• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Faktor yang mempengaruhi status gizi balita

Kondisi status gizi balita dipengaruhi banyak faktor yang saling terkait. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi adalah sebagai berikut.

Universitas Indonesia 2.3.1. Asupan makanan

Status gizi balita dipengaruhi oleh kecukupan zat gizi dari makanan yang dikonsumsi balita sehari-hari. Kondisi gizi kurang yang terjadi pada balita dipengaruhi oleh ketidak cukupan asupan nutrisi seimbang bagi anak dan praktik pemberian makan oleh orang tua. Makanan bergizi seimbang adalah makanan yang terdiri dari beraneka ragam makanan dalam jumlah dan proporsi yang sesuai, sehingga memenuhi kebutuhan gizi seseorang guna pemeliharaan, perbaikan sel-sel tubuh, pertumbuhan dan perkembangan. Bayi dan balita yang mengalami gizi kurang, mayoritas tidak mendapat makanan yang bergizi (Hien & Hoa, 2009).

Tabel 2.2. Anjuran Jumlah Porsi Menurut Kecukupan Energi Untuk Kelompok Balita Sesuai dengan Pedoman Gizi Seimbang 2014

No Bahan makanan Anak usia 1-3 tahun (1125 kkal)

Anak usia 4-6 tahun (1600 kkal) 1 Nasi 3 p 4 p 2 Sayuran 1,5 p 2 p 3 Buah 3 p 3 p 4 Tempe 1 p 2 p 5 Daging 1 p 2 p 6 Susu 1 p 1 p 7 Minyak 3 p 4 p 8 Gula 2 p 2 p Sumber: Kemenkes RI (2014) Keterangan:

1. Nasi 1 porsi = ¾ gelas =100 gr 2. Sayuran 1 porsi= 1 gelas =100 gr

3. Buah 1 porsi= 1 buah pisang ambon =50 gr 4. Tempe 1 porsi= 2 potong sedang= 50 gr 5. Daging 1 porsi= 1 potong sedang=35 gr 6. Ikan segar 1 porsi= 1/3 ekor = 45 gr

7. Susu sapi 1 porsi = 1 gelas belimbing = 200 ml 8. Minyak 1 porsi= 1 sdt = 5 gr

9. Gula 1 porsi= 1 sdm)= 20 gr *) sdt: sendok teh

**) sdm: sedok makan ***) p: porsi

Kebutuhan energi untuk balita usia 1-3 tahun adalah 1125 kkal dan untuk usia 4-6 tahun adalah sebesar 1600kkal. Kebutuhan minimal konsumsi kalori atau kebutuhan energi untuk balita adalah 70% dari angka kecukupan Gizi (AKG)

Universitas Indonesia (Depkes RI, 2011). Menurut Supariasa (2002) tingkat konsumsi dibagi menjadi empat dengan nilai cut of points masing-masing adalah sebagai berikut; baik (≥ 100% AKG), sedang (80-99% AKG), kurang (70-80 AKG), defisit (< 70%). Jadi kebutuhan energi minimal yang dianjurkan untuk anak usia 1-3 tahun adalah 787,5 kkal dan untuk usia 4-6 tahun adalah 1120 kkal.

Penelitian yang dilakukan oleh Hidayati (2011), gizi kurang terjadi karena masa peralihan dari ASI ke makanan pendamping ASI (MP-ASI). Gizi kurang pada bayi bisa terjadi pada saat masa peralihan antara saat disapih dan mulai mengikuti pola makan orang dewasa. Selepas usia 6 bulan, anak mulai dikenalkan dengan makanan pendamping ASI, dan ASI tetap dilanjutkan sampai dengan usia 2 tahun. Kebanyakan anak gizi kurang tidak mendapat makanan pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat, baik jumlah dan kualitasnya. Balita pada umumnya hanya mengkonsumsi bubur nasi atau bubur jagung tanpa lauk sehingga makanan yang bersumber dari bahan nabati sangat jarang dikonsumsi. MPASI yang baik tidak hanya cukup mengandung energi dan protein, tetapi juga mengandung zat besi, vitamin A, asam folat, vitamin B serta vitamin dan mineral lainnya. MP-ASI yang tepat dan baik dapat disiapkan sendiri di rumah. Kualitas dan kuantitas makanan sangat mempengaruhi status gizi anak (Hitchock, Schubert & Thomas, 1999).

