan 30% dan belum terlihat adanya tembusan pada layer 40%, 50%, dan 60%. Pada menit ke 45, layer 40% dapat ditembusi oleh sperma, sedangkan pada layer 50% dan 60% masih terlihat sedikit sekali spermatozoa yang dapat menembus. Sperma yang dapat menembus layer dengan lebih cepat adalah sperma Y.

Tabel 5. Rataan Konsentrasi dan Persentase Motilitas Spermatozoa berbagai Fraksi dari Beberapa Kombinasi Konsentrasi Mediuim Pemisahan.

Perlakuan Fraksi Semen Konsentrasi (Juta/ml)

Motilitas (%) Viabilitas (%) Abnormalitas (%) Kontrol SS 527.50 ± 23.63 73.00 ± 3.00 87.87 ± 01.07 17.83 ± 02.01 S1 132.50 ± 5.00 65.00 ± 4.08 P1 A30 62.50 ± 5.00 6.50 ± 0.58 87.13 ± 04.67 22.27 ± 08.52 B30 52.50 ± 5.00 4.75 ± 0.50 82.29 ± 04.48 21.91 ± 12.03 P2 A40 75.00 ± 5.77 6.25 ± 0.96 78.77 ± 04.29 24.61 ± 10.06 B40 45.00 ± 5.77 4.00 ± 0.82 77.61 ± 04.74 22.63 ± 07.25 P3 A50 85.00 ± 5.77 6.00 ± 0.82 79.87 ± 03.89 22.93 ± 05.02 B50 35.00 ± 5.77 3.25 ± 0.50 79.38 ± 04.32 21.99 ± 09.46 P4 A60 82.50 ± 15.00 5.75 ± 0.50 82.97 ± 06.02 23.65 ± 09.72 B60 25.00 ± 5.77 3.00 ± 0.82 81.84 ± 11.60 20.54 ± 10.52 Sudarma, dkk. (2014)

104 Berdasarkan keterangan Ningsih (2007) didalam Sudarma dkk. (2014), sperma Y memiliki motilitas yang lebih tinggi akan cepat menembusi lapisan atau layer yang kental pada tahap awal separasi, sedangkan sperma X baru terlihat menembus layer pada saat inkubasi. Pengaruh konsentrasi layer sangat besar terhadap daya tembus spermatozoa. Semakin tinggi konsentrasi layer, maka spermatozoa akan lebih sulit menembus, begitu pula dengan sebaliknya.

Hasil penelitian yang tersaji pada tabel tersebut, persentase motilitas pada spermatozoa hasil pencucian mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan adanya pengurangan presentase plasma semen yang telah mengalami sentrifugasi serta plasma semen diganti oleh medium BO yang dipakai pada saat penelitian. Penurunan ini dikarenakan berkurangnya ketersediaan energy pada spermatozoa meskipun ada medium BO mengandung glukosa (Saili et al. 2000; Sudarma dkk., 2014). Motilitas atau daya gerak spermatozoa dipengaruhi oleh adanya energi berupa ATP (Adenosin Triphosphat). Hal ini sangat berpengaruh kepada suatu keberhasilan fertilitas. Semakin tinggi ATP yang terkandung didalam spermatozoa, semakin tinggi pula motilitasnya yang akan meningkatkan kemampuan untuk melakukan pembuahan/fertilisasi pada sel telur.

Tabel 6. Persentase Spermatozoa Didalam Berbagai Fraksi Semen yang Diprediksi Membawa Kromosom X dan Y sesuai Luas Kepalanya

Perlakuan Fraksi Semen Luas Kepala Spermatozoa (µm) Persentase Jenis Spermatozoa

X Y Po S1 34.445 ± 0.275 51.68 ± 2.66 48.32 ± 2.66 P1 A30 36.163 ± 0.502 74.02 ± 5.65 25.98 ± 5.65 B30 33.607 ± 0.350 38.13 ± 7.69 61.87 ± 7.69 P2 A40 35.429 ± 0.347 64.14 ± 3.41 35.86 ± 3.41 B40 33.508 ± 0.386 35.48 ± 6.11 64.52 ± 6.11 P3 A50 35.304 ± 0.111 62.29 ± 3.98 37.71 ± 3.98 B50 33.399 ± 0.408 30.37 ± 4.93 69.63 ± 4.93 P4 A60 35.342 ± 0.380 59.26 ± 4.33 40.74 ± 4.33 B60 33.035 ± 0.132 26.41 ± 4.54 73.59 ± 4.54 Sudarma, dkk. (2014)

