• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Penyelesaian Konflik Berbasis Budaya Lokal

Dalam dokumen KONFLIK UMAT BERAGAMA DAN BUDAYA LOKAL (Halaman 149-154)

171 DAN UNGKAPAN SOLIDARITAS

H. Model Penyelesaian Konflik Berbasis Budaya Lokal

Penyelesaian konflik antarumat beragama berbasis budaya lokal seharusnya memperhatikan beberapa komponen yaitu: (a) memperhatikan karakter konflik dan sejarah konflik, (b) pengalaman penyelesaian konflik masa lalu sebagai dasar, (c) pemanfaatan budaya lokal

1. Mengkritisi karakter dan sejarah konflik

Karakter konflik terutama terkait dengan jenis, sumber konflik, dan subyek berkonflik. Jenis konflik di Mataram termasuk konflik kekerasan fisik bangunan karena

adanya pembakaran gereja dan toko serta rumah. Hal ini tidak terkait dengan sejarah konflik yang terjadi sebelumnya, sebab sebelumnya belum pernah terjadi konflik yang melibatkan orang Islam-Kristiani. Subyek berkonflik melibatkan massa agama Islam dan elit/massa Kristiani, dan dari segi suku sebenarnya dari pihak Islam Sasak dan Kristiani nonSasak (Batak, Manado). Sumber konflik karena pembangunan tempat ibadah dan agresifitas penyiaran agama minoritas, munculnya Islam konsisten yang peka terhadap kegiatan dan simbol-simbol agama lain. Sumber ini kemudian dipicu oleh solidaritas ingroup dari kalangan kelompok agama mayoritas.

2. Pengalaman Penyelesaian Konflik

Pengalaman dalam penyelesaian konflik antarumat beragama sebelumnya harus menjadi perhatian. Artinya penyelesaian masa lalu tersebut harus dipelajari dan dievaluasi. Selama ini penyelesaian konflik hanya menggunakan pendekatan tidak langsung berupa mediasi dan fasilitasi yang dilakukan pemerintah. Namun dalam kasus Mataram ada kekhususan karena dalam proses mediasi tersebut telah banyak memberdayakan budaya lokal seperti tuan guru, dan hukum adat (awig-awig). Dalam kaitan ini penegakan hukum (positif) tidak menjadi perhatian pokok. Karena itu para informan setuju, pendekatan tidak langsung tersebut perlu dilanjutkan dan dikembangkan pendekatan secara langsung antarpihak terlibat konflik, baik berupa negosiasi maupun rekonsiliasi. Juga terus mempertahankan dan mengembangkan pemanfaatan budaya lokal yang sudah ada.

3. Pemanfaatan budaya lokal.

Uraian tentang pemanfaatan budaya lokal dalam penyhelesaian konflik ini didasarkan atas alasan-alasan pemanfaatan komponen-komponen budaya lokal dalam pengendalian konflik. Perbedaannya, terletak pada status dan fungsi komponen-komponen budaya tersebut.

Pertama, tuan guru meskipun merupakan tokoh Islam, namun mereka secara aktual

telah menjadi aktor lokal penting yang dihormati oleh tokoh agama lain, dan sekaligus menjadi peredam serta penyalur aspirasi dari kelompok Islam. Hal ini secara aktual telah dilaksanakan ketika konflik kelompok Islam dan Kristen, bahkan dalam kasus konflik Islam dan Hindu di Lombok Barat. Dengan peran seperti itu massa dapat dikendalikan untuk tidak melakukan sesuatu yang (lebih) anarkis dan tidak berkepanjangan. Selama ini mereka lebih menjadi penyalur arpirasi bukan sebagai fasilitator dan mediator. Padahal sebenarnya berdasarkan posisinya yang dihormati oleh tokoh agama lain, tuan guru dapat

diperankan atau berperan sebagai fasilitator/mediator antara kepentingan Kristiani dan massa Islam, khususnya jika kelompok Islam yang berkonflik dengan kelompok agama lain melibatkan tokoh Islam lain yang bukan tuan guru.

Sementara untuk lalu perlu diberdayakan agar mereka punya peran dalam penyelesaian konflik antarumat beragama, hal ini karena citra mereka di hadapan muslim (taat) juga mulai positif seiring dengan meningkatnya ketaatan agama mereka, juga karena mereka banyak berperan dalam lembaga pemerintahan. Sementara dari pihak kelompok agama lain (Kristiani) mereka merasa lebih ‘sreg’ dengan lalu daripada tuan guru, meskipun tuan guru dihormatinya. Mereka dapat diperankan terutama sebagai mediator atau fasilitator dalam proses penyelesaian konflik tersebut. Untuk itu ke depan agar supaya terjadi peran yang strategis dan sinergis antara tuan guru-lalu dan tokoh agama lain, maka perlu dibuka saluran atau jaringan komunikasi, dan tidak ada upaya untuk saling menafikan peran masing-masing.

Pemanfaatan tuan guru dan kelompok sosial lokal, seperti organisaasi agama, sebagai instrumen penyelesaian konflik menunjukkan bahwa penyelesaian konflik di daerah ini lebih berbasis kepada kelompok agama mayoritas. Sebab saat ini tuan guru merupakan bagian tak terpisahkan dari perkembangan budaya masyarakat (Islam) Sasak. Hal ini sejalan dengan yang terdapat dalam model pengendalian konflik.

