HASIL PENELITIAN
6.1. Interpretasi hasil penelitian 1.Karakteristik balita
6.1.6. Pola pengasuhan keluarga terkait gizi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga balita memiliki pola pengasuhan yang kurang baik terkait gizi balita. Akan tetapi berdasarkan analisis item pertanyaan, menunjukkan bahwa sebagian besar ibu sudah memiliki perilaku yang baik dalam hal praktik pemberian makan, pengaturan pola makan, penyediaan makanan, komunikasi saat pemberian makan. Hal ini bisa disebabkan adanya ketidaknormalan dalam distribusi data, di mana mayoritas ibu memiliki jawaban yang sama mengenai pola pengasuhan keluarga terkait gizi, setelah variabel pola pengasuhan ini dilakukan compute, total nilai cut off poin median yang digunakan juga semakin tinggi.
Universitas Indonesia Pola asuh keluarga yang kurang baik menempatkan balita pada kondisi yang beresiko mengalami masalah terkait status gizinya. UNICEF (2013) mengemukakan bahwa pola asuh yang salah merupakan penyebab tidak langsung masalah gizi kurang pada balita. Pola asuh terkait gizi merupakan salah satu bagian dari pola asuh anak. Aspek yang paling penting dalam pola asuh gizi adalah kemampuan keluarga dalam memilih makanan sehat sesuai daya beli, praktik menyusui, penyiapan makanan, pengolahan makanan, penyimpanan makanan, kebersihan diri, cara komunikasi keluarga terhadap balita dalam pemenuhan nutrisi (Mirayanti, 2012).
Eagle et al, 1997 dalam Mirayanti (2012) mengemukakan bahwa perilaku pemberian asuhan dipengaruhi oleh ketersediaan sumber pengasuhan yang berupa pengetahuan, kesehatan mental, pekerjaan, waktu dan dukungan sosial. Selain itu dipengaruhi juga oleh ketersediaan sumber ekonomi seperti produksi makanan, pendapatan keluarga dan ketersediaan lapangan pekerjaan. Pola asuh juga dipengaruhi oleh ketersediaan sumber daya kesehatan yang meliputi ketersediaan air bersih, pelayanan kesehatan, sanitasi dan keamanan lingkungan.
Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Kusumawati dan Rahardjo (2012), bahwa sebagian besar responden memiliki pola asuh makan yang kurang baik (60,5%). Hal ini dipengaruhi oleh pendidikan, pengetahuan dan peran ibu dalam praktik pemberian makan. Hasil penelitian ini tidak senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Mirayanti (2012) bahwa sebagian besar responden (50,7%) memiliki pola asuh yang baik terkait gizi pada balita. Pada penelitian Mirayanti (2012) ini pengetahuan ibu terkait pola asuh pemenuhan nutrisi sebagian besar (75,4%) kurang baik akan tetapi pola asuh pemberian nutrisinya sebagian besar adalah baik.
6.1.7. Pelayanan kesehatan
Hasil penelitian mengenai pelayanan kesehatan menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan yang diterima dan dimanfaatkan keluarga dengan balita
Universitas Indonesia sebagian besar kurang adekuat. UNICEF (2013) dalam kerangka konsep status gizinya menerangkan bahwa pelayanan kesehatan yang diterima keluarga berkontribusi terhadap kondisi status gizi pada balita. Makin tinggi jangkauan masyarakat terhadap sarana pelayanan kesehatan dasar tersebut di atas, makin kecil risiko terjadinya penyakit gizi kurang.
Beberapa aspek pelayanan kesehatan dasar yang berkaitan dengan status gizi anak antara lain: imunisasi, penimbangan anak, pendidikan kesehatan anak, serta sarana kesehatan seperti posyandu, puskesmas, rumah sakit, praktek bidan dan dokter. Posyandu merupakan bentuk upaya kesehatan yang bersumber masyarakat (UKBM) yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh dan untuk masyarakat yang bertujuan untuk memberdayakan dan mempermudah masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar guna menurunkan angka kematian ibu, bayi dan balita. Kegiatan yang diselenggarakan dalam lingkup posyandu meliputi kesehatan ibu dan anak (KIA), keluarga berencana (KB), imunisasi, peningkatan gizi dan penanggulangan diare (Depkes, 2006).