2.3.2. Pemberian ASI ekslusif

ASI merupakan makanan terbaik bagi bayi usia 0-6 bulan dengan komposisi kandungan nutrisi yang lengkap dan seimbang, oleh karena itu setiap bayi harus memperoleh ASI ekslusif sampai dengan usia 6 bulan (Kemenkes RI, 2014). Pemberian ASI secara ekslusif akan menurunkan kejadian infeksi gastrointestinal pada balita yang akan berpengaruh terhadap kondisi status gizi balita (Thomson, Davis, Renzaho & Toole, 2014).

Penelitian yang dilakukan di Baltimore Washington DC mengenai efek ASI ekslusif terhadap pertumbuhan bayi, menunjukkan bahwa bayi yang diberikan ASI ekslusif selama 6 bulan mempunyai kurva NCHS dengan indeks BB/U

Universitas Indonesia dan PB/U tetap di atas Persentil 50. Bayi yang mendapat ASI lebih dari 6 bulan yaitu sampai usia 9-10 bulan, kurva BB/U dan PB/U berada di atas Persentil 25. Penelitian ini menunjukkan bahwa dalam kondisi yang optimal, pemberian ASI ekslusif akan mendukung pertumbuhan bayi selama 6 bulan pertama atau lebih (IDAI, 2008).

Penelitian yang dilakukan oleh Nakamori et al (2010) menunjukkan bahwa pemberian ASI ekslusif menurunkan resiko terjadinya gizi kurang pada balita. Bayi yang tidak mendapatkan ASI ekslusif sampai usia 6 bulan beresiko 3,95 kali lebih besar untuk mendapatkan gizi kurang dibanding dengan bayi yang memiliki riwayat ASI ekslusif. Hasil penelitian ini berseberangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wong et al (2014), menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara kejadian malnutrisi (underweight, stunting, wasting) dengan riwayat pemberian asi ekslusif dan waktu penyapihan.

2.3.3. Penyakit infeksi

Faktor lain yang berkaitan langsung dengan status gizi adalah penyakit infeksi. Terdapat hubungan timbal balik antara kejadian infeksi penyakit dengan masalah gizi pada anak. Anak yang menderita gizi kurang akan mengalami penurunan daya tahan, sehingga anak rentan terhadap penyakit infeksi. Di sisi lain, anak yang menderita sakit infeksi akan cenderung menderita gizi kurang sampai dengan buruk (UNICEF, 2013). Penyakit infeksi akan mengganggu metabolisme, mengganggu keseimbangan hormon dan mengganggu fungsi imunitas.

Penyakit infeksi yang sering terjadi pada anak-anak yang berkaitan dengan kondisi status gizi adalah diare (61%), terutama diare yang berlangsung lama (Leonor, Elsa, & Rocio, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Weisz et al (2011), menunjukkan bahwa diare yang berlangsung lama yaitu 7 sampai 15 hari akan berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian malnutrisi pada anak. Semakin lama durasi diare akan semakin menurunkan status gizi dalam indeks BB/U, TB/U dan LILA. Selain diare, kejadian penyakit infeksi yang

Universitas Indonesia berkaitan dengan status gizi adalah ISPA (57%) (Leonor, Elsa, & Rocio, 2011). Kejadian demam dan batuk pada balita yang terjadi selama 7-12 hari akan menurunkan status gizi dalam indeks BB/U, TB/U dan LILA (Weisz et al, 2011).

