• Tidak ada hasil yang ditemukan

Georgafis, Penduduk dan Setting Sosial

Dalam dokumen KONFLIK UMAT BERAGAMA DAN BUDAYA LOKAL (Halaman 116-120)

171 DAN UNGKAPAN SOLIDARITAS

A. Georgafis, Penduduk dan Setting Sosial

Propinsi Nusa Tenggara Barat (selanjutnya disingkat ‘NTB’) memiliki dua pulau yaitu Pulau Lombok dan Sumbawa. Kota Mataram berada di Pulau Lombok sekaligus menjadi ibukota propinsi. Secara administratif, Propinsi NTB memiliki 7 kabupaten/kota, 4 di antaranya ada di Pulau Lombok yaitu selain Kota Mataram juga Kabupaten Lombok Barat (Lobar), Lombok Tengah, dan Lombok Timur. Adapun 3 kabupaten yang terdapat di Pulau Sumbawa meliputi Kabupaten Dompu, Bima, dan Sumbawa.

Mataram, yang memiliki motto ‘Kota Ibadah’, sebagaimana halnya Lombok umumnya lebih banyak mendapat curah hujan dibandingkan dengan Sumbawa ataupun Bali. Luas wilayahnya mencapai 6.130 Ha, dengan kemiringan tanah hanya 0-2% atau sebagian besar tanahnya datar, mirip dengan Lombok Tengah serta berbeda dengan Lombok Barat dan Timur yang dominan wilayah terjal.

Di sebelah utara dan selatan berbatasan dengan Kecamatan Gunungsari dan Labu Api Kabupaten Lobar, sedangkan di barat ada Selat Lombok, dan di timur ada wilayah Kecamatan Nirmada. Kota Mataram memiliki tiga kecamatan yaitu Kecamatan Mataram (luas 17,72/Km2), Cakranegara (19,94/Km2), dan Ampenan (23,59/Km2). Ampenan adalah kota tua yang memiliki nilai historis, sebab melalui pelabuhan Ampenan, yang sekarang sangat sepi, masyarakat Lombok berkomunikasi dengan dunia luar, khususnya dari arah barat seperti Bali. Bahkan VOC dan pemerintah Belanda menguasai Lombok melalui pelabuhan ini. Karena itu tidak heran jika di daerah ini sekarang banyak dihuni oleh berbagai etnis seperti Arab, Bali, Jawa, Cina, selain Sasak sendiri. Ampenan juga pernah dijadikan ibukota Karesidenan Lombok pada pemerintahan kolonial Belanda.

Menurut Kota Mataram dalam Angka, berdasarkan survei Susenas jumlah penduduk tahun 2004 yang lalu mencapai 348.870 jiwa, perempuannya lebih banyak daripada laki-laki. Hal ini berbeda dengan tahun 2000, dari 314.968 jiwa penduduk laki-lakinya (50,51%) lebih banyak daripada perempuannya (49,49%). Tingkat pertumbuhan penduduk dalam kurun waktu 1990-2000 mencapai 1,41%, berada di atas pertumbuhan di 3 kabupaten yang ada di Pulau Lombok yang rata-rata hanya

0,97%. Walaupun Kota Mataram memiliki penduduk tersedikit, tapi karena luas wilayahnya kecil, maka kepadatan penduduknya terbesar (5.589 jiwa/Km2) di NTB. Di kabupaten yang lain kepadatan penduduknya sangat sedikit, seperti di Lombok Timur sebesar 605/jiwa, bahkan Kabupaten Sumbawa hanya 52 jiwa/Km2.

Secara historis Mataram adalah nama sebuah Kerajaan yang berdiri tahun 1838 dan dapat mengalahkan pemerintahan Kerajaan Karangasem Singosari di Lombok satu tahun berikutnya. Kerajaan ini meskipun nampak kuat tapi sebenarnya tidak mengakar di sebagian besar masyarakat Sasak (Lombok), hal ini terutama karena perbedaan agama. Karena itu kerajaan ini selalu mendapat perlawanan yang panjang dari suku Sasak yang muslim yang melahirkan Perang Praya I dan II (1801-1894), menjelang akhir Perang Praya II masyarakat Sasak dipimpin oleh Tuan Guru Bangkol/Lalu Ismail, dan berakhir ketika Belanda ikut campur tangan tahun 1894 (H. Masnun dkk, 2003: 29-55). Dengan demikian sejarah konflik suku Sasak-muslim dengan Bali-Hindu sudah ada sejak berkuasanya Kerajaan Karangasem di Lombok (1692) dan dilanjutkan oleh Kerajaan Mataram (1838-1894).

