• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan pola pengasuhan keluarga terkait gizi dan status gizi balita Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga dengan pola asuh gizi yang

HASIL PENELITIAN

6.1. Interpretasi hasil penelitian 1.Karakteristik balita

6.1.18. Hubungan pola pengasuhan keluarga terkait gizi dan status gizi balita Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga dengan pola asuh gizi yang

kurang baik lebih banyak memiliki balita dengan status gizi kurang dibanding dengan keluarga yang memiliki pola asuh yang baik. Hal ini disebabkan karena pola asuh keluarga terkait gizi yang baik dapat mendukung status gizi anak melalui praktik pemberian makan yang baik, menciptakan lingkungan yang aman dan sehat, menyediakan pelayanan kesehatan yang adekuat, memberikan komunikasi dan dukungan emosional secara adekuat kepada anak.

Pola asuh anak merupakan kemampuan keluarga dan masyarakat untuk menyediakan waktu luang, memberikan perhatian, dukungan terhadap anak dengan tujuan supaya anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, baik secara fisik, mental, dan sosial (Adisasmito, 2007). Pola pengasuhan dapat diwujudkan melalui sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat atau menjaga kebersihan, dan memberikan kasih sayang (Nur’aeni, 2008).

Hasil analisis tiap butir pertanyaan pada kuesioner pola pengasuhan keluarga terkait gizi bahwa masih ada keluarga yang memiliki pola asuh yang kurang baik terkait praktik pemberian makan. Data menunjukkan bahwa 10,3% ibu memiliki kebiasaan memberikan makanan siap saji pada balita dan sebanyak 24,5% ibu balita memiliki kebiasaan menambahkan penyedap makanan saat mengolah makanan supaya balita menyukai makanan tersebut. Pemberian

Universitas Indonesia makanan yang tidak tepat seperti banyak pengawet, kandungan natrium yang tinggi akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan balita. Makanan cepat saji sangat disukai oleh anak karena rasanya gurih dan enak. Makanan cepat saji boleh dikonsumsi oleh anak asalkan dalam jumlah yang tidak berlebihan karena kandungan gizi di dalamnya kurang mencukupi kebutuhan gizi anak dan lebih banyak mengandung lemak (Judarwanto, 2004). Makanan cepat saji harganya jauh lebih mahal dan mengandung zat-zat tinggi lemak, kolesterol serta sodium, akan tetapi rendah kandungan vitamin A, biotin, folat dan zat besi (Hitchock, Schubert & Thomas, 1999)

Hal positip yang dapat ditemukan pada pola pengasuhan keluarga terkait gizi adalah sebanyak 98,7% ibu memberikan makanan untuk anak balitanya sebanyak 3 kali sehari. Sebanyak 86,5% ibu memberikan makanan selingan di sela waktu makan dan sebanyak 95,5% ibu telah berusaha membuat variasi makanan yang menarik supaya anak mau makan. Hal ini berarti bahwa keluarga telah memiliki peran yang positip dalam praktik pemberian makan khususnya pengaturan pola makan dan penyediaan makanan. Keluarga memiliki peran utama dalam pemenuhan nutrisi untuk meningkatkan dan menjaga kesehatan anak. Peran orang tua baik ayah atau ibu dapat diwujudkan melalui kerjasama dalam memenuhi nutrisi yang sehat sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan serta mengembangkan kebiasaan untuk makan makanan yang sehat. Hal tersebut dapat dilakukan dengan membuat jam makan yang teratur dan rutin dan membuat kegiatan yang rutin tersebut menjadi menyenangkan untuk anak. Orang tua juga berperan dalam memberikan contoh kepada anak untuk mengkonsumsi makanan sehat (Brooks, 2011). Penelitian yang dilakukan di Mumbai menunjukkan bahwa status gizi balita, morbiditas balita, dan status kesehatan balita dipengaruhi secara signifikan oleh praktik pemberian makan ibu (Kalita, 2006).

Pola pengasuhan keluarga terkait gizi tidak hanya mencakup pemenuhan kebutuhan makanan sehat, akan tetapi juga mencakup komunikasi (Kalita, 2006). Hal positif yang dapat ditemukan adalah sebanyak 90,3% ibu sudah

Universitas Indonesia memiliki komunikasi yang baik dalam memberikan nutrisi bagi anak, seperti tidak memarahi balita ketika balita tidak menghabiskan makanannya dan berusaha dengan cara bermain atau bercerita untuk membujuk anak supaya mau makan. Komunikasi yang positif pada balita akan memberikan dampak positif bagi balita (Darta, 2011). Bahasa yang kurang baik dapat menimbulkan stress, sedih, sakit dan tertekan bagi sang anak, sehingga akan menimbulkan hubungan yang kurang harmonis antara orang tua dan anak. Hal ini menimbulkan reaksi penolakan anak terhadap makanan. Komunikasi yang baik, dengan sentuhan kasih sayang dapat menguatkan perilaku mudah makan pada balita (Judarwanto, 2004).