Menurut Thomson, Davis, Renzaho dan Toole (2014), terdapat hubungan yang kuat antara penyakit infeksi dengan kejadian gizi kurang pada balita. Peyakit infeksi tersebut meliputi diare dan ISPA. Penyakit infeksi dapat secara langsung mempengaruhi kondisi gizi kurang melalui berbagai cara antara lain; penyakit infeksi dapat meningkatkan konsumsi energi dan kebutuhan nutrisi oleh tubuh untuk memerangi penyakitnya, sehingga nutrisi dalam tubuh banyak digunakan untuk mengatasi proses infeksi dalam tubuh dibandingkan untuk pertumbuhan.

Penyakit infeksi dapat mengurangi kemampuan absorbsi energi atau nutrisi dari makanan. Penyakit infeksi secara langsung akan menurunkan konsumsi makanan pada balita dengan cara menurunkan nafsu makan anak. Gejala seperti mual, muntah, nyeri pada perut, mulut kering dapat menurunkan nafsu makan anak. Bahkan penyakit infeksi dapat mensupresi sistem saraf pusat yang mengontrol nafsu makan anak dengan mensintesis cytokine interluekin-1, yang disekresi oleh sel dari sistem imunitas sebagai respon terhadap infeksi (Thomson, Davis, Renzaho & Toole, 2014).

2.3.4. Pola pengasuhan keluarga terkait gizi

Faktor yang tak kalah penting yang berpengaruh terhadap status gizi adalah terkait pola pengasuhan anak khususnya terkait perilaku pemberian makan yang dilakukan oleh keluarga. Pola asuh anak merupakan kemampuan keluarga dan masyarakat untuk menyediakan waktu luang, perhatian, dukungan terhadap anak agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, baik secara fisik, mental, dan sosial (Adisasmito, 2007). Hal ini dapat diwujudkan melalui sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal

Universitas Indonesia kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat atau menjaga kebersihan, dan memberikan kasih sayang (Nur’aeni, 2008).

Pola pengasuhan terkait gizi merupakan salah satu bagian dari pola asuh anak. Aspek yang paling penting dalam pola asuh gizi adalah kemampuan keluarga dalam memilih makanan sehat sesuai daya beli, praktik menyusui, penyiapan makanan, pengolahan makanan, penyimpanan makanan, kebersihan diri, cara komunikasi keluarga terhadap balita dalam pemenuhan nutrisi (Nur’aeni, 2008).

Penelitian yang dilakukan oleh Lestrina (2009) menunjukkan, anak yang diasuh ibunya sendiri dengan sabar dan penuh kasih, apalagi ibunya berpendidikan, mengerti masalah ASI, manfaat posyandu dan kebersihan, meskipun miskin akan dapat mengasuh dan memberi makan anak dengan baik sehingga anaknya tetap sehat. Hal ini tidak senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Redho (2011) tentang gambaran tugas kesehatan keluarga pada balita dengan masalah status gizi diperoleh hasil dari 52 responden yang memiliki balita dengan gizi buruk, sebanyak 67,7% ternyata memiliki fungsi perawatan kesehatan keluarga yang baik.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Husin (2008), mengenai hubungan pola asuh anak dengan status gizi balita usia 24-59 bulan, dari variabel pola asuh anak yang meliputi praktek pemberian makan, praktek kebersihan, dan perawatan anak saat sakit, hasil uji regresi logistik menunjukkan bahwa subvariabel pola asuh yang paling dominan berpengaruh dengan status gizi balita adalah praktek pemberian makan (p =0,007).

