• Tidak ada hasil yang ditemukan

K

EPEMIMPINAN Indonesia mempunyai karakter tersendiri, seperti juga halnya dengan gaya yang diterapkan oleh negara-negara lain. Demikian juga halnya dengan sistem demokrasi yang diterapkan di Indonesia. Sebagai sebuah sistem politik dan ketatanegaraan, demokrasi merupakan sistem yang paling baik apabila dibandingkan dengan yang lain, semisal kerajaan atau komunis. Salah satu yang jarang (mungkin tidak pernah) dikemukakan para akademisi, adalah kelenturan sistem demokrasi itu sendiri. Artinya sistem itu bisa dipakai negara dengan penganut agama apapun, dengan kondisi sosial yang multiras, multibudaya dan bahkan komunispun memakai demokrasi sebagai praktik ketatanegaraan. Korea Utara misalnya mempunyai nama resmi, Republik Rakyat Demokratik Korea. Dengan konteks demikian, di Indonesia pun sistem ini dapat diterapkan juga.

Kelenturan dari sistem tersebut dapat dilihat secara lebih mudah karena nenerapa karakter dari demokrasi. Yang pertama, ia menyerap aspirasi dari rakyat. Di dalam hal ini, ada multimanfaat dan sentuhan yang dapat dilihat.

Dari sisi masyarakat, mereka merasa mampu menyuarakan aspirasinya karena dibolehkan bersuara dan memberikan pendapat. Dari sisi pemerintah justru mendapat masukan dan memberikan pembaruan dalam mengelola sistem ketatanegaraan. Arah manfaat itu dua arah, dan secara sosiologis ini merupakan interaksi antara pemerintah-masyarakat atau negara-masyarakat.

Interaksi merupakan modal sosial dalam hubungan antara negara-pemerintah dan masyarakat. Modal itu dalam bentuk sumber daya yang bisa berwujud rasa percaya diri, rasa manfaat bagi kedua belah pihak.

Kedua, demokrasi itu menyetarakan posisi bahkan status. Seluruh masyarakat posisinya sama di dalam sistem ini dan diakui oleh konstitusi.

Karena posisinya sama, maka status sosial pun dapat dileburkan secara lebih mudah. Status sosial itu sulit dihindari dalam sistem masyarakat dimanapun juga, karena faktor ekonomi, budaya, pendidikan, kelahiran dan sebagainya ikut berpengaruh di dalamnya. Akan tetapi karena sistem demokrasi

memungkinkan bagi setiap anggota masyarakat untuk “menyamakan” dirinya, maka status sosial itu bisa lebur atau saling bergeser. Seseorang berhak atas pendidikan yang sama. Maka, dengan konsep tersebut orang yang sebelumnya miskin dimungkinkan menjadi kaya sehingga status sosialnya berupah. Orang yang mempunyai kemampuan berbicara bagus, akan dapat menjadi politisi yang membuat ststus sosialnya juga berubah. Demikian seterusnya.

Ketiga, demokrasi itu mengakui kelemahannya sendiri. Ini bisa dilihat bahwa dengan penerimaan terhadap kritik, demokrasi itu mengakui ada kelemahan di dalamnya. Sejarah kemudian memberikan petunjuk bahwa perlindungan kesehatan kepada pegawai, kenaikan gaji berkala, pemberian bantuan rumah, sampai dengan penyediaan ruang menyusui di kantor, merupakan sumbangan pemikiran masyarakat yang kemudian diterapkan di banyak negara-negara demokrasi.

Sudah jelas juga, cara mengganti pemimpin, keempat, menjadi kelenturan tersendiri bagi sistem demokrasi. Cara pergantian kepemimpinan ini merupakan keunggulan telak dari sistem demokrasi dibanding dengan sistem kerajaan penuh misalnya. Siapapun boleh menjadi pemimpin asal mendapatkan kepercayaan dan dibuktikan kemampuannya oleh masyarakat.

Masih banyak sifat-sifat lentur dari demokrasi yang memungkinkannya untuk masuk dan diterapkan pada berbagai negara. Tentu saja juga demokrasi mempunyai kelemahannya sendiri. Artinya, demokrasi memerlukan pengetahuan dan kecerdasan sehingga pemimpin terpilih, baik tingkat pusat maupun daerah, sangat besar potensinsinya keliru sebagai pimpinan.

Jika rakyatnya kurang berpendidikan, mudah disuap, atau mudah berubah pendiriannya, tidak akan mungkin bisa mendapatkan pemimpin yang baik.