Pola pengasuhan terkait gizi juga memuat peran orang tua dalam menangani kesulitan makan pada anak. Judarwanto (2004) mengemukakan bahwa terdapat beberapa cara untuk memperbaiki proses pemberian makan pada balita; (1) memerintahkan anak untuk makan dengan kalimat dan nada yang lembut (2) mengingatkan makan anak menjelang masuk waktu makan (3)menyajikan makanan yang sederhana namun mudah dikenal (4) menyajikan makanan dalam bentuk yang mudah untuk digenggam (5) mengenalkan jenis makanan baru (6) memperhatikan penampilan makanan (7) membuat suasana makan menjadi menyenangkan (8) mengikutsertakan anak dalam memilih menu dan mengolah makanan (9) memberikan contoh cara makan yang baik pada anak (10)membiarkan anak makan sendiri (11)tidak tergesa-gesa saat menyuruh anak makan (12)tidak memberikan makan anak dengan porsi yang berlebihan.

Hasil analisis menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh keluarga terkait gizi dengan status gizi balita (p value=0,045). Pola asuh keluarga terkait status gizi yang kurang baik berpeluang 2,96 kali lebih besar mendapatkan gizi kurang dibanding dengan pola asuh keluarga yang baik (OR=2,955). Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Kartika et al (2000) bahwa terdapat hubungan antara pola asuh makan dengan status gizi balita. Hasil penelitian ini tidak senada dengan penelitian yang dilakukan Mirayanti

Universitas Indonesia (2012) bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh pemenuhan nutrisi dengan status gizi balita. Hal ini disebabkan karena pola asuh tidak bisa secara langsung mempengaruhi kondisi status gizi balita.

UNICEf dalam kerangka konsep mengenai status gizi balita, menunjukkan bahwa pola asuh gizi merupakan faktor yang tidak langsung yang berpengaruh terhadap status gizi balita. Kondisi usia balita yang masih berada pada tahap ketergantungan dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya terhadap orang tua atau pengasuh, membuat asupan makanan sangat tergantung dengan bagaimana cara pengasuhan, cara memberi makan dan cara perawatan kesehatan oleh orang tua atau pengasuh. Ketidaksesuaian cara pemberian makan akan memberikan efek negatif terhadap nutrisi balita (UNICEF, 2013).

Berdasarkan hasil penelitian sangat diperlukan peran perawat komunitas untuk memberikan intervensi mengenai aspek perilaku khususnya terkait pola pengasuhan keluarga terkait gizi, terutama difokuskan kepada ibu balita. Hal ini mencakup praktik pemberian makan, penyediaan makanan dan komunikasi, sehingga diharapkan dapat mengurangi angka kejadian gizi kurang pada balita.

6.1.19.Hubungan pelayanan kesehatan dengan status gizi balita.

Hasil penelitian mengenai hubungan pelayanan kesehatan dengan status gizi balita menunjukkan bahwa keluarga dengan akses pelayanan kesehatan adekuat, lebih sedikit mengalami gizi kurang dibanding keluarga yang kurang adekuat dalam mengakses pelayanan kesehatan. Pemanfaatan pelayanan kesehatan yang adekuat dapat melindungi balita dari penyakit infeksi yang berkaitan dengan kondisi gizi kurang pada balita. Perilaku pencarian kesehatan akan berdampak pada peningkatan status gizi balita apabila pelayanan kesehatan yang diterima bersifat adekuat dan berkualitas (UNICEF, 2013).

Universitas Indonesia Perawatan kesehatan yang teratur, tidak hanya pada saat anak sakit, melakukan pemeriksaan kesehatan dan menimbang anak secara rutin setiap bulan, akan menunjang pada tumbuh kembang anak. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hidayat dan Jahari (2011) menunjukkan bahwa perilaku ibu balita yang memanfaatkan pelayanan kesehatan memiliki status gizi yang lebih baik dibandingkan dengan keluarga balita yang tidak memanfaatkan pelayanan kesehatan.

Hasil item analisis jenis pelayanan kesehatan yang dimanfaatkan keluarga balita, mayoritas keluarga memanfaatkan puskesmas dan posyandu sebagai tempat pelayanan kesehatan. Melihat kondisi pelayanan kesehatan di wilayah Puskesmas Sentolo 1 bahwa di wilayah ini terdapat mempunyai 1 Puskesmas induk yaitu Puskesmas Sentolo 1 dan masing-masing kelurahan memiliki 1 puskesmas pembantu serta masing-masing dusun memiliki posyandu.