Berdasarkan tabel diatas, maka dapat fraksi sperma X tertinggi dapat dilihat pada A30, sedangkan fraksi sperma Y tertinggi terdapat pada B60. Kemampuan bergerak/motilitas dari spermatozoa X lebih rendah disbanding spermatozoa Y karena mengandung sekuens DNA yang lebih panjang sehunga hanya dapat terlihat/menembus layer pada fraksi atas (A30), sedangkan pada spermatozoa Y yang memiliki sekuens yang relatif lebih pendek dapat dengan mudah menembus fraksi bawah pada layer dengan konsentrasi tinggi. Terdapat sebuah poin kelemahan yang terdapat pada penggunaan metode kolom BSA, yakni kurang ekonomis dari segi harga.

Metode Flowcytometry

Seleksi spermatozoa X dan Y dapat menggunakan salah satu metode terbaru, yakni dengan meng-gunakan Flowcytometry. Jenis kelamin anak pada mammalia dapat dilakukan dengan cara pemilihan atau seleksi berdasarkan arus atau liran dari populasi murni yang hidup pada kromosom X dan Y. Metode ini berdasarkan pada pengikatan DNA sperma dengan asam nukleat spesifik fluorophore, Hoechst 33342 untuk membedakan antar subpopulasi sperma X dan Y Invalid source specified.. Pemilihan spermatozoa dapat menghasilkan subpopulasi sperma X dan Y pada laju 8000 sperm/s ketika

maintaining, kemurnian 90% dapat diaplikasikan pada sapi pada basis komersil. Jenis kelamin anakan

dapat ditentukan pada spesies mammalia yang lainnya meliputi sapi, babi, kuda,domba, kambing, anjing, kucing, rusa, lumba-lumba, dan kerbau air serta pada manusia pun dapat menggunakan metode separasi menggunakan flowcytometry.

105 Variasi Gen-Gen Penentu Jenis Kelamin Ternak

Gen Sry dan Gapdh

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Kaiin, dkk (2017), Hasil elektroforesis dari sperma-tozoa hasil separasi menggunakan kolom BSA 5%, hanya terlihat 1 pita pada 415 bp, sedangkan, pada sperma yang dikoleksi dari kolom BSA 10% (sperma Y) da sperma yang tidak disexing menghasilkan 2 pita pada 415 bp dan 318 bp pada semua sampel yang dikoleksi dan 3 lokasi penelitian. Pada pita 415bp menunjukkan Gapdh, sedangkan pita pada 318 bp menunjukkan gen SRY. Gen Gapdh merupakan tergolong pada housekeeping gene sebagai control positif yang menentukan bahwa ampli-fikasi PCR berjalan dengan baik.

Menurut She dan Yang (2016), gen Sry menginisiasi cascade pada jaringan gen yang langsung meregulasi ekspresi Sox9 dan mengakibatkan diferensiasi sel dimulai, seperti spesifikasi sel leydig, pembentukan vaskulator, dan perkembangan testis. Ketidakhadiran gen Sry, terdapat cascade gen alternatif termasuk gen penentu jenis kelamin betina, yakni RSPO1, Wnt4/β-cateni, dan Foxl2 termasuk pada pembentuk organ genitalia betina dan pemeliharaan perkembangan ovarium.

Gen SRY pada mammalia sangat berperan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan sel gonad pada testis. SRY mengkode protein dengan kotak HMG DNA-binding domain dan diyakini berperan dalam diferensiasi sel sertoli yang akan memicu sel serupa lainnya yang termasuk sel gonad untuk mengarah pada jalur testikuler. Transkrip Sry pada manusia terdiri dari ekson tunggal dan situs poliadenilasi tunggal. Pada ujung 5’, terdapat pertentangan pada lokasi dan angka situs inisiasi transkripsi. Perbedaan ini dapat menimbulkan variasi pada sumber RNA yang digunakan dalam suatu percobaan (Vilain et al. 1992; Behlke et al. 1993; Clepet et al 1993; Su and Lau, 1993; Hacker et al. 1995).

