• Tidak ada hasil yang ditemukan

ABsTrAK

P

enelitian mengenai perilaku kewaspadaan owa jawa (Hylobates moloch Audebert 1798) di Bodo-gol Taman nasional Gunung Gede Pangrango telah dilakukan pada bulan Agustus sampai nopember 2002. data yang diambil meliputi deteksi owa jawa terhadap pengamat, respon, penggunaan selang ketinggian dan kanopi pohon pada jalur aktivitas tinggi (JAT) dan jalur aktivitas rendah (JAr) dengan metode ad libitum dan scan sampling. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan de-teksi dan respon owa jawa terhadap pengamat dikedua jalur. deteksi yang paling sering diperlihatkan owa jawa pada JAT adalah deteksi akhir (61%), sementara pada JAr adalah deteksi awal (80%). respon owa jawa yang sering terlihat di JAT yaitu diam di tempat (62,35%), se-mentara di JAr adalah respon melarikan diri tanpa bersu-ara (60,78%). Perbedaaan tersebut diduga karena owa jawa di JAT telah terhabituasi terhadap manusia. Penggu-naan selang ketinggian pohon dan kanopi oleh owa jawa di kedua jalur tidak menunjukkan perbedaan, yaitu 16-35 m (sedang) dengan kanopi yang paling sering digu-nakan adalah kanopi tengah. Hasil tersebut menunjukkan bahwa owa jawa pada kedua jalur belum menunjukkan perubahan penggunaan selang ketinggian dan penggu-naan kanopi pohon.

Kata kunci: ad libitum sampling, deteksi, Hylobates moloch, kanopi, perilaku kewaspadaan, scan sampling PendAHuluAn

Pada tahun 1997, Taman nasional Gunung Gede Pangrango, Yayasan Alami, dan Conservation inter-national indonesia mendirikan Pusat Pendidikan dan Konsevasi Alam Bodogol (PPKAB) di zona

peman-faatan di bagian barat TnGP ( ismail et al. 2000: 11), sebagai sarana untuk mendidik masyarakat tentang nilai penting keanekaragaman hayati yang ada di ta-man nasional itu. salah satu tujuan kegiatan yang di selenggarakan oleh PPKAB adalah perlindungan dan pelestarian owa jawa. lokasi PPKAB yang relatif mu-dah dicapai menyebabkan peningkatan jumlah pen-gunjung hampir 100% antara tahun 2000 dan 2001 pada kawasan tersebut (PPKAB 2000:27). Pening-katan kehadiran manusia di habitat asli owa jawa dikhawatirkan dapat membawa pengaruh buruk terhadap satwa tersebut. menurut Hidinger (1996: 49) tingkat kunjungan manusia yang tinggi di suatu kawasan konservasi dapat menyebabkan stres pada satwa yang ada pada kawasan tersebut. sementara itu, menurut van schaik (1995) menyebutkan bahwa satwa yang hidup pada jalur-jalur yang sering di lalui pengunjung di suatu kawasan konservasi akan berpindah ke tempat yang lebih aman, mengubah perilaku, ataupun terhabituasi dengan manusia. satwa yang hidup pada jalur yang sering dilalui ma-nusia di kawasan konservasi dapat terhabituasi jika kehadiran manusia tidak mengancam kehidupan sat-wa ( raanan et al. 2001: 3). Hidinger (1996: 54) me-nyebutkan bahwa monyet spider di jalur yang sering dilalui manusia pada kawasan konservasi mengalami habituasi dan tidak merespon kehadiran manusia pada daerah tersebut. sementara itu, monyet yang hidup pada daerah yang jarang dilalui oleh manusia melarikan diri saat bertemu manusia. studi perilaku kewaspadaan orangutan di Taman nasional Gu-nung Palung Kalimantan menujukan bahwa tingkat kewaspadaan orangutan yang terhabituasi men-jadi lebih rendah dibandingkan dengan orangutan yang tidak terhabituasi (setiawan et al.1996: 269). Treves & Brandon (2003: 16) menyebutkan bahwa

kedatangan turis di lamanai Archeological reserve, Guatemala mengakibatkan berubahnya perilaku ke-waspadaan monyet howler (Aloutta pigra) yang di-tunjukkan melalui perubahan respon dan perubahan penggunaan ketinggian pohon.

