• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Konflik

Dalam dokumen KONFLIK UMAT BERAGAMA DAN BUDAYA LOKAL (Halaman 193-200)

IMBAS PENEGAKAN SYARIAH DI AKAR RUMPUT

B. Potensi Konflik

Konflik yang terjadi di Tasikmalaya tidak dapat dilepaskan dari ‘euforia’ konflik SARA, khususnya antarumat beragama yang ada di Indonesia pada tahun-tahun setelah reformasi menggelinding. Juga menunjukkan adanya penyelesaian yang tidak tuntas atas permasalahan yang muncul di antara umat beragama, sehingga masyarakat mudah terperangkap dalam tindakan konflik kekerasan. Hal ini karena daerah ini secara historis tidak sepi dari konflik. Adapun yang menjadi perhatian dalam bahasan ini adalah konflik yang terjadi di Kampung Kalaksanan Desa Cikawung Ading Kecamatan Cipatujah Kabupaten Tasikmalaya. Peristiwa ini terjadi pada Senin tanggal 18 September 2001. Waktu inilah yang menjadi pembatas analisis antara prakonflik dan pascakonflik.

Potensi Konflik Prakonflik: Jauh sebelum terjadi konflik fokus tersebut sudah ada benih-benih konflik yang sangat potensial memunculkan konflik fokus. Potensi-potensi konflik tersebut antara lain:

1. Struktur Sosial-Politik

Tasikmalaya termasuk rawan konflik, baik horizontal maupun vertikal. Hal ini selain secara historis-geografis daerah ini pernah menjadi pusat perlawanan DI/TII Kartosuwiryo, dan masih kuatnya sisa-sisa pengaruh ide gerakan ini pada beberapa kelompok muslim di Tasikamalaya. Seperti dikatakan oleh Dd, ‘butuh waktu yang relatif lama untuk menghilangkan pengaruh DI/TII khususnya dalam pemahaman keagamaan masyarakat’. Selain itu ia memberi perbandingan dengan daerah lain yang juga rawan konflik. Tasikmalaya sangat terkait dan mirip dengan Aceh, dan Sulawesi.

Kalau di Tasikmalaya ada gerakan DI/TII Kartosuwiryo, maka di Aceh ada DI/TII Daud Beurereh, dan di Sulawesi ada Kahar Muzakar. Ketiga wilayah ini mempunyai garis segitiga-ideologis, sebab dari segi tujuannya sama yaitu penegakan syariat Islam, hanya saat ini tampilan konfliknya berbeda. Di Aceh isu konfliknya ingin memisahkan diri dari NKRI dan melalui perjuangan bersenjata. Sementara di Sulawesi isu konfliknya dihadapkan kepada Kristenisasi dan melalui kekerasan seperti bom yang identik dengan terorisme.

Di Tasikmalaya lebih berfokus kepada penegakan syariat Islam dalam skala lokal, tapi masih dalam bingkai NKRI, walaupun ada juga kelompok yang menginginkan apa yang disebut dengan Darul Islam Nusantara (DIN) yang meliputi bukan hanya Indonesia, tapi termasuk juga sebagian Filipina dan Malaysia. Untuk ini perlu kajian khusus secara mendalam. Hal ini seiring dengan diterapkannya otonomi daerah. Sebagaimana diketahui banyak daerah di Indonesia yang berusaha menguatkan identitas daerahnya berdasarkan aspirasi terkuat dari masyarakat. Umat Islam Tasikmalaya termasuk yang berupaya menerapkan syariat Islam tersebut. Sebuah aspirasi yang bersifat legal di alam demokrasi seperti saat ini.

Upaya penerapam syariat Islam ini semakian mengkristal sejak terpilihnya bupati periode 2000-2005, Drs. Tatang Farhanul Hakim, M.Pd. Terpilihnya bupati yang berasal dari PPP ketika itu tidak dapat dilepaskan dari kesepakatan untuk penerapan syariat Islam dengan kelompok muslim di Tasikmalaya. Pada level struktural-politik, nampaknya bupati menepati janjinya dengan mengimplementasikannya dalam berbagai produk kebijakan. Antara lain meliputi: 1) Peraturan Daerah Kabupaten Tasikmalaya No. 03 Tahun 2001 tentang Rencana

Strategis Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2001-2005. Di dalamnya disebutkan visi daerah ini yaitu selain menjadikannya sebagai pusat pertumbuhan di Priangan Timur, juga yang terpenting menjadikan daerah sebagai daerah religius/Islami.

