• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Pengendalian Konflik Berbasis Budaya Lokal

Dalam dokumen KONFLIK UMAT BERAGAMA DAN BUDAYA LOKAL (Halaman 103-116)

PELECEHAN AGAMA DALAM ARENA SUMBU PENDEK

G. Model Pengendalian Konflik Berbasis Budaya Lokal

Sebagaimana halnya di daerah lain, pengendalian potensi konflik antarumat beragama yang sudah berlangsung di Solo masih dominan pendekatan structural. Sementara pendekatan kultural yang berupaya memanfaatkan potensi budaya lokal masih belum dikembangkan dengan baik, dan masih terbatas pada tahap uji-coba. Kegiatan yang dilakukan yaitu: (a) Sosialisasi wawasan kebangsaan yang menekankan pentingnya persoalan kebangsaan termasuk hubungan antarkelompok secara damai. (b) Deteksi dini terhadap kemungkinan terjadinya konflik SARA (c) Sosialisasi khusus tentang kerukunan umat beragama (trilogi kerukunan).

Dalam penyusunan model pengendalian konflik ada beberapa prinsip dasar yang harus diperhatikan yaitu (1) Evaluasi posisi modal budaya lokal. (2) Adanya kesadaran dan kemauan bagi masyarakat untuk memerankan komponen-komponen budaya lokal dalam upaya pengendalian konflik antarumat beragama, (3) Adanya syarat atau alasan rasional dan relevan dengan kondisi dan perkembangan masyarakat setempat saat ini dan ke depan dalam pemanfaatan komponen-komponen budaya lokal sebagai alat pengendali

konflik. (4) Adanya mekanisme yang jelas tentang cara penerapan satu atau lebih komponen budaya lokal.

1. Evaluasi Komponen Budaya Lokal

Sebagaimana ditegaskan dalam kajian pustaka dan diterapkan di lokasi yang lain, komponen budaya lokal dalam penelitian ini meliputi empat hal yaitu (a) kelompok sosial, (b) aktor lokal, (c) nilai-nilai, dan (d) upacara. Karena itu dalam mencari model pengendalian, termasuk penyelesaian, konflik antarumat beragama akan beranjak dari keempat komponen budaya tersebut.

Evaluasi terhadap keempat komponen budaya lokal tersebut dilihat dari status atau keberadaannya dalam proses pengendalian konflik. Dari aspek ini, ada 3 kemungkinan statusnya yaitu: potensial, aktual, dan inpotensial. Komponen budaya lokal dianggap potensial jika ia sangat mungkin diperankan dan diberdayakan sebagai instrumen atau media dalam pengendalian konflik antarumat beragama. Dapat-tidaknya pemberdayaan ini didasarkan atas alasan rasional sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat saat ini dan ke depan. Alasan-alasan tersebut misalnya didasarkan atas tujuan dan orientasi, kuantitas dan frequensi kegiatan, dan pelaksanaannya dalam masyarakat. Komponen budaya lokal dianggap inpotensial atau tidak potensial jika ia secara rasional kurang, bahkan tidak mungkin dapat diperankan sebagai instrumen pengendali konflik. Di sisi lain ia dianggap aktual kalau sudah diperankan oleh masyarakat sebagai pengendali konflik antarumat beragama.

Pertama, nilai-nilai yang masih ada dan potensial untuk diperankan dalam proses

pengendalian potensi konflik terdapat dalam banyak ugeran. Ugeran-ugeran tersebut masih bisa diterima anggota masyarakat suku Jawa di di kota Bengawan ini saat tanpa memandang latar belakang agamanya. Nilai-nilai tentang hidup rukun yang potensial tersebut terdapat dalam ugeran teposelira, sambatan dan gotong royong. Teposelira berarti sikap hidup bertenggang rasa antarorang. Ugeran ini mengandung prinsip timbal-balik yaitu melakukan sesuatu yang kita harapkan orang lain melakukan bagi kita. Sambatan adalah saling membantu dan bekerja sama antar anggota masyarakat.

