• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Pengendalian Potensi Konflik Berbasis Budaya Lokal

Dalam dokumen KONFLIK UMAT BERAGAMA DAN BUDAYA LOKAL (Halaman 61-69)

DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH DI BIDANG PENDIDIKAN

G. Model Pengendalian Potensi Konflik Berbasis Budaya Lokal

Dari uraian sebelumnya diketahui bahwa dalam pengendalian potensi konflik antarumat beragama yang sudah berlangsung dalam masyarakat masih dominan pendekatan struktural yaitu upaya yang dilakukan pemerintah, baik yang dilakukan Kantor Ksbanglinmas maupun Departemen Agama dan instansi terkait lainnya di Kulonprogo. Sementara pendekatan kultural yang berupaya memanfaatkan potensi budaya lokal masih belum dikembangkan dengan baik. Upaya-upaya yang dilakukan yaitu: (a) Sosialisasi wawasan kebangsaan yang menekankan pentingnya persoalan kebangsaan termasuk hubungan antarkelompok secara damai. (b) Membentuk forum/badan lembaga guna mempermudah komunikasi antar kelompok. (c) Sosialisasi khusus tentang kerukunan umat beragama (trilogi kerukunan) dan peningkatan kesadaran hokum. (d) Deteksi dini kemungkinan terjadinya konflik. Masalahnya adalah tidak semua hasil-hasil pertemuan antar kelompok agama yang difasilitasi pemerintah dapat tersosialisasi dengan baik oleh organisasi keagamaan. Hal ini karena pertemuan itu masih pertemuan elit dan belum merakyat.

Para informan sepakat bahwa dalam penyusunan model pengendalian konflik ada beberapa prinsip dasar yang harus ada yaitu (1) Evaluasi posisi modal budaya lokal. (2) Adanya kesadaran dan kemauan bagi masyarakat untuk memerankan komponen-komponen budaya lokal dalam upaya pengendalian konflik antarumat beragama, (3) Adanya syarat atau alasan rasional dan relevan dengan kondisi dan perkembangan masyarakat setempat saat ini dan ke depan dalam pemanfaatan komponen-komponen budaya lokal sebagai alat pengendali konflik. (4) adanya mekanisme yang jelas tentang cara penerapan satu atau lebih komponen budaya lokal.

1. Evaluasi Budaya Lokal

Sebagaimana dikemukakan dalam tinjauan pustaka, yang dimaksud budaya lokal adalah semua ide, aktivitas dan hasil aktivitas manusia dalam suatu kelompok

masyarakat di lokasi tertentu. Budaya lokal tersebut secara aktual masih tumbuh dan berkembang dalam masyarakat serta disepakati dan dijadikan pedoman bersama. Dengan demikian sumber budaya lokal bukan hanya berupa nilai, aktivitas dan hasil aktivitas tradisional atau warisan nenek moyang masyarakat setempat, namun juga semua komponen atau unsur budaya yang berlaku dalam masyarakat serta menjadi ciri khas dan atau hanya berkembang dalam masyarakat tertentu.

Pemaknaan budaya lokal secara relatif luas tersebut penting, karena pada era globalisasi saat ini kontak antarbudaya pasti terjadi, sehingga dimungkinkan terjadinya saling akomodasi dan akulturasi budaya. Setiap daerah memiliki karakter yang berbeda dengan daerah lain. Dengan segala kekurangan dan kelemahan yang dimiliki, karakter tersebut sebenarnya merupakan keunggulan yang jika ditelusuri lebih jauh merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang plural. Karakter itu muncul sebagai sebuah identitas yang digunakan sebagai sistem penjelas pola kehidupan masyarakat. Identitas biasanya digunakan sebagai pembeda dengan kelompok lain, sehingga dengan identitas itu pula tingkat perkembangan sebuah suku, kelompok, dan bangsa itu dilihat. Nilai yang terkandung dalam karakter tersebut boleh jadi bertolak belakang dengan karakter ditempat lain.

Penggunaan identitas di satu sisi merupakan penegasan sebuah karakter tertentu sebagai cara untuk menunjukkan diri sehingga dapat dimanfaatkan sebagai instrumen untuk pengendalian dan penyelesaian konflik antarkelompok. Di sisi lain ia dapat menjadi pemicu dari perbedaan yang terjadi tersebut hingga bisa menimbulkan konflik baik secara terbuka maupun tertutup.

