• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENUNGGU perombakan cabinet, boleh dikatakan ibarat menunggu godot: kedengaran suaranya saja tetapi yang “dibicarakan” tidak kelihatan.

Pengalaman sebelumnya, perombakan cabinet di jaman Presiden Jokowi itu, juga mempunyai gaya yang sama. Kebanyakan orang bicara tetapi harus bersabar untuk menunggu. Perombakan cabinet seolah menjadi drama menarik, ditunggu masyarakat. Macam-macam alasan mereka menunggu, mulai dari alasan sekedar melihat wajah baru yang muncul sampai dengan memperkirakan kualitas mereka dalam memerintah kelak. Terhadap rencana perombakan kali ini, sudah demikian lama isunya beredar di jagat bhuana Indonesia, mulai dari media sosial sampai dengan media warung. Bahkan dimulai sejak ramai-ramainya partai politik yang dulu berseberangan dengan Jokowi, kini tanpa malu-malu mendekat.

Terhadap fenomena ini, ada dua pandangan yang harus kita lihat. Dari sisi kebebasan bicara dan berpendapat, nampak bahwa pola komunikasi rakyat sudah sangat jauh berubah. Perubahan itu sampai melampaui target sasaran. Padahal sasaran yang hendak dituju masih belum bergerak. Sasaran ini adalah anggota kabinet yang dibidik dan presiden sebagai pelakunya. Jadi, kebebasan berbicara di Indonesia sudah demikian dijamin oleh pemerintah, sampai-sampai tidak memerdulikan apa yang dibicarakan.

Namun yang kedua, dari sisi sosiologi sejarah, ada yang mesti dikhawatirkan dari perilaku sosial masyarakat Indonesia ini. Diskusi dan perbincangan tentang perombakan cabinet ini justru muncul di ranah elit, dan boleh dikatakan massif. Banyak pihak membicarakannya, melalui media sosial dan dijawab oleh mereka-mereka yang juga mempunyai media yang sama. Tidak itu saja wacana pergantian cabinet itu sudah melebar ke media masa elektronik dan ditanggapi oleh mereka-mereka yang paling tidak sudah menamatkan studi di perguruan tinggi. Nama-nama mereka yang masuk jajaran calon menteri baru dan menteri yang akan diapkir, juga sudah tersusun rapi melalui media sosial. Tidak bisa lain, nama-nama seperti ini dibocorkan

atau disebarkan oleh orang-orang yang mempunyai pengetahuan cukup tinggi.

Padahal presiden sendiri masih dingin-dingin saja, masih tidak menanggapi serius rencana pergantian cabinet tersebut. Malah Joko Widodo secara tenang duduk bersama petani melihat hama ulat yang menyerang pertanian di Brebes, Jawa Tengah.

Fenomena munculnya gossip seperti ini, cukup mengkhawatirkan keadaan sosial Indonesia karena mencerminkan tidak adanya perubahan sosial berarti yang menyertai kebebasan berbicara (reformasi) yang digulirkan sejak tahun 1998. Ungkapan wacana yang berseliweran di media sosial, televise, bahkan koran itu tidak ada bedanya dengan gosip yang dilakukan oleh masyarakat tradisionil di masa lalu, di masa pra kemerdekaan Indonesia maupun saat kemerdekaan Indonesia berusia 45 tahun. Gosip adalah bincangan anggota masyarakat yang tidak mempunyai sumber yang jelas, sengaja diperbincangkan untuk mengisi waktu lowong karena tidak ada pekerjaan. Bahkan di masa lalu, gossip muncul dan paling enak dibicarakan saat masyarakat mencari kutu. Gosip adalah berita yang tidak jelas, mencerminkan kecemburuan, dan di masa lalu terjadi karena masyarakat tidak banyak mempunyai akses informasi.

Berbagai informasi susunan cabinet baru ala Joko Widodo yang muncul di media sosial, berbagai perbincangan tentang pergantian cabinet sekarang itu, boleh diidentikkan dengan gossip. Tidak ada sumber yang jelas dari mana datangnya informasi tersebut. Dan actor yang melakukan penyebaran itu bisa jadi hanya iseng, mengisi waktu atau mencoba mengganggu pikiran orang lain. Bisa dibayangkan, gossip itu muncul justru di tengah jaman post modern, ketika dunia dudah diisi dengan berbagai informasi, temuan baru, sampai dengan jutaan data tentang Panama Papers. Juga gossip murahan seperti itu justru muncul di tengah masyarakat Indonesia yang kini banyak menyandang title strata tiga atau strata dua, apalagi strata satu (sarjana). Inilah anomali perkembangan sosial Indonesia yang sama sekali tidak mencerminkan kemodernan, tidak mencerminkan adanya upaya untuk bergerak dari masa tradisional menuju masa modern, apalagi post modern. Gosip yang muncul tentang susunan anggota cabinet Indonesia ini benar-benar mirip perbincangan orang di masa lalu yang sedang mencari kutu.

Dalam perbincangan gossip tradisional, selalu ada pihak yang

disalahkan dan direndahkan. Tujuannya tidak lain untuk menempatkan posisi pribadi diatas obyek yang digosipkan tersebut. Dalam arti, si pembicara gossip berupaya melindungi diri menempatkan dirinya diatas obyek gossip.

Ini adalah cara murahan untuk melindungi kegagalan pribadi dalam menjalani kompetisi hidup. Dikaitkan dengan model tradisional tersebut, jika nanti benar-benar terjadi pergantian cabinet oleh Presiden Joko Widodo, maka dipastikan akan kembali terjadi gossip, adu wacana di media sosial tentang keburukan-keburukan anggota cabinet baru ini. Semakin jelas juga bagaimana kualifikasi kaum elit masyarakat yang suka berbicara seenaknya tersebut.

Ada beberapa cara untuk menekan kebiasaan bergosip di masyarakat tersebut. Yang pertama tentu saja memberikan pengetahuan yang jelas kepada masyarakat tentang berbagai duduk persoalan. Yang kedua , memberi penasihatan bahwa apa yang dibicarakan itu tidakk benar. Dan ketiga, apabila keduanya itu tidak berhasil, adalah dengan membiarkan saja gossip berjalan, lalu memberikan keterangan yang benar. Cara ketiga ini bukan berarti menyerah pada beredarnya gossip, akan tetapi memberikan pendidikan kepada masyarakat tentang realitas sosial yang terjadi.

Upaya ini sesungguhnya sudah dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dengan stafnya. Keterangan presiden tentang reshuffle itu sudah diberikan, bantahan tentang pejabat yang hendak diganti juga sudah dilakukan. Berbagai informasi tentang pergantian cabinet juga telah diberikan. Maka, yang terakhir adalah dengan membiarkan saja gossip itu berjalan. Akan tetapi, kalaupun kemudian pergantian cabinet memang hendak dilakukan, maka sebaiknya jangan terlalu lama mengambangkan suasana ini di masyarakat agar berbagai gossip itu tidak berjalan semakin ngawur. Sebagai sebuah kelompok masyarakat di dalam satu negara, elit-elit Indonesia harus mampu menyumbangkan pengetahuan yang lebih baik untuk disebarluaskan kepada anggota masyarakat yang lain. Sangat saying kemudian apabila kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang ada di dalam genggaman tengan sekarang, hanya diisi oleh gossip politik yang tidak jelas juntrungannya.

Bahwa berbagai stagnasi politik yang terjadi sekarang, boleh jadi juga disebabkan oleh tidak bagusnya cara masyarakat berbicara, menyampaikan pesan kepada pihak lain. ****

Ditulis, 11 April 2016