Indonesia tidak keliru memilih sistem demokrasi ini sebagai tatakrama untuk menjalankan pemerintahan. Sejarah pembentukan negara Indonesia, jelas dibentuk berdasarkan asas-asas demokrasi itu. Bahwa rakyat bersuara, itu jelas dan terlihat dari berbagai unjuk pendapat yang dilakukan mereka manakala menuntut kemerdekaan. Tulisan, spanduk, pidato-pidato yang disampaikan oleh elit Indonesia di masa lalu terlihat pada masa perjuangan kemerdekaan menjelang proklamasi. Ini merupakan aspirasi rakyat yang pada waktu itu protes kepada Kerajaan Belanda. Gerbong kereta api, sisi kendaraan umum, sampai stasiun kereta, ditulisi tuntutan untuk kemerdekaan Indonesia.

Sudah jelas, tuntutan untuk penyetaraan derajat manausia itu menjadi tuntutan dari masyarakat Indonesia. Dan pernyataan sikap itu telah dicantumkan oleh masyarakat Indonesia pada pembukaan konstitusi dengan menyatakan ….bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala manusia…Ini sesungguhnya bukan pernyataan belaka tetapi sangat luhur yang keluar dari budaya, sosial dan sudah jelas sikap politik masyarakat Indonesia untuk seluruh dunia. Dan ketika Indonesia mampu menjadi anggota Perserikatan Bangsa Bangsa, maka sudah sederajatlah bangsa Indonesia itu.

Jauh sebelum pernyataan kesederajatan tersebut dituliskan, tinta emas dan lukisan nasionalis yang tiada taranya telah dicetuskan oleh para pemuda Indonesia tentang kesetaraan dan kesamaan derajat itu melalui Sumpah Pemuda Tanggal 28 Oktober 1928, bahwa Nusa, Bangsa dan Bahasa itu hanya satu, yaitu Indonesia!

Sejarah demokrasi Indonesia itu juga mengenal adanya kritik internal.

Cerita tentang perdebatan antara Hatta, Soekarno dan Syahrir sering diceritakan di masa kini. Meski mereka berdebat di dalam siding, mereka bersahabat sebagai manusia. Perdebatan itu adalah kritik terhadap masing-masing pihak. Barangkali itulah yang membuat jatuh bangunnya kabinet di masa Orde Lama. Tetapi jika dibaca dari sisi kritik demokrasi, maka itulah wujud dan sekaligus kelemehannya. Bahwa saking dibolehkannya kritik pada sistem demokrasi, ternyata membawa ketidakstabilan pada pemerintahan.

Akan tetapi, titik 5 Juli 1959 dapat dikatakan sebagai contoh demokrasi dan sekaligus model demokrasi yang berlaku di Indonesia. Dekrit presiden itu bukan sekedar pernyataan politik (dan mungkin pula kekuasaan), tetapi “kesadaran ‘sang’demokrasi”. Artinya, jatuh bangunnya kabinet sebelum munculnya dekrit itu, sidang konstituante yang berbelit-belit yang mengambil waktu lama serta gagal dalam membuat keputusan, serta demikian banyaknya paartai politik yang ada, menandakan bahwa demokrasi liberal yang diberlakukan di Indonesia ternyata tidak cocok. Bahwa kemudian Dekrit Presiden Soekarno itu mulus dan didukung presiden, inipun dapat dikatakan sebagai sebuah pengakuan bahwa demokrasi liberal itu mempunyai kelemahan dan harus dikritisi. Dekrit Presiden adalah puncak kritik tersebut dan kemudian menjadikan Indonesia menjadi demokrasi terpimpin. Diakui atau tidak itulah yang kemudian berlaku di Indonesia, sejak Dekrit Presiden

itou sampai kejatuhan Soekarno tahun 1966 berlanjut sampai kekuasaan Soeharto, sampai kejatuhannya tahun 1998. Dicermati lebih dalam, ternyata disini ada unsur kegotong-royongan dengan Soekarno sebagai pemimpin dan koordinatornya dan Soeharto juga mempunyai peran yang sama semasa berkuasa. Inilah yang barangkali kita sebutkan sebagai demokrasi “ala”

Indonesia, demokrasi yang lebih pantas di Indonesia.

Indonesia selalu menggelar pemilu, regular setiap lima tahun sejak tahun 1971 hingga sekarang. Ini adalah bagian dari demokrasi yang tidak dapat diingkari. Tetapi praktik demokrasi di Indonesia itu, haruslah dipimpin oleh orang kuat dan berpengaruh.