Komponen budaya lokal dalam penelitian ini meliputi empat hal yaitu (a) kelompok sosial, (b) aktor lokal, (c) nilai-nilai, dan (d) upacara. Karena itu dalam mencari model pengendalian, termasuk penyelesaian, konflik antarumat beragama akan beranjak dari keempat komponen budaya tersebut, tentu dengan nuansa yang berbeda pada setiap daerah.

Evaluasi terhadap keempat komponen budaya lokal tersebut dilihat dari status atau keberadaannya dalam proses pengendalian konflik. Dari aspek ini, ada 3 kemungkinan statusnya yaitu: potensial, aktual, dan inpotensial. Komponen budaya lokal dianggap potensial jika ia sangat mungkin diperankan dan diberdayakan sebagai instrumen atau media dalam pengendalian konflik antarumat beragama. Dapat-tidaknya pemberdayaan ini didasarkan atas alasan rasional sesuai dengan situasi dan kondisi

masyarakat saat ini dan ke depan. Alasan-alasan tersebut misalnya didasarkan atas tujuan dan orientasi, kuantitas dan frequensi kegiatan, dan pelaksanaannya dalam masyarakat.

Komponen budaya lokal dianggap inpotensial atau tidak potensial jika ia secara rasional kurang, bahkan tidak mungkin dapat diperankan sebagai instrumen pengendali konflik. Di sisi lain ia dianggap aktual kalau sudah diperankan oleh masyarakat sebagai pengendali konflik antarumat beragama.

Pertama, nilai-nilai yang masih ada dan potensial untuk diperankan dalam proses

pengendalian potensi konflik, menurut para informan, di Kulonprogo terdapat dalam banyak ugeran. Ugeran-ugeran tersebut masih bisa diterima anggota masyarakat suku Jawa di Kulonprogo saat ini tanpa memandang latar belakang agamanya. Nilai-nilai tentang hidup rukun yang potensial tersebut terdapat dalam ugeran tayub, leliru saka liya, teposelira, sambatan dan gotong royong. Tayub kepanjangan dari tata lan guyub berarti menata hidup rukun penuh kekeluargaan dalam masyarakat. Leliru saka liya pada intinya bermakna bahwa persaudaraan dan hidup rukun itu jauh lebih baik daripada apa yang hilang. Teposelira berarti sikap hidup bertenggang rasa antarorang. Sambatan adalah saling membantu dan bekerja sama antar anggota masyarakat.

Keempat ugeran tersebut dianggap potensial karena masih menjadi kesadaran anggota masyarakat, terutama dari kalangan generasi tua. Sementara pengukuhan terhadap generasi muda dilakukan melalui sosialisasi dalam keluarga dan pertemuan-pertemuan yang ada di masyarakat serta sekolah.

Supaya nilai-nilai rukun dalam ugeren-ugeran dapat menjadi instrumen dalam proses pengendalian konflik antarumat beragama, dan konflik antarkelompok lainnya, menurut para informan harus ada prasyarat atau langkah-langkah yang harus dilakukan. Di antaranya perlu dilakukan sosialiasasi melalui kehidupan keluarga, melalui kegiatan kelompok-kelompok sosial , dan sekolah, termasuk juga melalui media massa.

Sementara ugeran alon-alon waton klakon meskipun masih aktual dalam kehidupan masyarakat, namun dianggap tidak terkait secara langsung dengan hidup rukun di kalangan masyarakat. Ia lebih mengacu kepada membangun sikap hati-hati dari setiap individu. Karena itu ugeran yang satu ini masuk dalam kategori nilai-nilai yang inpotensial.

Kedua, kelompok sosial yang dianggap potensial untuk dikembangkan dalam pengendalian konflik adalah trah dan PKK, dan dasa wisma. Trah merupakan wadah yang didalamnya terdapat jaringan kekerabatan melahirkan budaya ‘sungkan’ dan saling

hormat di antara anggota trah dan kerabat. Dalam hubungan antarorang, orang Jawa akan selalu bertanya ‘orang itu keturunan siapa’. Kalau orang tersebut ternyata ada hubungan kekerabatannya dengan dirinya, berikutnya yang bersangkutan akan bertanya tentang posisinya dalam struktur kekerabatannya, sehingga timbul saling hormat dan sungkan. Trah di Kulonprogo dapat diperankan sebagai media dalam pengendalian konflik setidaknya karena beberapa alasan. (1) trah cukup banyak, baik pada kelompok masyarakat berstatus sosial tinggi maupun menengah-bawah. (2) jenis trah bersifat heterogen (anggotanya beragam latar belakang agama) dan homogen (anggotanya memeluk satu agama), (3) frequensi kegiatannya selain pada lebaran/tahunan juga ada kegiatan lapanan, (4) Dari pertemuan tersebut terjadi interaksi antaranggota trah yang berbeda agama dan sosialisasi tentang makan penting kerukunan.

