• Tidak ada hasil yang ditemukan

SETELAH KEKUATAN POLITIK RAMAI-RAMAI MERAPAT KE PEMERINTAH

SETELAH Golkar Munas Bali menyatakan bergabung dengan pemerintah, juga Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Djan Faridz melakukan tindakan yang sama, maka boleh dikatakan kekuatan pemerintah sudah “mutlak”

apabila dibandingkan dengan saat awal pemerintahan Joko Widodo. Sebaliknya membuat kekuatan Koalisi Merah Putih (KMP) menjadi relatif melemah karena hanya Partai Gerindra dan PKS yang masih secara de fakto di kubu tersebut. Partai Demokrat konon berada di tengah-tengah. Komposisi politik ini sesungguhnya mempunyai nilai ideal bagi pemerintah untuk menjalankan fungsinya. Sebab, lebih banyak kekuatan politik yang ada di pemerintahan, tetapi tetap memiliki “oposisi” dan “partai penengah”.

Idealisme pemerintahan adalah adanya komposisi seperti itu. Dalam konteks apa yang terlihat pada pemerintahan Joko Widodo sekarang, idelisme itu tergambarkan pada kekuatan politik yang bersumbu pada pemerintah dengan pengimbang yang juga berkualitas. Kekuatan Partai Gerindra dan PKS sebagai

“oposisi” memberikan nilai kritis yang sifatnya positif. Kedua partai tersebut mempunyai orang-orang yang kritis, cerdas, berani dan mampu memberikan input kepada negara dan masyarakat. Suara kritis yang dikeluarkan dari dua kubu itu tidak boleh disepelekan karena mempunyai banyak manfaat bagi perkembangan pemerintahan dan negara. Posisi tengah yang diambil oleh Partai Demokrat, boleh dimanfaatkan oleh pemerintah, terutama dalam hal sebagai pengimbang netral. Artinya posisi partai tersebut harus benar-benar netral, menyuarakan apa adanya dalam real politik maupun real sosial. Jika kekeliruan kebijakan pemerintah memang demikian adanya, maka Partai Demokrat tidak usah ragu-ragu mendukung dan menyuarakan apa yang dikritisi oleh “oposan”.

Sebaliknya apabila kritik itu hanya semata-mata untuk menjatuhkan pemerintah, Partai Demokrat tidak usah ragu pula mengritik balik apa yang disuarakan oleh PKS dan Gerindra. Semua akan diuntungkan dengan komposisi kekuatan politik Indonesia sekarang ini. Karena itulah kemudian, migrasi politik dari pihak “oposisi” menuju pemerintah itu sebaiknya stop saja sampai disini.

Apabila kelak Gerindra atau malah PKS ikut lebur ke pemerintah, maka bukan

saja akan menohok konsistensi dua pertain tersebut tetapi juga akan merugikan negara sendiri. Kekuatan kritis sebagai pengimbang pemerintah akan hilang.

Kekhawatirannya penggabungan mutlak itu ada dua. Bagi dua partai tersebut, kekuatan citranya pasti akan melemah karena sikap bergabung ke pemerintahan ini sangat bertolak belakang dengan semangat idealis masa lalu yang demikian getol menjadi oposan. Termasuk juga akan terbuka kelemahan dan kekalahan para pemimpin mereka karena kelihatan tidak mampu membaca arah politik masa depan. Malah bisa jadi dipandang sebagai partai politik yang lemah pendirian, padahal keduanya dipandang sebagai partai yang mempunyai rasa percaya diri yang kuat. Partai Demokrat juga harus menyimpan baik-baik posisinya seperti sekarang. Sekali bergeser dari posisi itu, maka partai yang sudah tidak sekuat pemerintahan SBY ini akan kembali merosot dan tertimpa tangga.