Tetapi selalu ada elemen budaya yang nyangkut di dalam demokrasi yang diterapkan oleh sebuah negara. Indonesia kiranya juga seperti itu. Latar dari masyarakat Indonesia adalah kerajaan, yang dipimpin oleh seorang raja. Maka, raja inilah yang harus kuat, tetapi dalam demokrasi, raja tidak boleh semena-mena. Di negara Barat, seperti Inggris, Belanda, Spanyol, juga di Timur seperti Jepang, Thailand, Malaysia, bahkan Singapura (pemimpin tertingginya adalah pendiri atau trah pendiri negara itu), orang kuat tetap diperlukan, yaitu raja sebagai pemersatu rakyat sekaligus penstabil pemerintah. Tetapi peran raja dibatasi sebagai sebuah simbolik oleh konstitusi dan pemerintahan dipimpin oleh seorang perdana menteri.

Indonesia tidak mempunyai tradisi seperti itu setelah merdeka. Orang kuatnya bukanlah raja, tetapi orang berpengaruh. Dua yang paling awal adalah Soekarno sebagai proklamator dan Soeharto sebagai seorang jendral.

Merekalah yang mengendalikan demokrasi itu. Maka, ketika bertolak pandang dari persepsi itu, apa yang terjadi tahun 1998 boleh dikatakan kurang tepat untuk Indonesia. Jika boleh dikatakan, reformasi tahun 1998 itu cerminan dari demokrasi liberal, malah ditambah dengan yang lain, yaitu “kemarahan”!

Wajar kemarahan terhadap kekuasaan absolute selama tiga decade, tetapi akibat “marah” kebaikan-kebaikan terlupakan, misalnya Pelita atau malah demokrasi yang cocok untuk Indonesia. Bahkan sejak reformasi, sampai dua dasawarsa setelah itupun Indonesia masih belum mampu menebus janji reformasi sendiri, yaitu pemberantasan korupsi.

Maka, mulailah kemudian ada kesadaran secara pelan-pelan bahwa

reformasi terlalu kebablasan, kemudian ada wacana kembali menghidupkan pemilihan kepala daerah (bahkan pemilihan presiden) dengan perwakilan, menghidupkan lagi garis-garis besar haluan negara, memperkuat Pancasila dan seterusnya.

Tetapi dalam hal demokrasi “ala” Indonesia, kesadaran itu terlihat pada kepemimpinan Susilo Bambang Yudoyono. Satu yang kelihatan disini adalah bahwa Susilo Bambang Yudoyono sebagai figur sentral.Kesentralannya berbeda dengan apa yang melekat pada Jendral Soeharto atau Ir. Soekarno.

Susilo Bambang Yudoyono memang jendral, tetapi bukan pengendali kekuasaan. Ia juga bukan proklamator yang mempuyai kemampuan berorasi meledak-ledak dan membangkitkan semangat masyarakat. Titik sentralnya ada pada kharisma yang dimiliki. Jelas dia cerdas karena telah menjadi jendral militer, memangku jabatan militer yang strategis, juga pernah menjadi menteri. Tetapi pembawaannya yang tenang kalem, tidak emosional, berperawakan besar dan ganteng, menjadi sosok tersendiri dan kemudian membalut kharismanya itu sehingga berhasil menjadi presiden dua periode. Secara sederhana, keterpilihannya kemudian memperlihatkan bahwa kesederhanannya dan pembawaannya yang kalem, jujur dan sabar menjadi cerminan demokrasi yang diinginkan oleh rakyat Indonesia, bukan pada demokrasi yang grasa-grusu seperti demokrasi Barat yang bebas itu. Rakyat Indonesia tidak menyukai hal seperti itu. Jadi, pada sosok tokoh sentral inilah terbaca model demokrasi yang diinginkan rakyat Indonesia. Diri dan seluruh balutan yang ada pada sosok tersebut, menjadi cerminaan keinginan demokrasi yang menjadi cita-cita masyarakat Indonesia. Sosok sentral inilah yang kemudian “mengendalikan” demokrasi tersebut sesuai dengan budaya yang ada.

Maka, ketika kemudian Joko Widodo berhasil menjadi presiden, ada ketegasan dan pembaruan dari demokrasi “ala” Indonesia itu. Joko Widodo jelas bukan militer. Ia malah pedagang furnitur yang sukses, juga bukan seorang master atau doktor. Akan tetapi, kejujurannya, pembawaanya yang kalem dan sering menyentuh rakyat dengan blusukannya, menjadi kharisma tersendiri bagi masyarakat Indonesia untuk memilihnya menjadi presiden.

