• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelompok Sosial dan Aktor Lokal

Dalam dokumen KONFLIK UMAT BERAGAMA DAN BUDAYA LOKAL (Halaman 134-141)

171 DAN UNGKAPAN SOLIDARITAS

F. Profil Budaya Lokal

3. Kelompok Sosial dan Aktor Lokal

3. Kelompok Sosial dan Aktor Lokal

Pada dataran masyarakat terdapat banyak lembaga, baik yang berorientasi umum maupun agama. Organisasi sosial keagamaan misalnya yang khas yang tidak

ada di tempat lain misalnya Nahdlatul Wathan. Selain itu di Mataram cukup banyak pondok pesantren yang diasuh oleh para tuan guru.

Sistem pelapisan sosial khususnya dalam penentuan kebangsawanan pada orang Sasak sangat dipengaruhi oleh sistem kekerabatannya, kekerabatan mereka bersifat patrilineal. Karena itu orang disebut bangsawan jika bapaknya termasuk bangsawan, meskipun ibunya misalnya dari golongan awam.

Selain itu dalam masyarakat Mataram ada beberapa tipe pemimpin yaitu (1) pemimpin yang berkaitan dengan sistem pemerintahan, dan (2) pemimpin yang di luar sistem pemerintahan atau dapat disebut dengan pemimpin masyarakat. Pemimpin tipe pertama terdiri dari (a) pemimpin tradisional dan (b) pemimpin modern.

Pemimpin tradisional adalah mereka yang mempunyai kepemimpinan berdasarkan adat setempat. Hal ini seiring dengan adanya kelompok sosial tradisional yang terkait dengan pengurusan kewilayahan atau pemerintahan terdiri dari tiga (3) tingkatan yaitu (1) Pengusung (2) Keliang, dan (3) Banjar. Ketiga tingkatan kepemimpinan itu kalau dianalogikan dengan organisasi pemerintahan saat ini setingkat dengan desa, dusun, dan RT-RW. Pengusung (desa) yang dipimpin oleh seorang pengusung (kepala desa), ia bertugas mengatur segala urusan mengenai desa. Dalam bertugas pengusung dibantu oleh juru tulis (sekretaris desa), pekasih (jogotirto/ulul-ulu/irigasi), dan lang-lang (jogoboyo) yang merangkap sebagai kebayan. Keliang (dusun/kampung) di pimpin oleh seorang keliang yang sekaligus sebagai pengemban adat atau pengrakse adat. Keliang sangat berpengaruh di kalangan masyarakat Sasak karena mereka yang mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan keperluan masyarakat mulai dari perkawinan sampai kematian. Dalam menjalankan tugasnya keliang dibantu oleh seorang jeroah (wakil keliang) jika keliang berhalangan, penghulu (petugas pernikahan) dan pemangku (bertugas sebagai pemimpin dalam urusan agama). Banjar (kampung) dalam suku Sasak merupakan wilayah yang paling kecil. Dengan demikian setiap keliang terdiri dari banyak banjar.

Dalam menjalankan tugasnya pengusung sampai keliang digaji dengan tanah garapan yang di sebut dengan pecatu atau bengkok..

Dalam prakteknya saat ini kepemimpinan tradisional ini kadang digabung penyebutan dan fungsinya dengan kepemimpinan modern yaitu kepemimpinan yang didasarkan atas birokrasi modern yang berlaku secara nasional, seperti kepala desa,

kepala dusun, dan wilayah di bawahnya seperti ketua Rukun Tetangga (RT). Seringkali masyarakat menyebut pemimpin modern tertentu dalam pengertian peran sebagaimana dalam pemimpin tradisional. Misalnya menyebut kepala dusun, tapi yang dimaksud merujuk kepada tugas-tugas seorang keliang.

Adapun tipe kepemimpinan masyarakat atau non-pemerintah yang ada di suku Sasak adalah tuan guru dan lalu. Pertama, istilah tuan guru terkait dengan istilah raddin. Raddin yang berasal dari kata rad (hukum) dan din (agama) merupakan gelar tingkatan masyarakat Sasak yang paling tinggi menurut fungsi dan perannya bukan sebagai tingkatan kasta, karena orang yang bergelar raddin berfungsi sebagai penegak hukum agama dalam masyarakat dan sebagai orang tempat bertanya bagi masyarakat Sasak. Karena datangnya orang Jawa maka berubah menjadi raden dan fungsinya ikut berubah menjadi status sosial. Karena banyak raddin yang berubah menjadi raden dan fungsinyapun berubah maka supaya peran raddin kembali seperti semula maka berganti menjadi tuan guru. Walaupun pada perkembangan saat ini tuan guru selain berkaitan dengan peran sebagai pembimbing keagamaan juga cenderung menjadi simbol status sosial terutama dalam sosial keagamaan. Mereka menjadi aktor atau tokoh lokal yang kharismatis dan sangat dihormati. Bahkan pengaruhnya mengalahkan para lalu, dan kepemimpinan pemerintahan.