Penelitian perilaku kewaspadaan empat jenis primata, di antaranya owa jawa, terhadap manusia telah di-lakukan oleh Tobing (1999: 105) di kawasan hutan Cikaniki, Taman nasional Gunung Halimun Jawa Barat. Hasil penelitian menunjukan bahwa owa jawa di hutan terganggu yang sering dilalui manusia memi-liki tingkat kewaspadaan yang lebih rendah diband-ingkan dengan owa jawa di hutan tidak terganggu. Pengamatan perilaku kewaspadaan yang di lakukan meliputi deteksi, respon, dan penggunaan kanopi po-hon. Pada kawasan Bodogol, penelitian tentang pe-rubahan perilaku kewaspadaan owa jawa terhadap kehadiran manusia belum pernah dilakukan, semen-tara peningkatan jumlah pengunjung di kawasan itu diduga dapat menimbulkan stres pada primata langka dan terancam punah tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan prilaku kewaspadaan owa jawa pada jalur yang sering dilalui manusia dengan jalur yang jarang dilalui manusia. diharapkan dari penelitian ini dapat terjawab pertanyaan apakah kehadiran manusia di ka-wasan Bodogol dapat mengubah perilaku kewaspadaan owa jawa.

Hasil yang diperoleh diharapkan dapat digunakan sebagai data acuan untuk meminimalisasi penga-ruh negatif kunjungan manusia terhadap owa jawa yang ada pada kawasan hutan Bodogol. selain itu, hasil yang didapat diharapkan juga berguna bagi pengelola kawasan untuk menentukan strategi kun-jungan yang tepat menkonsentrasikan pengunjung hanya pada area-area yang sudah di tentukan. BAHAn dAn CArA KerJA

lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2002 sam-pai dengan bulan nopember 2002 di kawasan hutan Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol (PPKAB), Taman nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. secara administratif kawasan tersebut terletak

di Bodogol, kabupaten sukabumi dan secara geo-grafis terletak antara 5°46’ ls dan 106°58’ BT den-gan ketinggian bervariasi antara 600-800m dpl. luas area hutan PPKAB lebih kurang 200 ha (Wahyono & Ario 2000: 10). sebelah utara dan barat area PPKAB berbatasan dengan blok hutan Perhutani sedangkan di sebelah timur dan selatan terhubung langsung dengan hutan TnGP.

selama penelitian berlangsung, tercatat suhu rata-ra-ta minimum 20,33°C dan maksimum 30,67°C. Curah hujan pada bulan Agustus tercatat sebesar 89,4 mm, pada bulan september sebesar 46,2 mm, dan bulan oktober sebesar 112,9 mm.

Bahan dan Alat Penelitian 1. Bahan

Bahan yang menjadi objek penelitian adalah popu-lasi owa jawa di blok hutan PPKAB dan blok hutan Perhutani, TnGP.

2. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian adalah bi-nokuler Bushnell dengan pembesaran 12x25, kamera nikon f 80 dengan lensa 70 - 300 mm dan kamera nikon fm 10 dengan lensa 35-70 mm dan 28-70 mm, tripod Vanguard, jam tangan Casio, tape recorder Aiwa, kompas YCm, peta lokasi penelitian, buku catatan la-pangan, dan alat-alat tulis.

