• Tidak ada hasil yang ditemukan

RENUNGAN SERATUS HARI PEMERINTAHAN JOKO WIDODO-JUSUF KALA

DEMOKRASI bukanlah sistem pemerintahan yang murni bagus untuk mengelola negara. Kalaupun ia menjadi pilihan, itu karena lebih menguntungkan dibanding dengan sistem pemerintahan lainnya. Demokrasi bisa jadi sebagai jalan tengah karena melibatkan rakyat untuk ikut memberikan sumbangan. Kelemahannya justru terletak pada titik ini karena tidak mungkin seluruh pikiran rakyat akan sama. Karena itulah demokrasi menjadikan pijakan pilihan rakyat yang paling banyak sebagai patokan untuk metode memerintah dan pemerintahan. Demokrasi pun mencoba mempersempit perbedaan pendapat itu, dengan “membentuk” partai politik sehingga lembaga inilah yang mewakili kehendak dari rakyat dalam hubungannya dengan negara dan pemerintahan. Namun demikian, lagi-lagi partai politik ini menjadi sandungan. Partai politik sebagai lembaga besar tidak lepas dari birokrasi. Dan di dalam birokrasi selalu terjadi pertentangan pendapat. Sebuah lembaga, secara sosial pasti mempunyai potensi persaingan dengan lembaga lainnya. Jadi, di dalam partai politik, disamping sering terpicu konflik internal di dalam dirinya sendiri, ia teramat sering konflik dengan partai lain. Negara dan pemerintah, dalam kondisi demikian, selalu menjadi sandera dari partai politik “bikinannya” sendiri. Inilah “takdir” kenegaraan dan “takdir” dari seorang pemimpin negara dan pemerintahan.

Keterhubungan antara pemimpin pemerintahan negara, ada dua (paling tidak model presiensial di Indonesia), keterhubungan antara pemimpin pemerintahan dengan partai politik. Yang pertama adalah bahwa pencalonan presiden harus melalui partai politik. Dan kedua, para pejabat pemerintah (termasuk bawahannya), akan berhubungan dengan lembaga legislatif untuk menjalankan pemerintahan. Menteri misalnya harus melakukan dengar pendapat dengan lembaga parlemen, menjelaskan kebijakan pemerintah yang dijalankan. Pemerintah dan legislatif harus bersama-sama dalam membentuk perundang-undangan. Campur tangan partai politik kepada pemerintah bisa sangat intens dalam pembahasan berbagai kebijakan tersebut karena

parlemen merupakan lembaga “yang terwakili dan terkomposisi” oleh partai-partai politik. Dengan demikianm pemerintahan, seperti halnya di Indonesia, dapat saja disandera oleh partai politik melalui dua jalur, yaitu melalui pencalonannya sebagai presiden dan melalui mekanisme di dalam gedung DPR. Demokrasi memang kemudian menjadi sebuah olok-olok dan sering dipermainkan melalui gambar-gambar kartun yang menghibur.

Apa yang terjadi pada pemerintahan Joko Widodo pada 100 hari pertamanya, kurang lebih seperti itu. Termasuk (dan apalagi) tentang kasus konflik antara KPK dengan Kepolisian (Bambang Widjonarko dengan Budi Gunawan). Dalam berbagai berita disebutkan bahwa dalam hal penunjukan Budi Gunawan sebagai Kapolri, Presiden Joko Widodo ditekan oleh partai politik sehingga seolah-olah tidak mampu berbuat banyak, yang amat mungkin ditekan oleh bukan saja sebuah partai tetapi juga kelompok partai. Bisa dibayangkan bagaimana beratnya beban seorang presiden apabila kelompok politik menekan kebijakan-kebijakannya. Meski secara teoritik orang yang telah disangkakan sebagai koruptor, tidak layak dicalonkan menjadi pejabat publik, tetapi toh teori ini tidak mampu dijalankan oleh Joko Widodo.

Ketertekanan politik seperti ini sudah jelas merupakan contoh yang buruk sebagai akibat dari penerapan demokrasi yang berbasis partai politik.