Kekhawatiran kedua adalah terhadap stabilitas pemerintah. Masuknya sebagian kekuatan Koalisi Merah Putih menuju kubu pemerintah ini secara samar-samar memperlihatkan bahwa ternyata banyak pihak memang menginginkan jabatan atau pengaruh yang ada di pemerintah. Atau jangan-jangan itu cerminan dari kondisi partai yang kolaps keuangan. Jika perkiraan ini benar, maka keberadaan pemerintah akan bahaya. Pemerintah akan dapat digerogoti oleh perebutan pengaruh dan politik. Bisa dibayangkan kemeudian, bagaimana jadinya pemerintah apabila semua komponen KPM masuk ke pemerintahan. Dalam pemerintahan, pengaruh dan politik itu ada pada posisi kabinet. Ini justru akan dapat membuat pemerintah mempunyai keinginan untuk gonta-ganti kabinet. Jelas bukan pemerintahan yang bagus apabila terjadi hal seperti itu. Kalau memang menginginkan pembiayaan partai, bisa-bisa anggaran negara akan mengecil lagi karena dana habis terhisap untuk pembiayaan partai. Karena itu, sebaiknya tidak lagi ada partai politik yang menyeberang ke pemerintahan.

Seharusnya, dengan melihat fenomena partai politik akhir-akhir ini, pemerintahan Joko Widodo mempunyai semacam kebijakan untuk menyetop adanya partai politik yang hendak bergabung lagi dengan pemerintahan.

Meski secara teknis dan formal cara menyetop itu tidak ada, tetapi melalui komunikasi politik atau wacana politik dapat dikatakan bahwa “…pemerintah tidak memerlukan lagi anggota koalisi tambahan.” Cara guyon seperti ini akan lebih mengena di Indonesia. Banyaknya partai yang sebelumnya begitu “PD”

di koalisi Merah Putih hijrah ke pemerintahan, membuktikan posisi pemerintah

(Joko Widodo) kuat. Kekuatan itu sesungguhnya dapat dilihat dalam konteks sosiologis, dimana para waktu pemilihan umum yang lalu, pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla mendapatkan suara yang jauh diatas lawan. Bahkan jauh diatas perolehan suara PDI Perjuangan pada pemilu legislatif.

Maka, kekuatan politik yang kini dikuasai pemerintah seharusnya dipakai sebagai sumber daya untuk melanjutkan dan membuatkan kebijakan yang benar-benar pro-rakyat. PDI Perjuangan yang menjadi penyokong Joko Widodo mesti memahami ini dan sebaiknya tidak terlalu memojokkan Joko Widodo sebagai presiden karena kekuatan politik yang riil di basis bawah, ada pada diri Joko Widodo. Masuknya sebagian besar kekuatan politik itu ke bubu pemerintah, membuat upaya mengatasi DPR sebagai pengimbang eksekutif, relative menjadi lebih mudah. Akan tetapi justru disinilah tantangan tebesar bagi pemerintahan sekarang. Semakin besarnya kekuatan pemerintah sekarang dalam “menaklukkan” suara-suara DPR dalam meloloskan aturan atau kebijakan publik, bisa-bisa itu menjadi sandungan di tingkat akar rumput. Dan inilah yang menjadi tugas besar dari kekuatan “oposisi” yang kini dipegang oleh PKS dan Partai Gerindra. Mereka bertugas mengkritisi kebijakan pemerintah.

Tidak itu saja, meskipun kesempatan untuk membuat kebijakan publik itu lebih besar, Joko Widodo mesti juga cermat. Pada sidang kabinet paripurna yang berlangsung bebarapa waktu lalu di Istana Negara, Jakarta, Presiden menginstruksikan untuk mengefisiensikan anggaran untuk rencana kerja tahun 2017. Diistruksikan oleh presiden bahwa menteri-menteri harus mampu menolak anggaran yang tidak jelas manfaatnya. Dalam arti lain, dalam kementerian itu, lembaga-lembaga yang ada di bawahnya harus membuat perencanaan terlebih dahulu, tentu dengan rencana biayanya. Jika sebelumnya hampir seluruh lembaga di di dalam kementerian itu mendapatkan dana, tahun 2017 nanti lembaga yang benar-benar jelas penggunannnya saja yang mendapat dana yang pantas. Yang lain mungkin dananya akan kecil.

Instruksi ini pun berpotensi besar mendapatkan kritik dari lembaga-lembaga kementerian yang tidak puas. Karena itulah, dengan kompisisi kekuatan politik seperti sekarang itu, justru presiden harus benar-benar membuat rancangan kebijakan yang tepat agar tidak mendapatkan tanggapan yang pedas juga.*****

Ditulis, 11 Februari 2016

KONDISI IDEAL UNTUK MENEKAN