Gen Foxl2

Gen Foxl2 merupakan salah satu gen yang berperan penting dalam penentuan jenis kelamin. Sekuens dari gen ini akan membenuk kromosom X, yakni yang dapat berkembang menjadi sel kelamin betina pada Mammalia. Gen Foxl2 merupakan gen yang berperan dalam pembentukan protein yang dapat mengikat daerah spesifik dari DNA dan membantu aktivitas kontrol pada beberapa gen lain. Oleh karena fungsinya tersebut, protein FOXL2 disebut sebagai faktor transkripsi. Protein FOXL2 bersifat aktif dalam beberapa jaringan, seperti jaringan untuk pembentukan kelopak mata, ovarium, dan kelenjar pituitary serta dalam perkembangan otot pada kelopak mata. Sebelum memasuki fase kelahiran, protein

FOXL2 berperan dalam regulasi pertumbuhan dan perkembangan sel granulosa. Protein ini berperan

juga dalam pemecahan lemak, hormon steroid, serta ROS (Reactive Oxygen Species) didalam ovarium. Secara analisis Microarray gen Foxl2 teridentifikasi sebagai aktivator 996 gen pada sel granulosa tikus. Gen FOXL2 dapat meregulasi dan meningkatkan aktivitas promoter gen GnRHR (Escudero et al. 2010). Gen Amelogenin

Terdapat gen lain yang memiliki peranan dalam penentuan jenis kelamin atau kromosom X dan Y, yakni Amelogenin gene (Amel). Amelogenin gene tergolong kedalam dua bagian, yakni Amelx sebagai penentu kromosom sex X dan Amely untuk pententu kromosom sex Y. Berdasarkan penelitian Dervishi

et. al. (2008), mengenai realibilitas gen amelogenin pada embrio domba dengan menggunakan gen Amelx dan Amely. Sekuens konsensus untuk Amelx dan Amely diketahui dari sekuensing produk

amplifikasi PCR pada Spanish breeds menggunakan primer da kondisi PCR yang dipakai oleh Ennis dan Gallagher (1994). Pada penemuan sebelumnya oleh Ennis dan Gallagher (1994), Amelogenin gene merupakan suatu sekuens yang sangat spesifik dan digunakan dalam penentuan jenis kelamin pada family Bovidae.

106 Kesimpulan

Berdasarkan studi secara literature mengenai variasi metode separasi spermatozoa serta gen-gen yang berperan dalam penentuan jenis kelamin ternak ruminansia, dapat disimpulkan bahwa metode yang dapat digunakan dalam separasi spermatozoa antara lain metode swim-up,metode gradient Percoll metode kolom BSA, dan metode flowcytometry. Gen-gen berperan penting dalam penentuna jenis kelamin adalah Sry , Gapdh, dan Amely unruk pembentukan sel kelamin jantan, sedangkan Foxl2,

SOX9, dan Amelx untuk sel kelamin betina.

Daftar Pustaka

Anynomous. 2007. Cell Separation Media: Methodology and Application. GE Healthcare Company. USA.

Arias, M. E., K. Andara, E. Briones, and R. Felmer. 2017. Bovine Sperm Separation by Swim-up and

Density Gradient (Percoll and BoviPure): Effect on Sperm Quality, Function, and Gene Expression. Reproductive Biology.

Behlke, M.A., J.S. Bogan, P. Beer-Romero, and D.C. Page. 1993. Evidence that the SRY Protein is

Encoded by a Single Exon on the Human Y Chromosome. Genomics: 736-739.

Chapman, J.C., and S.D. Michael. 2003. Proposed Mechanism for Sperm Chromatin

Condensation/Decondensation in the Male Rat. Reproductive Biology and Endocrinology.

Chen, M.J. and A. Bongso. 1999. Comparative Evaluation of Two Density Gradient Preparation for Sperm Separation for Medically Assisted Conception. Hum. reprod., 759-764.

Clepet, C., A.J. Schafer, A.H. Sinclair, M.S. Palmer, R. Lovell-Badge, and P.N. Goodfellow. 1993. The Human SRY Transcript. Hum. Molec. Genet , 2007-2012.

Dervishi, E, A. Martinez-Royo, P. Sa´nchez, J.L. Alabart, M.J. Cocero, J. Folch, and J.H. Calvo. 2008. Reliability of Sex Determination in Ovine Embryos using Amelogenin Gene (AMEL).

Theriogenology, 241-247.

Ennis, S., and T.F. Gallagher. 1994. A PCR: Based Sex-determination Assay in Catle based on th Bovine Amelogenin Locus. . Anim. Genet., 425-427.