Hanya saja ada satu syarat penting yang harus diperhatikan supaya trah ini dapat diperankan sebagai wadah pengendali konflik secara efektif. Trah harus lebih dirorientasikan berfungsi sebagai wadah cross cutting affiliation dari anggotanya, sehingga secara sadar punya orientasi kegiatan dalam pengendalian konflik terutama yang melibatkan anggotanya. Begitu juga ketika terjadi konflik antarumat beragama yang melibatkan anggotanya pimpinannya harus proaktif dalam ikut penyelesaiannya. Ini sangat dimungkinkan karena pimpinan dan khususnya sesepuh trah mempunyai wibawa dan dihormati oleh anggota (kerabatnya).

PKK dan dasa wisma sebenarnya bukan kelompok sosial khas lokal Kulonprogo, sebab ia merupakan lembaga yang ada dalam skala nasional dan mempunyai jenjang-hirarkis dari tingkat pusat sampai RT (khususnya PKK). Hanya saja kelompok sosial ini di Kulonprogo termasuk kategori aktif, sehingga dimunculkan oleh informan. Alasannya karena ia mempunyai jaringan hirarkis, ada pertemuan dan kegiatan rutin mingguan, anggotanya ibu-ibu yang dianggap mempunyai sikap feminis, sebuah watak yang dibutuhkan dalam upaya sosialisasi nilai-nilai kerukunan dan budaya hidup damai, latar belakang agama anggotanya heterogen.

Ketiga, di Kulonprogo ada tiga aktor lokal yang dianggap punya pengaruh yaitu priyayi khususnya yang punya kaitan dengan Puro Pakualaman, kyai, dan pamong baik pada tingkat desa dan dusun. Agak berbeda dengan di tempat lain, di Kulonprogo relatif tidak ada aktor lokal yang dominan. Secara aktual, selama ini dalam proses pengendalian, dan penyelesaian konflik antarumat beragama, tingkat pemeranannya masih berbeda. Pamong sudah banyak dilibatkan dalam proses pengendalian dan penyelesaian konflik,

sedangkan kyai dilibatkan dalam penyelesaian konflik. Sementara priyayi belum banyak diperankan dalam pengendalian dan penyelesaian konflik secara langsung. Artinya belum dilibatkan dalam proses pengendalian dan penyelesaian melalui dialog-dialog yang difasilitasi pemerintah. Hal ini perlu diperhatikan karena jumlah mereka cukup banyak dan sama-sama mempunyai pengaruh dalam struktur masyarakat di daerah ini, khususnya dalam kaitannya denga anggota kerabatnya.

Gotong royong selain berupa ugeran (nilai) juga dapat berupa kegiatan yang dilakukan masyarakat. Dalam makna ini, gotong royong merupakan wadah yang sudah lama dilakukan masyarakat. Ia telah menjadi wadah tempat orang orang yang berbeda agama berinteraksi satu dengan lainnya. Walaupun begitu ia belum menjadi wadah sosialisasi tentang hidup rukun dan damai.

Keempat, masyarakat pada tingkat desa dan dusun menyelenggarakan peringatan

hari besar keagamaan dan acara upacara adat. Kegiatan ini biasanya difasilitasi juga oleh pemerintah setempat, terutama memberikan sokongan dana. Dalam peringatan acara tersebut diselipkan pentingnya hidup rukun. Biasanya hal ini dilakukan oleh aparat desa dalam memberikan sambutan-sambutan sebelum acara dimulai.

Upacara adat di setiap kecamatan dapat berbeda-beda, dan karenanya dapat dikelompokkan ke dalam kategori tertentu yaitu: (1) upacara adat yang secara eksklusif hanya berlaku dan dilakukan oleh kelompok agama tertentu, dalam hal ini kasusnya dianggap tidak ada (2) Upacara adat yang dilakukan oleh beberapa kelompok agama namun dengan tempat, waktu yang berbeda seperti ‘nyekar’ selain dilakukan umat Islam juga oleh umat Kristen pada waktu dan tempat yang berbeda, artinya dilakukan sendiri-sendiri. Begitu juga dengan sadran, meskipun awalnya hanya dipraktekkan di kalangan muslim, namun saat dipraktekkan juga oleh umat Kristen. (3) Upacara adat yang berlaku dan dilakukan masyarakat umum secara bersama-sama dan lintas kelompok agama, misalnya baritan, saparan, jamasan pusaka, dan bersih desa.