2.3.5. Pelayanan kesehatan

Pelayanan kesehatan yang diterima keluarga berkontribusi terhadap kondisi status gizi pada balita (UNICEF, 2013). Beberapa aspek pelayanan kesehatan dasar yang berkaitan dengan status gizi anak antara lain: imunisasi, penimbangan anak, pendidikan kesehatan anak, serta sarana kesehatan seperti

Universitas Indonesia posyandu, puskesmas, rumah sakit, praktek bidan dan dokter. Makin tinggi jangkauan masyarakat terhadap sarana pelayanan kesehatan dasar tersebut di atas, makin kecil risiko terjadinya penyakit gizi kurang (UNICEF, 2013).

Penelitian yang dilakukan oleh Hidayat dan Jahari (2011) menunjukkan bahwa perilaku ibu balita yang memanfaatkan pelayanan kesehatan memiliki status gizi yang lebih baik dibandingkan dengan keluarga balita yang tidak memanfaatkan pelayanan kesehatan. Pemanfaatan pelayanan kesehatan merupakan suatu cara untuk melindungi balita dari penyakit infeksi yang berkaitan dengan kondisi gizi kurang pada balita. Perilaku pencarian kesehatan akan berdampak pada peningkatan status gizi balita apabila pelayanan kesehatan yang diterima bersifat adekuat dan berkualitas (UNICEF, 2013).

Terdapat hubungan yang signifikan antara kualitas dan aksesibilitas pelayanan kesehatan yang diterima dengan status gizi balita. Penelitian yang dilakukan di Ghana dan Columbia tahun 2011 menunjukkan bahwa perbaikan kualitas dan aksesibilitas pelayanan kesehatan berpengaruh terhadap status gizi balita. Penelitian di berbagai negara dengan pelayanan primer atau pelayanan kesehatan tingkat pertama di komunitas yang bagus, menunjukkan adanya penurunan jumlah rata-rata balita dengan gizi kurang sebanyak 1-2% pertahun (Thomson, Davis, Renzaho & Toole, 2014).

Pelayanan kesehatan yang berkualitas akan tetapi tidak dapat diakses secara adekuat untuk semua anak merupakan faktor yang berkontribusi menimbulkan gizi kurang pada anak. Penelitian di India, terdapat suatu diksriminasi pada kelompok tertentu dalam hal pemanfaatan pelayanan kesehatan menyebabkan pengucilan anak ke dalam suatu kelompok marginal sehingga kesulitan dalam hal mengakses pelayanan kesehatan. Hal ini menyebabkan tingginya prevalensi gizi kurang pada anak dalam kelompok ini (Thomson, Davis, Renzaho & Toole, 2014). Penelitian yang dilakukan oleh Sartika (2010) menunjukkan bahwa variabel pelayanan kesehatan yang meliputi akses

Universitas Indonesia pelayanan kesehatan (jarak, waktu, ketersediaan alat transportasi) dan pemanfaatan pelayanan kesehatan, berpengaruh secara signifikan dengan kejadian malnutrisi balita (p=0,000).

2.3.6. Jumlah anggota keluarga

Faktor selanjutnya yang secara tidak langsung berhubungan secara signifikan dengan status gizi adalah faktor jumlah anggota keluarga (Badake et al, 2014). Menurut Allender dan Spradley (2010) semakin kecil jumlah anak dalam suatu keluarga, maka semakin baik status gizi balita karena berhubungan dengan ketersediaan makanan dalam keluarga. Pendapat ini tidak sejalan hasil penelitian Kikafunda, Walker, Collett dan Tumwine (2014) bahwa usia ibu, pekerjaan, jumlah paritas dan jumlah anak tidak berpengaruh terhadap terjadinya gizi kurang pada balita.

Penelitian yang dilakukan oleh Wong et al (2014), terkait faktor resiko kejadian malnutrisi pada anak usia prasekolah menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara jumlah anggota keluarga dengan kejadian malnutrisi pada anak usia prasekolah di Malaysia, akan tetapi ada hubungan yang signifikan antara jumlah anak dalam keluarga dengan kondisi malnutrisi pada anak usia sekolah.

