• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelompok Sosial dan Aktor Lokal

Dalam dokumen KONFLIK UMAT BERAGAMA DAN BUDAYA LOKAL (Halaman 97-101)

PELECEHAN AGAMA DALAM ARENA SUMBU PENDEK

F. Profil Budaya 1. Umum

3. Kelompok Sosial dan Aktor Lokal

Kelompok Sosial: Ada beberapa kelompok sosial di Kota Solo. Kelompok sosial tersebut dapat dibagi ke dalam beberapa jenis yaitu: (1) kelompok sosial-kemasyarakatan (2) kelompok yang mengurusi pemerintahan, dan (3) kelompok yang berkaitan dengan kekerabatan.

Pertama, secara historis Solo dikenal sebagai pusat gerakan keagamaan, mulai dari Serikat Dagang Islam yang didirikan oleh Haji Samanhudi di Laweyan, di kota ini juga ada ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah. Bahkan saat ini Solo dikenal dengan keberadaan kelompok-kelompok sosial keagamaan yang militan atau menurut sebutan mereka sebagai kelompok ‘Islam konsisten’ seperti Front Pembela Islam Surakarta, dan Majelis Mujahidin Indonesia yang muncul di era reformasi. Kota ini dikenal juga sebagai kota yang masyarakatnya majemuk dari segi suku dan kelas sosial-ekonomi, agama, dan paham keislaman Tak heran kalau banyak orang menyatakan di Solo semua tingkatan

keislaman dan keagamaan tumbuh dan berkembang, mulai dari kelompok Islam yang paling militan-fundamentalis, moderat sampai yang liberal dan abangan. Kelompok-kelompok keislaman tersebut memiliki subkulturnya masing-masing, dan secara politik dapat dilihat juga dalam kekuatan partai politik yang mengindikasikan kekuatan masing-masing kelompok. Partai-partai Islam atau berbasis massa Islam cukup kuat selain partai nasionalis sekuler. Kedua kelompok partai tersebut sebagai representasi dari kelompok muslim tersebut.

Sementara di kalangan umat Kristiani cukup banyak kelompoknya mulai dari Katolik, Protestan, dan berbagai sekte yang agresif secara metodologi penyebaran agamanya. Di bidang keagamaan ini ada juga organisasi yang dari sejarahnya dibentuk oleh pemerintah seperti MUI. Kelompok sosial lain yang berorientasi kepada sosial kemasyarakatan cukup banyak misalnya PKK, dasa wisma, pos yandu.

Kedua, di Kota Solo saat ini lembaga pemerintaha modern pada level desa sampai RT

meliputi kepala desa yang dibantu oleh carik, kepala urusan pemerintahan, pembangunan, kesejahteraan rakyat, dan kepala dusun. Di bawah kepala dusun masih ada Ketua RW dan RT yang menjadi lembaga semi pemerintahan.

Sementara di tingkat dusun jabatan tradisional yang masih aktual dan fungsional yang mengurus di bidang keagamaan yaitu kaum dan rais. (1) Kaum adalah mereka yang biasanya memahami acara-tradisi dengan baik dan menjadi pemimpin dalam acara tersebut (terutama acara adat). Misalnya dalam acara pernikahan dan khitanan, kaum memimpin prosesi acara (2) Rois adalah orang yang memiliki pengetahuan agama yang lebih dalam masyarakat dan dituakan. Dalam upacara pernikahan dan khitanan rois memimpin doa. Kedua lembaga sekaligus tokoh ini sangat disegani oleh masyarakat, karena umumnya terdiri dari sesepuh di dusun atau di desanya masing-masing.

Ketiga, di Solo sebagaimana dikemukakan oleh informan ahli saya, Dr.SK (63 tahun),

terdapat banyak kelompok kekerabatan bernama ‘trah’. Trah ini bukan hanya terdapat pada keturunan bangsawan, tapi juga di kalangan masyarakat biasa. Misalnya trah di kalangan bangsawan atau menengah ke atas seperti Hadijayan (putra Paku Buwono X), Trah Kartopawiron. Yang menarik saat ini trah juga berkembang di desa dari kalangan masyarakat awam.

Dari sekian trah tersebut ada yang anggotanya mempunyai latar belakang keagamaan yang berbeda, baik dari segi paham agama maupun agama yang dianutnya. Karena itu dari segi agama anggotanya, trah ini dapat dibagi ke dalam dua jenis yaitu trah yang

anggotanya sama-sama beragama Islam atau dapat disebut dengan trah homogen. Selain itu ada trah yang anggotanya ada yang berbeda agama, disebut juga dengan trah heterogen. Perbedaan agama dan bahkan suku, status sosial anggota ini dimungkinkan karena dasar keanggotaan sebuah trah adalah adanya hubungan darah dalam garis keturunan pancer dan perkawinan.

Peran utama dari trah adalah sebagai penjalin hubungan antaranggota kerabat sekaligus sebagai penegas identitas diri dari kelompok kerabat tersebut, hal ini sesuai dengan tujuan awalnya yaitu nglumpukke balung sumsum. Mereka melakukan kegiatan pertemuan secara priodik seperti selapanan, tiga bulanan atau setahun sekali, juga bersifat incidental milsanya ketika ada pernikahan kerabat khitanan, namun pada umumnya pada hari raya Idul Fitri yaitu dalam tradisi Syawalan. Kegiatannya selain ada petuah-petuah atau sosialisasi nilai-nilai kejawaan, pentingnya hidup rukun dan persaudaraan, nilai-nilai kebaikan yang patut dicontoh dari si mbah, pengisinya dari sesepuh atau penceramah. Juga diisi dengan kegiatan yang bernilai ekonomis seperti arisan. Juga yang terpenting adalah pengenalan setiap anggota trah, baik mengenai nama, nasab dan posisi masing-masing dalam kaitannya dengan pancer.