Dari ketiga ketegori upacara adat tersebut, tingkat potensialitas untuk dikembangkan dalam pengendalian konflik adalah upacara adat yang lintas agama atau umum, baru kemudian upacara adat yang dipraktekkan 2 atau lebih kelompok umat beragama secara terpisah, dan upacara adat yang dipraktekkan hanya oleh satu kelompok agama. Tingkatan potensialitas ini jika dilihat dari banyaknya fungsi yang ada pada setiap upacara adat. Upacara adat lintas agama atau umum, selain berfungsi sebagai media

sosialisasi hidup rukun juga interekasi antarumat beragama. Sementara 2 kelompok upacara adat yang lain hanya berfungsi sebagai media sosialisasi hidup rukun.

Tabel 2: Status Komponen Budaya Lokal Status

Komponen Budaya Potensial Aktual Inpotensial PB/Sos Inter PB/Sos Inter PB/Sos. Inter.

Nilai-nilai:

1. Tayub

2. Leliru saka liyan 3. Teposeliro

4. Sambatan dan gotong royong

5. alon-alon asal klakon

+ + + + -+ + Kelompok sosial 1. Trah 2. PKK/Dasa Wisma 3. Gotong royong + + + + + Aktor lokal: 1. Priyayi 2. Kyai 3. Pamong + + + Upacara Adat: 1. Baritan (UA Tipe 3) 2. Jamasan pusaka (Tipe 3) 3. Bersih desa (Tipe 3) 4. Saparan (Tipe 2) 5. Nyekar (Tipe 2) 6. Sadranan (Tipe 2) Upacara lingk.hidup: Kelahiran- kematian + + + + + + + + + + +

Keter.: Sos.=Sosialisasi Int.=Interakasi PB=Pedoman Bersama

Adapun upacara lingkaran hidup mulai dari kelahiran sampai kematian dapat dijadikan sebagai media pengendalian konflik antarumat beragama. Sebab dalam upacara-upacara tersebut, termasuk upacara slametan setelah kematian, yang diundang dan yang hadir berasal dari orang-orang yang berbeda agama.

Berdasarlam evaluasi tersebut dapat disimpulkan bahwa komponen budaya dalam pengendalian konflik di daerah ini lebih banyak berbasis kepada kelompok mayoritas suku. Artinya modal yang dimiliki dan didasarkan atas budaya dominan yaitu suku Jawa. Misalnya komponen nilai-nilai didasarkan atas budaya Jawa yang menjadi bagian terbesar masyarakat Kulonprogo, demikian juga dengan upacara adat. Memang dalam upacara adat ini telah terjadi akulturasi antara budaya Jawa dan agama-agama global seperti Islam dan Kristiani. Dalam komponen lembaga sosial dan aktor lokal lebih banyak didasarkan atas budaya kelompok suku mayoritas, kecuali kyai, namun pada hakikatnya dengan adanya konsep sesepuh di daerah ini menunjukkan adanya pengaruh budaya Jawa

yang kuat. Sesepuh ini adalah orang tua yang dihormati atau dituakan yang nasehat-nasehatnya sangat diperhatikan. Sesepuh ini biasanya berupa tokoh tradisional dan termasuk priyayi. Adapun dalam upacara lingkaran hidup bersifat paduan budaya Jawa-agama, khususnya agama Islam.

2. Fungsi Komponen Budaya dalam Pengendalian Konflik

Yang dimaksud fungsi di sini adalah konstribusi yang diberikan dan disediakan oleh setiap komponen budaya dalam proses pengendalian konflik antarumat beragama. Fungsi komponen budaya tersebut dalam pengendalian konflik dipilah ke dalam tiga hal yaitu: sebagai pedoman bersama, instrumen sosialisasi hidup rukun dan damai, dan wadah interaksi antarorang yang berbeda agama. Dari keempat komponen budaya terdapat perbedaan fungsi masing-masing.

Fungsi nilai-nilai budaya yang terdapat dalam semua ugeran di Kulonprogo seperti tayub dan teposelira pada intinya berfungsi sebagai pedoman bersama dari masyarakat tanpa mengenal perbedaan latar belakang lapisan sosial, agama, dan lainnya.. Nilai-nilai ini harus disosialisasikan kepada masyarakat melalui wadah seperti kelompok sosial tradisional maupun modern.

