• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai-nilai Lokal

Dalam dokumen KONFLIK UMAT BERAGAMA DAN BUDAYA LOKAL (Halaman 54-61)

DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH DI BIDANG PENDIDIKAN

F. Profil Budaya

4. Nilai-nilai Lokal

Pertama, tayub. Pada umumnya ditempat lain tayub identik dengan seni tari-panggung yaitu tari-tarian yang dilakukan oleh laki-laki dewasa, namun tayub juga dimaknai sebagai sebuah nilai oleh masyarakat seperti pada masyarakat Nglinggo Samigaluh. Adapun seni tayub yang berkembang ditempat lain, di daerah tersebut disebut dengan gambyong, yaitu penari perempuan yang diibing penari laki-laki yang diiringi dengan gamelan, namun sejak tahun 1945 pasca kemerdekaan, tari tersebut tidak lagi ada karena ada larangan pemerintah.

Sebagai sebuah nilai tayub merupakan ugeran yang dijadikan pedoman bersama oleh masyarakat agar kehidupan masyarakat menjadi rukun-damai. Dalam hal ini tayub berasal dari kata ‘ta’ diambil dari kata tata (menata) dan ‘yub’ diambil dari kata guyub (rukun-kekeluargaan). Secara etimologis berarti menata kehidupan masyarakat agar hidup rukun penuh kekeluargaan. Dengan demikian nilai tayub bermakna menjaga dan menata-memupuk kembali rasa kekeluargaan dan menjaganya supaya semangat kekeluargaan itu tidak hilang. Semangat ini bukan semata sebatas hubungan keluarga berdasarkan pada hubungan darah, tetapi kekeluargaan yang berarti semua manusia dan makhluk lain dianggap sebagai keluarga. Baik itu alam sekitar, tetangga jauh apalagi tetangga dekat. Dalam hal ini tanpa membeda-bedakan status sosial, agama, dan sebagainya.

Nilai tayub ini juga dapat dilihat dalam acara upacara tradisional seperti Saparan (bulan Shofar). Dalam upacara adat tersebut siapapun dapat melihat, boleh datang dan berpartisipasi tanpa melihat latar belakangnya apakah dari kelas sosial tertentu, kelompok, agama golongan dan suku.

Kedua, di lain itu ada ucapan yang selalu dipegang oleh masyarakat setempat guna

menjaga suasana tempat mereka tetap sejuk dan kondusif. Jika ada permasalahan mereka akan ngugemi (berpegang) ugeran ‘leliru saka liyan’. Leliru dapat diartikan dengan ’mendapatkan ganti’ dan kata saka liyan berarti dari yang lain. Jika digabung maka akan

didapatkan kalimat ’mendapatkan ganti dari dan dalam bentuk lain’. Dalam hal ini seorang informan, Ki. HP), memberi contoh:

Ada seseorang yang kehilangan kambing, dia tahu siapa yang telah mengambil kambingnya tersebut. Orang yang kehilangan kambing tersebut tidak marah, memukul dan memperkarakan pencurinya pada pihak berwajib (polisi agar dipenjara) atau pada pemerintah setempat, apalagi menghakimi (dengan catatan agar perbuatan tersebut tidak diualngi lagi). Orang yang kehilangan kambing tersebut memiliki keyakinan bahwa dia akan mendapatkan ganti yang lebih baik dalam atau dari bentuk yang lain (leliru saka liyan).

Secara filosofis leliru saka liyan memiliki makna rasa berserah diri bahwa pada saatnya apa yang dimiliki akan kembali pada yang punya yaitu sing nduwe kersa (Yang Maha Berkehendak) atau akan kembali pada Tuhan. Di lain itu, leliru saka liyan juga dapat diartikan bahwa memaafkan itu lebih baik, bersaudara dalam biduk kerukunan lebih baik daripada apa yang telah hilang (rukun lebih baik daripada seekor kambing yang hilang). Keyakinan kepada sang Maha Pencipta bahwa apa yang diambil darinya merupakan sesuatu yang memang harus dikeluarkan.