Keriganya dianggap potensial karena masih menjadi kesadaran anggota masyarakat, terutama dari kalangan generasi tua. Hanya saat ini ugeran tersebut terutama di kalangan generasi muda ada tanda-tanda kian melemah, sehingga dibutuhkan sosialisasi kepada mereka melalui berbagai media.

Agar supaya nilai-nilai rukun dalam ugeren-ugeran dapat menjadi instrumen dalam proses pengendalian konflik antarumat beragama, dan konflik antarkelompok lainnya harus ada langkah-langkah yang harus dilakukan, terutama di kalangan generasi muda. Untuk itu perlu sosialiasasi dalam kehidupan keluarga, melalui kegiatan kelompok-kelompok sosial, dan sekolah, dan media massa.

Gotong royong selain berupa ugeran (nilai) juga dapat berupa kegiatan yang dilakukan masyarakat. Dalam makna ini, gotong royong merupakan wadah yang sudah lama dilakukan masyarakat. Ia telah menjadi wadah tempat orang orang yang berbeda agama berinteraksi satu dengan lainnya. Walaupun begitu ia belum menjadi wadah sosialisasi tentang hidup rukun dan damai.

Sementara ugeran alon-alon waton klakon semakin kehilangan maknanya dalam kehidupan masyarakat, juga dianggap tidak terkait secara langsung dengan hidup rukun di kalangan masyarakat. Karenanya ia masuk dalam kategori nilai-nilai yang inpotensial.

Kedua, kelompok sosial yang dianggap potensial untuk dikembangkan dalam pengendalian konflik adalah trah dan lembaga semi-pemerintah. Hal ini mirip dengan yang terjadi di Kulonprogo. Trah merupakan wadah yang didalamnya terdapat jaringan kekerabatan melahirkan budaya ‘sungkan’ dan saling hormat di antara anggota trah dan kerabat. Bagi orang Jawa di Solo ketika berhubungan dengan orang lain akan bertanya dengan siapa orang tersebut dan ada-tidaknya hubungan kekerabatannya dengannya. Jika ada hubungan, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana posisinya dalam struktur kekerabatannya.

Alasan trah dapat diperankan sebagai media dalam pengendalian konflik ternyata tidak jauh berbeda dengan yang terdapat di Kulonprogo, yaitu: karena banyaknya trah, baik yang terdapat pada kelompok menangah ke atas maupun menengah ke bawah, serta jenis trahnya bersifat heterogen dan homogen, frequensi kegiatannya selain bersifat tahunan juga lapanan. Dari pertemuan tersebut terjadi interaksi antaranggota trah yang berbeda agama, dan sosialisasi tentang makna penting kerukunan. Sosialisasi dan interaksi yang terjadi pada tingkat trah ini dapat dilanjutkan dan dikukuhkan dalam keluarga batih masing-masing anggota.

Hanya saja ada satu syarat penting yang harus diperhatikan supaya trah ini dapat diperankan sebagai wadah pengendali konflik secara efektif. Trah harus difungsikan secara sadar dalam kegiatan dalam pengendalian konflik. Begitu juga ketika terjadi konflik antarumat beragama yang melibatkan anggotanya pimpinannya harus proaktif

dalam ikut penyelesaiannya. Ini sangat dimungkinkan karena pimpinan dan khususnya sesepuh trah mempunyai wibawa dan dihormati oleh anggota (kerabatnya).

