• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Pengendalian Potensi Konflik Berbasis Budaya Lokal

Dalam dokumen KONFLIK UMAT BERAGAMA DAN BUDAYA LOKAL (Halaman 141-149)

171 DAN UNGKAPAN SOLIDARITAS

G. Model Pengendalian Potensi Konflik Berbasis Budaya Lokal

Pengendalian potensi konflik antarumat beragama yang sudah berlangsung di Mataram agak beda dengan daerah lain yang masih dominan pendekatan struktural. Di Mataram sudah ada upaya untuk merivatalitasi pendekatan kultural dan berupaya memanfaatkan potensi budaya lokal.

Adapun kegiatan yang dilakukan melalui pendekatan struktural yaitu: sosialisasi wawasan kebangsaan, deteksi dini terhadap kemungkinan terjadinya konflik SARA, sosialisasi dan institusionalisasi tentang kerukunan umat beragama, dan kebijakan pemrintah Kota berupa surat dan himbauan tentang pentingnya toleransi antarumat beragama, optimalisasi peran pemerintah desa untuk memfasilitasi dialog antarumat beragama. Juga dialog dan diskusi antarumat beragama yang menghasilkan Forum Komunikasi Antarumat Beragama.

Adapun kegiatan yang dilakukan melalui kegiatan kultural namun masih diprakarsai oleh pemerintah yaitu: pencanangan hari Jumat sebagai hari imtaq dengan penggunaan pakaian khas sesuai dengan agama yang dianut, gotong royong antarumat beragama membersihkan tempat ibadah umat beragama yang dilakukan aparat pemerintah bersama dengan tokoh umat beragama. Sementara kegiatan revitalisasi budaya lokal berupa kegiatan ngayo dan memberdayakan awig-awig.

Dalam penyusunan model pengendalian konflik ada beberapa prinsip dasar yang harus diperhatikan yaitu: evaluasi posisi modal budaya lokal; adanya kesadaran dan kemauan bagi masyarakat untuk memerankan komponen-komponen budaya lokal dalam upaya pengendalian konflik antarumat beragama, serta adanya syarat atau alasan rasional dan relevan dengan kondisi dan perkembangan masyarakat setempat saat ini dan ke depan dalam pemanfaatan komponen-komponen budaya lokal sebagai alat pengendali konflik, termasuk dalam penyelesaian konflik; dan adanya mekanisme yang jelas tentang cara penerapan satu atau lebih komponen budaya lokal.

1. Evaluasi Komponen Budaya Lokal

Sebagaimana halnya ditegaskan dalam kajian pustaka dan diterapkan di lokasi yang lain, komponen budaya lokal dalam penelitian ini meliputi empat aspek yaitu: (a) kelompok sosial, (b) aktor lokal, (c) nilai-nilai, dan (d) upacara. Karena itu dalam mencari model pengendalian, termasuk penyelesaian konflik antarumat beragama akan beranjak dari keempat komponen budaya tersebut.

Penilaian terhadap keempat komponen budaya lokal tersebut dilihat dari statusnya dalam proses pengendalian konflik. Untuk itu ada 3 kemungkinan statusnya yaitu: potensial, aktual, dan inpotensial. Komponen budaya lokal dianggap potensial jika ia sangat mungkin diperankan dan diberdayakan sebagai instrumen atau media dalam pengendalian konflik antarumat beragama. Dapat-tidaknya pemberdayaan ini didasarkan atas alasan rasional sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat saat ini dan ke depan. Alasan-alasan tersebut misalnya didasarkan atas tujuan dan orientasi, kuantitas dan frequensi kegiatan, dan pelaksanaannya dalam masyarakat, dan keyakinan (keagamaan) yang berkembang dalam masyarakat. Komponen budaya lokal dianggap inpotensial atau tidak potensial jika ia secara rasional kurang, bahkan tidak mungkin dapat diperankan sebagai instrument pengendali konflik. Di sisi lain ia dianggap aktual kalau sudah diperankan oleh masyarakat sebagai pengendali konflik antarumat beragama. Hanya yang

penting dicatat sejak awal bahwa pemerintah dan masyarakat Mataram memiliki semangat untuk merevitalissasi budaya lokal dalam menumbuhkembanngkan kerukunan umat beragama.