Untuk ini ada 2 alternatif yang dapat dikembangkan yaitu: (1) Secara umum dalam kasus-kasus konflik antarumat beragama, tuan guru dapat dijadikan sebagai subyek penyelesai konflik antarumat beragama. Baik melalui pendekatan secara langsung (berupa rekonsialisasi dan negosiasi) dengan aktor-aktor dari kelompok agama lain maupun pendekatan tidak langsung (mediasi dan fasilitasi). Hal ini terutama jika konflik terbatas antarmassa-umat beragama, dan tidak melibatkan tuan guru. (2) Dalam kasus khusus yang melibatkan tuan guru sebagai subyek berkonflik dengan elit/umat agama lain, maka tuan guru dan atau lalu dapat dijadikan sebagai penyelesai konflik, baik secara langsung maupun tidak langsung. Jika tuan guru tetap dijadikan sebagai penyelesai konflik, maka harus digunakan pola tertentu yaitu (a) memanfaatkan tuan guru yang punya pengaruh kewilayahan atau kepemimpinan yang levelnya lebih tinggi atau tuan guru lain yang selevel dengan tuan guru yang terlibat konflik. (b) Tuan guru tersebut juga mempunyai kedekatan secara ideologis dan paham agama dengan tuan guru yang berkonflik. Adapun kalau menjadikan lalu sebagai agen penyelesai harus dikomunikasikan dengan tuan guru yang terlibat konflik dan pihak agama lain.

Kedua, upacara adat tidak dapat dijadikan sebagai instrumen dalam menyelesaiakankonflik dengan pertimbangan sebagaimana dikemukakan dalam uraian tentang pengendalian konflik di atas.

Adapun nilai-nilai lokal yang ada dapat diperankan dalam dua tahap. Pada tahap proses penyelesaian dijadikan sebagai sumber pendorong dan pedoman bersama dalam proses pengambilan keputusan bersama. Pada tahap pascakonflik yaitu sebagai pemerkokoh (sosialisasi) hasil-hasil kesepakatan antarpihak yang terlibat konflik. Hal ini dapat dilakukan oleh pihak kelompok mayoritas maupun minoritas secara bersama-sama ataupun sendiri-sendiri. Dalam kaitan dengan nilai-nilai lokal ini, terutama yang berkaitan dengan penerapan hokum, pemerintah dan masyarakat Mataram telah bertekad untuk merevitalisasi awig-awig sebagai bagian dari penyelesaian konflik, termasuk konflik antarumat beragama. Awig-awig merupakan seperangkat aturan atau hukum adat yang ada di daerah Lombok, termasuk Bali. Awig-awig terkait dengan pengatur dan pelaksananya, dulu hal itu dilakukan oleh pemangku (mangku) atau wet adat-istiadat, sebagai salah satu bagian dari wet tu telu (wet=-wilayah territorial, tu= orang, telu=tiga) selain wet agama, dan wet pemerintah. Para mangku (adat) inilah yang merumuskan, menjalankan, menentukan dan member sanksi adat (awig-awig). Masalahnya adalah setelah berlakunya UU No.5/1974 dan UU no.5/1979 tentang pemerintahan desa, maka status dan fungsi mangku menjadi hilang karena peran-perannya diintegrasikan ke dalam lembaga pemerintahan desa. Dalam upaya revitalisasi awig-awig ke depan khususnya dalam penyelesaian konflik, termasuk dalam pengendalian konflik SARA, ada 2 opsi yang mungkin dilakukan: (1) mengintegrasikan pelaksanaan awig-awig tersebut dalam peran-peran pemerintahan desa-RT/RW, (2) merevitalisasi awig-awig sekaligus merevitalisasi juga lembaga adat yaitu mangku

Ketiga, pemanfaatan kelompok sosial sebagai wadah penyelesai konflik, sekaligus pengendali konflik, cukup mengoptimalkan dan mengembangkan peran dari kelompok-kelompok sosial yang sudah ada. Untuk ini ada 2 alternatif yaitu: (1) mengembangkan lembaga yang keanggotaannya lintas agama yang dibentuk oleh pemerintah setempat. .Misalnya Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) sebagai realisasi dari SKB 2 Menteri yaitu Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tahun 2006. Hanya saja FKUB masih perlu mengembangkan: (a) representasi anggota internal forum berdasarkan budaya lokal yang ada, khususnya dari segi pelibatan aktor lokal sesuai dengan budaya yang setempat, serta memahami dan mempunyai apresiasi terhadap nilai-nilai lokal. Selain

juga (b) mengimplimentasikan dan mengefektifkan perannya di lapangan. (2) mengembangkan lembaga yang keanggotaannya lintas agama yang tumbuh dalam masyarakat.

Keempat, mekanisme penerapan komponen budaya lokal tersebut dalam proses penyelesaian konflik antarumat beragama dilakukan secara integratif. Artinya, satu atau lebih komponen budaya lokal diintegrasikan ke dalam upaya penyelesaian konflik. Memberdayakan tuan guru atau lalu untuk menjadi subyek penyelesai konflik, baik secara langsung maupun tidak langsung bersama-sama dengan aktor lain seperti dari pemerintah ataupun lainnya. Selain itu dapat juga tuan guru atau lalu, bersama tokoh agama lain melakukan sosialisasi hasil-hasil kesepakatan dalam penyelesaian konflik melalui berbagai peristiwa dan saluran. Juga pemanfaatan kelompok sosial (organisasi keagamaan) dan upacara lingkaran hidup, termasuk nyongkol, sebagai wadah sosialisasi hasil-hasil kesepakatan dalam penyelesaian konflik oleh aktor di luar pemerintahan ataupun tokoh masyarakat lainnya.

BAB V PASURUAN:

Dalam dokumen KONFLIK UMAT BERAGAMA DAN BUDAYA LOKAL (Halaman 149-154)