Lembaga semi-pemerintah tingkat bawah seperti RT-RW dan PKK-dasa wisma sebenarnya bukan kelompok sosial khas lokal Solo, sebab ia merupakan lembaga yang ada dalam skala nasional dan mempunyai jenjang-hirarkis dari tingkat pusat sampai RT (khususnya PKK), sedangkan RT-RW ada di diseluruh Indonesia. Hanya saja kelompok sosial ini termasuk kategori aktif, sehingga dimunculkan oleh informan, juga termasuk bagian kelompok sosial yang dilibatkan dalam uji coba yang dilakukan oleh Tim Pengembangan Katahanan Masyarakat. PKK-dasa wisma mempunyai jaringan hirarkis, ada pertemuan dan kegiatan rutin mingguan, anggotanya ibu-ibu yang dianggap mempunyai sikap feminis, sebuah watak yang dibutuhkan dalam upaya sosialisasi nilai-nilai kerukunan dan budaya hidup damai, dan latar belakang agama anggotanya heterogen. Sementara RT-RW mempunyai akses secara langsung kepada masyarakat yang berlatar belakang beragam karena ia memang kumpulan dari anggota bmasyarakat itu sendiri, sehingga ia dianggap lebih memahami budaya sekaligus menjadi bagian dari komponen budaya dari masyarakat itu sendiri. Karena itu selayaknya di tiap daerah sampai tingkat desa, setiap RT-RW memiliki karakter tersendiri, mempunya orientasi kegiatan yang khas setempat, selain yang bersifat nasional. Ini juga berlaku untuk PKK dan dasa wisma.

Ketiga, meskipun tidak ada tokoh panutan tunggal dan karenanya tidak ada aktor

lokal yang dominan, namun masih ada dua aktor lokal yang dianggap memiliki pengaruh berbeda-beda. Mereka adalah tokoh partai politik, dan kyai, sedangkan priyayi dan tokoh dari Kasunanan pengaruhnya sangat lemah, apalagi setelah konflik internalnya. Tokoh yang memiliki pengaruh cukup kuat adalah tokoh partai politik, kemudian kyai atau tokoh agama Islam.

Secara aktual, selama ini dalam proses pengendalian, dan penyelesaian konflik antarumat beragama, tingkat pemeranannya masih berbeda. Tokoh-tokoh parpol lebih banyak dilibatkan dalam proses penyelesaian konflik, sedangkan kyai belum banyak dilibatkan dalam pengendalian dan penyelesaian konflik.

Keempat, di kalangan masyarakat sering dilakukan acara upacara adat. Kegiatan

ini ada yang didanai oleh pemerintah setempat. Upacara adat dapat dibagi ke dalam 2 kelompok yaitu upacara adapt yang diselenggarakan oleh Kasunanan Surakarta, dan upacara adapt yang tumbuh dan diselenggarakan oleh masyarakat umumnya. Upacara

adat oleh kraton misalnya Jumenangan, Suro, Grebeg, Tahun Dal, Sekaten, Sriwedaren (Malem Selikuran). Adapun yang berkembang di masyarakat misalnya sesajen, nyadran, padusan

Upacara adat yang diselenggarakan kraton tersebut dapat dijadikan sebagai instrument dalam pengendalian konflik berupa sosialisasi tentang hidup damai dan rukun, walaiupun sebagian sumber upcara tersebut berupa paduan Jawa-Islam, namun yang hadir berasal dari latar belakang yangb beragam. Hanya saja potensi ini selama ini belum banyak diperankan karena ada kendala ‘pakem’ dari Kraton, dan karenanya perlu pendekatan kepadanya agar menjadi wadah sosialisasi yang efektif tentang hidup damai dan rukun antarkelompok.

Semua upacara adat yang diselenggarakan kraton punya potensi yang sama untuk dikembangkan. Adapun yang berlangsung di di kalangan masyarakat umumnya adalah nyadran dan nyekar, sedangkan padusan tidak dianggap potensial karena dilakukan di luar Solo dan bertentangan dengan paham keagamaan sebagian kelompok masyarakat (muslim).

Adapun upacara lingkaran hidup mulai dari kelahiran sampai kematian dapat dijadikan sebagai media pengendalian konflik antarumat beragama yaitu sebagai wadah interaksi antarumat beragama. Sebab dalam upacara-upacara tersebut, termasuk upacara slametan setelah kematian, yang diundang dan yang hadir berasal dari orang-orang yang berbeda agama.

