• Tidak ada hasil yang ditemukan

KRITIK awal kepada pemerintahan Presien Joko Widodo (Jokowi) adalah kelambatannya dalam menyusun dan memilih anggota kabinet.

Seperti biasa, para pengritik ini kebanyakan dari mereka yang sebelumnya berseberangan dari pemikiran dan ide-ide praksis politik Jokowi. Apabila dibandingkan dengan presiden sebelumnya, kelambatan menyusun kabinet sampai sekitar 3 x 24 jam setelah pelantikan, memang termasuk lama. Akan tetapi, normanya presiden memang dibolehkan melakukan penyusunan (dan perenungan) kabinet itu sampai dengan waktu dua minggu. Dengan demikian, sesungguhnya tidak apa-apa apabila presiden memakai rentang waktu tersebut memilih calon menteri yang akan mendampinginya memerintah. Jokowi pun tahu persoalan ini. Terlihat misalnya dari “kecamannya” kepada pers yang memuat terlebih dahulu nama-nama menteri dan kemudian ternyata itu salah.

Kurang lebih Jokowi menggarisbawahi bahwa tidaklah etis menyebutkan nama-nama demikian kepada umum karena hal itu menyangkut nama dan prestise perseorangan. Etika menjadi perhatian dari presiden Indonesia.

“Hardikan” Jokowi kepada pers itu kelihatan kecil, tetapi mempunyai makna tersembunyi yang penting bagi masyarakat. Inti dari pesan itu adalah etika dan saling penghargaan kepada manusia dan kemanusiaan. Etika merupakan persoalan sosial mendasar bagi bangsa Indonesia saat ini, di kala menghadapi berbagai tantangan jaman. Dalam konteks hubungan sosial, etika itu ada pada ranah penghargaan dan pengakuan kepada pihak lain, termasuk lingkungan. Karena masuk ke dalam ranah penghargaan maka etika itu menjadi faktor menentukan bagaimana kehidupan sosial itu berlangung. Pada intinya, hubungan sosial akan bisa berjalan mulus, dan stabilitas terjamin kalau ada saling penghargaan tersebut. Landasan dasarnya adalah pengetahuan.

Masalah yang kemudian menjadi ganjalan di Indonesia, sejujurnya boleh dikatakan justru orang-orang yang memiliki pengetahuan itulah yang tidak mampu memberikan penghargaan kepada pihak lain. Malah, mereka yang mempunyai pengetahuan tingkat tinggi, tidak mampu memberikan

penghargaan dan menjadi pelanggar etika bagi masyarakat. Dalam bidang politik, secara mudah bisa diambil contoh itu. Reformasi tahun 1998 jika dicari dari konteks inipun sesungguhnya bisa terlihat bagaiamana kurangnya perhargaan yang bisa disumbangkan kepada masyarakat. Ketika reformasi sedang ada di puncak-puncaknya, mahasiswa sampai menaiki gedung MPR/

DPR tanpa tahu kalau kekuatan gedung itu terbatas. Pantas apabila kemudian ada peringatan dari arsitek pembangun gedung tersebut. Yang juga kurang diketahui adalah penghargaan terhadap masa depan politik. Pada reformasi tahun 1998, kelihatan bagaimana prediksi budaya politik Indonesia tidak dipahami secara bagus oleh para tokoh-tokoh reformasi itu sehingga ketika sekarang dinilai menyimpang, tiba-tiba muncul pertentangan dengan berbagai varian seperti memilih presiden lewat MPR, kembali ke UUD 45, atau pemilihan bupati lewat DPRD. Mereka tidak mau menghargai budaya politik Indonesia yang menyukai ketenangan dan kesederhanaan pada sosok. Semuanya ini mempunyai kaitan dengan tidak adanya penghargaan-penghargaan tersebut sehingga etika dilanggar. Dan itu justru dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai pengetahuan banyak. Sudah jelas juga apabila dilihat bagaimana dengan penembakan yang terjadi di Jembatan Semanggi tahun 1998, penculikan tokoh-tokoh dan sebagainya. Ini semuanya merupakan pelanggaran etika.

Pada bidang sosial yang lain, korupsi jelas merupakan wujud dari ketidakadaan penghargaan kepada usaha, kepada kerja keras, prestasi atau kepada karya. Justru ketidakadaan penghargaan kepada hal-hal inilah yang membuat negara menjadi bangkrut di segala bidang, mulai dari PSSI U-19 yang gagal, Asian Games 2014 yang terpuruk sampai dengan begitu banyaknya penganguran di Indonesia. Banyaknya anak muda yang sok tahu memakai ponsel sambil berkendara, juga tidak lepas dari rendahnya kesadaran dan etika berperilaku tersebut.

Dalam kerangka “gaduh” menjelang pengumuman kbinet ini, sesungguhnya juga kita lihat tidak adanya penghargaan kepada waktu, hak dan norma presiden untuk menyusun kabinet secara baik (menurut pandangan Jokowi). Cukup banyak komentar yang muncul mengecam dan tidak sabar dengan cara Jokowi melakukan pilihan kepada menteri. Dan itu jutsru dilakukan oleh mereka-mereka yang mempunyai level pengetahuan

tinggi. Padahal, yang paling nyata bahwa presiden mempunyai kesempatan selama dua minggu untuk menyusun kabinetnya. Fakta inilah yang mestinya dilihat oleh para pengecam tersebut untuk memelihara situasi sosial yang sudah mendukung ketertiban dan kenyamanan (kondusif) setelah kehadiran Prabowo di Gedung MPR saat pelantikan Jokowi.

Ada dua hal yang mesti dipertimbangkan manakala melihat penyusunan anggota kabinet ini agar bisa memberi penghargaan kepada Presiden. Yang pertama, diskusi yang dilakukan kepada KPK jelas diperlukan dan merupakan penghargaan kepada lembaga tersebut untuk ikut serta memberikan sumbangan terbaik kepada negara ini untuk mendapatkan orang-orang terbaik, tidak korup dan berintegritas tinggi. Bagi Jokowi hak prerogatifnya jelas masih melekat karena KPK hanya memberikan semacam nasihat kepada para calon menteri tersebut. Warna merah dan kuning itu hanyalah rambu bagi Jokowi untuk pemilihannya. Jadi keberadaan KPK justru menambah positifnya hasil pemilihan.

Kedua, tantangan ke depan sangat besar bagi Indonesia yang sekarang berada dalam sorotan dari berbagai pihak. Di kalangan internal sendiri (dalam negeri) kekhawatiran muncul karena rivalitas antara eksekutif dan legislative, masih belum surut benar. Di kalangan luar negeri, para investor masih menunggu-nunggu bagaimana wajah pemerintahan Jokowi ke depan.

Apalagi kemudian beberapa menterii di jaman Susilo Bambang Yudoyono telah masuk kedalam hitungan koruptor. Maka pantaslah kemudian dengan pertimbangan tersebut, pemilihan menteri ini menjadai agak lama demi mendapatkan orang-orang yang tepat. Jadi, memang semuanya logis. Harus sabar menanti agar jalannya negara bisa berjalan lebih baik. ****

Ditulis, 23 Oktober 2014.

JALAN TENGAH AGAR SEMUANYA