• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hutan Produksi Sebagai Habitat Owa jawa

Broto Raharjo

C. Hutan Produksi Sebagai Habitat Owa jawa

Keberadaan owa jawa di hutan produksi (blok rasamala) dipengaruhi oleh jenis tumbuhan yang ditanam, umur hutan produksi, dan lokasinya yang berbatasan dengan hutan primer. Baik dari hasil analisis vegetasi maupun pengamatan di lapan-gan, jenis tegakan pohon yang dominan di hutan produksi adalah rasamala (Altingia excelsa). Pohon rasamala dapat mencapai tinggi 60 m, tersebar di semenanjung malaya, sumatera, dan daerah Asia

Tenggara lainnya pada ketinggian antara 550-1750 mdpl (sunarno & rugayah 1992:99). umur hutan produksi (blok rasamala) yang berkisar 41-76 tahun telah membentuk pertumbuhan pohon rasamala yang mencapai tinggi rata-rata 35,369 m, rata-rata dBH 55,489 cm, dan rata-rata tinggi cabang pertama 20,364 m. Hal itu memberikan kesempatan kepada beberapa jenis liana, antara lain darangdan (ficus sinuate), dan dawalo serta epifit, yaitu ramu giling (schefflera lucescens), menggunakan batang utama maupun tajuk rasamala sebagai tempat hidup. Ber-dasarkan hasil pengamatan, jenis-jenis tersebut di-manfaatkan oleh owa jawa sebagai pakannya. Kanopi pohon rasamala yang lebar dan saling me-nyambung di hutan produksi (blok rasamala) juga dimanfaatkan oleh owa jawa sebagai tempat bra-kiasi dalam aktivitas mencari pakan (foraging activ-ity). Hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa pohon rasamala digunakan sebagai pohon tidur oleh kelompok Perhutani. Hasil penelitian soleh (1989:27) di situ Gunung yang memiliki kondisi mirip dengan Bodogol, yaitu berbatasan dengan lokasi Perhutani, menyabutkan bahwa pohon rasamala yang digu-nakan owa jawa sebagai pohon tidurnya memiliki ketinggian 30-35 m, tinggi cabang pertama 12-14 m, dan jumlah cabang besar antara 5-8 cabang. lokasi hutan produksi (blok rasamala) yang berba-tasan dengan hutan primer menyebabkan penyeba-ran dari hutan primer masih dapat berlangsung. Hal itu dapat dilihat dari jenis-jenis tumbuhan tingkat tegakan tiang dan pancang di hutan primer dan hu-tan produksi (blok rasamala) yang memiliki indeks kesamaan masing-masing 56,52% dan 47,06%. selain jenis-jenis liana, epifit, dan rasamala (daun mudanya) yang menjadi sumber pakan owa jawa, dihutan produksi terdapat 12 jenis tumbuhan lain dari 11 suku yang termasuk kedalam pakan owa jawa dan jenis-jenis itu kebanyakan berupa tingkat tegakan tiang.

salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mence-gah kepunahan lokal populasi owa jawa di hutan produksi (blok rasamala) yaitu liberation thinning. nicholson (1965) menyebutkan, teknik tersebut umum digunakan dalam praktik pengusahaan hutan di ma-laysia untuk mendorong regenerasi pohon-pohon yang bernilai ekonomis pasca tebang pilih. Pertum-buhan semai dan tiang jenis-jenis komersial yang di-inginkan dirangsang dengan cara mengurangi tutupan