Tabel 1: Status Komponen Budaya Lokal Status

Komponen Budaya Potensial Aktual Inpotensial Sos/PB. Int. Sos./PB Int. Sos./PB Int.

Nilai-nilai:

1.Teposelira 2. Sambatan 3. Gotong royong 4. Alon-alon waton klakon

+ + + - + Kelompok sosial 1. Trah 2. PKK/Dasa Wisma 3. RT-RW 4. Gotong royong + + + -+ + + - - + Aktor lokal: 1. Tokoh Parpol 2. Kyai 3. Kasunanan + + - + Upacara Adat: Dilaksanakan kraton/Pemkot + +

Dilaksanakan masyarakat pacara lingk.hidup: 1. Kelahiran- kematian + - +

Keter.: Sos.=Sosialisasi Int.=Interakasi PB=Pedoman Bersama

Berdasarlam evaluasi tersebut dapat disimpulkan bahwa komponen budaya dalam pengendalian konflik di daerah ini lebih banyak berbasis kepada kelompok mayoritas suku. Artinya modal yang dimiliki dan didasarkan atas budaya dominan yaitu suku Jawa, misalnya komponen nilai-nilai yang tercantum dalam beberapa ugeran, dan upacara adat yang berkembang di masyarakat umum.

Sementara dalam upacara adat, yang diselenggarakan kraton terjadi akulturasi antara budaya Jawa dan agama mayoritas (Islam), termasuk dalam upacara lingkaran hidup. Dalam komponen lembaga sosial dan aktor lokal lebih banyak didasarkan atas budaya modern karena yang terkuat adalah tokoh parpol, meskipun ada yang didasarkan atas budaya kelompok agama mayoritas yaitu kyai

2. Fungsi Komponen Budaya dalam Pengendalian Konflik

Yang dimaksud fungsi di sini adalah konstribusi yang diberikan dan disediakan oleh setiap komponen budaya dalam proses pengendalian konflik antarumat beragama. Fungsi komponen budaya tersebut dalam pengendalian konflik dipilah ke dalam tiga hal yaitu: sebagai pedoman bersama, instrumen sosialisasi hidup rukun dan damai, dan wadah interaksi antarorang yang berbeda agama. Dari keempat komponen budaya terdapat perbedaan fungsi masing-masing.

Fungsi nilai-nilai budaya yang terdapat dalam semua ugeran di Solo seperti teposelira, sambatan dan gotong royong pada intinya berfungsi sebagai pedoman bersama dari masyarakat tanpa mengenal perbedaan latar belakang lapisan sosial, agama, dan lainnya.

Kelompok-kelompok sosial yang potensial sebagai pengendali konflik yaitu trah berfungsi sebagai wadah sosialisasi dari nilai-nilai tentang hidup rukun. Trah juga dapat berfungsi sebagai media interaksi dan komunikasi antarorang yang berbeda agama, khususnya dari kalangan orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan. Hal ini berlaku juga bagi PKK-dasa wisma dan RT-RW. Walaupun bukan khas Solo namun karena lembaga-lembaga ini langsung berhubungan dengan anggota masyarakat dengan

segala budaya yang dimilikinya, maka ia dapar dijadikan sebagai wadah yang potensial untuk dua hal sekaligus yaitu sosialisasi dan interaksi antarorang yang berbeda agama.