Dengan demikian, ada kemiripan anatara sosok Susilo Yudoyono dengan Joko Widodo dalam hal kharisma yang kemudian klop dengan keinginan sebagian

besar rakyat Indonesia, yaitu kalem, jujur, sederhana, sabar dan menyentyh rakyat. Itulah sosok aktor yang diinginkan oleh rakyat. Dan jika kemudian sosok ini diterjemahkan ke dalam model demokrasi Indonesia, wujudnya juga tidak berbeda jauh, yaitu sistem politik yang mampu memberikan kejujuran, keramahan, sopan, sabar, sederhana dan dekat dengan rakyat.

Sistem demokrasi tentu saja mampu memberikan wujud seperti itu, tetapi di Indonesia harus ada seorang aktor yang mengendalikan atau membentengi demokrasi itu dan itulah yang menjadi panutan rakyat. Sebagian besar masyarakat Indonesia tidak menghendaki demokrasi yang liberal, yang grasa-grusu yang praktiknya jauh dari budaya Indonesia.

Dua tahun pertama pemerintahan Joko Widodo pada masa periode pertama jabatannya (tahun 2014, seperti gugusan tulisan dalam buku ini ), secara sederhana dapat dipakai sebagai gambaran sederhana bagaimana praktik demokrasi “ala” Indonesia tersebut. Bahkan tercermin juga pada pemilihan presiden 2019-2024.

Pada awal-awal kemenangan Joko Widodo sebagai presiden tahun 2014, ia mendapat tantangan dan protes yang kuat dari kompetitornya.

Keabsahannya dipertanyakan dan kemudian perkara pemilu di bawa menuju Mahkamah Konstitusi. Ini boleh dikatakan sebagai bagian dari demokrasi bebas yang mirip dengan demokrasi liberal. Beberapa komponen masyarakat juga mempertanyakan tentang lamanya Joko Widodo dalam hal membentuk kabinet. Tetapi, secara sederhana, Joko Widodo mendatangi kompetitornya, berdialog dan kemudian mampu mendinginkan suasana. Diplomasi polos dan sederhana ini justru mencerminkan kesederhanaan tindak yang tidak saja diinginkan oleh rakyat, tetapi juga dapat mendinginkan emosi kompetitor.

Ketika kemudian suasana telah mulai mendingin, Joko Widodo mulai menerapkan strateginya, dengan kebijakan populis seperti meresmikan puluhan waduk yang ada di Indonesia. Waduk atau bendungan mempunyai peran sentral di dalam masyarakat Indonesia karena akan dapat melakukan pengairan di asawah secara lebih baik. Diplomasi dengan negara tetangga, termasuk menekan korupsi menjadi kebijakan selanjutnya. Upaya membiarkan competitor “rebut” dan kemudian menunggu surutnya hiruk pikuk, adalah sebuah kesabaran yang menjadi kunci pada politik di Indonesia. Fenomena politik menarik yang terjadi menjelang dua tahun jabatannya di tahun 2016

adalah bahwa Partai Golkar yang sebelumnya begitu kritis dan “tidak puas”

dengan Joko Widodo paad akhirnya juga ikut bergabung dengan pemerintahan.

Terkonsolidasilah kemudian kekuatan politik tersebut.

Fenomena itu juga terlihat di tahun 2019 ini. Semua masyarakat tahu bahwa sebelum dan setelah pemilihan presiden, kompetisi antara dua pihak, kelompok yang mendukung Joko Widodo dan yang mendukung Prabowo Subianto, rebut. Ribut dan pemojokan kepada Joko Widodo sebelum pemilihan umum, pada akhirnya toh juga tetap memenangkannya dalam kompetisi pemilihan presiden. Jelas disini, masyarakat memperlihatkan keinginan bahwa Indonesia tidak memerlukan demokrasi yang terlalu banyak protes. Jika kemudian kemenangan Joko Widodo digugat dengan adanya berbagai kerusuhan di Jakarta, toh juga pada akhirnya Prabowo Subianto bersedia ikut bergabung di perintahan. Inilah model gotong- royong pada pemerintahan Indonesia. Bersabar untuk merangkul musuh dan bergotong- royong untuk membangun negara. Inilah model demokrasi “ala” Indonesia.

Asal saja, ketika telah berhasil mengkonsolidasi kekuatan, tidaklah boleh membuat move macam-macam, meminta amandemen konstitusi agar presiden dapat menjabat sampai tiga kali. Ini namanya “momo”, rakus, “out of the box”, tidak sesuai dengan konstitusi dan bukan merupakan demokrasi

“ala” Indonesia.***