Cara Kerja

1. Penentuan Jalur Penelitian

Jalur penelitian ditentukan berdasarkan tingkat kun-jungan manusia di jalur PPKAB dan kawasan hutan Bodogol serta keberadaan owa jawa pada masing-masing jalur. Berdasarkan survei awal, diperoleh tiga jalur aktivitas tinggi (JAT) yang merupakan habitat owa jawa, yaitu jalur kanopi, jalur rasamala, dan jalur afrika (Gambar 1). meskipun jalur Cipadaranten merupakan salah satu jalur dengan aktivitas kunjun-gan yang cukup tinggi, jalur tersebut tidak termasuk sebagai jalur penelitian karena keberadan owa jawa pada jalur tersebut jarang sekali ditemukan. semen-tara itu, ditetapkan hanya dua jalur aktivitas rendah (JAr) yang ditetapkan sebagai jalur penelitian, yaitu jalur Cipanyairan i dan Cipanyairan ii. Jalur-jalur lain-nya tidak ditetapkan sebagai jalur penelitian karena, keberadaan owa jawa sangat sulit untuk diamati.

data tingkat kunjungan manusia di JAT di peroleh dari arsip yang ada pada pengelola PPKAB selama penelitian dilakukan, sedangkan data kunjungan pada JAr didapatkan melalui pengamatan selama penelitian berlangsung.

2. Pengambilan data

data perilaku yang diamati adalah deteksi owa jawa terhadap pengamatan, respon, serta penggunaan ketinggian dan kanopi pohon. Pengambilan data perilaku menggunakan metode mixed sampling (fragaszy et al. 1992: 272), yaitu metode ad libitum sampling dan scan sampling. metode tersebut digu-nakan pada penelitian ini karena jumlah data perilaku diambil sebanyak mungkin dan terhadap beberapa individu pada satu kelompok disaat bersamaan. Pada pengamatan deteksi owa jawa, metode yang digunakan adalah ad libitum sampling. menurut Alt-man (1974:261), ad libitum sampling dapat digunakan untuk perilaku yang tergolong kedalam suatu kejadian yang penting dan tidak ada pencatatan durasi karena kejadian berlangsung sangat cepat. Pengamatan respon serta ketinggian owa jawa menggunakan metode scan sampling. metode tersebut dipilih karena dalam waktu yang berdekatan akan dilakukan pencatatan perilaku terhadap beberapa individu dalam satu kelompok.

a. deteksi owa Jawa

Parameter deteksi dibedakan menjadi dua katagori, yaitu: deteksi awal (owa jawa lebih dulu mendeteksi kehadiran pengamat), dan deteksi akhir (pengamatan lebih dahulu melihat owa jawa).

data yang diambil adalah deteksi kelompok, yaitu deteksi yang diperlihatkan pertama kali oleh salah satu individu dalam satu keluarga owa jawa. Pada setiap pertemuan dengan owa jawa akan diperoleh satu frekuensi deteksi. Katagori data deteksi awal adalah apabila owa jawa lebih dulu mengetahui ke-hadiran pengamat atau sebelum pengamat melihat owa jawa mereka telah melarikan diri. sementara itu, katagori data deteksi akhir adalah apabila pengamat lebih dulu melihat owa jawa, walaupun pada akh-irnya owa jawa melarikan diri dari pengamat. b. respon owa Jawa

setelah pengamatan mencatat deteksi owa jawa, data selanjutnya yang di catat adalah perilaku respon owa jawa terhadap pengamat. data respon yang diambil adalah respon yang di perlihatkan oleh ma-sing-masing individu dalam satu keluarga owa jawa yang di temukan pada tiap-tiap jalur. respon primata terhadap kehadiran pengamat maupun pengunjung dibedakan menjadi lima, yaitu melarikan diri dengan Gambar 1. Peta pengambilan data di JAT dan di JAR

owa jawa terhadap pengamat, respon owa jawa terhadap pengamat, dan penggunaan selang ket-inggian oleh owa jawa. data penggunaan kanopi pohon diolah dengan menggunakan rumus indeks posisi. data tambahan lainnya antara lain adalah jarak antar pengamat dengan owa jawa, serta data jumlah kunjungan PPKAB yang ditampilkan dalam bentuk histogram.