Sementara Kerajaaan Selaparang Islam berdiri 1639 setelah Selaparang Hindu ditaklukkan Sultan Alauddin dari Kerajaan Islam Goa-Tallo. Sejak tahun 1669 yaitu sejak ditandatanganinya perjanjian Bungayya (Capapaya ri Bungayya) antara Kerajaan Goa-Tallo dengan Belanda yang mengakui monopoli VOC di seluruh Indonesia Timur termasuk Lombok, maka kekuasaan Islam Goa-Tallo di Lombok ikut menghilang (H. Masnun dkk, 2003: 61). Kedatangan Belanda juga membawa missi Kristen di Mataram.

Secara sosio-kultural masyarakat Mataram dan Lombok umumnya bersifat multi etnis, walaupun begitu suku Sasak masih menjadi bagian terbesar. Menurut data tahun 2000 jumlah orang Sasak mencapai 65,59% dari total penduduk, orang Bali (15,43%) dan Jawa (7,91%) cukup banyak setelah Sasak, sementara suku Bima mencapai 2,77%, dan Sumbawa (Sumawa) sebesar 2,06%. Selebihnya ada orang Sunda, Arab, Bugis, Cina, dan lainnya seperti Manado, Batak, dan Kupang. Orang Sasak identik dengan muslim, demikian juga dengan orang Sumawa, Arab, Jawa dan Bugis. Adapun orang Bali beragama Hindu, dan orang Cina, Kupang, Manado, dan Batak beragama Kristen, sebagian orang Cina juga beragama Budha. Orang Sasak-muslim menyebar baik di Mataram maupun di Lombok pada umumnya. Sementara orang Bali-Hindu cukup banyak di Cakra selain di Lombok Barat, hal ini tidak terlepas dari sejarah

penguasaan Kerajaan Karangasem di Lombok Barat. Orang Bali saat ini banyak bergerak dalam bidang perdagangan di Mataram seperti halnya orang Cina yang menguasai perdagangan di Ampenan dan Cakra, begitu juga Arab di Ampenan. Orang Jawa banyak terdapat di Praya dan dalam kota Mataram, mereka banyak berdagang dan sebagai pegawai. Orang Jawa selain tersebar tapi juga memiliki perkampungan Jawa, sama seperti halnya orang Arab yang memiliki perkampungan Arab di Ampenan.

Partai politik di Mataram memperlihatkan kondisi seperti di Indonesia bagian Timur pada umumnya yaitu partai nasionalis-sekuler khususnya Golkar masih sangat besar. Pada Pemilu 2004 misalnya, untuk DPRD Kota Mataram Golkar memperoleh suara seperempat lebih (26,73%) dari total pemilih, dua partai terbesar berikutnya diduduki oleh partai nasionalis-sekuler yaitu PDI-P (15,39%) dan Partai Demokrat (10,92%). Urutan berikutnya dikuasai oleh partai-partai Islam/berbasis massa Islam yaitu PKS (7,94%), PPP (7,40%), PAN (5,77%), PBR (4,19%), PKB (3,31), dan PBB (2,57%). Sementara partai yang berbasis Kristen seperti Partai Damai Sejahtera memperoleh 1,31%.

Golkar lebih banyak terdapat di Kecamatan Mataram, sedangkan PDI-P agak lebih kuat di Cakranegara dan Partai Demokrat relative merata di tiga kecamatan. Adapun partai-partai Islam/berbasis massa Islam beragam tingkat kekuatannya di tiga kecamatan yang ada. PKS, PPP, dan PAN relatif merata, sedangkan PBR dan PBB agak kuat di Kecamatan Mataram, dan PKB agak kuat di Ampenan. Khusus Partai Damai Sejahtera persebaran suaranya merata di dtiga kecamatan yang ada.

Pada tahun 2000, mayoritas (81,27%) penduduk beragama Islam, sedangkan umat Hindu cukup besar yaitu 15,46%, umat Budha hanya 1,15%. Adapun umat Kristiani tidak lebih dari 2,10% yang terdiri dari umat Protestan sebesar 1,15%, dan Katolik sebesar 0,95%. Selain itu ada umat agama lain (mungkin sekali Konghucu) sebesar 0,01%. Kecenderungan ini tidak jauh berbeda dengan dengan tahun 2004 seperti yang terdapat dalam Mataram dalam Angka 2004, pada tahun ini umat Islam naik menjadi 81,44% dari jumlah penduduk sebesar 348.870 jiwa, sedangkan umat Hindu turun menjadi 15,29%, pada tahun ini data umat Budha digabung dengan agama lainnya menjadi 1,16%. Sementara umat Kristiani tidak mengalami kenaikan yaitu sebesar 2,10% dengan perincian sama dengan yang tertdapat pada tahun 2000.