Pertama, nilai-nilai yang masih ada dan potensial untuk diperankan dalam proses pengendalian potensi konflik terdapat dalam banyak ugeran. Ugeran-ugeran tersebut masih bisa diterima anggota masyarakat yang masih didominasi suku Sasak ini. Nilai-nilai yang mengandung dorongan untuk hidup rukun dan potensial terdapat dalam tradisi ngejot, blangan, bebagar/bersih desa. Ngejot adalah tradisi dalam masyarakat Sasak berupa bantuan dalam bentuk apa saja ketika orang lain mengalami kesusahan ataupun sebang tanpa pandang agama, suku dan lainnya, baik pikiran dan tenaga. Blangan mengandung nilai tolong menolong dan memberikan sumbangan atau bantuan kepada orang lain yang kesusahan. Meskipun nilai blangan berlaku di kalangan orang Islam, namun nilai-nilai ini dianggap dapat diperluas kepada penganut agama lain karena mengandung kebaikan bersama. Sememntara yang dimaksud bebagar atau bersih desa mengandung nilai gotong royong dalam pengertian sempit yaitu kerja bakti yang dilakukan masyarakat khususnya untuk kegiatan besen-tulak (tolak balak). Ketiganya dianggap potensial karena masih menjadi kesadaran anggota masyarakat. Baik ngejot, blangan maupun bebagar selain berupa nilai juga berupa wadah kegiatan dimana orang-orang yang berbeda agama berinteraksi.

Selain itu saat ini pemerintah juga menciptakan slogan yang dapat dijadikan sebagai nilai bagi masyarakat yaitu ‘dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung’. Nilai yang tercantum dalam slogan ini adalah dorongan agar setiap orang yang hidup di bumi Mataram, tanpa pandang latar belakang agama, suku, lapisan sosial, sekse, harus secara bersama-sama dan pribadi menjunjung martabat, dan ketahanan masyarakat Mataram. Karena itu dibutuhkan kerja sama dan menjauhi konflik antarsesama dan kelompok. Siapapun dan dengan latar belakang apapun harus menjadi bagian dari orang Mataram yang memiliki kebiasaan menjunjung kebersamaan, toleransi, menjaga ketahanan dan martabat. Nilai-nilai dalam slogan ini telah diaktualisasikan melalui sosialisasi kepada masyarakat untuk menjaga toleransi dan martabat bersama masyarakat Mataram, dan sekaligus potensial untuk dikembangkan. Slogan ini bersumber dari nilai adat merang

dalam masyarakat Sasak yaitu nilai-nilai solidaritas antar sesama atau nilai-nilai kebersamaan tanpa pandang latar belakang seseorang.

Informan saya memberikan penekanan agar supaya nilai-nilai rukun dalam ugeran-ugeran dapat menjadi instrumen dalam proses pengendalian konflik antarumat beragama, dan konflik antarkelompok lainnya harus ada langkah-langkah yang harus dilakukan, terutama di kalangan generasi muda, dan juga peran pemerintah untuk merevitalisasinya. Untuk itu perlu sosialiasasi dalam kehidupan keluarga dan masyarakat serta berupa kebijakan yang diambil oleh pemerintah.

Kedua, kelompok sosial lokal-tradisional yang ada di daerah ini berupa pengusung, keliang, dan banjar. Para informan menyadari bahwa kelompok sosial tradisional ini secara kelembagaan pada saat sekarang sudah dapat dikatakan tidak ada, karena sudah digantikan oleh lembaga pemerintahan modern yaitu mulai dari desa sampai RT-RW. Meskipun secara institusional kelompok sosial tersebut sudah tidak ada, dan secara fungsional, peran-perannya sebagian besar telah diadaptasi oleh lembaga pemerintah modern tersebut, namun mereka menekankan agar fungsi substansial-tradisional dari pengusung-keliang-banjar harus terus dilanjutkan atau ditambahkan pada lembaga pemerintahan modern di tingkat desa, dusun dan RT-RW saat ini dan ke depan. Misalnya fungsi pengendalian sosial dan kedekatan secara psikologis dalam suasana keguyuban. Potensialiatas kelompok ini dapat dilihat dari kesadaran masyarakat tentangnya, misalnya sebagian orang Sasak masih menyebut mau ke keliang kalau mereka mau ke kepala dusun.

Dengan demikian pengusung-keliang-banjar ‘hanya’ potensial secara fungsional sebagai institusional dalam pengendalian konflik antarumat beragama. Potensi kefungsionalan ini yang harus diadaptasikan kepada lembaga (semi) pemerintah modern mulai dari desa-RT-RW. Hal ini karena masih adanya persepsi dan kesadaran masyarakat tentang fungsi-tradisional dari kelompok tersebut. Juga karena kelompok sosial ini dapat membawahi ragam masyarakat yang berbeda agama.

