• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Health Belief Model dan kaitannya dengan gizi kurang pada balita Teori Health Belief Model (HBM) dikembangkan secara khusus ditujukan untuk

TINJAUAN PUSTAKA

2.6. Teori Health Belief Model dan kaitannya dengan gizi kurang pada balita Teori Health Belief Model (HBM) dikembangkan secara khusus ditujukan untuk

memprediksi perilaku kesehatan dari berbagai kepercayaan terkait kesehatan. Teori ini digunakan untuk mengidentifikasi motivasi perilaku kesehatan yang berhubungan dengan penyakit kronis, dimana gizi kurang dapat dimasukkan dalam kategori penyakit kronis, di mana penyakit kronis tidak disebabkan oleh patogen dan infeksi akan tetapi lebih diakibatkan oleh gaya hidup dan perilaku beresiko (Timmreck, 2005). Menurut teori ini, apabila individu melakukan tindakan pencegahan terhadap masalah kesehatan, maka ada lima faktor yang mempengaruhinya, yaitu:

2.6.1. Kerentanan yang dirasakan (Perceived Susceptibility)

Seseorang akan melakukan tindakan pencegahan terhadap suatu penyakit apabila orang tersebut merasakan kerentanan terhadap penyakit tersebut. Persepsi kerentanan yang dirasakan mengacu pada suatu kondisi di mana seseorang

Universitas Indonesia mengenal resiko untuk mendapatkan suatu masalah kesehatan atau penyakit (Glandz, K & Barbara, 2008). Supaya seseorang bertindak untuk mengobati atau mencegah penyakitnya, maka ia harus merasakan bahwa dirinya adalah rentan (Notoatmodjo, 2003 dalam Hayati, 2014).

Persepsi kerentanan dapat dipengaruhi oleh faktor usia, penghasilan, etnis dan pengetahuan seseorang (Rosenstock, 2005). Dalam konteks masalah gizi kurang pada balita, kerentanan yang dirasakan mencakup seberapa besar kemungkinan balita untuk mendapatkan masalah gizi kurang dan bagaimana persepsi kerentanan yang dimiliki orang tua terhadap permasalahan gizi kurang pada balita. Penelitian yang dilakukan oleh Hayati (2014) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi kerentanan terhadap status gizi pada balita.

Penelitian yang dilakukan oleh Hayati (2014) menunjukkan bahwa faktor usia dan penghasilan tidak berhubungan terhadap persepsi kerentanan seseorang. Usia merupakan aspek yang berpengaruh terhadap terbentuknya persepsi kerentanan karena kemampuan yang dimiliki dapat diperoleh dari pengalaman sehari-hari, semakin bertambah usia maka semakin bertambah matang dalam mental dan perilaku, namun dalam beberapa hal tertentu, usia muda pun dapat memiliki persepsi kerentanan yang cukup apabila sering terpapar dengan pengetahuan atau informasi mengenai gizi.

Penghasilan yang kurang belum tentu memperburuk persepsi kerentanan karena seseorang yang telah merasa rentan terhadap suatu masalah kesehatan akan berusaha mengoptimalkan fasilitas yang ada untuk mendapatkan pengobatan. Orang tua dengan penghasilan yang kecil akan tetapi mampu mengatur pola konsumsi gizi pada makanan balitanya akan dapat memperbaiki status gizi balitanya (Hayati, 2014).

Persepsi kerentanan juga dipengaruhi oleh budaya. Pandangan salah terhadap suatu makanan dapat menimbulkan gangguan gizi. Terdapat kepercayaan dalam masyarakat mengenai kualitas, kuantitas dan jenis makanan yang boleh dan tidak

Universitas Indonesia boleh dikonsumsi oleh anggota keluarga, hal ini dipengaruhi oleh budaya setempat. Persepsi kerentanan dipengaruhi oleh pengetahuan. Terdapat hubungan antara persepsi kerentanan dengan pengetahuan (Hayati, 2014). Pengetahuan gizi akan memberikan sumbangan pengetahuan mengenai pengertian gizi, status gizi, alasan mengapa harus memperhatikan status gizi balita dan hubungannya dengan kondisi kesehatan. Dari pengetahuan yang dimiliki tersebut, seseorang akan cenderung memiliki persepsi kerentanan terhadap masalah berkaitan dengan gizi kurang balita.

Ibu yang menyadari kondisi kerentanan terhadap kondisi gizi kurang pada balita, akan terdorong untuk melakukan upaya pemenuhan gizi seimbang untuk balitanya, melakukan penimbangan balitanya tiap bulan ke posyandu atau puskesmas untuk memantau status gizi balitanya dan mencegah terjadinya gizi kurang pada balitanya. Persepsi kerentanan terhadap balita untuk mendapatkan gizi kurang akan mempengaruhi tindakan ibu atau keluarga dalam melakukan tindakan pencegahan maupun pencarian pengobatan.