2) Menindaklanjuti Perda tersebut bupati mengeluarkan berbagai kebijakan yaitu: Pertama, SK Bupati Nomor 421.2/Kep.326A/Sos/2001, tertanggal 29 Desember 2001 tentang ‘Persyaratan Memasuki Sekolah Dasar (SD), Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dasn Madrasah Tsanawiyah (MTs) si Kabupaten Tasikmalaya’. Pada intinya surat keputusan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas keimanan dan ketaqwaan bagi umat Islam di lingkungan pendidikan sekolah. Untuk ditetapkan (1) bagi anak usia prasekolah

yang akan memasuki pendidikan SD/MI harus memiliki keterangan mampu membaca Al-Qur’an, (2) sedangkan bagi siswa SD dan SLTP harus mengikuti pendidikan Sekolah Diniyah, (3) Siswa lulusan SD/MI yang akan melanjutkan ke SLTP/MTs harus memiliki sertifikat/ijazah Madrasah Diniyah Awaliyah. Kedua, Bupati mengeluarkan Surat Himbauan bernomor 556.3/SH/03/Sos/2001 kepada pengelola kolam renang agar memperhatikan ajaran dan etika Islam. Di dalam surat tersebut antara lain ditegaskan: (1) supaya di dalam kolam renang tidak tercampur antara laki-laki dan perempuan, (2) pelatihan renang supaya dilakukan oleh jenis kelamin yang sama , (3) perlunya pendirian tempat ibadah muslim, (4) mengingatkan pengunjung jika tiba waktu shalat, (5) memperhatikan etika Islam. Ketiga, selain itu ada kewajiban bagi pegawai negeri sipil di lingkungan pemerintah daerah untuk memakai pakaian muslim bagi yang beragama Islam setiap hari Jum’at. Bagi laki-laki berpakaian ‘taqwa’, sedangkan bagi perempuan menggunakan jilbab. Di lapangan hal ini nampaknya dipatuhi oleh pegawai. Di sekolah murid dan pegawai juga dihimbau menggunakan busana muslimah. Keempat, bupati juga mengeluarkan surat dalam upaya pemberantasan narkoba, perjudian, dan pelacuran.

Masalahnya adalah ketika penerapan syariat Islam ditafsirkan sebagai penghilangan pluralitas dalam kehidupan masyarakat terutama perbedaan agama. Pada tingkat bawah pemikiran yang berkembang saat ini adalah upaya penerapan syariah Islam berarti harus tidak ada simbol-simbol agama lain seperti gereja. Pandangan seperti ini yang kemudian menjadi potensi konflik antarumat beragama.

Kelompok-kelompok Islam yang dianggap militan atau radikal misalnya pondok-pondok pesantren yang nama belakangnya berlebel ‘huda’, dan Majelis Mujahidin. Kelompok-kelompok ini selain memiliki aspirasi penerapan syariah Islam juga memiliki kesadaran dan kepekaan terhadap kegiatan misi agama lain. Kesimpulan ini didasarkan atas kenyataan di lapangan. Beberapa kasus konflik Islam-Kristen di Tasikmalaya dan sekitarnya membuktikan hal itu, misalnya pembakaran gereja di Banjarsari dan di kota Ciamis melibatkan alumnus ‘huda’. Yang dimaksud dengan pondok pesantren ‘huda’ adalah pondok pesantren yang memiliki kaitan dengan Pondok Pesantren Miftahul Huda di Manunjaya. Biasanya para alumnus pondok ini kalau mendirikan pondok memberi nama ‘Huda’ di belakangnya seperti Pondok

Pesantren Bahrul Huda yang diasuh KH Marjudin yang terletak di Pemayangsari Desa Cikawungading.

2. Sisa-Sisa Konflik

Konflik yang ada juga tidak dapat dilepaskan dari kasus-kasus konflik antarumat beragama yang sudah pernah terjadi di daerah ini. Pada tahun 1996 terjadi pembakaran gereja, dan tahun 2000 terjadi lagi konflik akibat pelecehan simbol agama yaitu pengalungan anjing oleh orang Kristen dengan kalimah yang dianggap suci oleh muslim.