Sementara aktor lokal seperti tokoh parpol dan kyai lebih berfungsi sebagai subyek pemberi sosialisasi tentang nilai-nilai lokal dan hidup rukun kepada masyarakat. Dalam hal ini ke depan kedua tokoh lokal tersebut perlu diberikan media/wadah yang dapat mempertemukan secara lebih intensif, dan mempertahankan media yang sudah ada. Untuk kasus Solo karena pada komponen kelompok sosial muncul untuk memerankan kelompok PKK-dasa wisma, dan RT-RW, maka sangat relevan untuk memerankan juga tokoh dari lembaga-lembaga tersebut, masing-masing mewakili dari pihak wanita, dan lembaga pada level bawah. Tokoh-tokoh ini dapat dianggap potensial dan penting karena tokoh-tokoh besar yang ada di Solo lebih bersifat berlaku untuk kelompok agama masing-masing, kyai yang ada hanya berpangaruh kuat di kalangan (sebagian) umat Islam khususnya Islam santri, sedangkan tokoh parpol lebih banyak pendekatan politik praktis yang justru potensial menjadi sumber konflik itu sendiri. Sementara tokoh-tokoh dari PKK-dasa wisma, RT-RW dapat menaungi semua kelompok umat beragama.

Upacara adat mempunyai fungsi yang berbeda-beda, perbedaan ini terutama tergantung kepada pelaksannya. Di Solo upacara adapt lebih dominan yang diselenggarakan oleh Kraton, meskipun ada juga upacara yang berkembang di masyarakat. Upacara adat yang diselenggarakan kraton, meskipun ada yang paduan Jawa-Islam namun dapat diperankan dalam dua hal sekaligus yaitu sebagai wadah interaksi antarumat beragama dan sosialisasi nilai-nilai rukun. Sebab peserta dalam acara tersebut selain terdiri dari orang yang beragama Islam juga umat agama lain. Hal yang sama dapat diterapkan pada upacara kirab budaya yang diadakan tiap tahun sekali, khususnya dalam memperingati hari jadi Kota Solo.

Adapun upacara yang berkembang di masyarakat umumnya berfungsi sebagai wadah sosialisasi nilai-nilai tentang hidup rukun kepada umat beragama masing-masing, misalnya dalam acara nyadran-nyekar. Acara nyadran dan nyekar ini walaupun dalam sejarahnya bersumber dari tradisi Jawa-Islam, namun saat ini dilakukan juga oleh agama lain seperti Katolik.

Upacara lingkaran hidup, mulai dari kelahiran sampai kematian dapat berfungsi sebagai wadah interaksi antarumat beragama, dan dapat juga dikembangkan sebagai wadah sosialiasasi nilai-nilai kerukunan.

Tabel 2: Fungsi dan Sumber Kebudayaan Komponen Budaya Lokal

Komponen Budaya Fungsi Berbasis

Kepada Pedoman Sosialisasi Interaksi

Nilai-nilai: 1.Teposelira 2. Sambatan 3. Gotong royong + + + Suku mayoritas Kelompok sosial 1. Trah 2. PKK/Dasa Wisma 3. RT-RW 4. Gotong royong + + + - + + + + Suku mayoritas Nasional Nasional Suku mayoritas Aktor lokal: 1. Tokoh Parpol 2. Kyai 3. Tokoh wanita (PKK) 4. Ketua RT-RW + + + + Nasional Agama mayoritas Nasonal Nasional Upacara Adat: 1. Dilaksanakan kraton 2. Dilaksanakan masyarakat pacara lingk.hidup: . Kelahiran- kematian + + + - + Suku mayoritas Suku mayoritas- agama global Suku mayoritas– agama global c. Mekanisme

Penerapan salah satu atau semua komponen budaya tersebut dalam proses pengendalian konflik antarumat beragama dibagi ke dalam 2 cara yaitu mandiri dan integrasi.

Pertama, mekanisme mandiri yaitu komponen-komponen budaya lokal menjadi

instrumen yang diterapkan dengan utuh dan secara mandiri. Misalnya pemanfaatan nilai-nilai lokal oleh kyai, tokoh parpol, dan tokoh RT-RW dan wanita dalam kegiatan kelompok sosial yang potensial menjadi pengendali konflik khususnya melalui kegiatan trah dan upacara adat yang berkembang di masyarakat dan lingkaran hidup, termasuk dalam kegiatan PKK-dasa wisma.

