• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kelompok balita sebagai populasi beresiko

2.2.2. Penilaian Status Gizi

Penilaian status gizi dapat ditentukan secara langsung dan secara tidak langsung (Gozali, 2010).

2.2.2.1.Penilaian secara langsung

Penilaian status gizi secara langsung dapat dilakukan secara pengukuran antropometri, klinis, biokimia dan biofisik (Supariasa, 2002).

a) Antropometri

Antropometri berarti ukuran tubuh manusia. Antropometri secara umum digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Antropometri gizi merupakan cara pengukuran status gizi yang paling sering digunakan di masyarakat. Pengukuran antropometri diakui sebagai indeks yang baik dan dapat diandalkan bagi penentuan status gizi. Pengukuran ini

Universitas Indonesia merupakan cara pengukuran yang sederhana, sehingga pelaksanaannya tidak hanya di rumah sakit atau puskesmas, tetapi dapat dilakukan di posyandu, PKK, atau rumah penduduk (Gozali, 2010).

Keunggulan antropometri gizi sebagai metode penilaian status gizi adalah prosedurnya sederhana, aman dan dapat dilakukan dalam jumlah sampel yang besar. Antropometri relatif tidak membutuhkan tenaga ahli, cukup dilakukan oleh tenaga yang sudah dilatih dalam waktu singkat. Alat yang digunakan cenderung murah, mudah dibawa, tahan lama, dapat dipesan dan dibuat di daerah setempat. Metode ini juga tepat dan akurat, karena dapat dibakukan, dapat mendeteksi atau menggambarkan riwayat gizi di masa lampau (Supariasa, 2002).

Penilaian status gizi menggunakan metode antropometri memiliki beberapa kelemahan yaitu tidak dapat membedakan kekurangan zat gizi tertentu seperti Zink dan Fe. Faktor di luar gizi (penyakit, genetik, dan penurunan penggunaan energi) dapat menurunkan spesifisitas dan sensitivitas pengukuran antropometri. Kesalahan yang terjadi pada saat pengukuran dapat mempengaruhi presisi, akurasi, dan validitas pengukuran antropometri gizi (Supariasa, 2002).

b) Penilaian klinis

Penilaian gizi secara langsung yang kedua adalah dengan metode penilaian klinis. Metode ini didasarkan atas perubahan–perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Metode ini juga digunakan untuk mengetahui tingkat status gizi seseorang dengan melakukan pemeriksaan fisik yaitu tanda (sign) dan gejala (symptom) atau riwayat penyakit. Penilaian status gizi secara klinis didapatkan kesukaran dalam pembakuannya dan sering sangat subyektif. Selain itu cara ini tergolong mahal dari sudut tenaga karena diperlukan keterampilan khusus untuk melakukannya (Gozali, 2010).

Universitas Indonesia c) Biokimia

Penilaian status gizi selanjutnya adalah dengan metode biokimia. Penilaian satus gizi secara biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan antara lain: darah, urin, tinja, dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot. Metode ini digunakan untuk menentukan kekurangan gizi yang spesifik (Gozali, 2010).

Keunggulan teknik pemeriksaan biokimia ini adalah dapat mendeteksi defisiensi zat gizi lebih dini, hasil pemeriksaan lebih obyektif dan hasilnya dapat menunjang hasil pemeriksaan metode lain. Kelemahan dari metode ini adalah biayanya cukup mahal, membutuhkan tenaga ahli dalam melakukan pemeriksaan dan kesulitan dalam mengambil spesimen khususnya pada pasien balita (Supariasa, 2002).

d) Biofisik

Penilaian status gizi secara langsung dapat juga dilakukan dengan metode biofisik yaitu penilaian status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dari jaringan (Gozali, 2010). Pemeriksaan metode ini bisa dilakukan dengan pemeriksaan radiologi untuk penelitian survei yang sifatnya retrospektif pada kasus kurang gizi dan KEP dini. Misalnya untuk melihat adanya pelebaran tulang lengan dan tulang pinggul (riketsia) dan kelainan bentuk tulang (Supariasa, 2002).

2.2.2.2. Penilaian secara tidak langsung

Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dibagi menjadi tiga (Supariasa, 2002), yaitu survei konsumsi makanan, statistik vital dan pengukuran faktor ekologi.

a) Survei konsumsi makanan

Survei konsumsi makanan yaitu penentuan status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Pengumpulan data konsumsi makanan dapat memberikan gambaran tentang konsumsi berbagai

Universitas Indonesia zat gizi pada masyarakat, keluarga, dan individu. Metode ini bermanfaat untuk mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan zat gizi. Metode survey konsumsi makanan yang dilakukan untuk individu, meliputi; metode recall 24 jam, estimated food records, penimbangan makanan, dietary history dan frekuensi makanan.

Metode food recall 24 jam dilakukan dengan mencatat jenis serta jumlah makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Data yang diperoleh dari pemeriksaan ini bersifat kualitatif oleh karena itu untuk mendapatkan data kuantitatif dibutuhkan ukuran rumah tangga (URT) seperti sendok, gelas, piring dan lainnya. Hasil yang sudah dikonversikan dengan URT tersebut kemudian dibandingkan dengan angka kecukupan energi yang telah ditetapkan sesuai usia. Metode ini sangat tergantung dengan daya ingat responden (Supariasa, 2002)

Metode estimated food records atau food records, dilakukan dengan responden diminta mencatat semua jenis makanan atau minuman setiap kali sebelum makan dalam URT selama periode tertentu (2-4 hari secara berturut-turut) kemudian dianalisis jumlahnya dalam gram dan dibandingkan dengan angka kecukupan energi. Metode ini memberikan informasi mengenai konsumsi makanan yang mendekti sebenarnya (Supariasa, 2002).