Konflik tahun 1996 yang berakhir dengan pembakaran gereja tersebut sering dianggap bersumber dari kecemburuan sosial akibat kesenjangan sosial-ekonomi antara pribumi dan nonpribumi, seolah-olah tidak ada kaitannya dengan persoalan hubungan antarumat beragama. Padahal menurut beberapa informan, seperti Pak Em, dan NA., sebenarnya peristiwa tersebut sangat kental dengan nuansa agama. Ada jarak sosial yang tinggi dan kepekaan dari umat Islam terhadap semua yang berbau Kristen. Peristiwa yang terjadi hari Kamis tersebut bermula dari persoalan di kalangan umat Islam, seorang santri pondok di Condong yang kebetulan anak polisi bermasalah dengan santri yang lain, kemudian ia dikenai hukuman (dijilid) dan diserahkan kepada orang tuanya, ibunya ikut memukuli karena merasa malu. Sang bapak mengira anaknya dianiaya para santri yang mengantarkan ke rumahnya. Karena itu 4-5 santri tersebut dipanggil ke kantor polisi, dan disitulah terjadi penyiksaan, salah satu di antara polisi yang menyiksa kebetulan beragama Kristen, sehingga masalahnya menjadi berkembang dan serius. Terjadi penumpukan massa santri dari berbagai pondok yang tergabung dalam ‘Forum Komunikasi Pondok Pesantren’, terutama di rumah sakit. Mereka ingin menengok keadaan santri yang disiksa polisi tersebut. Pada waktu berikutnya, issu yang berkembang di masyarakat adalah ‘ada orang Kristen menyiksa santri’.

Walapun ada kelompok Islam, seperti Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan juga Forum Komunikasi Pondok Pesantren, yang berusaha menenangkan keadaan, tapi pembakaran hampir semua gereja yang ada di daerah ini (Tasikmalaya sebelum dimekarkan menjadi kota dan kabupaten) tak terelakkan lagi. Di tengah pembakaran gereja tersebut terjadi juga pelemparan, perusakan dan penjarahan toko-toko Cina yang ada di Tasikmalaya. Pertanyaannya adalah mengapa orang Cina yang jadi sasaran, hal ini tidak lain, seperti dikemukakan NA, karena dalam masyarakat

Islam berkembang anggapan bahwa Cina adalah Kristen. Memang tidak menutup kemungkinan faktor kesenjangan sosial-ekonomi juga ikut memberikan konstribusi, namun bukan satu-satunya.

Dalam kasus 2000 tiap informan berbeda dalam menyebut apa yang dimaksud dengan pelecehan simbol keagamaan, khususnya tentang tulisan yang dikalungkan ke leher anjing. Irf. misalnya melalui SMSnya menyatakan ‘orang Kristen mengalungkan kalimah ‘syhahadatain’ di leher anjing.’ Sementara yang lain menyebutnya dengan kalimah ‘Allah’, dan Kompas (19 –9-2001) menyebutnya dengan ‘kaligrafi berbahasa Arab’. Yang pasti hal tersebut dianggap sebagai pelecehan simbol Islam bagi pihak muslim.

Dari kedua kasus tersebut memang tidak ada penyelesaian permanen serta tidak tuntas dan erat kaitannya dengan munculnya konflik fokus tahun 2001. Sebab sebagaimana akan diurai nanti, kasus konflik tahun 2001 terjadi di antaranya karena pengungkitan kembali isu pelecehan simbol agama di tengah-tengah persoalan yang muncul antara kelompok Islam dan Kristen.

3. Penyebaran Agama Kristen

Ada kalimah singkat dan padat dari informan saya, Ir. Du melalui SMS, ‘Kasus Cipatujah ya jelas konflik muslim-Kristen karena pembangunan gereja dan kristenisasi, ujungnya gereja dibakar massa.’ Kalimat singkat ini untuk mewakili penjelasan panjang lebar mengapa konflik tahun 2001 tersebut. Artinya, pembakaran itu terjadi karena sebelumnya sudah ada potensi yang berasal dari penyebaran agama Kristen di Cipatujah. Hal ini sekaligus memiliki kemiripan dengan kasus-kasus yang terdapat di lokasi lain.

Potensi Konflik Pascakonflik: Ke depan konflik dapat saja terjadi kembali karena ternyata benih-benih konflik pasca peristiwa September 2001 tetap ada. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikasi, baik dari pihak muslim maupun Kristiani.

