• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

6.1. Interpretasi hasil penelitian 1.Karakteristik balita

6.1.20. Hubungan antara budaya terkait gizi dengan status gizi balita

Hasil penelitian menunjukkan keluarga dengan budaya yang kurang menunjang kesehatan lebih banyak memiliki balita gizi kurang dibandingkan dengan keluarga yang memiliki budaya menunjang kesehatan. Budaya yang mendukung kesehatan akan mendukung anak dalam memperoleh nutrisi yang adekuat sesuai kebutuhan, budaya yang kurang mendukung kesehatan dapat menimbulkan gangguan gizi yang serius di keluarga (Sediaoetama, 2004).

Hasil penelitian yang menunjukkan masih adanya budaya yang kurang mendukung kesehatan diantaranya adalah masih terdapat keluarga yang memiliki pantangan terhadap makanan tertentu walaupun proporsinya hanya sedikit (2,6%). Sebanyak 26,5% memiliki nilai bahwa kepala keluarga diberikan prioritas ketika mengambil dan memilih hidangan dibanding anggota keluarga lain dan sebanyak 15,5% keluarga memiliki nilai bahwa kepala keluarga harus makan dengan porsi yang lebih banyak dan lebih bergizi dibanding yang lain karena bekerja mencari nafkah. Hal ini berarti masih adanya budaya yang berkaitan dengan prioritas dalam mengakses pangan di dalam suatu keluarga. Menurut Sediaoetama (2004), dalam masyarakat terdapat aturan yang menentukan kualitas, kuantitas, dan jenis makanan yang harus dan tidak harus dikonsumsi anggota keluarga sesuai kedudukan, usia, jenis kelamin dan situasi tertentu. Budaya seperti ini dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap sistem pemerataan makanan

Universitas Indonesia dalam keluarga. Apabila keadaan tersebut masih berlangsung dalam waktu yang lama dapat berakibat timbulnya masalah gizi kurang di dalam keluarga yang bersangkutan. Terutama pada keluarga yang termasuk golongan rawan gizi yaitu balita (Ernawati, 2006)

Hasil penelitian mengenai aspek budaya yang kurang menunjang kesehatan juga dijumpai dalam hal pemanfaatan fasilitas kesehatan, bahwa sebanyak 27,7% ibu memberikan ramuan tradisional pada balita ketika anak tidak nafsu makan dan sebanyak 14,8% Ibu membawa balita ke dukun bayi/ tiyang sepuh/ orang pintar/ kyai ketika sakit. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat peranan budaya di wilayah ini yang berlangsung secara turun temurun dalam upaya pencarian kesehatan untuk balita. Notoadmojo (2007) mengemukakan bahwa dukun didefinisikan sebagai seseorang yang dianggap terampil dan dipercayai oleh masyarakat untuk menolong persalinan serta perawatan ibu dan anak sesuai kebutuhan masyarakat. Masyarakat menganggap dan percaya terhadap keterampilan dukun yang berkaitan dengan nilai budaya dalam masyarakat. Kondisi ini menjadikan dukun dianggap sebagai tokoh masyarakat setempat. Keterlambatan dalam pertolongan ketika sakit kepada tenaga kesehatan, akan berpengaruh terhadap kondisi keparahan penyakit yang diderita, yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan anak.

Penelitian yang dilakukan oleh Gay et al (2004) menunjukkan bahwa pada orang Africa-America, perawatan anak dan pola asuh pada umumnya berbasis budaya dan tradisi, misalnya terkait cara pemberian obat-obatan yang biasa diberikan oleh orang tua pada anaknya yang masih banyak menggunakan bahan dari tumbuh-tumbuhan dan bersifat tradisional. Perawatan kesehatan ini akan mempengaruhi status kesehatan atau derajat infeksi anak yang akhirnya akan berpengaruh terhadap terhadap status gizi anak. Penelitian yang dilakukan oleh Salehi et al (2004) di Iranian menunjukkan bahwa budaya berpengaruh terhadap bagaimana seorang ibu

Universitas Indonesia memberikan makanan/zat gizi dan melakukan pola asuh gizi bagi anaknya seperti tradisi menyusui, memberi makan anak, dan perawatan bagi anak.

Hasil penelitian mengenai aspek budaya yang mendukung kesehatan tercermin dalam hal norma dan keakraban sosial yaitu sebanyak 93,5% ibu dan tetangga saling mengajak untuk datang ke posyandu tiap bulan. Kondisi norma dan keakraban sosial yang terjadi di kalangan masyarakat di wilayah Puskesmas Sentolo 1 ini berdampak positif terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan. Terbukti dari hasil peneltian bahwa sebanyak 88,4% keluarga memanfaatkan posyandu sebagai tempat pelayanan kesehatan bagi anak balitanya. Kedatangan ibu balita ke posyandu ini dapat digunakan sebagai upaya pecegahan terjadinya gizi kurang pada balita, karena secara langsung balita akan dimonitor status gizinya melalui penimbangan BB di posyandu.