Peran tuan guru dalam lintasan sejarah masa lalu dan kini dalam masyarakat Mataram dan Lombok pada umumnya sangat besar. Mereka memimpin perlawanan orang Sasak ketika melawan Kerajaan Bali dari Karangasem yang menduduki Lombok Barat pada abad ke-17. Mereka juga menjadikan Islam sebagai dasar ideologis perjuangan melawan kolonial Belanda yang dianggap kafir. Bahkan karena kegigihannya memimpin melawan Belanda ini tuan guru menjadi lebih berpengaruh daripada bangsawan Sasak yang berorientasi kepada tradisi lokal.

Mereka mengajarkan Islam dan praktek keagamaan Islam yang murni kepada masyarakat Sasak termasuk kepada orang Wetu Telu, mendirikan pondok pesantren, yang kemudian menjadi organisasi keagamaan, seperti Nahdlatul Wathan yang didirikan oleh TG Zainuddin Abdul Majid (1950). Pada saat ini pondok pesantren yang didirikan oleh para tuan guru ini sudah mengintegrasikannya dengan sekolah. Jaringan alumninya telah memperluas peran dan pengaruh tuan guru di Lombok.

Penyebaran agama atau lebih tepatnya Islamisasi dalam arti proses pemurnian ajaran Islam terutama dilakukan di kalangan orang Wetu Telu. Hal ini

mengakibatkan terjadinya polarisasi antara dua kelompok dengan orientasi kepemimpinan yang berbeda. Wetu Telu lebih loyal kepada kepemimpinan yang mengembangkan tradisi, sedangkan kelompok Waktu Lima, muslim yang taat beragama, lebih loyal kepada tuan guru yang lebih cenderung mengembangkan dan memurnikan ajaran Islam dari tradisi yang bertentangan dengan agama. Dalam perkembangan selanjutnya tuan guru lebih dominan daripada kepemimpinan yang lain seperti Lalu, bahkan banyak pemimpin yang berorientasi kepada tradisi atau termasuk kelompok Wetu Telu berubah menjadi Waktu Lima. Pengaruh pemimpin atau bangsawan yang berorientasi kepada tradisi saat ini semakin berkurang, mereka relatif masih kuat di daerah Tanjung dan Bayan. Informasi terakhir (2010) mereka yang berorientasi kepada tradisi berupaya merevitalisasinya dengan berjuang di bidang politik dan berhasil mendirikan Kabupaten Lombok Utara, atau setidaknya mereka berupaya merevitalisasi tradisi dalam kabupaten yang baru ini.

Tuan Guru adalah status yang dimiliki oleh orang Sasak muslim yang sudah naik haji dan memiliki pengetahuan dan pengamalan agama yang tinggi. Menurut informan saya, Pak Is, seorang Tuan Guru harus memiliki pondok atau majelis taklim, tidak menjadi pegawai negeri sebab kalau menjadi pegawai negeri ia hanya berstatus sebagai ustadz serta tidak harus orang Sasak asli. Terlepas dari statusnya yang kharismatik melalui usaha, yang jelas seorang tuan guru punya peran utama melakukan sosialisasi doktrin dan nilai-nilai Islam kepada masyarakat, termasuk kepada muslim Wetu Telu. Karena tuan guru merupakan status capaian yaitu status yang diperoleh karena upaya seseorang, maka seringkali terjadi persaingan antarmereka, terutama dalam memperoleh anggota dan memperluas pengaruhnya, bukan hanya di bidang sosial-keagamaan tapi juga di bidang lain seperti ekonomi, dan politik.1

Seorang tuan guru mempunyai isteri yang disebut dengan dende artinya pembimbing. Ia bukan menunjuk kepada status sosial, tetapi sebuah gelar yang diberikan karena fungsi dan perannya membantu raddin untuk menjalankan tugasnya.

1

Adanya persaingan antar tuan guru dalam berbagai pranata ditemukan juga oleh Avonius (2003) yang menyatakan bahwa di antara Tuan Guru biasa terjadi persaingan untuk merebut pengaruh keanggotaan dan sosial-ekonomi-politik. Misalnya, Tuan Guru Sw yang alumnus perguruan di Makkah (Ummul Qura’ ?) adalah pembina pondok dan Ketua Persatuan Pondok pesantren dan MUI Lombok Barat, afiliasi politiknya ke PBB. Sementara pengasuh yang lain seperti Tuan Guru Mh yang alumunus Gontor berafiliasi ke PKS, Tuan Guru Is alumnus Irak berafiliasi ke Golkar, dan Tuan Guru Mus ke PBB.