Kedua, mekanisme integrasi yaitu satu atau lebih komponen budaya lokal

diintegrasikan ke dalam proses pengendalian konflik. Misalnya sosialisasi nilai-nilai atau ugeran yang ada oleh selain aktor-aktor di atas melalui berbagai kesempatan (seperti melalui pelatihan, workshop), dan sebaliknya sosialisasi dan pengkajian tentang potensi konflik antarumat beragama (prasangka antarkelompok umat, misiologi agama (khususnya Kristenisasi), kesejangan sosial-ekonomi, dan Islam konsisten) oleh aktor-aktor lokal yang ada. Bahkan memerankan mereka dalam FKUB yang dibentuk pemerintah, dalam rangka

sosialisasi nilai-nilai lokal yang ada sebagai pengukuhan ajaran agama yang berkaitan dengan kerukunan antarkelompok. Selain itu dapat juga berupa pemanfaatan kelompok sosial dan upacara sebagai wadah sosialisasi nilai kerukunan oleh aktor lain.

Dari kedua pola mekanisme tersebut pola yang bersifat integratif dianggap lebih tepat untuk penerapan model pengendalian konflik antarumat beragama ke depan Hal ini karena dalam masyarakat modern pola interaksi antarorang dan kelompok semakin dinamis dan menyebar, apalagi dalam sebuah kelompok masyarakat plural saat ini.

H. Model Penyelesaian Konflik Berbasis Budaya Lokal

Uraian tentang perumusan model ini (akan) didasarkan atas 2 hal: (1) rumusan yang disusun peneliti berdasarkan atas temuan-temuan penelitian tahun pertama dan kedua, dan jawaban kritis serta kesepakatan para informan atas rumusan yang disusun peneliti. Dalam setiap penyelesaian konflik antarumat beragama berbasis budaya lokal seharusnya memperhatikan beberapa komponen yaitu: karakter konflik, pengalaman penyelesaian konflik masa lalu sebagai dasar, pemanfaatan budaya lokal

1. Memperhatikan karakter konflik

Karakter konflik terutama terkait dengan jenis, sumber konflik, dan subyek berkonflik. Jenis konflik di Solo berupa konflik ide dan gerakan massa. Sejauh menyangkut konflik antarumat beragama selama priode era reformasi tidak ada konflik yang signifikan sebelumnya. Subyek berkonflik melibatkan elit dan massa umat agama Islam dan elit agama Kristen, khususnya dari pengelola radio Kristen dan pendeta Wilson. Penyebab atau pemicu konflik adalah pelecehan (tokoh) agama oleh elit kelompok agama minoritas. Adapun sumber konflik karena adanya salah paham antarbudaya atau prasangka negative dari masing-masing kelompok. Selain itu karena adanya misiologi agama kelompok minoritas yang dianggap agresif, dan mumculnya kelompok Islam konsisten yang punya kepekaan terhadap misi agama lain.

2. Pengalaman penyelesaian konflik masa lalu sebagai dasar

Pengalaman penyelesaian konflik antarumat beragama yang jadi fokus penelitian ini harus dipelajari dan dievaluasi. Sebagaimana dimaklumi penyelesaian konflik antarumat beragama di kota Bengawan ini lebih cenderung menggunakan cara-cara struktural kekuasaan dan belum memanfaatkan cara-cara kultural. Cara struktural adalah cara yang dipakai oleh aparat dan lembaga pemerintah setempat atau pihak keamanan dalam menyelesaikan konflik. Karenanya pendekatan yang digunakan bersifat tidak

langsung berupa mediasi dan fasilitasi yang dilakukan pemerintah. Alasannya, pemerintah belum melihat adanya aktor yang dapat menjadi figure panutan seperti Kraton di Yogyakarta, juga karena tokoh seperti partai politik, khususnya parpol Islam, terfragmentasi pada salah satu pihak yang berkonflik. Untuk itu mereka lebih berperan sebagai peredam emosi massa masing-masing supaya mampu menahan diri, bukan sebagai penengah atau mediator.