Penelitian yang dilakukan oleh Hien dan Hoa (2009) menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga berpengaruh terhadap status gizi balita. Apabila dalam satu keluarga terdiri dari ≥ 4 anggota keluarga, balita lebih bersiko mengalami underweight, stunted dan wasted dibandingkan dengan balita yang tinggal dalam keluarga yang terdiri dari < 4 anggota keluarga.

2.3.7. Pendidikan ibu.

Faktor dasar yang berhubungan dengan status gizi balita adalah pendidikan (UNICEF, 2013). Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang penting dalam tumbuh kembang anak, karena dengan pendidikan yang baik, maka orang tua dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang

Universitas Indonesia cara pengasuhan anak yang baik, bagaimana menjaga kesehatan anaknya, pendidikan dan sebagainya (Handono, 2012).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendahnya tingkat pendidikan ibu berpengaruh secara signifikan terhadap risiko balita menderita gizi buruk dan gizi kurang. Faktor pendidikan menentukan mudah atau tidaknya seseorang menyerap pengetahuan khususnya terkait gizi. Pendidikan berpengaruh secara signifikan pada pengetahuan masyarakat terhadap gizi dan kesehatan. Bila pengetahuan rendah maka pola asuh orang tua terhadap anak menjadi kurang baik. Selanjutnya implikasinya akan berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak (Saputra & Nurrizka, 2012).

Penelitian yang dilakukan oleh Huriah (2006) di wilayah Pancoran Mas menemukan bahwa pendidikan ibu merupakan faktor dominan yang mempengaruhi status gizi anak di bawah tiga tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Hariadi (2010) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan ibu dengan status gizi balita yang diukur dalam indeks BB/U. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Badake et al (2014) bahwa tingkat pendidikan keluarga tidak berhubungan dengan status gizi balita. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan ibu dengan kondisi status gizi balita yang diukur dengan indeks antropometri yang berbeda (BB/U, TB/U, BB/TB). Penelitian yang dilakukan Nungo, Okoth dan Mbugua (2012) juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan kepala keluarga dengan status gizi balita di Kenya.

2.3.8. Persepsi ibu terkait gizi pada balita.

Persepsi merupakan pandangan pribadi atas apa yang terjadi (Potter & Perry, 2005). Persepsi orang tua khususnya ibu dengan stimulus yang diterima dan didasarkan pada pengetahuan yang dimilikinya akan mendorong ibu untuk memantau pertumbuhan balita dan mengambil langkah dalam penanggulangan status gizi balita. Persepsi kerentanan ibu terhadap status gizi balita memiliki

Universitas Indonesia hubungan yang signifikan dengan kondisi status gizi balita. Ibu yang memiliki persepsi keseriusan terhadap status gizi balita mempunyai hubungan yang sigifikan dengan kondisi status gizi balita. Hal yang positif bermakna juga ditemukan pada hubungan antara persepsi ibu akan keuntungan dan hambatan dalam perilaku pencegahan masalah gizi dengan status gizi balita (Hayati, 2014).

Penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2010) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara persepsi ibu dengan pemenuhan kecukupan gizi pada balita di Posyandu Delima Desa Tiron Kecamatan Banyakan Kabupaten Kediri. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Geuvara et al (2012), bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara persepsi ibu mengenai status gizi dengan status gizi anak dengan indeks BMI/U.

2.3.9. Status ekonomi

Faktor selanjutnya yang berpengaruh terhadap status gizi balita adalah status ekonomi (UNICEF, 2013). Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak, karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik yang primer maupun sekunder. Status perekonomian yang rendah berimplikasi terhadap timbulnya angka kejadian gizi buruk dan gizi kurang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, kondisi kemiskinan menyebabkan balita berisiko besar mendapatkan masalah gizi buruk dan gizi kurang (Thomson, Davis, Renzaho & Toole, 2014).