kanopi yang berada diatas dan sekitarnya (lihat leigh-ton & Whitten 1984:32). Aplikasi dalam manajemen konservasi owa jawa adalah dengan cara mengurangi tutupan kanopi untuk mendorong percepatan pertum-buhan vegetasi pakan owa jawa (leighton & Whit-ten 1984:33). Hasil analisis vegetasi mencatat bahwa dihutan produksi (blok rasamala) terdapat 20 jenis tumbuhan yang termasuk kedalam pakan owa jawa dan jenis-jenis itu kebanyakan berupa tingkat tegakan tiang.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah owa jawa juga membutuhkan kanopi yang saling me-nyambung sebagai tempat brakiasi dalam aktivitas mencari pakan (foraging activity) serta membutuhkan pohon yang tinggi (diatas 25 m) sebagai pohon tidur dan untuk melakukan vokalisasi. selain itu batang pohon yang tinggi dan memiliki kanopi yang lebar juga merupakan tempat hidup bagi ficus pencekik epifit dan liana. Banyak dari jenis – jenis tersebut merupakan pakan owa jawa (leighton & Whiton 1984 : 33 – 380.). namun demikian, kemampuan hu-tan Produksi (blok rasamala) yang dapat mendukung kehidupan owa jawa tidak dapat dijadikan dasar un-tuk melakukan konversi hutan alami menjadi hutan Produksi atau sejenisnya .

Kerusakan fisik dan biologi selalu menyertai setiap kegiatan pengusahaan hutan. Kerusakan fisik seperti pohon tumbang, rusak tajuk, rusak cabang, dan rusak papagan mempunyai dampak terhadap struktur ko-munitas tumbuhan. di hutan yang mengalami pem-balakan, kekayaan jenis dan keanekaragaman jenis tumbuhan umumnya lebih rendah dari pada alami. selain itu, pembalakan hutan dapat mengakibatkan perubahan komposisi jenis. Hutan-hutan klimaks yang berasal dari bekas pembalakan biasanya didominasi oleh jenis-jenis tumbuhan dari famili tertentu. di Asia Tenggara ditandai dengan dominannya jenis-jenis dari famili euphorbiaceae, di daerah neotropik dan Afrika didominasi dari jenis-jenis dari famili urtica-ceae, dan didaerah pantropik didominasi dari jenis –jenis dari famili ulmaceae (John 1997: 48 – 50 ).di kawasan hutan bekas tebangan di sikundur Taman nasional Gunung lauser, soemarno (2001: 12 & 14) dan Priatna (2002: 13 mendapatkan jenis-jenis dari famili euphorbiaceae mendominasi lokasi tersebut. euphorbiaceae merupakan suku terkaya dengan 18 jenis dan mengalami pertumbuhan sebesar 163,8% dari kerapatan 47 pohon/ha menjadi 124 pohon/ha dalam kurun waktu 18 tahun (Priatna 2002: 100).

dampak penebangan hutan akan mempengaruhi se-luruh komunitas hutan. Pegaruhnya tidak hanya tejadi pada tumbuh-tumbuhan saja, tetapi juga pada satwa. Ganzhorn dkk .(1990) menyebutkan keanekaragaman jenis tumbuhan menurun akibat pembalakan di hu-tan-hutan madagaskar. Hasil penelitian Hawkins dkk (1990) menyebutkan, oleh sebab kelimpahan lemur sebagai Primata frugifora di berkolerasi positif dengan keanekaragaman jenis tumbuhan, maka pembalakan hutan dapat menyebabkan penurunan populasinya (li-hat Johns 1997: 69). Pada Primata frugipora, skorupa (1986) menyebutkan bahwa monyet ekor merah (Cer-copithecicus ascanius) di Kibale, uganda memiliki ko-relasi positif dengan keberadaan jenis-jenis ficus dari famili moraceae. di hutan – hutan yang mengalami pembalakan ketika kelimpahan ficus menurun dari 4,1 pohon/ha menjadi 0,6 pohon/ha, kepadatan monyet ekor merah menurun 50% (lihat John 1997: 69). dari berbagai penelitian diketahui bahwa famili Hy-lobatidae adalah primata frugivora dan berasosiasi dengan keberadaan ficus sebagai sumber pakan (Chivers 1974: 126 – 127; Gittins & raemakers 1980: 90 – 94; Keppeler 1984b: 34 – 36; leighton & Whit-ten 1984: 36 – 38: 74; mcConkey dkk. 2002: 136 – 141). Bukan tidak mungkin jika kelimpahan ficus menurun maka kepadatan populasi Hylobatidae di suatu tempat juga akan menurun. Hal itu telah ditun-jukan oleh (Priatna 2002: 106) yang mendapatkan kerapatan jenis-jenis ficus di hutan bekas tebangan sekundur adalah 4,6 pohon/ha , sedangkan kerapa-tan jenis – jenis ficus di hukerapa-tan Primer Ketambe, Aceh yang diperoleh rijksen (1978) dan Polambit 1992 adalah 8,5 pohon/ha (lihat Priatna 2002: 106), maka kepadatan Hylobates lar di hutan bekas tebangan si-kundur adalah 3,4 individu/ km², sedangkan di hutan sei Badak adalah 6,1 individu/ km².