Ketiga, nilai-nilai tepo seliro (tenggang rasa), alon-alon asal klakon (sikap berhati-hati), dan sambatan (saling membantu dan bekerja sama). Nilai-nilai ini pada umumnya memberikan rambu-rambu bagi anggota masyarakat, agar memiliki rasa saling menghargai dan memahami perasaan orang lain, juga memberikan bantuan dalam hal apapun sesuai kemampuan yang dimilikinya. Tujuan akhirnya adalah supaya dalam kehidupan masyarakat berkembang kerukunan tanpa membeda-bedakan latar belakang orangnya.

e. Upacara

Upacara adat di Kulonprogo dapat dipilah ke dalam upacara yang berkaitan dengan kepentingan umum atau upacara umum, dan upacara yang berkaitan dengan lingkaran hidup manusia atau upacara lingkaran hidup

Pertama, ada beberapa upacara adat umum yang masih berkembang di Kulonprogo yaitu:

1) Baritan

Gelar yang diberikan kepada KRT Ki HP adalah gelar kehormatan yang diberikan keraton Pakualamana atas jasanya dalam menjaga petilasan Kyai Sangkelat milik Keraton Pakualaman. Ki HP sebenarnya masih menjadi kerabat Keraton Pakualaman jika dilihat dari trah Kyai Kampak. Namun sekarang ini Ki HP masuk dalam Trah Oggo Suto sebagai bagian trah Kyai Kampak. Data untuk trah Oggo Suto belum ditemukan, namun trah Kampak sudah ada

Upacara Baritan (lebar ngarit/pasca panen) dilakukan setahun sekali. Upacara ini berkembang di kalangan masyarakat Samigaluh khususnya di Desa Gerbosari, Banjarsari dan Pagerharjo. Dalam upacara ini setiap masyarakat diwakili salah satu keluarga membawa hewan dan hasil panen yang dimiliki, lalu berkumpul di sawah, ladang atau tempat yang ditentukan. Kalau di Banjarsari menuju watu bongkang (bongkahan batu besar dalam susunan bertumpuk). Mereka membawa ubarampe berupa dua tumpeng, kupat (ketupat) dan tahu atau lauk pauk lainnya seperti pelas udang, dan pelas yuyu.

Berdasarkan kasus yang ada di Dusun Balong Desa Banjarsari (Jum’at 4 Agustus 2006), prosesi upacara ini dilakukan secara rancak. Upacara dimulai dari pelataran desa menuju Watu Tumpang dengan membawa ubarampe dipimpin oleh sesepuh setempat, selama dalam perjalanan tersebut diiringi dengan seni gambyong sampai ketempat tujuan yaitu Watu Tumpang. Sesampainya di sana ubarampe diletakkan dan pengiringnya duduk berderet di depan bongkahan batu besar. Upacara inti dimulai dengan mengucap doa dan syukur serta selamat, menaburkan bunga di Watu Tumpang, acara ditutup dengan ngibing tayub oleh undangan dan masyarakat setempat. Dalam upacara tersebut dihadiri juga oleh pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kulonprogo, Camat Samigaluh, dan sesepuh setempat.

Upacara ini dilakukan secara rutin setelah panen raya padi sebagai ungkapan rasa syukur atas pemberian rezeki dan keselamatan yang diberikan Tuhan. Dalam kaitan ini Ki HP menyatakan:

Upacara baritan dilakukan dengan maksud tetap menjaga kerukunan dalam masyarakat termasuk jika dikaitkan dengan kerukunan agama. Disaat orang berlebihan (secara ekonomi) biasanya orang lupa, maka upacara baritan adalah upacara sebagai bentuk mengingat (introspeksi diri) bahwa manusia adalah makhluk yang lemah, karena itu dengan harta yang berlebih manusia harus ingat. Dengan mengingat Tuhan diharapakan panen tetap bisa baik seperti sebelumnya. Mengingat itu diwujudkan dengan upacara baritan sebagai bentuk rasa syukur.

…Meski upacara tersebut pada umumnya dilakukan dengan tradisi Jawa-Islam, umat selain Islam tidak pernah mempermasalahkan. Ini merupakan bentuk penghormatan terhadap tradisi yang telah bertahun-tahun ada dan dipegang masyarakat.

2) Saparan

Saparan adalah upacara adat yang diselenggarakan pada bulan Sapar (Shofar dalam penanggalan Islam). Pada waktu dulu upacara saparan dilakukan setiap tahun pada hari Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon di pertengahan bulan, dipimpin oleh Paku Buwono IV yang oleh warga setempat disebut sebagai Pangeran Proyogati atau Kyai nDalem Tanu untuk membuka perkampungan di Puncak Nglinggo.

