• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEMUNDURAN DEMOKRASI DAN PENTINGNYA KELOMPOK KEPENTINGAN

KONDISI politik Indonesia sampai sekarang, boleh dibagi menjadi dua. Pada tingkat konsolidasi pemerintahan telah semakin baik setelah masuknya Partai Golkar ke dalam jajaran pemerintah. Dengan masuknya partai ini mendukung pemerintah, praktis hanya PKS dan Partai Gerindra yang masih duduk di Koalisi Merah Putih. Golkar termasuk salah satu pelopor dan pendukung koalisi ini yang terkuat dan vocal di masa awal pemerintahan Joko Widodo. Akan tetapi, belum tiga tahun pemerintahan Joko Widodo menjalankan tugas, nampaknya partai tersebut kembali ke “fitrah” lama, yaitu berdampingan dengan pemerintah. Munaslub Bali yang berlangsungbeberapa waktu lalu menghasilkan realitas ini.

Pada titik kedua, pada tingkat praktik politik, kelihatan bahawa perpolitikan Indonesia masih belum beranjak banyak dari Orde Baru, meski reformasi telah digembor-gemborkan telah memberikan kemajuan di bidang ini. Bahkan kelihatan cenderung ujaran-ujaran demokrasi etalase yang demikian mengedepan dan menjadi sindiran di masa Orde Baru, kini kelihatan lagi. Demokrasi etalase sebagai sebuah konsep, sindiran dan pengertian, ekivalen dengan “demokrasi seolah-olah” atau “seolah-olah demokrasi”.

Konsepsi seperti ini dijelaskan dengan fenomena ada banyak infrastruktur demokrasi seperti pemilu, pemilihan langsung, lembaga DPR, berbagai macam komisi, mahkamah, dan lain sebagainya. Akan tetapi berbagai instrument tersebut tidak mampu memberikan sumbangan kepada demokrasi yang sesungguhnya. Jaman Orde Baru, demokrasi etalase itu sangat kelihatan karena adanya berbagai kelengkapan seperti pemilu yang periodik, pergantian menteri, lembaga DPR, MPR, MA dan sebagainya. Tetapi kenyataannya demokrasi yang terjadi di bawah tekanan dan dipimpin oleh elit yang dalam hal ini, Soeharto sebagai pucuk tertinggi. Semua lembaga dan infrastruktur demokrasi tersebut seolah hanya dipamerkan saja, di taruh di sebuah etalase tanpa dapat berfungsi dengan semestinya. Orde Baru banyak disorot mengenai hal itu. Kalaupun ada partai politik, tetapi partainya disetir oleh pemerintah,

dan pemilu yang digelar juga banyak dipengaruhi oleh penguasa pada saat itu. Infrastrutur itu, dengan demikian hanya menjadi pajangan saja.

Fenomena politik dan demokrasi di masa reformasipun dinilai tidak terlalu berbeda dengan massa Orde Baru. Pandangan ini kemudian memberikan pandangan bahwa reformasi merupakan pekerjaan yang suia-sia, membuang-buang waktu dan justru menguntungkan pihak-pihak yang selayaknya tidak pantas sebagai pengemban demokrasi. Pemilu yang dilangsungkan secara langsung, banyak dicurangi oleh tindakan-tindakan asusila demokrasi, seperti upaya penyuapan dengan uang. Atau secara tersembunyi memberikan sumbangan tertentu kepada kelompok masyarakat dengan tujuan memberikan suara dalam pemilihan umum. Akibatnya, tokoh yang terpilih dalam pemilu justru orang yang tidak layak duduk di pemerintahan. Anggota DPRD yang lebih lihai sebagai pekerja lapangan (bahkan mungkin pekerja serabutan), tiba-tiba mendapatkan kursi di lembaga legislative.

Yang paling mennggelikan dalam sejarah demokrasi di masa reformasi adalah munculnya koalisi setelah Joko Widodo menjadi presiden. Paling awal, Koalisi Merah Putih berhadapan dengan Koalisi Indonesia Hebat.