Aktor Lokal: Menurut informan saya, Suh. (45 tahun), berbeda dengan di Yogyakarta yang masih memiliki figur tradisional panutan yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono, di Solo saat ini tidak mempunyai figur tradisional panutan, hal ini terutama karena terjadinya konflik internal di kalangan Kraton sendiri. Konflik tersebut telah berdampak kepada menurunnya kharisma dan wibawa kraton di hadapan masyarakat. Sebelum terjadinya kasus itupun sebenarnya pihak kraton sudah jarang dijadikan sebagai instrumen dan aktor dalam kaitannya dengan permasalahan hubungan antarkelompok masyarakat termasuk dalam upaya pengendalian dan penyelesaian konflik.

Dalam hal keagamaan tokoh lokal yang penting disebut adalah pemimpin pondok Ngruki, Ustadz Abdul Basyir. Meskipun secara geografis tidak masuk Kota Solo, namun ia sangat berpengaruh juga di masyarakat Islam Solo, terutama di kalangan kelompok Islam konsisten seperti Majelis Mujahidin.

Dari keseluruhan aktor lokal, menurut SK (63 tahun), di Solo yang banyak berpengaruh adalah tokoh partai politik. Hal ini yang menyebabkan Solo menjadi kota yang bersumbu pendek, mudah terbakar dan sering terjadi konflik kekerasan. Tokoh agama seperti kiai dan tokoh adat tidak menjadi panutan atau setidaknya pengaruhnya

lebih kecil daripada tokoh politik. Karena tokoh politik yang lebih banyak berperan maka untuk menentukan aktor lokal yang berpengaruh tergantung kepada partai politik yang lebih dominan atau banyak memperoleh suara. Akibat lain dari besarnya pengaruh tokoh partai ini adalah aktor lokal yang ada menjadi tersebar di beberapa partai.

Keadaan ini mendukung pernyataan beberapa informan bahwa di Solo saat ini tidak dikenal adanya figur panutan tunggal. Kecenderungan tersebut juga dapat dibuktikan dengan kasus Ahmad Wilson. Dalam kasus tersebut yang banyak memimpin aksi dan advokasi adalah dari tokoh-tokoh partai Islam bekerja sama dengan tokoh di Front Pembela Islam Surakarta (FPIS). Pernyataan Wilson ketika itu dianggap pimpinan FPIS dan tokoh dari partai seperti PAN, PPP, PBB, dan PKB sebagai pelecehan terhadap agama Islam (Nabi Muhammad). Tokoh-tokoh tersebut menggalang opini melalui media massa misalnya Sahil Hasni (PAN), Mudrick SM Sangidoe (PPP), Ipmawan Iqbal (PBB), Husein Syifa (PKB), Fajri Muhammad (PKS).

4. Nilai-nilai Lokal

Nilai-nilai lokal, atau norma menurut SK (63 tahun), yang masih cukup berkembang di Kota Solo adalah nilai-nilai tepo seliro (tenggang rasa) dan sambatan (saling membantu dan bekerja sama), dan gotong royong. Ketiga nilai ini dalam masyarakat sering saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Dalam tepo seliro atau tenggang rasa akan membuat orang mampu mengendalikan emosi bahkan kepentingan pribadi atau kelompoknya, sehingga muncul kebersamaan seperti mau membantu orang lain dan mau bergotong royong serta membantu untuk kepentingan umum maupun orang lain secara individual.

Nilai-nilai ini pada umumnya memberikan rambu-rambu bagi anggota masyarakat, agar memiliki rasa saling menghargai dan memahami perasaan orang lain, juga memberikan bantuan dalam hal apapun sesuai kemampuan yang dimilikinya. Tujuan akhirnya adalah supaya dalam kehidupan masyarakat berkembang kerukunan tanpa membeda-bedakan latar belakang suku, agama dan lapisan sosialnya. Misalnya jika tetangga memiliki hajatan, maka tetangga, dan juga kerabat, ikut gotong royong, baik diminta atau tidak. Pada waktu kegiatan yang bersifat nasional seperti ketika memperingati 17-an tiap orang ikut bergotong royong

Supaya terjadi kehidupan yang rukun, menurut beberapa informan seperti SK , dan Gun, maka harus dikembangkan sikap tenggang rasa. Ironisnya di bidang politik

tenggang rasa ini tidak ada atau sangat kecil, namun di bidang ekonomi tenggang rasa itu masih cukup besar karenanya orang Cina biasa hidup rukun denganh orang kampung. Ironi tenggang rasa dan kehidupan politik ini perlu diangkat karena justru aktorlokal yang banyak berpengaruh di Solo adalah tokoh-tokoh pertai politik. Jika ini berlangsung terus maka jika ada masalah kecil kalau itu terkait dengan kepentingan politik kelompok partai maka akan menjadi masalah besar dan bahkan menjadi konflik terbuka di antara kelompok sosial dan agama yang ada.

Dalam dokumen KONFLIK UMAT BERAGAMA DAN BUDAYA LOKAL (Halaman 97-101)