Hilangnya pohon-pohon dengan ketinggian di atas 25 meter yang berdiameter besar dan memiliki tajuk yang lebar menyebabkan Hylobates lar dan Hylo-bates moloch melakukan aktivitas pada strata hutan yang lebih rendah, yaitu Kanopi tengah, sehingga lebih mudah terdeteksi oleh manusia (pemburu) dan predator (nijman 2001: 38 – 39). dalam penelitian-nya di Hutan lindung sungai Tekam (malaysia), Gri-eser – Johns & GriGri-eser – Johns (1995) mendapatkan kematian individu bayi pada H.lar, Presbytis melalo-phos, P obscura, dan macaca fascicularis lebih besar pada saat pembalakan hutan sedang berlangsung. selain itu, Johns (1985 & 1986) dan Grieser – Johns

& Grieser -Johns (1995) menyebutkan bahwa dam-pak yang tejadi adalah mengakibatkan akitivitas menjelajah untuk mencari makan pada H. lar dan Presbytis melalophos berkurang dan menghabiskan lebih banyak waktrunya untuk beristirahat. Vokalisasi dan panjang aktivitas jelajah harian pada H. lar juga berkurang sampai 50% daripada normal (lihat Johns, 1997: 81 & nijmana 2001: 35). Padahal aktivitas je-lajah harian normal pada H. lar berkisar antara 450 – 2900 m dengsan rata-rata 1490 m (Gittins & rae-makers 1980: 78 ).

frekuensi vokalisasi menurun karena menghabiskan cukup banyak energi, sedangkan pakan berupa buah sulit ditemukan karena banyak pohon sumber pakan yang tumbang. Tajuk pohon yang rusak juga menyulit-kan untuk berakhiasi mengakses sumber pamenyulit-kan yang tersebar, sehingga aktivitas jelajah harian menurun. Hal itu menyebabkan H. lar akan mengkonsumsi lebih banyak daun sebagai pakan alternatif sehingga lebih banyak istirahat. Waktu istirahat yang lebih ban-yak digunakan untuk mencerna makanan yang lebih banyak berupa daun karena sistem pencernaan H. lar dan marga Hylobates lainnya tidak dirancang untuk mencerna selulosa ( Johns, 1997:81).

KesimPulAn dAn sArAn

A. Kesimpulan

1. Kepadatan populasi owa jawa dan kepadatan kelompok di hutan primer adalah 12,7 individu per km² dan 4,5 kelompok per km², sedangkan di hutan produksi (blok rasamala) adalah 9,3 indi-vidu per km² dan 2,7 kelompok per km². 2. Tujuh kelompok tercatat di hutan primer dengan

kisaran ukuran kelompok adalah 2-4 indiviudu dan rata-rata ukuran kelompok 3 individu. di hu-tan produksi tercatat satu kelompok yang terdiri dari satu individu jantan dewasa, satu individu betina dewasa, satu individu pra dewasa, satu individu remaja, dan satu individu bayi.