2.6.2. Keseriusan yang dirasakan (Perceived Seriousness)

Seseorang akan termotivasi untuk melakukan tindakan pencegahan atau pengobatan terhadap suatu penyakit apabila dirinya merasakan adanya keseriusan terhadap penyakit yang dirasakan (Rosenstock, 2005). Persepsi ibu atau keluarga atau masyarakat mengenai keseriusan masalah gizi kurang pada balita, akan mempengaruhi tindakan seseorang dalam melakukan tindakan pencegahan atau pencarian pengobatan. Persepsi ini merupakan pandangan individu mengenai beratnya penyakit yang diderita. Keseriusan akan semakin bertambah jika seseorang mengetahui dampak penyakit tersebut, misalnya perubahan fungsi fisik, psikis, kecacatan, pengaruh terhadap kehidupan sosial bahkan kematian. Persepsi keseriusan ini juga dipengaruhi oleh usia, penghasilan, etnis dan pengetahuan.

Orang tua yang memiliki balita yang beresiko tinggi mendapatkan gizi kurang, dengan modal pengetahuan gizi yang baik, akan merasakan keseriusan yang tinggi terhadap kondisi balitanya sehingga akan terdorong untuk melakukan kontrol di

Universitas Indonesia pelayanan kesehatan. Penelitian yang dilakukan oleh Hayati (2014), menunjukkan bahwa di wilayah Puskesmas Perak Timur Surabaya diketahui bahwa orang tua dengan persepsi keseriusan yang dalam kategori cukup, memiliki balita dengan status gizi baik, dan terdapat hubungan antara persepsi keseriusan orang tua dan status gizi balita karena keyakinan orang tua balita bahwa status gizi kurang dapat menimbulkan dampak yang berbahaya bagi balita. Menurut Maryani (2012), semakin individu mempersepsikan suatu penyakit yang dialaminya semakin buruk, individu tersebut akan merasakan bahwa hal tersebut merupakan suatu ancaman dan perlu diambil tindakan preventif.

2.6.3. Manfaat yang dirasakan dan hambatan yang dirasakan (P erceived Benefits and Barriers)

Menurut Rosenstock (2005), individu yang merasa bahwa dirinya rentan dan menganggap serius terhadap suatu penyakit atau masalah kesehatan tertentu, dirinya akan melakukan suatu tindakan tertentu yang didasari pada manfaat dan rintangan yang ditemukan dalam mengambil tindakan tersebut. Persepsi terhadap manfaat biasanya akan jauh lebih besar dibandingkan dengan persepsi hambatan yang mungkin ditemukan dalam menentukan tindakan tersebut. Persepsi hambatan dan manfaat merupakan penilaian individu mengenai keuntungan dan tindakan yang menghambat yang didapat dengan mengadopsi perilaku kesehatan yang dirasakan.

Rosenstock (2005) menyatakan bahwa suatu tindakan akan dipengaruhi oleh keyakinan tentang efektivitas relatif dari alternatif yang tersedia di mana hal tersebut dapat mengurangi ancaman penyakit yang dirasakan individu. Persepsi mengenai manfaat adalah keyakinan seseorang bahwasanya manfaat dari perilaku yang direkomendasikan akan lebih besar dibandingkan dari hambatan yang diterima. Manfaat yang dirasakan berhubungan dengan persepsi individu tentang kemanjuran suatu tindakan yang disarankan dalam mengurangi resiko.

Penelitian yang dilakukan oleh Hayati (2014), bahwa responden yang memiliki pengetahuan cukup akan memiliki persepsi yang cukup terkait manfaat dan

Universitas Indonesia hambatan suatu tindakan. Individu tidak mengubah perilaku kesehatan karena merasa bahwa melakukan tindakan tersebut akan menimbulkan kesulitan baik secara fisik, psikologis atau sosial. Orang tua yang memiliki persepsi manfaat dan hambatan yang cukup, memiliki balita dengan status gizi baik dan hasil uji statistik menunjukkan adanya hubungan persepsi manfaat dan hambatan orang tua dengan status gizi balita.

Pada kasus balita dengan gizi kurang, persepsi orang tua yang merasakan bahwa kondisi gizi kurang pada balita itu merupakan kondisi rentan dan serius yang berpotensi menimbulkan dampak buruk bagi balita, akan melakukan tindakan pencegahan ataupun pencarian pengobatan apabila orang tua tersebut memiliki persepsi yang kuat terhadap manfaat yang dirasakan dari tindakan yang diambil dibandingkan persepsi hambatan yang akan dihadapi. Orang tua yang memiliki persepsi manfaat yang kuat terhadap manfaat tindakan pencegahan gizi kurang, akan selalu membawa balitanya ke posyandu atau puskesmas untuk melakukan kontrol status gizi anak balitanya.

2.6.4. Ancaman yang dirasakan (Perceived Threat)

Seseorang akan melakukan tindakan pencegahan atau pengobatan terhadap suatu penyakit atau masalah kesehatan apabila dirinya merasa adanya ancaman yang datang dari penyakitnya (Edelman & Mandle, 2006 dalam Sulisnadewi, 2011). Ancaman yang dirasakan akan semakin kuat apabila individu mengetahui terkait dampak yang terjadi apabila masalah kesehatan tersebut tidak ditangani. Oleh karena itu pengetahuan mengenai masalah kesehatan tersebut juga sangat menentukan kuat tidaknya persepsi terhadap ancaman yang dirasakan. Keyakinan bahwa gizi kurang dapat memberikan dampak yang buruk terhadap pertumbuhan, perkembangan, mortalitas dan morbiditas balita, di mana kondisi ini akan mengancam kehidupan anak serta masa depan anak, akan memperkuat motivasi orang tua untuk melakukan pencegahan dan mencari pengobatan apabila anaknya mengalami gizi kurang.