Sementara itu meskipun ada pondok pesantren namun di kota ini tidak banyak dan karenanya dianggap tidak dimasukkan ke dalam kelompok sosial yang potensial dalam pengendlaian konflik. Di pihak lain, lembaga keagamaan seperti Nahdlatul Wathan (didirikan oleh TG. Zainuddin Abdul Majid tahun 1950) dapat dianggap sebagai lembaga lokal yang potensial sebagai wadah pengendalian konflik antarumat beragama. Sebab lembaga ini telah memiliki jaringan yang cukup luas, dan sebagai pondok pesantren, telah melahirkan alumni dan pengaruh di kalangan tuan guru.

Ketiga, tokoh lokal yang paling menonjol di daerah ini adalah tuan guru. Walaupun keberpengaruhannya tuan guru bertingkat, mulai dari tingkat kampung sampai kota, dan lintas-kota/kabupaten. Peran-peran ketuanguruan dilakukan melalui lembaga-lembaga sosial lokal yang ada di masyarakatnya, seperti MUI, organisasi keagamaan, pondok pesantren, bahkan dalam partai politik.

Upaya pemanfaatan tuan guru sebagai instrumen pengendalian konflik berarti lebih berbasis kepada kelompok agama mayoritas Mataram (Islam). Hal ini karena mereka merupakan bagian tak terpisahkan dari budaya masyarakat Sasak dan Mataram umumnya.

Tokoh lokal yang lain yang pantas diperhitungkan adalah lalu. Hal ini karena lalu saat ini berbeda dengan jaman dulu yang dianggap kurang dekat dengan pihak muslim. Saat ini walau mereka tidak banyak perperan dalam penyiaran agama, namun mereka muslim taat. Lebih dari itu lalu saat ini banyak berperan di bidang pemerintahan, dan ini dapat menjadi modal utama mereka dalam berperan serta dalam pengendalian, termasuk dalam penyelesaian konflik antarumat beragama

Sementara pengusung-keliang-banjar sebagai sebuah aktor dianggap tidak potensial lagi seiring dengan hilangnya secara institusional. Aktor lokal tradisional ini sudah digantikan oleh aktor lembaga pemerintahan modern.

Keempat, upacara adat yang ada di Mataram antara lain pujawali/perang ketupat, ngentunin ( menanam padi), bau nyale (menangkap cacing laut), sadranan. Hanya sayangnya upacara adat tersebut, khususnya pujawali, ngentunin, dan bau nyele dianggap tidak potensial lagi untuk dijadikan sebagai instrumen pengendalian konflik antarumat beragama. Hal ini karena beberapa alasan yaitu: (1) Seiring dengan menguatnya peran tuan guru dalam pemurnian Islam, maka upacara adat yang berbau Hinduisme, wetu telu dan animisme dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam, (2) dan karenanya upacara tersebut dianggap tidak layak lagi untuk dikembangkan keberadaannya. (3) Karena selama ini konflik yang terjadi antara Islam dan Kristiani, maka upacara itu dianggap tidak layak dijadikan instrumen karena upacara tersebut banyak dianut oleh masyarakat Hindu. (4) Di wilayah perkotaan seperti Mataram upacara itu sudah memudar dan bahkan hanya tinggal kenangan. Sementara sadranan hanya lebih berupa ziarah ke kubur terutama di kalangan muslim, sehingga dianggap tidak potensial untuk dijadikan sebagai instrumen pengendalian konflik.

Adapun upacara lingkaran hidup mulai dari kelahiran sampai kematian (seperti tujuh bulan dari kehamilan, pra-api/penamaan, ngurisin/potong rambut, sunatan, perkawinan, kematian, dan tahlilan) dianggap dapat dijadikan sebagai media pengendalian konflik antarumat beragama. Sebab dalam upacara-upacara tersebut, termasuk upacara slametan setelah kematian, yang diundang dan yang hadir (dapat) berasal dari orang-orang yang berbeda agama.