Puskesmas berperan dalam melakukan rawat jalan bagi balita dengan gizi kurang, dengan atau tanpa komplikasi penyakit. Puskesmas menyediakan fasilitas pengobatan dan pemberian makanan tambahan bagi balita dengan gizi kurang atau buruk. Puskesmas yang memiliki fasilitas rawat inap, berperan dalam merawat balita gizi buruk tanpa harus merujuk ke rumah sakit, kecuali apabila kondisi anak tidak memungkinkan dirawat di Puskesmas (Depkes, 2006).
Rumah sakit merupakan tempat rujukan atau perawatan bagi balita yang mengalami gizi buruk yang disertai dengan penyakit ringan atau berat. Perawatan balita gizi buruk di rumah sakit diselenggarakan secara gratis tanpa dipungut biaya (Adisasmito, 2007). Rumah sakit melayanai sistem rujukan dengan jaminan kesehatan terutama untuk masyarakat miskin (Depkes, 2009). Pelayanan balita gizi buruk dengan komplikasi sekarang ini bisa dilakukan di
Universitas Indonesia rumah sakit, puskesmas rawat inap atau di Therapeutic Feeding Centre (TFC) atau Pusat Pemulihan Gizi (PPG) yang ada di Puskesmas, puskesmas perawatan atau rumah sakit. Pelayanan gizi buruk tanpa komplikasi bisa dilaksanakan dengan rawat jalan, dan untuk balita gizi kurang bisa dilakukan dengan pemberian makanan tambahan pemulihan (PMT-P) dan pemulihan gizi berbasis masyarakat yaitu melalui posyandu (Kemenkes RI, 2011).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemanfaatan layanan kesehatan pada sebagian responden masih rendah. Depkes (1999) mengemukakan bahwa pemanfaatan pelayanan kesehatan yang rendah dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya yaitu: adanya faktor geografis seperti jarak yang jauh, tidak tahu adanya suatu kemampuan fasilitas (faktor informasi), biaya yang tidak terjangkau (faktor ekonomi) dan tradisi yang menghambat pemanfaatan fasilitas (faktor budaya). Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Kusumawati dan Rahardjo (2012) bahwa sebagian besar responden memiliki akses pelayanan kesehatan yang kurang baik (79,1%). Kondisi ini disebabkan karena faktor ketersediaan pelayanan kesehatan, ekonomi, pendidikan dan pengetahuan.
Kondisi kurang adekuatnya pemanfaatan pelayanan kesehatan pada sebagian besar responden disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah faktor geografi (jarak yang jauh dari fasilitas layanan kesehatan), terbukti dari hasil penelitian bahwa sebanyak 19,4% keluarga masih terkendala jarak dalam mengakses pelayanan kesehatan. Kurangnya keadekuatan pelayanan kesehatan bisa juga disebabkan karena faktor ekonomi, sebagian besar keluarga responden (52,3%) berada pada tingkat perekonomian yang rendah. Hal ini menyebabkan ketidakmampuan keluarga dalam menjangkau biaya kesehatan, walaupun beberapa keluarga mengatakan sudah memiliki jamkesmas.
Kurangnya pemanfaatan pelayanan kesehatan pada penelitian ini juga dipengaruhi oleh budaya, terbukti masih terdapat 27,7% keluarga yang memberikan ramuan tradisional pada balita ketika tidak nafsu makan dan
Universitas Indonesia sebanyak 14,8% ibu membawa balita ke dukun bayi/tiyang sepuh/kyai ketika anak mengalami sakit. Ketidakadekuatan pemanfaatan pelayanan kesehatan juga dipengaruhi oleh jenis dan kualitas pelayanan kesehatan. Terbukti dari hasil penelitian ini, bahwa sebanyak 23,9% kader atau petugas kesehatan belum memberikan penyuluhan apabila terdapat masalah gizi pada balita.
6.1.8. Budaya
Hasil analisis variabel budaya menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga balita masih memiliki budaya yang kurang menunjang kesehatan. Kondisi ini dipengaruhi oleh adanya nilai yang dianut dalam keluarga, terutama nilai yang berkaitan dengan pemenuhan gizi. Aspek kultural yang berkaitan dengan gizi menurut Koentjaraningrat 1990 dalam Handayani (2011) adalah mencakup nilai, norma, kebiasaan, tradisi, mitos terkait gizi dan makanan. Aspek ini juga mencakup sistem sosial yang merupakan kompleks aktivitas manusia dalam masyarakat berupa keakraban sosial serta kelembagaan dalam masyarakat yang berkaitan dengan gizi dan makanan.