Pada tahun 1942-1945 upacara tersebut tidak dapat dilaksanakan karena penjajah Jepang melarang, namun pada tahun 1946-1948 terjadi wabah aradan (sakit pagi, malam lalu meninggal/ sakit malam, pagi meninggal. Kejadian ini menghilangkan ketenteraman dalam masyarakat, juga sering gagal panen seperti jagung dimakan babi hutan. Untuk itu beberapa upacara sudah dilakukan guna mencegah wabah tersebut, seperti nyadran di petilasan Kyai nDalem Tanu, namun wabah tersebut tidak juga hilang. Upacara Saparan menjadi pilihan karena dulu Kyai nDalem Tanu yang membuka dusun Nglinggo. Setelah upacara saparan dilaksanakan kehidupan normal seperti semula.

Prosesi upacara ini dimulai pada pagi hari yaitu ditampilkan kesenian lokal, kesenian masyarakat setempat seperti jatilan, namun sekarang jatilan yang diganti dengan hasil kreatifitas warga setempat dianggap kurang bagus. Kira-kira pukul 10.00-12.00 diadakan kenduren (upacara selamatan), jam 12.00-13.00 dilakukan Sholat Dhuhur/Jum’at. Setelah itu sekitar pukul 13.00 dilakukan acara jejer wayang. Pukul 16.00 dilanjutkan dengan penampilan kesenian lokal). Mulai pukul 20-23.30 ditampilkan acara gambyong yaitu perempuan menari dan diibing oleh laki-laki namun berbeda tempat (tidak berdekatan). Pukul 24.00 – pagi disajikan acara wayangan. Semua acara itu dikenal dengan tradisi tayub yang berarti Tata lan Guyub (menata kembali rasa kekeluargaan). Tujuan dari acara ini adalah untuk mengusir segala bentuk kesukaran supaya tidak datang lagi. Meminta berkah kepada Tuhan dan sebagai bentuk rasa syukur. Peserta upacara boleh penganut agama saja, tapi yang beragama non Islam tidak melaksanakan sholat (Jum’at).

Upacara adat yang ada tidak murni atau dominan tradisi Hindu/Budha lagi. Dalam tradisi Jawa-Islam, dalam budaya dan adat setempat doa-doa pun berubah dengan cara Islam sedang bentuk dari upacara adat sedikit berubah. Upacara adat nyekar misalnya sebagai warisan dalam Hindu/Budha, dilakukan dalam Islam juga dilakukan oleh penganut Kristen-Katholik. Jika dalam Islam nyekar biasanya dilakukan menjelang dan di awal bulan Ramadhan atau peringatan hari-hari besar Islam lainnya seperti Syuro (muharram) dan Sapar (Safar), dalam Kristen dan Khatolik biasa diadakan menjelang hari Natal, terkadang juga hari Paskah. Begitu juga dengan upacara bersih deso, upacara Saparan, dan Baritan, sebenarnya awalnya ditujukan sebagai bentuk ucapan terima kasih kepada para dewa, tetapi dalam Islam merupakan rasa syukur kepada Allah SWT atas nikmat yang telah diberikan. Sedang doa yang

dahulunya berbentuk mantra, dalam tradisi Jawa-Islam berganti dengan doa-doa Islam yang diwariskan secara turun menurun.

3) Upacara Jamasan Pusaka

Upacara dilaksanakan oleh masyarakat di Suroloyo Gerbosari Samigaluh setiap tanggal 1 Suro tahun Jawa. Pusaka yang dijamasi (dimandikan) ialah tombak Kiai Manggala Murti dan Songsong Kiai Manggolo Dewo yang merupakan pemberian Kesultanan Yogyakarta. Prosesi upacara dimulai dengan kirab dari kediaman sesepuh Dusun Kecemen menuju Sendang Kawidodaren. Arak-arakan terdiri dari sesepuh dan tokoh masyarakat yang membawa hasil bumi berbentuk gunungan serta rombongan kesenian tradisional. Dalam kegiatan ini ada udik-udik berupa hasil bumi yang diperebutkan anggota masyarakat dan pengunjung yang bertujuan untuk mendapatkan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa agar pertanian berhasil.