Sebagai bagian dari upacara lingkaran hidup, khususnya perkawinan, nyongkol juga dianggap masih potensial untuk dijadikan sebagai wadah pengendalian konflik antarumat beragama, khususnya sebagai wadah interaksi antarumat agama. Hal ini selain masih menjadi kesadaran dan bahkan dilaksanakan oleh masyarakat Sasak, juga tidak ada halangan dari tokoh agama untuk menumbuhkembangkannya. Berdasarkan evaluasi tersebut dapat disimpulkan bahwa komponen budaya yang potensial untuk menjadi instrumen pengendalian konflik di daerah Mataram lebih banyak berbasis budaya Islam.

Tabel 1: Status Komponen Budaya Lokal

Komponen Budaya Status

Potensial Aktual Inpotensial

Nilai-nilai:

1. Ngejot 2. Blangan 3. Bebagar

4. Bumi dipijak di situ langit dijunjung/Merang + + + + Kelompok sosial 1. Pengusung-keliang-banjar 2. Org.agama:Nahdatul Wathan 3. Pondok pesantren +Adaptasi fungsi, bukan institusi + + Aktor lokal: 1. Tuan guru 2. Lalu 3. Pengusung-keliang-banjar + + + + Upacara Adat: 1. Pujawali 2. Ngentunin 3. Bau Nyele 4. Sadran Upacara lingk.hidup: Kelahiran- nyongkol, kematian + + + + +

Misalnya komponen tokoh-tokoh panutan dan kelompok sosial yang ada yaitu tuan guru, organisasi Islam, dan sumber yang berasal dari tradisi kesukuan seperti nilai-nilai yang tercantum dalam ugeran dan slogan.

2. Fungsi Komponen Budaya dalam Pengendalian Konflik

Sebagaimana disinggung sebelumnya bahwa fungsi komponen budaya dalam pengendalian konflik dipilah ke dalam tiga hal yaitu: sebagai pedoman bersama, instrumen sosialisasi hidup rukun dan damai, dan wadah interaksi antarorang yang berbeda agama. Dari keempat komponen budaya terdapat perbedaan fungsi masing-masing.

Nilai-nilai budaya di Mataram seperti ngejot, blangan, bebagar, atau merang pada intinya berfungsi sebagai pedoman bersama dari masyarakat tanpa harus mengenal perbedaan latar belakang lapisan sosial, agama, dan lainnya. Sementara kelompok-kelompok sosial yang potensial sebagai pengendali konflik yaitu organisasi keagamaan berfungsi sebagai wadah sosialisasi nilai-nilai tentang hidup rukun. Dalam konteks hubungan antarumat beragama ia hanya berfungsi sebagai media sosialisasi tentang hidup rukun dan damai kepada umat Islam.

Hal yang berbeda adalah posisi bebagar, sebagai pranata di dalamnya ada kegiatan yang dilakukan masyarakat secara berulang dalam waktu yang relatif lama dan sebagai upaya pemenuhan kebutuhannya. Dalam konteks ini bebagar berfungsi sebagai media interaksi antar orang yang berbeda agama, dan perbedaan identitas lainnya.

Aktor lokal seperti tuan guru, dan lalu berfungsi sebagai subyek pemberi sosialisasi tentang nilai-nilai lokal dan hidup rukun kepada masyarakat. Sebenarnya sosialisasi hidup rukun dan damai ini dapat diterapkan juga kepada tokoh agama nonIslam yang sering dan potensial terlibat konflik antarumat beragama yaitu tokoh-tokoh Kristiani, baik Protestan maupun Katolik.

Satu di antara ciri khas daerah Mataram adalah tidak ada kelompok sosial dan aktor lokal yang memayungi semua komunitas yang berbeda agama, maka potensial untuk dikembangkan suatu kelompok atau wadah yang di dalamnya aktor lokal lintas agama dapat berdialog, bertinteraksi, dan melakukan aksi bersama. Sebenarnya selama ini sudah ada wadah sejenis, namun sifatnya sangat termporer dan sangat tergantung kepada pemerintah seperti Forum Umat Beragama (FUB). Wadah ini dianggap temporer karena kegiatannya terbatas kepada aksi bersama ketika ada komando dari pemerintah, sehingga yang banyak berperan adalah pemerintah. Ke depan wadah lintas agama, termasuk

Forum Kerukunan Umat Beragama, anggota di dalamnya harus (a) melibatkan tokoh-tokoh lokal (seperti tuan guru, tokoh-tokoh Kristiani, dan lalu) atau wakil dari tokoh-tokoh-tokoh-tokoh lokal tersebut, (b) berfungsi sebagai media komunikasi-interaksi, sosialisasi-dialog dan aksi bersama, (c) memiliki kegiatan yang rutin dan berkala, yang (d) dilakukan bersama, bukan didominasi oleh pihak lain khususnya pemerintah, pemerintah sebaiknya berposisi dan memposisikan diri sebagai fasilitator ketika dibutuhkan.