Kelompok-kelompok sosial yang potensial sebagai pengendali konflik lebih banyak yaitu trah berfungsi sebagai wadah sosialisasi dari nilai-nilai tentang hidup rukun, juga sebagai media interaksi antarorang yang berbeda agama, khususnya dari kalangan orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan. Sementara ketiga aktor lokal lebih berfungsi sebagai subyek pemberi sosialisasi tentang nilai-nilai lokal dan hidup rukun kepada masyarakat. Dalam hal ini ke depan ketiga tokoh lokal tersebut perlu diberikan media yang dapat mempertemukan secara lebih intensif, dan mempertahankan media yang sudah ada. Hal ini dianggap penting karena ketiganya mempunyai pengaruh di lingkungan masing-masing.

Upacara adat mempunyai fungsi yang berbeda-beda, perbedaan ini terutama tergantung kepada tipe upacara adat tersebut. Sebagaimana dikemukakan di bagian sebelumnya, upacara adat yang ada di daerah ini hanya terdiri dari dari 2 kelompok yaitu upacara adat yang bersifat umum atau lintas agama, dan upacara adat yang dilakukan oleh 2 atau lebih kelompok umat beragama di tempat, waktu dan ritual yang berbeda. Untuk upacara adat tipe umum-lintas agama dapat diperankan dalam dua hal sekaligus yaitu sebagai wadah interaksi antarumat beragama dan sosialisasi nilai-nilai rukun. Adapun untuk upacara adat yang dilakukan 2/lebih umat beragama hanya lebih berfungsi atau

diperankan sebagai wadah sosialisasi nilai-nilai tentang hidup rukun kepada umat beragama masing-masing. Upacara lingkaran hidup, mulai dari kelahiran sampai kematian dapat berfungsi sebagai wadah interaksi antarumat beragama, dan dapat juga dikembangkan sebagai wadah sosialiasasi nilai-nilai kerukunan.

Secara ringkas dapat dilihat dalam tabel 3 berikut

Tabel 3: Fungsi dan Sumber Komponen Budaya Lokal

Komponen Budaya Fungsi Berbasis

Kepada Pedoman Sosialisasi Interaksi

Nilai-nilai 1. Tayub

2. Leliru saka liyan 3. Teposeliro

4. Sambatan dan gotong royong + + + + Suku mayoritas Kelompok sosial 1. Trah 2. PKK/Dasa Wisma 3. Gotong royong + + - + + + Suku mayoritas Aktor lokal: 1. Priyayi 2. Kyai 3. Pamong + + + Suku mayoritas Agama mayosritas Upacara Adat:

1. Baritan (UA Tipe 3) 2. Jamasan pusaka (Tipe 3) 3. Bersih desa (Tipe 3) 4. Saparan (Tipe 2) 5. Nyekar (Tipe 2) 6. Sadranan (Tipe 2) Upacara lingk.hidup: Kelahiran- kematian + + + + + + + + + + Suku mayoritas Suku mayoritas– agama global 3. Mekanisme

Dalam usaha menerapkan status dan fungsi dari budaya lokal tersebut harus dilakukan melalui sebuah alternatif cara dan proses. Penerapan salah satu atau semua komponen budaya tersebut dalam proses pengendalian konflik antarumat beragama dibedakan ke dalam 2 cara yaitu mandiri dan integrasi.

Pertama, mekanisme mandiri yaitu komponen-komponen budaya lokal menjadi

instrumen yang diterapkan dengan utuh dan secara mandiri. Misalnya pemanfaatan nilai-nilai lokal oleh kyai, pamong, dan sesepuh-priyayi dalam kegiatan kelompok sosial yang potensial menjadi pengendali konflik khususnya melalui kegiatan trah dan upacara adat dan lingkaran hidup, termasuk dalam kegiatan PKK-dasa wisma.

Kedua, mekanisme integrasi yaitu satu atau lebih komponen budaya lokal diintegrasikan ke dalam proses pengendalian konflik. Misalnya sosialisasi nilai-nilai atau ugeran yang ada oleh aktor-aktor di luar pamong, kyai dan priyayi melalui berbagai kesempatan (seperti melalui pelatihan, workshop). Selain itu dapat juga berupa pemanfaatan kelompok sosial dan upacara sebagai wadah sosialisasi nilai kerukunan oleh aktor lain

Dari kedua pola mekanisme tersebut pola yang bersifat integratif dianggap lebih tepat untuk penerapan model pengendalian konflik antarumat beragama ke depan. Hal ini karena dalam masyarakat modern pola interaksi antarorang dan kelompok semakin dinamis dan menyebar, apalagi dalam sebuah kelompok masyarakat.

Dalam dokumen KONFLIK UMAT BERAGAMA DAN BUDAYA LOKAL (Halaman 61-69)