Menurut Friedman (2010) nilai dalam keluarga memiliki pengaruh terhadap sikap dan perilaku anggota keluarga khususnya dalam pola pengasuhan balita. Bentuk nilai yang dianut dalam keluarga salah satunya adalah adanya pandangan salah terhadap makanan dan pantangan terhadap makanan, prioritas dalam pengalokasian makanan pada anggota keluarga tertentu, dan pemanfaatan pelayanan kesehatan.
Budaya yang ada di masyarakat mempengaruhi konsumsi gizi masyarakat. Budaya terkait gizi adalah meliputi kebiasaan keluarga terkait memilih jenis makanan yang akan dibeli untuk kebutuhan makanan sehari-hari, bagaimana cara memasaknya, bagaimana cara menyimpannya, menghidangkan, memakannya, jenis makanan yang boleh dan tidak boleh di dikonsumsi (Slamet, 2000). Budaya masyarakat bisa dilihat dari cara hidup seseorang (way of life). Hal ini menentukan perilaku masyarakat terkait apa saja yang boleh dilakukan dan bagaimana cara melakukannya (Slamet, 2000).
Universitas Indonesia Kebudayaan merupakan suatu kompleks aktivitas serta tindakan yang berpola dari manusia dalam suatu masyarakat, yang dinamakan sistem sosial. Kebudayaan terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, bergaul satu dengan yang lain, yang selalu menurut pola-pola tertentu berdasarkan adat dan tata kelakuan. Sistem sosial ini bersifat konkrit, terjadi di sekeliling masyarakat sehari-hari, dapat diobservasi, difoto dan didokumentasikan (Koentjaraningrat 1990 dalam Handayani, 2011).
6.1.9. Hubungan usia dengan status gizi balita
Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa, jumlah kasus gizi kurang sebagian besar ditemukan pada golongan usia toodler dibandingkan pada usia prasekolah. Pada usia toodler (12-36 bulan), balita melewati periode transisi yaitu masa penyapihan pemberian ASI. Ketika ASI dihentikan, yang pada umumnya pada usia 2 tahun, maka anak akan berdaptasi dengan perubahan makanan yang mirip dengan orang dewasa, gizi kurang pada anak bisa terjadi pada saat masa peralihan antara saat disapih dan mulai mengikuti pola makan orang dewasa (Hidayati, 2011). Masa penyapihan ini merupakan suatu periode perubahan besar yang terjadi pada balita. Metode penyapihan yang kurang tepat akan menyebabkan balita mengalami kesulitan makan dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kondisi status gizi.
Hasil penelitian ini didukung oleh Badake et al (2014), bahwa prevalensi gizi kurang lebih banyak ditemukan pada usia 12-35 tahun karena berhubungan dengan proses penyapihan yang kurang tepat dan praktik pemberian makanan pendamping yang tidak adekuat, sehingga berpengaruh terhadap asupan energi dan protein. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ajao, Ojofeitimi, Adebayo, Fatusi dan Afolabi (2010) semakin menguatkan bahwa masa penyapihan bisa mempengaruhi kondisi pertumbuhan balita. Masa ini merupakan periode transisi yang menjadikan stresor tersendiri bagi balita, hal ini membuat anak kadang sulit makan atau makan dalam porsi yang sedikit.
Universitas Indonesia Kejadian gizi kurang pada lebih banyak pada usia 12-36 bulan bisa juga disebabkan oleh pemberian makanan pendamping ASI yang tidak tepat. Badake et al (2014) mengemukakan bahwa kebanyakan balita kurang dari 2 tahun mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung karbohidrat, meskipun intake energi merupakan hal yang penting akan tetapi asupan nutrisi lain seperti protein, vitamin dan mineral juga sangat penting dibutuhkan oleh tubuh. Ketidaktepatan pemberian makanan pendamping ASI akan menyebabkan anak mengalami gizi kurang (Kemenkes RI, 2014).
MP-ASI yang tepat dan baik merupakan makanan yang dapat memenuhi kebutuhan gizi terutama zat gizi mikro sehingga bayi dan anak dapat tumbuh kembang dengan optimal. MP-ASI yang baik apabila mengandung padat energi, protein dan zat gizi mikro (Fe, Zinc, Kalsium, Vit. A, Vit. C dan Folat, tidak berbumbu tajam, tidak menggunakan gula, garam, penyedap rasa, pewarna dan pengawet. Kriterian lain MP ASI yang baik adalah mudah ditelan dan disukai anak serta tersedia lokal dan harga terjangkau (Kemenkes RI, 2014).