Upacara adat seperti pujawali, ngentunin, dan bau nyele sebenarnya dapat berfungsi sebagai wadah interaksi dan bahkan sosialisasi nilai -nilai tentang hidup rukun kepada umat beragama, namun sejak awal upacara adat ini banyak ditentang oleh informan terutama dari kalangan tuan guru karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama. Ini sekaligus menunjukkan bahwa walaupun secara substansial ada upacara yang mirip di dua atau lebih daerah, namun belum tentu upacara adat itu dapat difungsikan sama dengan di daerah lain. Hal ini biasanya tergantung kepada 2 hal yaitu: (1) pandangan keagamaan dari tokoh (agama) lokal yang ada dan sekaligus tingkat keberpangaruhannya, (2) kesadaran dan pelaksanaan upacara adat itu oleh masyarakat. Sementara upacara lingkaran hidup, mulai dari kelahiran sampai kematian dapat berfungsi sebagai wadah interaksi antarumat beragama. Adapun nyongkol sebagai bagian dari upacara perkawinan dapat diterima untuk dikembangkan sebagai instrument dalam pengendalian, termasuk dalam penyelesaian konflik antarumat beragama, terutama sebagai wadah interaksi antarumat beragama dan dalam batas-batas tertentu untuk sosialiasi nilai-nilai kerukunan.

Secara ringkas dapat dilihat dalam tabel 2 berikut.

Tabel 2: Fungsi dan Sumber Kebudayaan Komponen Budaya Lokal

Komponen Budaya Rencana Fungsi Berbasis

Kepada Pedoman Sosialisasi Interaksi

Nilai-nilai:

1. Ngejot 2. Blangan 3. Bebagar

4. Bumi dipijak di situ langit dijunjung/Merang + + + + Suku mayoritas Kelompok sosial 1. Pengusung-keliang-banjar 2. Org.agama:Nahdatul Wathan + adaptasi fungsi + Suku mayoritas Agama mayoritas Aktor lokal: 1. Tuan guru 2. Lalu + +

Agama dan suku mayoritas

Upacara Adat: 1. Pujawali 2. Ngentunin 3. Bau Nyele Upacara lingk.hidup:

Kelahiran- nyongkol kematian +

Suku-agama

c. Mekanisme

Penerapan salah satu atau semua komponen budaya tersebut dalam proses pengendalian konflik antarumat beragama dibedakan ke dalam 2 cara yaitu mandiri dan integrasi. Pertama, mekanisme mandiri yaitu komponen-komponen budaya lokal menjadi instrumen yang diterapkan dengan utuh dan secara mandiri. Misalnya pemanfaatan nilai-nilai lokal oleh tuan guru, dan lalu, dan tokoh agama dalam kegiatan kelompok sosial yang potensial menjadi pengendali konflik khususnya melalui kegiatan organisasi agama masing-masing, dan upacara lingkaran hidup termasuk nyongkol, atau melalui wadah baru yang lintas agama-suku yang dibangun bersama.

Kedua, mekanisme integrasi yaitu satu atau lebih komponen budaya lokal diintegrasikan ke dalam proses pengendalian konflik. Misalnya sosialisasi nilai-nilai atau ugeran yang ada oleh selain aktor-aktor di atas melalui berbagai kesempatan dan saluran, misalnya melalui pelatihan dan media massa, dan sebaliknya sosialisasi dan pengkajian tentang potensi konflik antarumat beragama (prasangka antarkelompok umat, misiologi agama, khususnya Kristenisasi, kesejangan sosial-ekonomi) oleh aktor-aktor lokal yang ada. Bahkan memerankan mereka dalam FKUB yang dibentuk pemerintah, dalam rangka sosialisasi nilai-nilai lokal yang ada sebagai pengukuhan ajaran agama yang berkaitan dengan kerukunan antarkelompok. Selain itu dapat juga berupa pemanfaatan kelompok sosial dan upacara sebagai wadah sosialisasi nilai kerukunan oleh aktor lain.

Dalam dokumen KONFLIK UMAT BERAGAMA DAN BUDAYA LOKAL (Halaman 141-149)