Tetapi kemudian secara berangsur Koalisi Merah Putih itu mengkerut, satu-persatu meninggalkan kubu dan berpihak kepada pemerintah, sampai akhirnya pentolan koalisi ini, yaitu Partai Golkar juga turut “melarikan diri”

dari Koalisi Merah Putih dan berpihak kepada pemerintah. Pada sisi lain, Koalisi Indonesia Hebat juga semakin tidak terdengar suaranya.

Yang paling baru dalam peristiwa politik Indonesia ini adalah pergantian kepengurusan Partai Golkar. Jelas, harus disambut keberhasilan partai ini memilih pemimpin yang baru. Dengan keterpilihan itu, kelihatan bahwa mereka sudah berhasil menekan konflik yang ada di dalam tubuhnya, meskipun potensi konflik itu masih tersembunyi di dalam. Akan tetapi, ada yang sedikit menggelitik terhadap kepemilihan pemimpn baru ini. Pemimpin baru dari partai itu, Setya Novanto, seperti yang diketahui public Indonesia, pernah tersandung kasus saham Freeport karena dinilai mengait-ngaitkan nama presiden. Mahkamah Kehormatan Dewan kemudian menyidangkan kasus ini dan menyatakan yang bersangkutan bersalah. Akan tetapi Partai Golkar di tengah kesurutan suaranya tetap memilih Novanto sebagai pimpinan. Banyak kecurigaan muncul dari pemilihan ini, disamping juga kekhawatiran akan

semakin surutnya suara partai ini di masa depan.

Itulah fenomena politik di jaman reformasi ini sehingga lebih menonjolkan hal kepolitikannya dibandingkan dengan kedemokrasiannya.

Politik adalah hal yang berbeda dengan demokrasi. Politik berupaya mencari pengaruh dan kekuasaan, yang dalam konteks demikian sarana demokrasi dan etika yang melekat kepadanya menjadii hilang. Demokrasi adalah upaya untuk menyalurkan tugas-tugas kepemimpinan negara dan pemerintah, dengan cara-cara etis dengan landasan kepemilihan rakyat. Tentu yang dimaksudkan kepemilihan rakyat ini, dengan cara-cara yang jujur dan berhati nurani. Dua hal terakhir ini sudah demikian terkikis di Indonesia.

Maka, dengan melihat fenomena seperti itu, teori-teori politik masa lalu dalam ilmu demokrasi dan politk itu harus diadaptasi lagi dan dipraktikkan lagi. Salah satunya adalah kelompok kepentingan. Prinsip kelompok ini adalah sekumpulan dari orang-orang yang mempunyai pandangan sama tentang manajemen kepemerintahan dan mempunyai sikap kritis di bidang itu. Dengan sikap kritis itulah kemudian mereka melakukan survey, diskusi dan kemudian bertindak mengusulkan perbaikan secara konstruktif kepada pemerintah.

Kelompok kepentingan penting untuk mengawal demokrasi, apalagi di Indonesia yang demokrasinya yang tidak jelas berjalan entah kemana. Dibandingkan dengan kelompok kepentingan di masa lalu yang sudah menjalankan tugasnya sebagai penyampai aspirasi, sekarang kelompok ini harus ditambah lagi, yaitu memberikan solusi dan teknis tentang perbaikan tersebut.

Banyak saluran untuk itu. Diantaranya dengan memberikan kertas pendapat kepada legislative, dan kemudian memanfaatkan media massa untuk mengeluarkan pendapat. Saat ini di tengah kebebasan informasi yang didapatkan masyarakat, pendapat yang muncul di berbagai media itu dapat disarikan dan diskusikan lagi, kemudian diberikan kepada para pembuat kebijakan, baik di tingkat daerah maupun pusat. Kelompok kepentingan akan mampu mengawal dan mengembangkan demokrasi secara lebih baik.

Jika tidak, fenomena demokrasi di Indonesia ini akan semakin tenggelam, dan kembali lebih surut dibandingkan dengan apa yang dipraktikkan Orde Baru.****

Ditulis 18 Mei 2016

KERUGIAN DAN BAHAYA SISTEM