Escudero, J.M., J.L. Hakker, C.M. Clay, and K.W. Escudero.. 2010. Microarray Analysis of FOXL2 Mediated Gene Regulation in the Mouse Ovary Derivied KK1 Granulosa Cell Line: Over-expression of FOXL2 Leads to Activation of the Gonadotropin Releasing Hormone Receptor Gene Promoter. J. Ovarian.

Garner, D.L., K.M. Evans, and G.E. Seidel. 2013. Sex-sorting Sperm Using Flow Cytometry/Cell Sorting. In D. T. Carrell, Methods in Molecular Biology (pp. 279-295). Springer-Verlag. Hacker, A., B. Capel, P. Goodfellow and R. Lovell-Badge. 1995. Expression of SRY, the Mouse Sex

Determining Gene. Development, 1603-1614.

Henkel, R.R., D.R. Franken, C.J. Lombard, and W.B. Schill. 1994. Selective Capacity of Glass-wool Filtration for the Separation of Human Spermatozoa with Condensed Chromatin: a Possible Therapeutic Modality for Male-Factor Cases? J. Asist. Reprod. Genet., 395-400.

Kaiin, M.E., M. Gunawan, and T. Maulana.. 2017. Morphometry and abnormality evaluation of sex-sorted sperm of spotted buffalo (Tedong bonga). Nusantara Bioscience, 175-180.

Lucio, A.C., M.V. Resende, J.A. Dernowseck-Meirelles, A.P. Perini, L.Z. Oliveira, M.C.V. Miguel, A.S. Carmo, S.Y. Tomita, B.C.A. Alves, F.A.T. Fazano, and V.F.M.H. Lima. 2012. Assessment of Swim-up and Discontinuous Density Gradient in Sperm Sex Preselection for Bovine Embryo Production. Arq. Bras. Med. Vet. Zootec., 525-532.

Mendes, J.O.B., P.D. Burns, D.L. Torre-Sanchez, G.E. Seidel. 2003. Effect of Heparin on CLeavage Rates and Embryo Production with Four Bovine Sperm Preparation Protocols. Theriogenology, 331-340.

Pertoft, H. 2000. Fractionation of Cells and Subcellular Particles with Percoll. J. Biochem. Biophys.

Methods, 1-30.

Promthep, K., S. Satitmanwiwat, N. Kitiyanant, P. Tantiwattanakul, K. Jirajaroenrat, R. Sitthigripong, and C. Singhapol. 2016. Practical Use of Percoll Density Gradient Centrifugation on Sperm

107 Sex Determination in Commercial Dairy Farm in Thailand. Indian Journal Of Animal Research: 310-313

Saili, T., M.R. Toliehere, A. Boediono, dan B. Tappa.. 2000. Effectivity of Albumin as Separation Media for X and Y Chromosome-bearing Bovine . Journal Hayati, 106-109.

Samardzija, M., M. Karadjole, M. Matkovie, M. Cergolj, I. Getz, T. Dobranie, A. Tomaskovie, J. Petric, J. Surina, J. Grizelj, and T. Karadjole. 2006. A comparison of BoviPure® and Percoll® on bull.

Animal Reproduction Science, 237–247.

She, Z and W. Yang. 2016. Sry and SoxE genes: How They Participate in Mammalian Sex Determination and Gonadal Devlopment? Seminars in Cell and Developmental Biology. Su, H., and Y.F.C. Lau. 1993. Identification of the Transcription Unit, Structural Organization, and

Promoter Sequence of the Human Sex Determining Region Y (SRY) gene, Using a Reverse Genetic Approach. Am. J. Hum. Genet, 24-38.

Sudarma, I.M.A., W.M. Nalley, H.L.L. Belli, dan A. Marawali. 2014. Separasi Spermatozoa X dan Y Menggunakan Level Albumin yang Berbeda sebagai Media Pemisah Spermatozoa Babi. Jurnal

Nukleus Peternakan, 37-43.

Vilain, E., M. Fellous, and K. McElreavey. 1992. Characterization and Sequence of the 5’ Flanking Region of The Human Testis-Determining Factor SRY. Methods Molec. Cell. Biol., 128-134.

108

Pengaruh Transportasi Malam Terhadap Penyusutan Bobot Badan dan Kondisi

Garis besar

Dokumen terkait