Umat beragama menyebar di ketiga kecamatan, tapi tingkat persebarannya agak berbeda. Umat Islam lebih banyak terdapat di Ampenan dibandingkan dengan di kedua kecamatan yang lain. Umat Hindu lebih banyak terdapat di Cakranegara, sedangkan umat Protestan hampir merata dan umat Katolik lebih banyak terdapat di Ampenan.

Tempat ibadah umat Islam terdiri dari masjid, langgar, dan mushalla. Pada tahun 2004 jumlah masjid sebanyak 208 unit, sedangkan gereja untuk umat Kristiani berjumlah 17 unit dengan rincian 8 unit di Ampenan, 6 unit di Mataram, dan 3 unit di Cakranegara. Pura baik untuk umum dan keluarga sebanyak 121 unit, dan Vihara ada 3 unit yang terdapat di Ampenan (1 unit), dan Cakranegara (2 unit)., selain itu ada 1 Klenteng yang terdapat di Cakranegera. Jika dibandingkan dengan jumlah umat beraga pada tahun yang sama, tiap masjid rata-rata harus menampung 1366 muslim, sedangkan gereja rata-rata hanya menampung 431 umat Kristiani. Pura rata-rata dapat menampung 441 umat Hindu, meskipun untuk Pura ini agak kurang cermat kalau diambil rata-rata karena kebanyakan pura yang ada berupa Pura keluarga. Vihara kalau digabung dengan Klenteng rata-rata dapat menampung 1014 umat Budha/Konghucu. Dari data ini menunjukkan bahwa tempat ibadah yang paling banyak dibandingkan dengan jumlah umatnya adalah gereja. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari ‘gairah’ umat Kristiani untuk membangun tempat ibadah di Kota Mataram.

Keislaman orang Sasak biasa dibagi ke dalam dua subkultur yaitu Wetu Telu dan Waktu Lima.3 Ciri khas Waktu Lima ialah memiliki ketaatan dan komitmen keislaman yang tinggi, dan sangat selektif terhadap tradisi lokal. Mereka menggunakan tradisi sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip Islam, secara teologis mencegah diri dari praktek yang mendekati kepada kemusyrikan dan khurafat. Sementara subkultur Wetu Telu secara teologis mereka masih memuja roh leluhur, tingkat ketaaan dan komitmen keislamannya rendah, dan lebih mementingkan tradisi atau mencampurkan antara tradisi dengan ritual agama. Proses dinamika budaya dari subkultur Wetu Telu menjadi Waktu Lima dalam masyarakat Islam Sasak tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama, dan ini tidak dapat dilepaskan dari peran yang dimanikan oleh para Tuan Guru. Tuan Guru adalah status yang dimiliki oleh orang Sasak muslim yang sudah naik haji dan memiliki pengetahuan dan pengamalan agama yang tinggi. Menurut informan saya, Pak Is, seorang Tuan Guru harus memiliki

3

Diramu dari hasil wawancara dengan beberapa informan di Mataram dan dari Avonius, Leena, 2004, Reforming Wetu Telu, (Helsinki: t.n.p), hal. 31-40.

pondok atau majelis taklim, tidak menjadi pegawai negeri sebab kalau menjadi pegawai negeri ia hanya berstatus sebagai ustadz serta tidak harus orang Sasak asli. Terlepas dari statusnya yang kharismatik melalui usaha, yang jelas seorang tuan guru punya peran utama melakukan sosialisasi doktrin dan nilai-nilai Islam kepada masyarakat, termasuk kepada muslim Wetu Telu. Karena tuan guru merupakan status capaian yaitu status yang diperoleh karena upaya seseorang, maka seringkali terjadi persaingan antarmereka, terutama dalam memperoleh anggota dan memperluas pengaruhnya, bukan hanya di bidang sosial-keagamaan tapi juga di bidang lain seperti ekonomi, dan politik.

Dalam dokumen KONFLIK UMAT BERAGAMA DAN BUDAYA LOKAL (Halaman 116-120)