Sehingga seorang dende harus bisa menyesuaikan dengan suaminya dalam menjalankan tugas.

Kedua, lalu berasal dari bahasa Arab allah, disebut demikian karena orang yang bergelar lalu harus bisa menjalankan apa yang telah di jalankan oleh bapaknya. Lalu adalah anak dari raddin yang bukan berasal dari perkawinan dengan dende sehingga diturunkan satu tingkat menjadi lalu. Lalu sebenarnya bukan gelar status sosial di masyarakat Sasak, namun diberikan bagi anak raddin yang kawin dengan selain dende sehingga ia merupakan gelar dalam fungsinya di masyarakat Sasak, saat ini berubah fungsi menjadi status sosial.

Isteri seorang lalu disebut baiq, karena itu perempuan yang mendampingi lalu harus perempuan yang baiq-baiq, karena fungsinya sama dengan dende yang mendampingi raddin dalam menjalankan tugasnya di masyarakat. Meskipun kelompok lalu tidak banyak berperan dalam penyiaran agama, namun mereka tetap melaksanakan ajaran agama secara konsekuen sepertti shalat, bahkan naik haji. Mereka ini sekarang banyak berperan dalam bidang pemerintahan.

Jika seorang raddin yang kawin dengan dende melahirkan anak laki-laki di sebut juga raddin dan jika perempuan disebut dende. Sebaliknya jika raddin kawin dengan perempuan bukan dari keturunan dende, anak laki-lakinya disebut lalu dan jika perempuan disebut baiq. Begitu juga dengan lalu yang kawin dengan baiq, anaknya menggunakan gelar lalu atau baiq, tetapi jika lalu kawin dengan perempuan yang bukan baiq maka anaknya akan menjadi rakyat biasa begitu juga sebaliknya. Pada saat sekarang di masyarakat Sasak jika lalu kawin dengan yang bukan baiq, anak laki-lakinya tetap memakai lalu dan perempuanya tetap disebut baiq, tetapi jika perempuan baiq kawin dengan yang bukan lalu maka gelarnya akan hilang.

4.. Nilai-nilai Lokal

Dalam masyarakat suku Sasak ada banyak nilai-nilai lokal yang digunakan untuk pemersatu di antaranya: (a) Ngejot, (b) Blangan, (c) Bebagar atau bersih desa, (d) Nyongkol. Ngejot merupakan sebuah tradisi bagi masyarakat Sasak yaitu memberikan bantuan berupa apa saja kepada tetangga atau masyarakat yang sedang mengalami kesusahan ataupun senang baik ke masyarakat muslim maupun non muslim. Yang dimaksud dengan blangan adalah memberikan sumbangan atau bantuan kepada masyarakat yang kesusahan. Nilai-nilai yang ada dalam blangan berupa saling

menolong di antara manusia. Tradisi ini hanya berlaku di kalangan masyarakat Islam. Bebagar sangat melekat di kalangan masyarakat Sasak karena menjadi media pemersatu atau gotong royong di semua kalangan, dalam acara ini biasanya berkaitan dengan besen tulak (tolak balak). Nyongkol adalah tradisi suku Sasak yang sampai sekarang masih berjalan dan sering dilakukan. Tradisi ini biasanya dilaksanakan pada saat pemuda/pemudi sedang kawin, dengan berjalan kaki mempelai pria diantar ke rumah mempelai wanita dengan diiringi musik (kecimol).

5. Upacara Adat

Upacara adat dapat dipilah ke dalam upacara yang berkaitan dengan kepentingan umum/ masyarakat atau disebut juga dengan upacara untuk umum, dan upacara yang berkaitan dengan lingkaran hidup dari sebuah keluarga atau individu atau upacara lingkaran hidup, mulai dari kehamilan, kelahiran, pubertas, pernikahan, dan kematian.

Pertama, upacara umum di Mataram khususnya yang berlaku di kalangan orang Sasak cukup banyak, di antaranya ialah:

1) Upacara Pujawali atau Perang Ketupat.

Upacara ini dilaksanakan oleh orang yang beragama Hindu, Wetu Telu, orang-orang Boda di wilayah Bantek tiap tahun pada sekitar bulan Nopember. Upacara ini dilakukan untuk menghormati Batara Rinjani dan gde Lingsar. Dewa-dewa yang ada di Gunung Rinjani sangat dihormati dan ditakuti, dan dalam peristiwa tersebut penduduk mempersembahkan beragam makanan, namun persembahan daging babi dilarang karena dianggap najis (camah)

2) Ngentunin.