Penelitian yang dilakukan oleh Saputra dan Nurrizka (2012) mengenai faktor demografi dan resiko gizi buruk dan gizi kurang yang dilakukan di Sumatera Barat menunjukkan bahwa kelompok masyarakat miskin dengan akses ekonomi yang lebih rendah memiliki risiko terbesar dalam penderita balita gizi buruk dan gizi kurang. Hampir sekitar 21,6% balita yang berasal dari kelompok masyarakat miskin menderita gizi buruk dan sekitar 10,2% menderita gizi kurang.

Universitas Indonesia Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan suatu studi “positive deviance” yang mempelajari mengapa dari sekian banyak bayi dan balita di suatu desa miskin hanya sebagian kecil yang gizi buruk, padahal orang tua mereka semuanya petani miskin. Dari studi ini diketahui pola pengasuhan anak berpengaruh pada timbulnya gizi buruk. Anak yang diasuh ibunya sendiri dengan kasih sayang, apalagi ibunya berpendidikan, mengerti soal pentingnya ASI, manfaat posyandu dan kebersihan, meskipun sama-sama miskin, ternyata anaknya lebih sehat (Widardo, dkk, 2013). Penelitian Liu (2007) juga semakin menguatkan bahwa kondisi perekonomian keluarga tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan status gizi anak.

2.3.10.Budaya

Budaya masyarakat bisa dilihat dari cara hidup seseorang (way of life). Hal ini menentukan perilaku masyarakat terkait apa saja yang boleh dilakukan dan bagaimana cara melakukannya. Budaya dipandang sebagai pedoman untuk melakukan kegiatan sehari-hari (Slamet, 2000).

Kebudayaan merupakan suatu kompleks aktivitas serta tindakan yang berpola dari manusia dalam suatu masyarakat, yang dinamakan sistem sosial. Kebudayaan terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, bergaul satu dengan yang lain, yang selalu menurut pola-pola tertentu berdasarkan adat dan tata kelakuan. Sistem sosial ini bersifat konkrit, terjadi di sekeliling masyarakat sehari-hari, dapat diobservasi, di foto dan didokumentasikan (Koentjaraningrat 1990 dalam Handayani, 2011).

Budaya yang ada di masyarakat mempengaruhi konsumsi gizi masyarakat. Budaya terkait gizi adalah meliputi kebiasaan keluarga terkait memilih jenis makanan yang akan dibeli untuk kebutuhan makanan sehari-hari, bagaimana cara memasaknya, bagaimana cara menyimpannya, menghidangkan, memakannya, jenis makanan yang boleh dan tidak boleh di dikonsumsi (Slamet, 2000). Aspek kultural yang berkaitan dengan gizi menurut Koentjaraningrat 1990 dalam Handayani 2011) adalah mencakup nilai, norma, kebiasaan, tradisi,

Universitas Indonesia mitos terkait gizi dan makanan. Aspek ini juga mencakup sistem sosial yang merupakan kompleks aktivitas manusia dalam masyarakat berupa keakraban sosial serta kelembagaan dalam masyarakat yang berkaitan dengan gizi dan makanan.

Budaya yang dimiliki oleh suatu masyarakat menciptakan standarisasi tersendiri dalam berbagai hal yang berkaitan dengan makan (foodway) akan tetapi hal ini juga dipengaruhi oleh jenis kelamin, usia dan status ekonomi (Dudek, 2006). Food way yang dimaksudkan di sini adalah semua aspek yang berhubungan dengan makan termasuk kepercayaan terhadap suatu makanan, pantangan makanan, fungsi makanan, bagaimanan makanan disiapkan, jumlah dan waktu makan, bagaimana cara memakan dan keyakinan kesehatan yang berhubungan dengan makanan (Dudek, 2006).

Sediaoetama (2004) mengemukakan bahwa pandangan salah terhadap makanan dapat menimbulkan gangguan gizi yang serius di keluarga, misalnya terkait pantangan atau tabu terhadap suatu makanan. Dalam masyarakat terdapat aturan yang menentukan kualitas, kuantitas, dan jenis makanan yang harus dan tidak harus dikonsumsi anggota keluarga sesuai kedudukan, usia, jenis kelamin dan situasi tertentu.