HAsil dAn PemBAHAsAn

A. Hasil

selama penelitian berhasil dilakukan 117 kali per-temuan dengan owa jawa dan total waktu pen-gamatan selama 152 jam. Pada jalur Aktivitas Tinggi (JAT) berhasil diamati tiga keluarga owa jawa, yaitu satu keluarga di jalur Afrika, satu keluarga di jalur kanopi, dan satu keluarga di jalur rasamala (hutan perhutani). sementara itu, pada Jalur Aktivitas ren-dah (JAr) berhasil diamati dua keluarga owa jawa, yaitu satu keluarga di jalur Cipanyairan i dan satu keluarga di jalur Cipanyairan ii.

dari pengamatan deteksi owa jawa pada JAT dan JAr menunjukan perbedaan persentase deteksi an-tara kedua lokasi tersebut. Persentase deteksi awal pada JAr (80%) jauh lebih tinggi dibandingkan pada JAT (39%), sedangkan deteksi akhir pada JAr (20%) lebih rendah di bandingkan pada JAT (61%). respon yang paling sering ditemukan pada JAT adalah diam di tempat (ddT) dengan persentase sebesar 62,35%, diikuti dengan melarikan diri tanpa bersuara (mTB) sebesar 18,62%, respon harassing (H) sebesar 6,073%, bersembunyi (B) sebesar 3,64%, dan me-larikan diri dengan bersuara (mB) sebesar 1,21%. se-mentara itu respon owa jawa yang paling sering di temukan pada JAr adalah melarikan diri tanpa bersu-ara (mTB) dengan persentase sebesar 60,78%, diikuti dengan bersembunyi yaitu sebesar 15,69%, harassing sebesar 9,8%, respon diam di tempat sebesar 7,84%, dan melarikan diri bersuara (mB) sebesar 1,96%. Pengamatan penggunaan ketinggian pohon oleh owa jawa di JAT menunjukan hasil yaitu, 74,3% owa jawa menggunakan selang ketinggian 16-35 meter (sedang), 20,43% menggunakan selang ketinggian 36-50 meter (tinggi), dan 4,3% menggunakan selang bersuara (mB), melarikan diri tanpa bersuara (mTB),

diam di tempat (ddT), bersembunyi (B), atau harass-ing (H). data yang dicatat adalah jumlah individu dalam satu keluarga yang memperlihatkan tiap-tiap respon tersebut.

c. Penggunaan Ketinggian dan Kanopi Pohon selang ketinggian di bagi menjadi tiga, yaitu, rendah (0-15 m), sedang (16-35 m), dan tinggi (36-50 m). selang ketinggian dibuat berdasarkan kisaran keting-gian pohon pakan owa jawa di Bodogol. Berdasar-kan survei awal, diperoleh data ketinggian tegaBerdasar-kan di kawasan hutan Bodogol berkisar antara 10-40 m. data yang dicatat pada saat pertemuan dengan owa jawa adalah Hm (posisi owa jawa dari permukaan ta-nah), Ht (ketinggian pohon), Hb (tinggi bagian bawah kanopi dibawah owa jawa) yang diperlihatkan oleh salah satu individu yang pertama kali terlihat pen-gamat (Caldecott 1986:28). data tersebut kemudian digunakan untuk menentukan Pi (position index) dari owa jawa. rumus yang digunakan adalah:

Pi = Ht –Hm x 100% (Caldecott 1986:28) Ht –Hb

nilai Pi kemudian digunakan untuk mengelompokan penggunaan kanopi oleh owa jawa, yaitu kanopi atas, kanopi tengah, kanopi bawah, kanopi lebih bawah, dan di permukaan tanah. Adapun pengelom-pokannya adalah sebagai berikut:

1. Jika Pi = 0% sampai dengan 30%, owa jawa berada di kanopi atas.

2. Jika Pi = 31% sampai dengan 60%, owa jawa berada dikanopi tengah.

3. Jika Pi = 61% sampai dengan 90%, owa jawa berada dikanopi bawah.

4. Jika Pi = 91% sampai dengan 100% owa jawa berada dikanopi lebih bawah.

5. Jika Pi = 91% sampai dengan 100% dan Hm = 3 – 25 m, owa jawa berada didasar (permukaan tanah).

6. Jika Pi = 0%, dan Hm = 0 m, owa jawa berada didasar (permukaan tanah) di luar hutan (Calde-cott 1986 : 29).

3. Pengolahan data

data dari hasil pengamatan ditampilkan dalam ben-tuk histogram unben-tuk mengetahui persentase deteksi

ketinggian 0-15 meter (rendah). Pada JAr, selang ketinggian yang paling sering digunakan owa jawa adalah selang ketinggian 16-35 meter (sedang) yaitu sebesar 91,7%, dan 8,3% menggunakan selang ket-inggian 36 – 50 meter (tinggi).

Berdasarkan penghitungan indeks posisi, diperoleh hasil yaitu, sebesar 51,61% owa jawa di JAT meng-gunakan kanopi tengah, 29,03% mengmeng-gunakan kanopi atas, 11,83% menggunakan kanopi bawah, dan 7,53% menggunakan kanopi paling bawah. se-mentara itu, 45,83% owa jawa di JAr menggunakan kanopi tengah, 41,6% menggunakan kanopi atas, dan 8,3% menggunakan kanopi bawah, dan 4,16% menggunakan kanopi paling bawah (Gambar 2).

B. Pembahasan

1. deteksi owa Jawa

Perbedaan persentase deteksi pada JAT dan JAr menunjukan bahwa owa jawa pada masing-masing jalur memiliki tingkatan kewaspadaan yang berbeda. Tingginya deteksi awal di JAr menunjukan bahwa owa jawa yang ada cederung lebih waspada terha-dap pengamat dibandingkan owa jawa di JAT. Treves (2000:713) menyebutkan bahwa primata yang me-miliki tingkat kewaspadaan tinggi akan lebih cepat mendeteksi predator dibandingkan primata dengan tingkat kewaspadaan rendah. Bagi primata yang hid-up di hutan, deteksi awal terhadap predator sangat

penting karena pertahanan diri hanya dapat menjadi efektif jika ada cukup waktu untuk menyusun strategi yang paling tepat pada saat menghadapi predator (van schaik 1983:212). Tingkat keselamatan hidup satwa menjadi lebih terjamin seiring dengan menin-gkatnya deteksi awal. Pada tahun 1994 Cresswell (lihat roberts 1996 : 1080) melaporkan bahwa ka-sus kematian pada suatu kelompok burung redshank meningkat saat deteksi awal burung tersebut rendah. Kehadiran pengamat di JAr merupakan suatu rang-sang gangguan (disturbance stimulus) bagi owa jawa. Gangguan tersebut membuat owa jawa meningkat-kan perilaku kewaspadaannya sehingga dapat lebih cepat mendeteksi keberadaan pengamat. Hal itu dapat menjelaskan tingginya persentase deteksi awal yang terjadi pada JAr. Jika suatu kewaspadaan belum ter-ganggu dengan kunjungan manusia, perilaku yang ditunjukkan satwa terhadap kehadiran manusia meru-pakan perilaku yang umumnya terjadi.