Upacara ini berupa upacara turun ke sawah untuk pertama kalinya, dan diiikuti dengan upacara menanam padi. Sebelum sawah diolah petani mengadakan ngeramein gumi yaitu mencangkul sudut-sudut sawah masing-masing tiga kali. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan gangguan makhluk halus (bake). Baru setelah selesai diadakan ngentunin yang dilakukan pemilik atau yang membajak sawah. Dalam upacara ini dilakukan dibaca kalimat sacral guna memberi keselamatan bagi semua makhluk hidup, manusia, khewan, dan tanaman padi.

Bau nyale berarti menangkap nyale yaitu sejenis cacing laut yang keluar bersama gelombang laut pada pagi hari. Biasanya terjadi saat hujan lebat pada bulan Februari. Menurut kepercayaan masyarakat, banyaknya-sedikitnya nyale yang bisa ditangkap menjadi pertanda tingkat keberhasilan panen yang akan datang. Pada saat sekarang upacara adat ini semakin memudar terutama di kalangan masyarakat perkotaan.

Kedua, sebagaimana di tempat lain, pada masyarakat Sasak Mataram ada

upacara lingkaran hidup.

Upacara kehamilan sampai Pubertas: Ketika bayi masih di dalam

kandungan yaitu jika sudah berumur 7 bulan dilakukan upacara syukuran tujuh bulanan sampai anak itu lahir. Setelah 5 hari dari kelahiran anak akan putus tali pusatnya di sebut dengan pra api (penamaan), kemudian ada ngurisin atau potong rambut. Selanjutnya anak laki-laki atau perempuan sebelum belajar membaca Al-Qur’an akan disunat terlebih dahulu.

Proses Menuju Perkawinan: Jika anak sudah menginjak remaja dan dewasa

artinya sudah menginginkan kawin. Perkawinan diawali dengan midang (apel). Midang dilakukan ke rumah pihak perempuan dengan tujuan mencari kesepakatan dengan si perempuan kapan akan di bawa pergi dari rumah atau selarian tanpa sepengetahuan orang tua atau keluarga perempuan. Selarian dilakukan pada waktu malam, biasanya sehabis magrib. Jika membawa larinya pada siang hari maka akan dikenahi denda adat.

Perempuan yang sudah dibawa lari dititipkan di rumah keluarga si laki-laki atau dititipkan ke penghulu. Setelah selama 3 x 24 jam keluarga laki-laki atau kepala dusun tempat laki-laki (sejati) akan melapor kepada kepala dusun di pihak perempuan atau kepada keluarga perempuan. Pemberitahuan itu di sebut dengan selabar. Selanjutnya kedua belah pihak akan menyepakati jumlah mahar, waktu dan tempat pelaksanaan akad nikahnya. Pihak perempuan pada saat musyawarah ini benar-benar jadi pihak yang paling berwenang artinya syarat apapun harus dipenuhi oleh pihak laki-laki.

Kadang ada yang menyuruh pihak laki-laki untuk duduk di halaman bahakan di atas kotoran kuda, hal itu harus di lakukan supaya tidak dikenai hukuman atau denda adat. Semakin banyak melanggar semakin besar juga biaya yang akan di

keluarkan pihak laki-laki, apalagi lagi jika kakak si perempuan belum menikah maka pihak laki-laki yang akan memberikan plakahnya (plengkat).

Akad nikah bertempat di rumah perempuan atau masjid, selanjutnya mempelai perempuan dibawa ke pihak keluarga laki-laki dengan diantar rombongan dari kampung pihak perempuan, pihak laki-laki sudah menyiapkan pesta. Setelah itu pihak laki-laki akan pergi ke pihak perempuan (bejanggu=ngunduhi [Jawa]) dengan diiringi oleh seluruh teman dan kerabat (nyongkol). Selanjutnya pihak perempuan akan ke pihak laki-laki (balik tampak) setelah sebelumnya ditentukan harga adat (aji krame)

Dalam resepsi perkawinan biasanya yang hadir semua kerabat dan orang-orang dekat dari pihak penganten dan orang tua penganten. Dalam hal ini tanpa melihat latar belakang status sosial, suku maupun agama.

Upacara kematian: Karena masyarakat mayoritas beragama Islam maka adat

yang di gunakan juga layaknya ajaran Islam. Jika ada yang meninggal maka seluruh warga baik itu laki-laki ataupun perempuan ikut ke makam. Kemudian diadakan tahlilan 7 , 9, 40, 100, 400,1000 harinya, dan kalau setahun di adakan peringatan kematian.

Dalam upacara kematian ini dihadiri oleh semua orang tanpa melihat latar belakang agama, suku maupun lainnya. Semua orang yang mengetahui kematian seseorang apalagi tetangga maka ia akan menghadirinya. Bagi mereka yang bukan tetangga jika orang itu mengenal dan teman maka ia akan menghadirinya.

Dalam dokumen KONFLIK UMAT BERAGAMA DAN BUDAYA LOKAL (Halaman 134-141)