Berdasarkan hasil penelitian melalui penjabaran item soal mengenai pelayanan kesehatan bahwa sebanyak 29% ibu balita tidak membawa anak balitanya ke posyandu secara rutin satu bulan sekali. Hasil wawancara dengan beberapa ibu balita menunjukkan bahwa ibu tidak percaya diri dengan berat badan anaknya, apalagi ketika anaknya mengalami gizi kurang dan tidak mengalami kenaikan berat badan. Ibu juga mengatakan bahwa anak tidak perlu dibawa ke pelayanan kesehatan apabila anaknya tidak sakit berat, misalnya anak balita flu atau pilek tidak perlu dibawa ke pelayanan kesehatan karena akan sembuh dengan sendiri penyakitnya.

Hasil penelitian Rasni (2008), kejadian pada keluarga miskin di Pelindu banyak yang tidak mengakses pelayanan kesehatan yang disediakan, seperti tidak ke posyandu disebabkan oleh adanya perasaan takut dengan pelayanan kesehatan (takut terhadap ruangan dan alat-alat kesehatan yang asing, serta petugas kesehatan yang kurang ramah), selain itu keluarga tidak lagi mau membawa anak ke posyandu karena anak mengalami panas paska imunisasi di posyandu. Keluarga yang mengakses pelayanan posyandu juga mengalami

Universitas Indonesia kekecewaan karena jarangnya kegiatan posyandu dan seringkali petugas kesehatan tidak datang ketika kegiatan posyandu berlangsung.

Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 19,4% keluarga balita masih terkendala jarak untuk mengakses pelayanan kesehatan. Sebanyak 21,3% keluarga balita masih terkendala transportasi untuk menuju ke pelayanan kesehatan. Melihat kondisi geografis wilayah Sentolo sebagai tempat penelitian, wilayah ini memiliki luas wilayah yang cukup luas dengan kepadatan penduduk yang cukup jarang, beberapa wilayah terdiri dari pegunungan dengan akses transportasi yang kurang adekuat. Contohnya di wilayah Tegowanu Kaliagung, berdasarkan wawancara dengan beberapa ibu balita menunjukkan bahwa ibu mengatakan jarang ke posyandu karena jaraknya jauh (lebih dari 2 km), dengan lokasi harus melewati bukit untuk mencapai tempat posyandu.

Selain terkendala dari segi jarak, beberapa keluarga juga terhalang oleh minimnya kepemilikan alat transportasi berupa kendaraan bermotor. Beberapa ibu balita harus jalan kaki dengan jarak relatif jauh. Alat transportasi umum yang ada di wilayah tersebut hanyalah mobil semacam angkot, yang beroperasi ketika pagi dan siang hari saat jam sekolah saja. Akses menuju pelayanan kesehatan dilihat dari segi jarak, waktu tempuh dan biaya yang dikeluarkan untuk mencapai pelayanan kesehatan. Jarak merupakan ukuran jauh dekatnya dari rumah atau tempat tinggal seseorang ke pelayanan kesehatan. Jarak yang jauh merupakan salah satu penghambat dalam mengakses pelayanan kesehatan (Sartika, 2010).

Sebanyak 15,5% keluarga mengalami hambatan dalam segi waktu untuk mengakses ke pelayanan kesehatan. Jam layanan di Puskesmas Sentolo 1 dan puskesms pembantu adalah pukul 07.30-14.00, serta melayani pelayanan gawat darurat 24 jam. Hasil wawancara dengan beberapa ibu balita, bahwa keluarga lebih memilih untuk periksa di Puskesmas dibandingkan di bidan, klinik atau dokter karena biaya di Puskesmas lebih murah dan bisa