Sementara aspek penegakan hukum atau aturan sudah dilakukan, namun tetap didasarkan atas prinsip musyawarah.

3. Pemanfaatan budaya lokal.

Berdasarkan kepada kedua aspek tersebut langkah selanjutnya adalah mencari posisi dan peran yang dapat dimainkan komponen-komponen budaya lokal yang relevan.

Pertama, secara umum alasan-alasan pemanfaatan komponen-komponen budaya lokal

dalam penyelesaian konflik sama dengan dalam alasan-alasan yang yang tercantum dalam pembahasan pengendalian konflik. Walaupun begitu ada perbedaannya, dalam konteks penyelesaian konflik, status dan fungsi komponen-komponen dapat berbeda dengan yang ada dalam pengendalian konflik.

Kedua, dalam kasus Solo aktor-aktor lokal besar yaitu aktor-aktor yang mempunyai

lingkup pengaruh luas di tingkat kota Solo dan lintas kelompok agama belum muncul. Misalnya tokoh parpol, terutama yang berazaskan dan berbasis massa umat agama, terfragmentasi dalam kelompok yang berkonflik, hal ini dapat dilihat ketika konflik yang terjadi tahun 2001. Begitu juga dengan (sebagian ) kyai atau tokoh agama mayoritas justru terlibat konflik, terutama dari tokoh dari kelompok Islam-konsisten. Sementara untuk tokoh dari Kraton justru terlibat konflik internal yang berkepanjangan sampai sekarang, selain tokoh Kraton dianggap tidak dekat dengan tokoh agama.

Walaupun begitu bukan berarti aktor-aktor lokal tersebut tidak dapat diperankan sebagai bagian dari penyelesai konflik. Tokoh parpol Islam atau berbasis massa muslim dapat menjadi peredam sekaligus penyalur aspirasi dari kelompok yang seideologis. Hal ini secara aktual telah dilaksanakan ketika konflik kelompok Islam dan Kristen. Dengan peran seperti itu massa dapat dikendalikan untuk tidak melakukan sesuatu yang anarkis, dan mampu diarahkan ke penyelesaian secara hokum. Dalam hal ini tokoh parpol lebih berfungsi sebagai peredam dan penyalur arpirasi bukan sebagai fasilitator dan mediator.

Hal yang sama berlaku bagi tokoh agama dari Islam konsisten. Dalam konteks tokoh agama ini sebanarnya dapat dilakukan alternatif: (1) Tetap memanfaatkan mereka

dan menjadikannya sebagai negoisator dengan tokoh agama Kristen sehingga melahirkan kesepakatan dengan didasarkan atas sumber konflik atau solusi atas akar masalahnya. (2) jika memang tidak memungkinkan dapat memanfaatkan tokoh-tokoh Islam lain yang seideologis/sepaham agamanya dengan kelompok Islam yang berkonflik, atau tokoh Islam lain yang paham keislamannya berbeda dengan kelompok Islam yang berkonflik dengan persetujuan dari kelompok terakhir tersebut.

Suatu hal yang menarik untuk dikaji adalah tokoh dari trah heterogen yaitu trah yang anggotanya terdiri dari penganut beragam agama. Sebagaimana dikemukakan dalam pembahasan tentang pengendalian konflik, di Solo trah heterogen cukup berkembang. Karena itu sangat wajar juga untuk melibatkan tokoh-tokohnya dalam proses penyelesaian konflik antarumat beragama. Mereka dapat diperankan sebagai mediator atau fasilitator. Ada 2 alternatif pola pemeranan mereka. (1) jika ada anggotanya yang berbeda

Dalam dokumen KONFLIK UMAT BERAGAMA DAN BUDAYA LOKAL (Halaman 103-116)