Akan tetapi, kalau pengaruh seperti ini coba hendak dikurangi, dalam jangka panjang, bisa saja Indonesia melakukannya. Artinya pencalonan presiden tidak mesti dilakukan mellaui partai politik tetapi dapat melakukannya secara independen. Apabila hal ini terjadi, presiden hanya bertanggung jawab kepada masyarakat yang memilihnya. Ketergantungnannya kepada partai politik pengusung tidak aka nada dan tidak aka nada juga preseden “penyanderaan”

presiden oleh paartaii politik dalam pembuatan kebijakan-kebijakannya. Untuk mencapai tujuan itu, Indonesia harus mengamandemen lagi konstitusinya dan akan menjadi pekerjaan berat juga apabila ingin melaksanakan hal seperti ini.

Setiap kebijakan, apalagi yang menyangkut politik kenegaraan, pasti aka nada akibat positif dan negatifnya. Pemilihan presiden secara independen sudah jelas akan mengurangi tekanan partai politik terhadap kebijakan presiden, namun tetap ada kemungkinan akan diprotes oleh rakyat. Demostrasi akan marak karena untuk menyatakan ketidaksetujuan terhadap kebijakan tersebut, rakyat yang tidak memilih presiden bersangkutan dapat mengerahkan massa

ke jalanan. Rakyat ini dapat saja atas nama pribadi atau bisa juga atas nama partai yang kemungkinan jagoannya dikalahkan oleh presiden calon independen tersebut. Lagi-lagi demokrasi itu berpotensi tidak memberikan kenyamanan dalam kehidupan bernegara.

Sekedar untuk mengilustrasikannya, paling tidak ada dua kandidat di Indonesia yang kemungkinan lolos sebagai presiden apabila ia dicalonkan secara independen. Susilo Bambang Yudoyono adalah calon yang pertama.

Ketika ia mencalonkan diri untuk kedua kalinya, ungkapan yang muncul di masyarakat adalah bahwa dengan sandal jepit pun dipasangkan, ia akan memenagni pemilihan presiden. Susilo Bambang Yudoyono terpilih menjadi presiden sebanyak dua kali berpasangan dengan Yusuf Kalla dan Budiono.

Harus juga dilihat bahwa keterpilihan Joko Widodo pun demikian. Bisa dibayangkan, kecepatan popularitasnya demikian meroket sejak jadi Walikota Solo, Gubernur Jakarta dan Presiden Indonesia hanya memerlukan waktu kurang dari lima tahun. Bahkan Susilo Bambang Yudoyono pun perlu berkarir cemerlang dulu di ketentaraan sebelum juga harus menjabat menjadi menteri dalam beberapa periode sebelum kemudian rakyat memandangnya sebagai kharismatis. Joko Widodo tidak perlu itu, bahkan mampu ikut meningkatkan suara PDI Perjuangan yang pada saat itu dinilai dudah jauh merosot. Jadi, kalau dilihat dari konteks demikian Joko Widodo pun mempunyai peran signifikan untuk kembali menegakkan PDI Perjuangan dari kemerosotan dukungan. Dan bukan tidak mungkin peningkatan suara itu juga mampu dimanfaatkan oleh politisi-politisi di daerah juga ikut terdongkrak posisi dan harapannya dalam kehidupan partai. Dengan keadaan demikian, ia cukup berjasa dalam partai ini, meskipun bukan kader. Istimewa juga sesungguhnya karena orang yang bukan kader partai, secara akumulaf mampu mengangkan nama dan suara partai dan juga ikut “menghidupkan” lagi posisi kader yang mungkin sudah sangat jeblok. Sudah seharusnya Joko Widodo diapresiasi dalam hal ini. Memberikan kesempatan untuk melapanhkan kebijakannya tanpa mengnaggu atau menuntutnya secara berlebihan, merupakan pilihan yang paling bagus. Toh juga, itu semuanya demi negara dan demi rakyat. Ini adalah renungan seratus tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.****

Ditulis, 29 Januari 2015.