4) Selain ketiga upacara tersebut masih banyak lagi upacara yang tersebar di banyak desa dan kecamatan yaitu (a) Saparan Kalibuka tiap Jumat atau Selasa Kliwon di Desa Kalireja Kokap yang bertujuan untuk permohonan keselamatan semua warga, (b) Sadranan Ki Gono Tirto di petilsan Ki Gono Tirto Desa Hargotirto Kokap tiap Jumat atau Selasa Kliwon pada Bulan Besar, upacara ini dimaksudkan sebagai ungkapan rasa syukur dan keselamatan wargakepada Tuhan Yang Maha Esa. (c) Bersih Desa Taruban di Desa Tuksono Sentolo tiap bulan Besar sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen. (d) Dulkaidahan di Dusun pringtali Jatimulyo Girimulyo tiap Jumat Pon Bulan Dzulkaidah sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen. (e) Rejeban Gondang di Dusun Balong Jatimulyo Girimulyo tiap Selasa Kliwon Rejab sebagai permohonan keselamatan kepada Tuhan. (f) Nawu Sendang di Dusun Clapar Hargowilis Kokap tiap Jumat Kliwon untuk mohon keselamatan dan ketentreman masyarakat.(g) Nggumbregi di Dusun Karanggede Jatimulyo Girimulyo tiap Selasa atau Jumat Kliwon sebagai ungkapan rasa syukur dan mohon keselamatan warga kepada Tuhan.

Yang penting dicatat adalah bahwa dalam upacara adat tersebut telah terjadi akulturasi antarberbagai unsur, sehingga sebenarnya upacara tersebut tidak murni tradisi Hindu/Budha yang dominan. Dalam tradisi Jawa-Islam, dalam budaya dan adat setempat (lokal) doa-doa pun berubah dengan cara Islam sedang bentuk dari upacara adat sedikit berubah. Upacara adat nyekar misalnya sebagai warisan dalam Hindu/Budha, selain dilakukan oleh orang Islam juga dilakukan oleh orang agama lain

seperti Kristiani. Jika dalam Islam biasanya dilakukan menjelang dan awal bulan Ramadhan atau peringatan hari-hari khusus dalam Islam seperti Syuro (muharram) dan Sapar (Safar), maka orang Kristiani biasa mengadakan menjelang hari Natal, terkadang juga hari Paskah.

Berbagai upacara tersebut seperti bersih desa, upacara Saparan, Baritan, dan sebagainya pada awalnya ditujukan sebagai bentuk ucapan terima kasih kepada para dewa, tetapi dalam Islam diubah menjadi ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas nikmat yang telah diberikan. Sedang doa yang dahulunya berbentuk mantra, dalam tradisi Jawa Islam berganti dengan doa-doa Islam yang diwariskan secara turun menurun.

Kedua, upacara lingkaran hidup

Upacara Kelahiran: ada beberapa acara guna menyambut kelahiran seseorang

yaitu disebut dengan (1) tingkepan, (2) pasaran, (3) puputan (ketika tali pusar copot dari pusat bayi) dan (4) selapanan.

Tingkepan dilakukan guna menyambut kedatangan bayi (yang belum lahir)

yang dilaksanakan ketika kandungan berumur 8 bulan atau akhir bulan kandungan ketujuh. Prosesi tradisi tersebut sebagai berikut: perempuan yang sedang hamil beserta suaminya dimandikan dengan air dari 7 sumur, bunga 7 warna dan jarik (kain untuk orang jawa) tujuh lapis dengan warna yang berbeda. Air tujuh (7) sumur ini diibaratkan kelahiran seseorang paling tidak telah diterima oleh tujuh (7) keluarga yang artinya diterima seluruh warga setempat. Yang memandikan adalah keluarga yang terdekat dari perempuan/suami yang sedang tingkepan tersebut, namun biasanya dalam hubungan kekerabatan lebih dekat dengan si perempuan yang sedang mengandung. Jumlah orang yang memandikan juga ada tujuh orang. Acara selanjutnya adalah selamatan. Dalam selamatan dibuat tujuh (7) tumpeng yang nantinya akan diberikan pada para laki-laki yang ikut acara selamatan yang air sumurnya diambil, baru setelah itu si tetangga membaginya untuk peserta yang hadir. Yang hadir dalam acara tersebut adalah orang-orang yang ada dalam kampung tersebut secara keseluruhan yang berjenis kelamin laki-laki. Biasanya mereka ada dalam satu teritori dusun, tanpa melihat latar belakang suku agama dan lainnya.