Pada anak usia 6-24 bulan, kebutuhan terhadap berbagai zat gizi semakin meningkat dan tidak lagi dapat dipenuhi hanya dari ASI saja. Pada usia ini anak berada pada periode pertumbuhan dan perkembangan cepat, mulai terpapar terhadap infeksi dan secara fisik mulai aktif, sehingga kebutuhan terhadap zat gizi harus terpenuhi dengan memperhitungkan aktivitas bayi/anak dan keadaan infeksi. Agar mencapai gizi seimbang maka perlu ditambah dengan Makanan Pendamping ASI atau MP-ASI, sementara ASI tetap diberikan sampai bayi berusia 2 tahun (Kemenkes RI, 2014).
Gibney (2005) mengemukakan bahwa usia 6-24 bulan merupakan periode transisi yang sangat menentukan karena pada periode ini terdapat pajanan yang paling efektif dengan berbagai mikroorganisme patogen lingkungan dan memungkinkan anak mengalami ketidakcukupan asupan gizi yang paling besar. Hal ini disebabkan oleh asupan energi dan nutrisi yang tidak memadai,
Universitas Indonesia mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi, penurunan daya tahan tubuh terhadap infeksi dan berkaitan dengan tahap perkembangannya, anak sering memasukkan berbagai barang ke mulutnya.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Annim dan Imai (2014), bahwa proporsi kasus gizi kurang meningkat seiring dengan peningkatan usia. Hal ini disebabkan karena pada usia yang lebih besar anak lebih aktif dan umumnya sudah berhenti menyusu. Anak pada usia yang lebih besar, kurang mendapatkan perhatian dalam segi pola praktik pemberian makan dan pengasuhan. Penelitian yang dilakukan oleh Bittikaka (2011) juga menunjukkan bahwa prevalensi gizi kurang justru lebih banyak pada anak usia lebih dari 20 bulan yang disebabkan oleh peningkatan aktivitas fisik balita dan umumnya pada usia tersebut anak sudah berhenti menyusu.
Hasil analisis statistik mengenai hubungan usia dengan status gizi menunjukkan p value 0,014 (p value <0,05) dengan nilai OR sebesar 3,347. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara usia dengan status gizi balita di wilayah Puskesmas Sentolo 1, Kulon Progo, Yogyakarta. Balita yang berusia 12-36 bulan beresiko 3,34 kali lebih besar mengalami gizi kurang dibandingkan dengan balita yang berusia 37-59 bulan. Balita merupakan kelompok usia yang beresiko mengalami atau terpapar masalah kesehatan. Stanhope dan Lancaster (2012) menjelaskan bahwa balita memiliki faktor resiko resiko biologi yang meliputi faktor genetik atau fisik yang ikut berperan dalam timbulnya resiko tertentu yang mengancam kesehatan.
Usia balita yang masih muda menyebabkan sistem kekebalan tubuh yang belum berkembang. Hal ini menyebabkan balita lebih mudah terkena masalah nutrisi. Hitchcock, Schubert, dan Thomas (1999) mengemukakan bahwa usia balita yang terlalu muda, ketergantungan balita terhadap orang lain terkait pemenuhan makanannya, kelahiran prematur dengan berat badan lahir rendah (BBLR), kondisi kekebalan atau imunitas tubuh, dan immaturitas sistem
Universitas Indonesia pencernaan membuat balita mempunyai peluang yang lebih besar untuk mendapatkan penyakit dan masalah terkait gizi.
Masa balita beresiko mengalami masalah gizi kurang karena adanya faktor fisiologi makan yang dikaitkan dengan tahap tumbuh kembang. Masalah kesulitan makan sering terjadi pada balita seiring dengan tahap pertumbuhan dan perkembangannya. Judarwanto (2004) mengemukakan bahwa masalah kesulitan makan pada balita sering terjadi yang disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya pertama, adanya hambatan mengunyah dan menelan. Anak yang berusia 1 tahun mulai mendapatkan makanan dewasa yang padat sehingga cenderung mengalami kesulitan makan terutama dalam mengunyah dan menelan. Faktor yang kedua adalah aktivitas anak. Balita mulai menyukai aktivitas yang banyak seperti bermain dengan teman, hal ini menyebabkan anak rewel untuk makan karena tidak ingin kehilangan waktu bermain dengan temannya. Faktor yang ketiga adalah perkembangan anak. Anak usia 3-4 tahun mulai menunjukkan sikap egosentrisnya, sering menolak apa yang disampaikan orangtuanya termasuk dalam hal makan, kebiasaan makan, lebih senang makan makanan selingan daripada makanan utama. Faktor usia yang berkaitan dengan fisiologi perkembangan ini perlu diperhatikan agar anak tidak mengalami masalah gizi pada usia balita.