Adanya penguatan rasa ingroup dan solidaritas masing-masing kelompok pascakonflik memperlihatkan potensi itu. Dari pihak Kristen misalnya bantuan dari gereja yang diperoleh dari luar untuk membangun rumah orang-orang Kristen yang terbakar semakin memberikan ikatan ingroup yang lebih tinggi. Apalagi ketika muslim dihadapkan pada kenyataan bahwa gereja yang diharapkan oleh mereka tidak ada lagi justru dibangun kembali dalam waktu yang relatif singkat dan bahkan lebih

besar lagi dari yang sebelumnya. Itu sebabnya religiosentrisme (65%) dari kalangan muslim masih tinggi terhadap umat Kristiani

C. Karakteristik Konflik

1. Sumber dan Penyebab

Potensi konflik prakonflik sebagaimana dijelaskan di atas memberikan gambaran bahwa konflik puncak antarkelompok selamanya bukan berlangsung secara spontan, tapi ada prakondisi dan melalui proses, terutama karena adanya benih-benih atau sumber yang sudah ada. Sebuah sikap yang dianggap merugikan kepentingannya dan karena karakteristik yang dimiliki satu atau kedua belah pihak, seperti pemahaman keagamaan dan pengalaman interaksinya dengan kelompok lain.

Dalam konteks Tasikmalaya kedua hal tersebut yang terjadi. Penyebab kasus konflik tahun 2001 pada pokoknya karena dua faktor yaitu: (1) sebagai bagian dari upaya penerapan syariah Islam, (2) Diskriminasi dalam kasus illegal loging yang terjadi di Perhutani Cipatujah. Kedua faktor ini, ditambah dengan potensi-potensi yang lain, yang melahirkan konflik fokus, kedua faktor merupakan dua kepentingan dari kelompok yang berbeda.

Meskipun ada anggapan bahwa jumlah umat Kristiani di lokasi kasus bersifat ‘turunan’ dari generasi sebelumnya, namun bukan demikian di hadapan kelompok muslim. Bagi mereka orang Kristen tidak pernah sepi melakukan misi melalui berbagai cara. Hal ini terlihat dari yang dikemukakan Ir.Du bahwa konflik terjadi karena pembangunan gereja dan misi Kristen. Ada dua hal yang perlu dicermati dari pernyataan tersebut. Pertama, masalah yang bersumber dari tempat ibadah Kristen di Cipatujah. Sebenarnya tempat ibadah di kecamatan ini tidak mengalami perubahan. Yang dimsalahkan bukan jumlahnya tapi bangunannya yang cukup besar, dan adanya rumah yang dijadikan sebagai tempat ibadah Kristen seperti yang ada di Cipanas. Kedua, masalah yang bersumber dari kegiataan orang Kristen yang dikelompokkan sebagai ‘kristenisasi’ oleh umat Islam. Faktor ini nampaknya yang lebih serius karena seperti dituturkan ajengan Is, ‘pemberian kebutuhan sehari-hari kepada orang Islam oleh Kristen adalah salah kaprah’, karena semestinya cukup diberikan kepada orang Kristen.’ Hal ini juga yang dijadikan alasan pemberian ‘kode khusus’ dalam bentuk stiker di rumah-rumah orang Islam. Menurutnya ‘untuk mencegah kristenisasi’.

Selain itu pihak muslim juga menganggap bahwa proses kristenisasi juga dilakukan dengan mendatangkan nelayan Kristen dari Cilacap ke daerah pantai Cipatujah, meraka kemudian menetap di sana, sementara orang-orang Kristen yang didatangkan dari tempat lain seperti Purwokerto menetap di daerah perkebunan.

Sebagaimana dikemukakan di atas aspirasi penerapan syariah Islam setidaknya sudah berlangsung menjelang pemilihan bupati. Ketika itu PPP, sebagai partai yang memiliki kursi signifikan di DPRD, mencalonkan bupati dengan syarat mau menerapkan syariat Islam, dan ternyata menang. Pada tingkat bawah ternyata spirasi ini sudah berjalan lebih dulu dengan penafsirannya sendiri, misalnya penerapan syariah diartikan juga sebagai evaluasi kritis terhadap keberadaan dan kegiatan serta simbol-simbol agama lain.

Secara politik, kemenangan PPP di daerah ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kelompok yang secara historis berkaitan dengan DI/TII dan kelompok militant lainnya. Berbeda dengan di tempat lain, PPP di daerah ini lebih didominasi oleh kelompok tersebut. Demikian juga NU yang ada adalah sayap keras, bukan kelompok moderatnya Gus Dur, sayap moderat ini afiliasi politiknya ke PKB, sedangkan yang berafiliasi ke PBB bersandar kepada faksi Ahmad Margono bukan Yusril.