Hasil penelitian mengenai aspek budaya yang mendukung kesehatan juga menunjukkan bahwa sebanyak 76,8% ibu dan tetangga mempunyai kebiasaan saling berbagi makanan untuk balita. Hasil wawancara dengan kepala dusun di wilayah Desa Kaliagung menunjukkan bahwa masyarakat di wilayah ini memiliki kebiasaan kenduri, yaitu suatu bentuk perayaan syukuran atau peringatan terhadap kejadian yang bermakna dalam masyarakat. Misalnya kenduri hajatan kelahiran, pernikahan dan peringatan 1000 hari kematian. Dalam proses kenduri tersebut kepala keluarga akan membagikan sejumlah makanan kepada semua tamu undangan. Kondisi ini dilakukan secara turun temurun. Kebiasaan membagi makanan inilah yang akan mempengaruhi distribusi makanan dan peningkatan akses kebutuhan makanan dalam masyarakat, terutama bagi keluarga yang kurang adekuat dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan. Hal ini sesuai dengan penelitian Handayani (2011) bahwa masyarakat jawa mempunyai budaya tolong menolong yang kental. Hal ini akan berpengaruh terhadap kondisi gizi masyarakat. Masyarakat jawa menggunakan budaya saling menolong ini saling memberi makan dan melakukan pertukaran bahan pangan yang dihasilkan oleh

Universitas Indonesia anggota masyarakat. Hal ini akan mendukung pemerataan pangan untuk meningkatkan status gizi.

Hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan antara budaya dengan status gizi balita ( p value= 0,571). Kondisi ini disebabkan oleh terpaparnya keluarga balita dengan informasi kesehatan terkait gizi yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Data membuktikan bahwa sebanyak 90,3 % keluarga pernah mendapatkan informasi dari petugas kesehatan (dokter/perawat/ahli gizi/bidan) atau kader mengenai gizi pada balita. Informasi kesehatan yang diperoleh, merupakan bekal pengetahuan keluarga yang akan mempengaruhi pola pikir dan perilaku ibu dalam melakukan perawatan kesehatan, pola asuh dan pemenuhan nutrisi bagi balita. Melalui informasi yang diperoleh tersebut ibu dapat memilah-milah mana budaya yang bisa mendukung kondisi status gizi anak dan mana budaya yang tidak mendukung. Misalnya dalam hal ini adalah pandangan tabu terhadap makanan, sebagian besar ibu balita sudah tidak memiliki pandangan tabu terhadap makanan, walaupun secara budaya di wilayah ini masih ada pandangan tabu terhadap suatu makanan. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Mirayanti (2012), bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara nilai dan keyakinan keluarga terhadap pola nutrisi dengan status gizi balita (p value=1,000).

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Salehi et al (2004) di Iranian menunjukkan bahwa budaya berpengaruh terhadap bagaimana seorang ibu memberikan makanan/zat gizi dan melakukan pola asuh gizi bagi anaknya seperti tradisi menyusui, memberi makan anak, dan perawatan bagi anak. Hasil penelitian ini juga tidak didukung oleh penelitian Handayani (2011) bahwa nilai yang dianut dalam keluarga akan mempengaruhi pola asuh gizi yang berupa penyediaan makanan dan pelayanan kesehatan atau pengobatan terhadap balita. Unsur-unsur di dalamnya mencakup 1) kebiasaan, misalnya pemberian ASI sampai dengan ASI tidak keluar lagi, mengutamakan makanan balita seperti menyimpan gabah untuk persediaan makan balita, 2) norma, berupa

Universitas Indonesia kebiasaan saling memberi di masyarakat, saling merawat dan mengawasi balita di lingkungannya, balita seolah-olah menjadi tanggung jawab bersama, 3) keakraban sosial yang berupa ikatan keluarga, gotong-royong, rasa kekeluargaan, tolong menolong dalam merawat dan mengasuh balita, terutama pada ibu yang bekerja, 4) kelembagaan yang bersifat tradisional yang memungkinkan kegiatan posyandu dapat berjalan dengan baik dan dapat dimanfaatkan sebagai fasilitas kesehatan untuk balita.

Peran perawat komunitas sangat dibutuhkan untuk mampu mempelajari aspek-aspek budaya terutama terkait dengan masalah kesehatan dan mampu melakukan pendampingan pada masyarakat untuk perubahan (rekonstruksi) perilaku yang berkaitan dengan budaya yang tidak mendukung kesehatan, sampai dengan terbentuknya budaya baru yang sesuai dengan kesehatan.