Upacara pasaran dilakukan guna menyambut kelahiran dan dilaksanakan pada

hari ke-4 atau hari ke-7 setelah kelahiran. Biasanya dibarengi dengan upacara selamatan dan doa untuk bayi dan keluarga. Pemberian nama untuk bayi sesaat setelah

rambutnya dipotong satu helai. Acara ini bagi kebanyakan masyarakat Islam Jawa biasanya dibarengi dengan aqiqohan, yaitu penyembelihan 2 ekor kambing untuk bayi laki-laki dan 1 ekor kambing untuk bayi perempuan. Acara puncaknya adalah selamatan dan pemberian nama untuk si bayi.

Upacara Puputan dilakukan guna menyambut kedatangan anggota keluarga

baru. Prosesinya diawali dengan mengadakan selamatan untuk si bayi, rambut si bayi dipotong sehelai dan diberi nama. Upacara ini dilaksanakan ketika tali pusar bayi terlepas dari pusatnya yang berarti waktunya tidak dapat ditetapkan secara pasti. Acara penyerta dan puncak acara sama dengan upacara pasaran.

Upacara Selapanan dilakukan pada hari ke-36 dihitung sejak hari kelahiran bayi yang didasarkan pada pertautan antara hari (pasaran) dalam jawa dan hari pada umumnya. Jika dia dilahirkan pada hari Selasa Kliwon maka upacaranya diadakan selapan harinya lagi adalah Selasa Kliwon berdasar pada weton. Acara penyerta dan puncak acara sama dengan tradisi pasaran dan puputan dikarenakan sama-sama dalam rangka menyambut kedatangan bayi. Yang membedakan adalah waktu pelaksanaannya.

Upacara Perkawinan dan Pubertas: Acara nikah disebut mantenan, khitanan

disebut teta’an/ngislamke dan ngguwang suker (disebut ngislamke karena budaya khitan hanya ada dalam tradisi Islam). Dalam masyarakat tersebut, bagi yang tidak khitan dianggap keturunan Belanda yang berarti musuh. Bentuk acara adalah selamatan. Prosesi pernikahan dapat dilihat dalam pernikahan adat Jawa pada umumnya. Secara lebih khusus belum ditemukan data spesifik. Begitu juga dengan acara khitanan.

Kematian: Upacara peringatan kematian biasanya dilakukan selamatan dengan

waktu khusus sebagai berikut : 1-7 hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun, 2 tahun, 1000 hari. Pada peringatan kematian ke 1000 hari ini biasanya diselenggarkan acara/tradisi ngijing (tetenger) yaitu membangun bangunan diatas kubur keluarga yang sudah meninggal. Ngijing ini digunakan untuk mempermudah mengenali kubur sesorang. Biasanya digunakan dalam acara nyekar di bulan Ruwah ( Sya’ban). Orang yang hadir dalam setiap ada orang mati dan upacara peringatan orang mati terdiri dari berbagai kalangan dan latar belakang agama, suku dan lainnya.

Hampir semua upacara tersebut masih fungsional dan dilakukan oleh masyarakat setempat. Seorang informan, Ism, menegaskan:

Tradidi yang ada dalam masyarakat, khususnya di Samigaluh, masih terjaga dengan baik, hal ini dapat dibuktikan dengan masih dilakukannya upacara-upacara adat yang dilakukan oleh warga setempat. Setiap desa memiliki upacara adat yang berbeda namun tetap merupakan satu kesatuan karena nilai, tempat dan sebagainya masih merupakan rangkaian. …Namun ada juga yang antara desa (tempat) satu dengan lainnya yang sedikit berbeda namun memiliki bentuk dan pola yang sama. Misalnya bersih dusun, upacara pernikahan, khitanan, kematian yang menggunakan tradisi yang berpegang dengan adat setempat (budaya lokal). Dalam banyak upacara tersebut, hal yang tidak dapat dipisahkan adalah penggunaan bahasa Jawa sebagai bahasa utama (bukan bahasa Indonesia)

Dalam dokumen KONFLIK UMAT BERAGAMA DAN BUDAYA LOKAL (Halaman 54-61)