Universitas Indonesia 2.6.5. Isyarat atau petunjuk untuk bertindak (Cues to Action)

Penerimaan yang benar mengenai kerentanan, keseriusan suatu masalah, manfaat dan hambatan dari suatu tindakan memerlukan adanya suatu isyarat atau petunjuk untuk bertindak. Isyarat ini berasal dari faktor-faktor eksternal misal dari media massa, nasihat atau anjuran dari kawan atau anggota keluarga yang sakit, dan informasi dari petugas kesehatan (Edelman & Mandle, 2006 dalam Sulisnadewi, 2011).

Orang tua yang mendapatkan petunjuk atau dorongan yang cukup berupa pesan dari petugas kesehatan atau media massa memiliki motivasi yang lebih untuk meningkatkan status gizi anak balitanya. Terdapat hubungan antara petunjuk untuk berperilaku orang tua dengan status gizi balitanya (Hayati, 2014). Mengingat masalah gizi kurang merupakan masalah serius di negara Indonesia, peran petugas kesehatan khususnya perawat sangat dibutuhkan dalam rangka memberikan petunjuk dan mendorong kepada masyarakat untuk sadar terhadap masalah gizi anggota keluarganya. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan konseling, pendampingan keluarga dengan masalah gizi kurang, dan pendampingan dalam hal kepatuhan mengkonsumsi makanan bergizi.

Penelitian yang dilakukan oleh Yenita, 2012 dalam Hayati (2014), menunjukkan bahwa orang tua balita berharap mendapatkan informasi dari orang yang mereka anggap sebagai ahli, meskipun kadang kala mereka juga pergi ke kerabat dan teman untuk mendapatkan informasi terkait gizi. Informasi akan dianggap terpercaya apabila berasal dari ahli atau orang yang dianggap profesional. Hal ini menunjukkan bahwa informasi yang diberikan oleh petugas kesehatan lebih memiliki pengaruh terhadap kondisi gizi balita.

Universitas Indonesia Skema 2.1. Teori Health Belief Model (HBM)

Individual perception Modifying factors Likelihood of Action Demografic variables (age,

sex, ethnicity, etc)

Sosiophsycological variables (personality,

social class, peer and reference group pressure, etc)

Structural variables

(knowledge about the disease, prior contact with the disease, etc)

Perceived of susceptibility to disease “X” Perceived of seriousness (severity of disease “X”) Perceived threath of disease “X” Perceived benefit of prevention action Minus Perceived barriers to prevention action Likelihood of taking Recomended preventive health action Cues to Action:

Mass media, campaign, advice from others, reminder postcard from physician, illnes of family member, news paper or magazine article

Universitas Indonesia 2.7. Kerangka Teori Penelitian

Berdasarkan beberapa konsep yang telah diuraikan di atas, dapat dibuat kerangka teori sebagai berikut:

Skema 2.2. Kerangka Teori Penelitian Konsekuensi jangka panjang:

berpengaruh terhadap tinggi badan saat dewasa, penurunan kemampuan kognitif, penurunan produktivitas kerja, penurunan kemampuan

reproduksi, gangguan metabolisme dan penyakit kardiovaskuler

Konsekuensi kepada generasi penerus selanjutnya Persepsi manfaat terhadap tindakan pencegahan Dikurangi Persepsi hambatan terhadap

Asupan makanan, penyakit infeksi, riwayat ASI ekslusif, pola pengasuhan keluarga terkait gizi, pelayanan kesehatan, jumlah anggota keluarga,

pendidika, status ekonomi dan budaya Konsekuensi jangka pendek: mortalitas, morbiditas, disabilitas Tidak melakukan

upaya pencegahan Persepsi ibu terkait

kerentanan masalah status

gizi balita Persepsi ibu mengenai ancaman kondisi

status gizi balita

Status gizi balita Melakukan tindakan

pencegahan sesuai anjuran Persepsi keseriusan ibu

terkait status gizi pada balita

Sumber: Helvie (1998), Rosenstock (2005), Strecher & Rosenstock (1997), UNICEF (2013), Thomson, Davis, Renzaho & Toole (2014)

Peran perawat: Care provider, nurse educator and councellor, role model, client advocate, case manager, collaborator and case finder.

Petunjuk untuk berperilaku: media massa, nasihat atau anjuran dari teman atau keluarga, informasi dari petugas kesehatan

Gizi kurang

Gizi baik Demografic variables ( usia, jenis kelamin,

suku, dll)

Sosiophsycological variables (personality, status sosial, kelompok dan anjuran atau tekanan dari kelompok, dll)

Structural variables (pengetahuan tentang penyakit, pertama kali kontak dengan penyakit, dll)

Universitas Indonesia BAB III