Metode penimbangan makanan (food weighing) dilakukan dengan menimbang dan mencatat seluruh makanan yang dikonsumsi responden selama 1 hari. Jumlah makanan kemudian dibandingkan dengan angka kecukupan energi. Sisa makanan setelah makan juga dilakukan penimbangan untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi sesungguhnya (Supariasa, 2002).

Metode riwayat makanan (dietary history methode) dilakukan untuk mengetahui pola konsumsi makanan dalam jangka waktu lama dalam 1 minggu/bulan/tahun. Selain dengan melakukan recall 24 jam, perlu dilakukan pencatatan frekuensi penggunaan sejumlah bahan makanan dalam bentuk ceck

Universitas Indonesia list untuk mengecek kebenaran dari recall 24 jam yang sudah dilakukan, kemudian dilanjutkan kembali 2-3 hari sebagai cek ulang. Metode ini dapat bermanfaat untuk menilai konsumsi makanan pada periode panjang secara kualitatif dan kuantitatif (Supariasa, 2002).

Metode frekuensi makanan (food frequency) yaitu suatu metode yang digunakan untuk menilai konsumsi makanan mengenai frekuensi konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan yang sudah jadi selama periode tertentu misalnya hari, minggu, bulan atau tahun. Penggunaan metode ini dilakukan dengan cara tiap responden diminta untuk memberi ceck list pada daftar makanan yang sudah disediakan pada kuesioner yang diisi berdasarkan frekuensi penggunaannya serta ukuran porsinya. Tahap selanjutnya dilakukan rekapitulasi frekuensi penggunaan jenis bahan makanan terutama yang mengandung sumber zat gizi tertentu selama periode tertentu (Supariasa, 2002).

b) Metode statistik vital

Penilaian status gizi secara tidak langsung yang kedua adalah dengan metode statistik vital. Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah dengan menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian berdasarkan usia, angka kesakitan dan kematian akibat penyebab tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi. Hasil penilaian melalui statistik vital ini sebagai bagian gambaran atau sebagai indikator tidak langsung pengukuran status gizi masyarakat.

c) Pengukuran faktor ekologi

Penilaian status gizi secara langsung yang ketiga adalah dengan cara pengukuran faktor ekologi di mana penyebab malnutrisi di suatu masyarakat sebagai dasar untuk melakukan program intervensi gizi. Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi persediaan pangan dan asupan gizi seseorang adalah lingkungan fisik, biologis, budaya, sosial, ekonomi, dan politik (Supariasa, 2002).

Universitas Indonesia 2.2.3. Parameter antropometri

Penilaian status gizi memerlukan berbagai jenis parameter. Parameter adalah ukuran tunggal dari tubuh manusia, antara lain meliputi; usia, berat badan (BB), tinggi badan (TB), lingkar lengan atas (LILA), lingkar kepala (LK), lingkar dada, lingkar pinggul dan tebal lemak di bawah kulit. Berat badan merupakan ukuran antropometri yang terpenting dan paling sering digunakan pada bayi–balita (Supariasa, 2002).

Pada masa bayi–balita, berat badan dapat dipergunakan untuk melihat laju pertumbuhan fisik maupun status gizi. Penimbangan berat badan adalah pengukuran antropometri yang umum digunakan dan merupakan kunci yang memberi petunjuk nyata dari pertumbuhan tubuh yang baik maupun yang buruk. Berat badan merupakan suatu pencerminan dari kondisi yang sedang berlaku dan ukuran yang paling baik mengenai konsumsi kalori protein. Penentuan BB sangat berhubungan dengan usia balita. Hasil penimbangan yang akurat tidak akan berarti, apabila tidak disertai penentuan usia yang tepat, atau paling tidak mendekati usia yang sebenarnya (Gozali, 2010).

Tinggi badan (TB) juga merupakan parameter penting dalam pengukuran antropometri gizi. Tinggi badan merupakan parameter penting bagi keadaan yang dulu dan sekarang apabila usia tidak diketahui secara tepat (Supariasa, 2002). Pengukuran tinggi badan untuk anak balita dapat dilakukan pada anak balita yang sudah bisa berdiri dengan microtoise. Pada anak di bawah usia 24 bulan dianjurkan dilakukan pengukuran panjang badan (PB) dengan menggunakan papan secara terlentang, apabila pada usia tersebut dilakukan pengukuran TB secara berdiri, maka hasil yang diperoleh ditambah 0,7 cm. Pada anak di atas usia 24 bulan dianjurkan dilakukan dengan cara berdiri, apabila dilakukan pengukuran panjang badan secara terlentang, maka hasilnya dikurangi 0,7 cm (Kemenkes RI, 2011).

Universitas Indonesia Parameter lain yang tak kalah penting adalah usia. Kesalahan dalam penghitungan usia akan menyebabkan kesalahan dalam intrepetrasi status gizi. Usia balita dihitung secara genap, jadi apabila balita berusia 2 tahun 20 hari, maka dikatakan balita tersebut berusia 2 tahun (Kemenkes RI, 2011).