3. Hasil analisis tingkat dominansi dan peranan jenis di hutan produksi (blok rasamala) dan hu-tan primer menunjukkan bahwa jenis-jenis yang berasal dari suku terkaya belum tentu berada pada tingkat dominansi sangat tinggi atau tinggi di dalam komunitas, karena hal itu dipengaruhi oleh nilai frekuensi, kerapatan, dan dominansi dari masing-masing jenis.

dis-tribusi frekuensi masing-masing tingkat tegakan berdasarkan dBH baik di hutan produksi (blok rasamala) maupun di hutan primer dapat dis-impulkan pola kelas diameter batang di hutan tropika primer cenderung membentuk.

B. Saran

1. Perlu dilakukan survei populasi owa jawa se-cara berkala di Bodogol dan survei di lokasi lain di Taman nasional Gunung Gede Pangrango, mengingat kepadatan owa jawa di Bodogol terbilang tinggi. dengan demikian diharapkan dapat tercipta sebuah data base yang lengkap sebagai dasar untuk manajemen konservasi owa jawa khususnya di Taman nasional Gu-nung Gede Pangrango .

2. Perlu dilakukan survei populasi di hutan Produksi lain yang memiliki keadaan mirip dengan hutan Produksi di Bodogol karena dengan hasil peneli-tian di Bodogol dan situ Gunung yang keadaan-nya mirip, yaitu terdapat tanaman rasamala yang berumur ±50 tahun dan perbatasan dengan hutan Primer ternyata terdapat keberadaan owa jawa. lokasi tersebut misalnya di Gunung salak, hutan – hutan Produksi di pegunungan daerah Bandung selatan , dan Gunung selamat di Jawa Tengah .

3. diperlukan rencana yang lebih baik dalam men-jalankan ekowisata di Bodogol ,karena ada jalur wisata yang ada melintasi daerah jelajah owa jawa .

4. Perum Perhutani unit iii KPH Bogor, Jawa Barat sebaiknya mempertimbangkan kembali kebi-jakannya jika memiliki rencana untuk menebang blok rasamala dan menggantinya dengan dam-ar dan Pinus, kdam-arena dilokasi tersebut terdapat satwa endemik yang dilindungi dengan un-dang-undang nasional maupun internasional, yaitu owa jawa.

5. indeks keanekaragaman dan indeks kes-eragaman yang tinggi pada tingkat tegakan pohon, tiang, dan pancang menunjukkan hutan primer di Bodogol sebagai habitat owa jawa dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. 6. indeks Kesamaan yang cukup tinggi dari tingkat

tegakan tiang dan pancang antara hutan primer dan hutan produksi (blok rasamala) menunjkkan terjadinya proses pemulihan tingkat tegakan tiang dan pancang di hutan produksi (blok rasa-mala)

7. Keberadaan owa jawa di hutan produksi (blok

rasamala) dipengaruhi oleh jenis tumbuhan yang ditanam, umur hutan produksi, dan lo-kasinya yang masih berbatasan dengan hutan primer.

8. Kemampuan hutan produksi (blok rasamala) yang dapat mendukung kehidupan owa jawa tidak dapat dijadikan dasar untuk melakukan konversi hutan alami menjadi hutan produksi atau sejenisnya. Kerusakan fisik dan biologi selalu menyertai setiap kegiatan pengusahaan hutan.

dAfTAr PusTAKA

Asquith, n.m., martarinza & r.m. sinaga. 1995. The Javan Gibbon (Hylobates moloch): status and onservation recommendation. Tropical Biodi-versity 3(1): 1—14.

Balai TnGGP, Ci – iP, ui, & unesCo. 2002. laporan tahunan stasiun Penelitian Bodogol. Balai TnGGP, Conservation international –indonesia Programme, universitas indonesia , & unesCo, Jakarta: v + 57 hlm.

Brewer, r. 1994. Thescience of ecology. 2and ed. saunders College Publishing, ft Worth: xviii + 773 hlm.