Pada tingkat lokal konflik antara kedua kelompok agama tersebut menjadi aktual setelah dipicu oleh kasus illegal logging. Cikawung Ading selain desa dekat pantai juga memiliki hutan yang cukup luas. Sejak sekitar tahun 1911 disitu sudah ada PTP, sekarang masuk dalam PTP VIII, warisan pemerintah kolonial Belanda. Di hutan ini sering terjadi pencurian dan penebangan kayu yang dilakukan pengusaha, kebetulan ada yang muslim dan Kristen. Suatu ketika orang Islam yang melakukan illegal logging dilaporkan dan ditangkap, sementara orang Kristen yang melakukan hal yang sama dibiarkan karena Kepala Perhutaninya seorang Kristen. Hal ini menunjukkan ada perasaan diskriminasi dalam menangani pelaku yang berbeda agama. Masalahnya kemudian mulai bergeser menjadi beralih ke persoalan agama karena waktunya sangat bertepatan dengan isu yang sedang berkembang di kalangan muslim.

Fakta ini berbeda dengan apa yang pernah diberitakan oleh surat kabar seperti Kompas dan Republika (19-9-2001) yang didasarkan pada informasi dari Polda Jawa Barat. Kompas misalnya, di antaranya menyatakan:

…peristiwa di Cipatujah tersebut tidak bermuatan SARA…meski ada gereja dibakar, tetapi kejadian itu bukanlah perselisihan antarpemeluk agama. Bahkan dalam peristiwa itu banyak penduduk Muslim yang turut menjadi korban….kasus di Cipatujah berawal dari seorang pengusaha berinisial M, yang selama ini merasa terganggu akibat laporan warga setempat saat menggarap hutan Cikawung Ading secara illegal…’Karena sering dilapor, M memprovokasi warga dengan menggunakan sentimen agama…

Ada tiga bias dalam berita tersebut yaitu: (1) yang disebut sebagai sumber konflik utama adalah illegal logging dan karenanya dianggap bukan konflik SARA, tapi dianggap sebagai persaingan bisnis semata, (2) seolah yang dipersalahkan adalah pengusaha muslim (yang berinisial M) karena dianggap memanfaatkan sentimen agama akibat sering dilaporkan warga. Padahal inti masalahnya terletak pada adanya perasaan deskriminasi terhadap pelaku illegal logging yang berbeda agama, (3) M yang dimaksud bukan pengusaha tetapi elit agama yang menggunakan kayu untuk kepentingan pembangunan prasarana agama seperti madrasah dan masjid.

Sentimen keagamaan muncul kembali dan menguat setelah KH. M, pengasuh PP. BH, menghubungkan kasus tersebut dengan perlakuan orang Kristen selama ini, di antaranya tentang pelecehan simbol-simbol Islam yang pernah dilakukan orang Kristen, dan pengaitannya posisi Kristen dalam konteks daerah yang memberlakukan syariat Islam.

2. Proses dan Dampak

Konflik di Tasikmalaya, dalam kasus Cipatujah berjalan melalui sebuah proses. Pertama, penangkapan orang Islam yang dianggap melakukan illegal logging di satu pihak, dan dibiarkannya orang Kristen yang melakukan hal yang sama telah memunculkan persepsi di kalangan muslim tentang terjadinya deskriminasi. Hal ini kemudian sampai juga kepada K. M yang ada dipondok BH. Kasus tersebut bertepatan waktunya dengan berkembangnya aspirasi penerapan hukum Islam, ditambah dengan kegiatan dan perilaku orang-orang Kristen sebelumnya, sehingga melahirkan sentimen keagamaan yang sangat tinggi. Hal ini meluas di kalangan muslim, bukan hanya di Cikawung Ading dan Cipatujah, tapi juga di kecamatan sekitar Cipatujah terutama di kalangan pesantren MH seperti di Cikatomas dan Cikalong.

Kedua, dua hari sebelum kejadian pembakaran, rumah orang Islam ditandai dengan kode khusus yang menunjukkan identitas muslim seperti “Islam” atau “Assalamualaikum”, ada yang menyatakan kode itu dilakukan oleh orang lain. Tidak

Dalam dokumen KONFLIK UMAT BERAGAMA DAN BUDAYA LOKAL (Halaman 193-200)