Pengaruh kekurangan gizi pada usia balita, tidak hanya terhadap perkembangan fisik, tetapi juga terhadap perkembangan kognitif yang pada gilirannya berpengaruh terhadap kecerdasan dan ketangkasan berpikir serta terhadap produktivitas kerja. Kekurangan gizi pada masa ini juga dikaitkan dengan risiko terjadinya penyakit kronis pada usia dewasa, yaitu kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh darah, hipertensi, stroke dan diabetes (Kemenkes RI, 2014).
6.1.10.Hubungan jenis kelamin dengan status gizi balita
Hasil penelitian menunjukkan angka kejadian gizi kurang pada balita lebih banyak ditemukan pada balita berjenis kelamin laki-laki dibandingkan dengan
Universitas Indonesia perempuan. Hasil analisis hubungan antara jenis kelamin dengan status gizi balita menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan status gizi balita di wilayah Puskesmas Sentolo 1, Kulon progo, Yogyakarta (p value= 0,528). Hal ini disebabkan karena tidak adanya perbedaan pandangan nilai yang dianut keluarga terhadap keberadaan seorang anak laki-laki dan perempuan di wilayah ini, sehingga perlakuan keluarga dalam hal pola asuh, pemberian makan, kesempatan mengakses sumber-sumber kesehatan adalah sama untuk anak laki-laki dan perempuan. Hal ini dibuktikan dengan wawancara kepada keluarga balita, bahwa keluarga menganggap sama antara keberadaan anak laki-laki dan perempuan. Tidak ada harapan yang berbeda antara keberadaan anak laki-laki dan perempuan. Keluarga mengatakan tidak ada perlakuan yang berbeda dalam hal makan, pemberian ASI, dan perawatan kesehatan ketika sakit.
Menurut UNICEF (2011), gender sangat berkaitan dengan nilai (value) terhadap seorang anak. Ketidaksetaraan gender terjadi apabila terdapat penilaian yang berbeda antara anak laki-laki dan perempuan dalam suatu komunitas yang menyebabkan anak laki-laki dan perempuan mendapatkan perlakuan yang berbeda, perawatan kesehatan yang berbeda, dan perbedaan aksesibilitas terhadap sumber-sumber. Hal ini menyebabkan ketidaktepatan dalam pengasuhan anak dan rendahnya kemampuan dalam mengakses pelayanan kesehatan. Penelitian menunjukkan terdapat adanya perbedaan dalam kesetaraan gender terkait kesempatan memperoleh imunisasi (UNICEF, 2011).
John, Walsh dan Buse (2008) menemukan bahwa di beberapa negara di dunia, anak perempuan kurang mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan imunisasi yang lengkap dibandingkan dengan anak laki-laki. Ini terjadi di beberapa negara Asia (Pakistan, India, Cambodia, dan Nepal) dan Afrika (Gabon, Gambia, Cote d Ivore, Ethiopia, dan Sierra Lione). Imunisasi sangat penting dibutuhkan balita untuk mencegah terjadinya penyakit yang berkaitan
Universitas Indonesia dengan imunisasi seperti campak, TBC yang akan mempengaruhi status gizi balita (Thomson, Davis, Renzaho & Toole, 2014).
Pandangan lain terkait sistem nilai terhadap anak adalah laki-laki dinilai sebagai sumber daya ekonomi untuk masa yang akan datang, sedangkan perempuan adalah sumber beban keluarga dan hanya akan meninggalkan rumah ketika sudah menikah. Orang tua akan dihadapkan pada pilihan yang sulit sesuai dengan persepsi masing-masing terhadap anaknya mengenai seberapa besar nilainya terhadap anak dan seberapa bergunanya anak tersebut untuk orangtuanya kelak (UNICEF, 2011). Perbedaan juga terjadi pada pola pemberian makan pada balita. Pola pemberian makan sangat dipengaruhi budaya, beberapa penelitian di beberapa negara menunjukkan bahwa anak laki-laki mendapatkan prioritas lebih tinggi dalam hal pemberian makan di bandingkan dengan anak perempuan, termasuk juga dalam keikutsertaan dalam program kesehatan misalnya pendidikan mengenai ASI (UNICEF, 2011). Apabila perbedaan pandangan terhadap sistem nilai terhadap anak laki-laki dan perempuan serta ketidaksetaraan gender ini terus terjadi akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan dan status nutrisi balita. Terlebih lagi perbedaan nilai anak ini terjadi dalam hal perawatan kesehatan, pola pemberian makan, kesempatan dalam mengakses pelayanan kesehatan, hal ini akan berpengaruh terhadap kondisi status gizi balita.
Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian Badake et al (2014), mengenai status gizi balita dan faktor yang mempengaruhinya di Kenya menunjukkan bahwa prevalensi stunting dan wasting lebih banyak ditemukan pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Kondisi ini disebabkan karena pada balita laki-laki lebih banyak mengalami tekanan dari lingkungan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Dash dan Sahoo (2011) bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian wasting pada balita. Persamaan hasil penelitian ini dengan penelitian Dash dan Sahoo (2011), disebabkan kedua penelitian ini sama-sama memiliki proporsi jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang hampir sama. Kondisi
Universitas Indonesia gizi kurang pada penelitian Dash dan Sahoo (2011), bukan disebabkan karena adanya sistem nilai pada anak akan tetapi lebih dikarenakan oleh jumlah anak, kelas sosial, agama, dan tingkat kesejahteraan keluarga. Penelitian ini tidak senada dengan penelitian Kent et al (2005), bahwa jenis kelamin berhubungan dengan status gizi balita. Hal ini disebabkan karena anak laki-laki lebih mengkonsumsi lebih banyak ASI daripada perempuan.
6.1.11.Hubungan riwayat pemberian ASI dengan status gizi balita
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proporsi gizi kurang lebih sedikit ditemukan pada bayi dengan riwayat ASI ekslusif. Hasil analisis mengenai hubungan riwayat pemberian ASI dengan status gizi balita menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara riwayat pemberian ASI dengan status gizi balita (p value=,003). Hasil analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa balita dengan riwayat ASI nonekslusif berpeluang mengalami gizi kurang sebanyak 4,34 kali lebih besar dibandingkan dengan balita dengan riwayat ASI ekslusif.
Kondisi ini disebabkan ASI pada enam bulan pertama memiliki semua unsur-unsur yang gizi yang lengkap sesuai dengan kebutuhan bayi usia 0-6 bulan, sehingga pada usia tersebut kebutuhan gizi anak tercukupi dengan pemberian ASI saja tanpa dicampur dengan pemberian makanan tambahan lain. Komposisi ASI yang dinamis dan sesuai kebutuhan bayi menjadikan ASI sebagai asupan nutrisi yang optimal bagi bayi. ASI memiliki konsentrasi ion yang sama dengan plasma sehingga pada enam bulan pertama, bayi tidak memerlukan makanan tambahan (Brown, Dugan & Kleindan, 2005).
ASI memiliki keunggulan dibandingkan dengan makanan yang lain seperti susu formula, hal ini disebabkan komposisi protein pada ASI lebih rendah dibandingkan dengan susu sapi sehingga tidak memberatkan fungsi ginjal. ASI memiliki protein yang mudah dicerna dibandingkan dengan susu sapi. ASI juga mengandung asam amino esensial, asam lemak jenuh, trigliserida rantai sedang, dan kolesterol yang kadarnya sesuai dengan kebutuhan bayi
Universitas Indonesia (Brown, Dugan & Kleindan, 2005). Komposisi dari ASI akan berubah sesuai dengan kebutuhan gizi bayi (Gibney, Barrie, John & Leonore, 2005).
Menurut IDAI (2008) ASI memiliki manfaat dalam memberi perlindungan bayi dan balita melalui berbagai komponen zat kekebalan yang dikandungnya. ASI membentuk pertahanan spesifik yang diperantarai oleh sel Limfosit T dan imunoglobulin (antibodi). Limfosit T bermanfaat untuk menghancurkan kapsul bakteri E Coli dan mentransfer kekebalan seluler dari ibu ke bayinya. Imunoglobulin berperan dalam menguatkan sistem imunitas lokal saluran cerna. Kekebalan tubuh spesifik hanya berperan pada kuman atau zat asing yang sudah dikenali oleh tubuh atau sudah pernah lebih dari satu kali masuk ke dalam tubuh manusia. Pertahanan tubuh spesifik inilah yang akan