Breckelman, W.Y. & r. Ali. 1987. methods of survey-ing and samplsurvey-ing forest primate population. dalam: marsh, C.W. & r.A. mittermeier (eds). 1987. Primate conservation in the tropi-cal rain forest. Alan r. liss, inc., new York: 23—62.

Caldecott, J.o. 1986. An ecological and behavioral study of pig-tailed macaques. Contribution to primatology 21: 1—259

Chivers, d.J. 1974. The siamang in malaya. A field study of a primate in tropical rain forest. Karg-er, new York: xii + 331 hlm.

Gittins,s.P. & J.J. raemakers. 1980. siamang, lar, and agile gibbons. dalam: d.J. Chivers (ed.). 1980. malayan forest primates, ten years study in tropica rain forest.

Plenum Press, new York: 63 – 105. Halle, f.,r.A.A. oldeman & P.B. Tomlinson. 1978.

Tropical trees and forest: An architectural analysis. springer-Verleg, Berlin: xvii + 441 hlm.

Heltne, P.G.,d.C. Turner & n.J. scott Jr.1975. Compari-son of census on Alloutta palliate from Costa rica and Panama. neotropical Primates: field studies and conservation: 10—19.

ismail, ermayanty & H. Hasbullah. 2000. studi ke-anekaragaman flora di Kawasan Pusat Pen-didikan Konsevasi Alam (PPKAB), Taman nasional Gunung Gede Pangrango. dalam: Wahyono, e.H.&A.Ario.2000. flora and fauna: An inventory and research technical practice in Bodogol Center of education and Conservation. Taman nasional Gunung Gede Pangrango & Conservation international in-donesia Programme, Jakarta: iv + 174 hlm. John, A.G. 1997. Timber production and biodiversity

conservation in tropical rain forest. Cam-bridge university Press, CamCam-bridge: xxi + 225 hlm.

Kappeler, m. 1984. The gibbon in Java. dalam: Preuschoft, H.,d.J.Chivers,W.Y. Brockelman, & n. Creel (eds.). 1984. The lasser apes: evo-lutionary and behavioural biology. edinburgh university Press, edinburgh: 19 – 31.

Kurniawan, H. 1999. struktur populasi Yaki (macaca nigrescens Temnick) di Toraut dan matayan-gan, Taman nasional Bogani nani Wartabo-ne, sulawesi utara. skripsi s1 Jurusan Biologi fmiPA ui, depok: ix + 79 hlm.

laman, T.G 1996. specialisation for canopy position by hemiepiphytic ficus species in a Bornean rain forest. Journal of tropical ecology 12: 789—803.

leighton,d.r. & A.J. Whitten. 1984. management of free-ranging gibbons. dalam: Preuschoft, H.,d.J.Chivers, W.Y. Brockelma, & n. Creel (eds). 1984. The laser apes: evolutionary and behavioural biology. edinburgh university Press, edinburgh: 32—43.

mackinnon, J.r. 1984. The distribution and status of gibbons in indonesia. dalam: Preuschoft, H.,

d.J. Chvers, W.Y. Brockelman, & n. Creel (eds.). 1984. The lesser apes: evolutionary and be-havioural biology. edinburgh university Press, edinburgh: 16 – 18.

mCConvey, K.r.,f.Aldy, A.Ario & d.J. Chivers. 2002. selection of fruit by gibbons (Hylobates muelleri x agilis) in the rain forest of central Borneo. international Journal of Primatology 23(.01): 123—145 hlm.

napier, J.r. & P.H. napier. 1985. The natural history of the primates. The miT Press, Cambridge: 412 hlm.

nijman, V. 2001. effect of behavioural changes due to habitat disturbance on density estima-tion of rain forest vertebrates, as illustrated by gibbons (Primates: Hylobatidae). dalam: nijamn, V.2001. forest (and) primates: con-servation and ecology of the endemic primata of java and borneo. Tropenbos international, Wageningen:33 – 41.

national research Council. 1981. Technical for the study of primate population ecology. national Acad-emy Press, Washington d.C.: xi + 232 hlm. nijman, V. 2003. Conservation of the Javan gibbon.