sementara itu, kehadiran pengamat di JAT tidak mem-buat owa jawa meningkat perilaku kewaspadaan dan deteksi awal yang terjadi cenderung lebih ren-dah. Jika dibandingkan dengan JAr, gangguan yang ada pada JAT cenderung lebih tinggi dengan mening-katnya aktivitas kunjungan manusia. owa jawa yang ada pada JAT seharusnya meningkatkan perilaku kewaspadaan seiring dengan meningkatnya

guan. Akan tetapi, hasil yang didapatkan menunjukan bahwa kehadiran pengamat tidak menyebabkan owa jawa menjadi lebih waspada dan meningkatkan de-teksi terhadap pengamat. Hal itu diduga karena gang-guan kunjungan manusia pada JAT telah berlangsung lama sehingga membuat owa jawa menjadi terhabitu-asi dengan manusia. Hal itu sesuai dengan pendapat Tobing (1999: 75) yang membuat bahwa primata yang telah mengalami habituasi terhadap manusia akan menunjukkan tingkat deteksi awal yang rendah. Habituasi owa jawa di JAT diduga karena kunjungan manusia di jalur tersebut bukan sebagai suatu anca-man yang menyebabkan kematian bagi owa jawa. manusia yang datang pada JAT umumnya adalah sebagai pengunjung kawasan, bukan pemburu. oleh sebab itu, owa jawa pada JAT akan lebih mudah ter-habituasi dengan manusia. Webster (1997: 21) mel-aporkan bahwa habituasi pada sekelompok rangifer tarandus (rusa caribou) sangat bergantung pada jenis gangguan dan kehadiran pemburu. Kelompok satwa tersebut biasanya mengalami stres yang lebih tinggi saat dikejar dan diburu. Pada akhirnya, habituasi ti-dak akan tejadi karena kehadiran manusia dikaitkan dengan bahaya yang mengancam hidup mereka. raanan et al. (2001: 3) menyebutkan bahwa jenis interaksi manusia terhadap satwa akan menentukan respon satwa tersebut. Ketika interaksi manusia den-gan satwa pada suatu kawasan tidak menyebabkan kematian, satwa biasanya akan lebih cepat terhabitu-asi dengan manusia (Webster 1997: 21).

Kondisi lingkungan saat pertemuan terjadi pada kedua jalur juga mempengaruhi deteksi owa jawa. menurut frid & dill (2002: 2), struktur lingkungan tempat mang-sa berada mang-saat pertemuan dengan predator juga akan menentukan keberhasilan mangsa untuk dapat lebih dulu mendeteksi predator dan menyelamatkan diri. Hasil pengamatan menunjukan bahwa kondisi vegeta-si yang lebih terbuka pada JAT menjadi salah satu pe-nyebab owa jawa dapat dengan mudah mendeteksi oleh pengamat. sementara itu, kondisi vegetasi yang rapat pada JAr menyulitkan pandangan pengamat un-tuk dapat lebih dulu mendeteksi owa jawa unun-tuk lebih dulu mendeteksi keberadaan pengamat.

Aktivitas owa jawa saat pertemuan juga menentukan deteksi yang terjadi. Pada JAT, meskipun tidak setinggi deteksi akhir, deteksi awal masih terjadi pada

bebera-pa kali pertemuan. Biasanya deteksi awal terjadi saat owa jawa telah berada pada kanopi atas pohon atau saat owa jawa tidak sedang makan, sehingga mereka menjadi lebih waspada terhadap kehadiran pengamat. menurut roberts (1996: 1078) dan Traves (2000: 712 – 713), saat primata melakukan aktivitas makan, perilaku kewaspadaan menurun, sehingga tingkat de-teksi terhadap predator juga menjadi lebih rendah. 2. respon owa Jawa Terhadap Pengamat

respon yang paling sering ditemukan pada JAr adalah melarikan diri tanpa bersuara (mTB), yaitu owa jawa menghindar menjauhi pengamat. Hal itu sesuai den-gan pendapat nijman (2001: 37) yang menyatakan bahwa respon yang biasanya terjadi jika owa jawa bertemu dengan manusia adalah melarikan diri. Kon-disi tersebut menunjukan bahwa owa jawa pada JAr belum merubah respon mereka terhadap manusia. respon owa jawa terhadap manusia pada JAr dapat menunjukkan bahwa owa jawa cenderung masih sangat waspada terhadap kehadiran pengamat. Hal itu diduga karena tingkat kunjungan manusia masih relatif rendah sehingga kehadiran pengamat diang-gap sebagai gangguan besar yang mengancam hid-up owa jawa. Pada JAr, keadaan tersebut dapat me-nyebabkan stres bagi owa jawa dan waktu aktivitas harian owa jawa akan berkurang, termasuk waktu mencari pakan. Kewaspadaan owa jawa pada JAr juga terlihat dari durasi pertemuan pengamat dengan owa jawa. Berdasarkan pengamat, hampir keseluru-han pertemuan rata-rata berlangsung dalam durasi yang singkat, yaitu berkisar antara 6-18 menit. Hal itu dapat menunjukkan bahwa owa jawa pada JAr masih sangat waspada terhadap pengamat.