Unsur-unsur budaya manusia menciptakan suatu kebiasaan makan penduduk yang kadang-kadang bertentangan dengan prinsip gizi (Slamet, 2000). Penelitian yang dilakukan oleh Salehi et al (2004) di Iranian menunjukkan bahwa budaya berpengaruh terhadap bagaimana seorang ibu memberikan makanan/zat gizi dan melakukan pola asuh gizi bagi anaknya seperti tradisi menyusui, memberi makan anak, dan perawatan bagi anak. Penelitian yang dilakukan oleh Gay et al (2004) menunjukkan bahwa pada orang Africa-America, perawatan anak dan pola asuh pada umumnya berbasis budaya dan tradisi, misalnya terkait cara pemberian obat-obatan yang biasa diberikan oleh orang tua pada anaknya yang masih banyak menggunakan bahan dari tumbuh-tumbuhan dan bersifat tradisional. Perawatan kesehatan ini akan mempengaruhi status kesehatan atau

Universitas Indonesia derajat infeksi anak yang akhirnya akan berpengaruh terhadap terhadap status gizi anak.

Pada etnis Jawa, makanan yang dikonsumsi sangat dipengaruhi oleh budaya, seperti dalam kebiasaan makan dan pola pengolahan yang khas. Orang jawa cenderung mengkonsumsi makanan manis, berkuah dan bersantan dengan cara pengolahan melalui proses pemasakan yang lama. Proses pemasakan yang lama pada hakikatnya akan mengurangi nilai gizi dari makanan tersebut (Sediaoetama, 2004). Pada budaya jawa, terdapat mitos yang berkaitan dengan makanan. Terdapat makanan yang boleh dan tidak boleh dimakan yang berkaitan dengan kondisi kesehatan balita. Sebagai contoh adalah anak tidak boleh makan ikan karena akan menyebabkan cacingan, anak tidak boleh kebanyakan makan kangkung karena menyebabkan diare (Handayani, 2011).

Di beberapa daerah di Jawa, bayi yang seharusnya diberikan ASI saja sampai usia 6 bulan, justru diberikan makanan lunak misalnya bubur atau buah sebelum berusia 6 bulan dengan alasan bayi lapar kalau hanya diberikan ASI saja, sehingga bayi rewel (Hayati, 2014). Dalam hal pangan, ada budaya yang memprioritaskan anggota keluarga tertentu untuk mengkonsumsi hidangan keluarga yang telah disiapkan yaitu kepala keluarga. Anggota keluarga lain menempati prioritas berikutnya dan yang paling umum mendapatkan prioritas terakhir adalah ibu rumah tangga (Ernawati, 2006).

Apabila hal demikian masih dianut oleh suatu budaya, maka dapat saja terjadi distribusi pangan yang tidak baik di antara anggota keluarga. Keadaan tersebut apabila berlangsung dalam waktu yang lama dapat berakibat timbulnya masalah gizi kurang di dalam keluarga yang bersangkutan. Apabila keluarga terdiri dari individu-individu yang termasuk dalam golongan yang rawan gizi seperti ibu hamil, ibu menyusui, bayi dan anak-anak balita maka kondisi tersebut akan lebih mendukung timbulnya gizi kurang (Ernawati, 2006).

Universitas Indonesia Masyarakat jawa mempunyai budaya tolong menolong yang kental. Hal ini juga berpengaruh terhadap kondisi gizi masyarakat. Masyarakat jawa menggunakan budaya saling menolong ini untuk melakukan pertukaran bahan pangan yang dihasilkan oleh anggota masyarakat. Terdapat budaya saling memberi makan, misalnya tukar menukar padi hasil panen dengan ikan dari anggota masyarakat