institute for Biodiversity and ecosistem dy-namics, Zoological museum, university of Amsterdam, Amsterdam: 15 hlm. (unpub-lished paper work).

nijma, V.& s.B.J. menken. 2001. density and Biomass estimates of gibbons (Hylobates muelleri) in Bornean rain forest: A comparison of tech-niques. dalam: nijman, V.2001. forest (and) primates: Conservation and ecology of the endemic primates of Java and Borneo. Tro-penbos international, Wageningen: 13—31. Priatna, d.2002. Pemulihan hutan tropika pamah

bekas tebangan serta dampak penebangan terhadap populasi primate dan keanek-aragaman burung. Tesis magister Program studi Biologi Program Pascasarjana, depok: xii + 119 hlm.

Perum Perhutani unit iii KPH Bogor Jawa barat. 1997. Buku PK2 rencana pengaturan kelestarian

hutan kelas perusahaan pinus jangka perusa-haan 1 Januari 1997—31 desember 2006. Perum Perhutani unit iii KPH Bogor Jawa Barat, Bogor: 193 hlm.

Purwanto, Y. 1992. studi habitat owa abu-abu (Hylo-bates moloch Audebert 1798) di Taman nasi-onal Gunung Gede – Pangrango, Jawa barat. skripsi s1 Jurusan Konservasi sumberdaya Hu-tan fakultas KehuHu-tanan iPB, Bogor: viii + 144 hlm.

soemarno, s. 2001. struktur dan Komposisi vegetasi pada petak tebang dan pola pemulihan tapak prasarana pasca pembalakan mekanis di si-kundur, Taman nasional Gunung leuser. Tesis magister Program studi Biologi Program Pas-casarjana, depok: xii + 99 hlm.

soerianegara, i & A. indrawan. 1978. ekologihutan in-donesia. fakultas Kehutanan iPB, Bogor: iv + 123 hlm.

suranto, m.T. 1994. studi Konservasi Hylobates moloch di Taman Wisata situ Gunung, Jawa Barat. skripsi s1 Jurursan Biologi fmiPA un-PAd, Jatinangor: x + 51 hlm.

sutisna, u.,H.C. soejatman & sutomo. 1988. Analisis komposisi jenis pohon hutan hujan di Peman-tas dan batu Ampar, Kalimantan Timur. Bule-tin Penelitian Hutan 500: 35—51.

supriatna, J., r. Tilson, K.J.Gurmaya,J. manangsang, W. Wardoyo, A. sryanto, A. Terare, K. Cas-tle, l. Tumbelaka, n. Andayani, u. seal, & o. Byers (eds.). 1994. Conservation assess-ment and manageassess-ment plan for the primate of indonesia: draft report. iuCn/ssC Captive Breeding specialist Group, minnesotta: 365 hlm.

Tenaza, r.r. 1975. Territory and monogamy among kloss Gibbons (Hylobates kloosii) in siberut island, indonesia. folia Primatologica 24: 60—80.

Wahyono, e.H & A.Ario. 2000. flora and fauna: An inventory and reseach technical practise in Bodogol center of education and conserva-tion. Gunung Gede – Pangrango nasional

Park & Conservation international – indone-sia Program, Jakarta: 174.

Wahyono, e.H & J. supriatna. 1999. Primata di pu-sat pendidikan dan konservasi alam Bodo-gol. Conservation international – indonesia Programme,Jakarta: 27 hlm.

Wibisono, H.T. 1995. survei populasi dan ecologi primate di Gunung Honje, Taman nasional ujung Kulon. Yayasan Bina sains Hayati, de-pok: vi + 75 hlm.

Yanuar, A. 2001. The population, distribution, and abundance of primates in Kerinci seblat national Park, sumatra. mphil dissertation department of Anatomy university of Cam-brideg, Cambridge: x + 138 hlm.

Estimasi Kepadatan dan