sementara itu, respon yang paling sering tampak pada JAT adalah respon ddT, yaitu owa jawa tidak pergi menjauh dari pengamat. respon tersebut ti-dak seperti respon owa jawa pada umumnya yang akan melarikan diri jika bertemu dengan manusia. Hal itu menunjukkan bahwa owa jawa pada JAT telah merubah respon terhadap manusia. Perubahan respon tersebut diduga karena owa jawa telah ter-habituasi dengan kehadiran manusia yang semakin meningkat pada JAT. raanan et al. (2001: 3) butkan bahwa habituasi terhadap manusia menye-babkan satwa tidak lagi tidak menganggap manusia sebagai suatu ancaman. Habituasi owa jawa pada

JAT dapat juga terlihat dari lamanya durasi perte-muan dengan pengamat, yaitu antara 11,6-43,3 menit.

Pada pertemuan berlangsung, owa jawa pada JAT ter-lihat tidak menghindari pertemuan dengan pengamat. Hal itu bertentangan dengan pendapat Kappeler (1981: 24) yang menyebutkan bahwa owa jawa umumnya sangat menghindari pertemuan (konfrontasi) dengan manusia. Kondisi tersebut semakin memperkuat dugaan bahwa owa jawa pada JAT telah terhabituasi dengan manusia dan merubah respon terhadap manusia. Hal itu sesuai dengan nijman (2001: 37), yang melaporkan bahwa owa jawa merubah respon melarikan diri men-jadi respon diam di tempat seiring dengan perubahan habitat dan meningkatnya kehadiran manusia. laporan kunjungan PPKAB tahun 2000 dan 2001 mem-perlihatkan bertambahnya tingkat kunjungan manusia pada JAT sejak awal didirikan (PPKAB 2000: 27; PPKAB 2001: 24). saat penelitian dilakukan, tingkat kunjungan di PPKAB mengalami peningkatan pada bulan oktober (Gambar 3). Pengamatan respon owa jawa terhadap pengunjung di JAT memperlihatkan hasil bahwa owa jawa umumnya menunjukkan respon diam di tempat dan tetap melanjutkan aktivitas hariannya. durasi pertemuan pengunjung dengan owa jawa berkisar antara 10 – 25 menit. Pada pengamatan lain, owa jawa menunjukkan

Gambar 3. Tingkat Kunjungan di PPKAB Tahun 2002 (N=3621) Sumber: Modifikasi PPKAB 2002:7

respon melarikan diri dari pengunjung. saat pertemuan berlangsung, sekelompok pengunjung terdengar men-geluarkan suara gaduh. Pertemuan yang terjadipun tidak berlangsung lama karena owa jawa melarikan diri men-jauhi pengunjung.Kondisi tersebut dapat menunjukan bahwa respon owa jawa. menurut Ario (2000: 12 – 14), jumlah dan respon pengunjung saat melihat owa jawa di jalur pendidikan PPKAB juga berpengaruh terhadap respon owa jawa di jalur tersebut.

respon owa jawa yang paling jarang di temukan pada kedua jalur yaitu melarikan diri dengan bersu-ara (mB). Pada tahun 1965, smith (lihat Bergstrom & lachmann 2001: 535) menyatakan bahwa alarm