Universitas Indonesia menggunakan jaminan kesehatan, akan tetapi yang menjadi kendala adalah dalam segi waktu karena harus mengantri lama dengan pasien lain yang jumlahnya banyak. Kendala terkait waktu juga ditemukan pada ibu yang memanfaatkan posyandu. Beberapa posyandu di wilayah ini ada yang diselenggarakan pukul 13.00, sehingga beberapa ibu ada yang tidak hadir ke posyandu dengan alasan anak balitanya sedang tidur. Hasil wawancara dengan petugas kader, kader mengatakan bahwa Posyandu dilaksanakan siang hari karena kalau pagi hari, bagi ibu balita yang bekerja akhirnya tidak pernah membawa anaknya ke posyandu. Posyandu dilaksanakan siang hari supaya ibu yang bekerja, bisa tetap membawa anaknya ke posyandu.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 23,9% kader atau petugas kesehatan belum memberikan penyuluhan apabila terdapat masalah gizi pada balita. Hal ini menunjukkan belum seluruh kader menjalankan perannya secara optimal sebagai tenaga kesehatan dan tokoh masyarakat. Hasil observasi peneliti selama mengikuti jalannya posyandu di beberapa posyandu bahwa, kegiatan posyandu lebih ditujukan untuk penimbangan dan pembagian gizi. Jadi balita hanya ditimbang, kemudian diberikan gizi berupa makanan yang disediakan di posyandu kemudian balita pulang atau beberapa balita ikut dalam kegiatan PAUD (pendidikan anak usia dini). Akan tetapi hasil observasi di beberapa posyandu sudah terlihat ada peran serta kader kesehatan memberikan penyuluhan kepada ibu balita dengan anaknya yang mengalami gizi kurang, walaupun belum semua kader menerapkannya. Bentuk penyuluhan yang diberikan misalnya terkait praktik pemberian makan, praktik kebersihan dan kepatuhan untuk datang ke posyandu.

Hal positip yang ditemukan pada variabel pelayanan kesehatan ini adalah besarnya proporsi ibu yang memanfaatkan posyandu yaitu 88,4%. Ini berarti sebagian besar ibu memiliki motivasi untuk datang ke posyandu, walaupun diantaranya ada yang terkendala jarak, waktu dan transportasi. Proporsi ini lebih besar dibandingkan dengan hasil penelitian Sartika (2010) mengenai analisis pemanfaatan program pelayanan kesehatan terhadap status gizi balita,

Universitas Indonesia proporsi keluarga balita yang memanfaatkan posyandu adalah sebanyak 64,8%. Pemanfaatan posyandu dipengaruhi oleh beberapa faktor diantara karena ketersediaan sarana dan prasana, mutu pelayanan yang baik, ada peran dari tokoh masyarakat, dan masyarakat tidak mampu membawa anak ke fasilitas pelayanan lain. Rendahnya tingkat keteraturan ibu datang ke posyandu untuk memantau kondisi pertumbuhan anak dapat berakibat keterlambatan dalam deteksi gangguan pertumbuhan anak (Sartika, 2010).

Hal positip lain terkait pelayanan kesehatan yang juga ditemukan pada penelitian ini adalah sebanyak 90,3% keluarga pernah mendapatkan informasi dari petugas kesehatan (dokter/perawat/ahli gizi/bidan) atau kader mengenai gizi pada balita. Hal ini menunjukkan bahwa keluarga telah dibekali informasi mengenai gizi balita, sehingga akan digunakan sebagai bekal untuk menjaga kondisi anak tetap baik dalam kondisi status gizinya dan mencegah supaya tidak mengalami gizi kurang.

Hasil analisis menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara pelayanan kesehatan dengan status gizi balita (p value = 0,621). Hal ini disebabkan karena pengaruh kondisi status perekonomian keluarga balita yang sebagian besar memiliki penghasilan kurang dari UMK. Kondisi ini menyebabkan kurangnya akses keluarga terhadap pelayanan kesehatan. Kemampuan keluarga untuk mengakses pelayanan kesehatan berkaitan dengan ketersediaan sarana pelayanan kesehatan dan kemampuan ekonomi untuk membayar biaya pelayanan kesehatan (Sartika, 2010). Pendapat ini didukung oleh penelitian Kusuwawati dan Rahardjo (2012) bahwa masalah ekonomi akan mengganggu aksesibilitas keluarga dan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan.

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Thomson, Davis, Renzaho dan Toole (2014), bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kualitas dan aksesibilitas pelayanan kesehatan yang diterima dengan status gizi balita. Penelitian yang dilakukan di Ghana dan Columbia tahun 2011 menunjukkan

Universitas Indonesia bahwa perbaikan kualitas dan aksesibilitas pelayanan kesehatan berpengaruh terhadap status gizi balita. Penelitian di berbagai negara dengan pelayanan primer atau pelayanan kesehatan tingkat pertama di komunitas yang bagus, menunjukkan adanya penurunan jumlah rata-rata balita dengan gizi kurang sebanyak 1-2% pertahun. Penelitian ini juga tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sartika (2010) menunjukkan bahwa variabel pelayanan kesehatan yang meliputi akses pelayanan kesehatan (jarak, waktu, ketersediaan alat transportasi) dan pemanfaatan pelayanan kesehatan, berpengaruh secara signifikan dengan kejadian malnutrisi balita (p=0,000).