• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRIORITAS PERTANIAN DAN TANTANGAN PERCEPATAN KEBIJAKAN PRESIDEN

KALAU dijumlahkan secara kualitatif (bahkan kuantitatif dalam perhitungan), mungkin pergerakan jalannya negara telah sekian banyak melambat. Tahun 2014 saja, hampir dalam satu lingkaran tahun itu hari-hari “terbuang percuma” akibat berbagai trik dan intrik kampanye, mulai dari kampanye legislatif, kampanye presiden sampai dengan “keabsahan”

pemilihan presiden. Hampir tuntas tahun 2014 itu ludes oleh persoalan-persoalan politik yang terlalu banyak riaknya. Di tahun 2015 ini, baru dua setengah bulan berjalan, fenomena yang hampir sama, juga terjadi. Perbedaan pandangan antara KPK dengan Polri soal penahanan Budi Gunawan, penahanan unsur pimpinan KPK, kontroversi kelambatan Presiden dalam menangani kepala kepolisian Indonesia, sampai dengan tertunda-tundanya eksekusi hukuman mati WNA, membuat waktu banyak terbuang. Bisa saja faktor-faktor yang seperti ini yang termuat di media massa karena memang menarik perhatian publik sehingga terkesan menghabis-habiskan waktu.

Akan tetapi perhatian massa yang demikian banyak juga dapat membuat pembuat kebijakan negara (yaitu para pejabat itu), habis energinya mengurusi persoalan seperti ini, bukan pada persoalan kebijakan publik. Disini mulai kelihatan tantangan dari Presiden Joko Widodo ke depan dalam mengelola negara dan kepemerintahan.

Sebagai sebuah entitas organisasional, negara haruslah dikelola secara seimbang antara satu komponen dengan komponen lain. Di dalam komponen itu, yang menjadi tanggung jawab negara paling besar adalah menyangkut kepentingan rakyat. Maka, ekonomi merupakan persoalan dasar untuk menyeimbangkan kemampuan rakyat tersebut. Di Indonesia, dasar ekonomi itu digerakkan oleh beras. Mengapa demikian? Beras (nasi) merupakan makanan pokok manusia, dimana gerakan dan pergerakan ekonomi rakyat, bersumber dari pemenuhan kepentingan pokoknya. Hanya dengan memenuhi keperluan konsumsi pokoknya masyarakat dapat bergerak, berfikir, mengalokasikan energy, dan menjaga keseimbangan emosionalnya.

Faktor-faktor tadi diperlukan untuk menggerakkan kehidupan sosial.

Berbarengan dengan konflik hukum-politik yang menyangkut KPK, Polri, penahanan petinggi KPK, sampai konyroversi hukuman mati tersebut, Indonesia sempat diguncang dengan naiknya harga beras. Untuk beberapa saat kanaikan harga beras ini sempat memicu perhatian publik. Akan tetapi kemudian meredup untuk kemudian kembali lagi muncul dengan persoalan-persoalan semula berkutat sekitar Polri-KPK tersebut. Disyukuri kalau kemudian harga beras itu dapat dikendalikan. Namun, yang menjadi persoalan kenaikan harga beras itupun kemungkinan besar merupakan upaya-upaya spekulann untuk merongrong pemerintahan Joko Widodo. Jika ini benar, sangat tidak sopan, tidak etis mempermainkan harga keperluan pokok masyarakat tersebut. Presidenn Joko Widodo merespon gejolak harga beras ini secara simbolik melalui wacana dan tindakan. Dalam konteks wacana ia mengatakan optimis jika harga beras kembali normal dan dalam tindakan, ikut terjun ke sawah untuk memetik padi.

Tidak diketahui bahwa persoalan beras inilah yang seharusnya mendapat perhatian, baik oleh politisi, media massa maupun masyarakat banyak.

Sesungguhnya ada kesempatan mengalihkan perhatian publik sekaligus mencari masukan publik dengan membelokkan perhatian dari masalah KPK-Polri menuju harga beras yang dipermainkan itu. Beras, sekali lagi merupakan dasar dari kehidupan sosial masyarakat Indoensia. Jika persoalan ini yang disorongkan ke wilayah publik, bukan tidak mungkin berbagai masukan untuk memperbaiki sirkulasi, penanaman, pelibatgandaan produksi sampai memproduksi jenis beras unggul akan bermunculan. Sayangnya hal ini tidak terjadi.

Sebagai sebuah inti tindakan sosial masyarakat, maka beras mempunyai tali-temali dengan lahan sawah pertanian atau bagaimana melipatgandakan penghasilan beras bagi penduduk Indoensia. Setelah sawah pertanian, temali selanjutnya adalah pengelolaan air, yang akhirnya kemudian bersambung kepada jumlah bendungan di Indonesia. Apabila dilihat dari kondisi kekinian Indonesia, justru persoalannya terletak pada unsur-unsur yang disebutkan tadi.

Bendungan yang ada di pusat-pusat pertanian di Jawa dan Bali disebut-sebut sudah memerlukan perbaikan. Pemerintah kiranya sudah memahami kondisi ini sehingga beberapa waktu lalu merancang untuk membangun bendungan-bendungan baru di beberapa tempat. Seharusnya inilah yang dipertimbangkan

terlebih dahulu. Perencanaan pembuatan bendungan dapat meluas, tidak sekedar untuk mengairi lahan pertanian tetapi juga pengendalian banjir, perikanan dan pariwisata. Sekian banyak hal yang dapat disumbangkan oleh bendungan untuk kemanfaatan hidup manusia.

Sementara kalau dihadapkan dengan konflik dan keragu-raguan pembuatan keputusan, tidak seperti bendungan, konflik dan keragu-raguan membuat keputusan, justru membuat sekian banyak perjalanan hidup manusia menjadi lambat dan terganjal. Dengan demikian, Presiden Joko Widodo seharusnya membuat keputusan yang lebih cepat terhadap suasana konfliktual mutakhir seperti penghentian dugaan kriminaalisasi terhadap KPK, segera memutuskan sikap tentang WNA tahanan narkoba. Setelah itu selesai, kosentrasi pada pembangunan pertanian yang menyentuh persoalan rakyat banyak. Penyelesaian masalah ini penting karena arus informasi sekarang sudah mulai bergerak membanding-bandingkan tindakan yang dilakukan oleh Joko Widodo terhadap masalah yang dihadapai KPK dengan apa yang dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono terhadap lembaga yang sama saat dihujani masalah tahun 2009 yang lewat. Pembandingan ini memang tidak rasional karena masing-masing presiden mempunyai cara sendiri, akan tetapi jelas membahayakan kalau dilihat dari sisi sosiologi politik. Artinya akan menumbuhkan kesadaran kepada rakyat terhadap kapabilitas presiden yang kemungkinan dapat menurunkan tingkap popularitasnya. Dan secara politis, itu akan dapat menurunkan elektabilitas juga.

Diharapkan, presiden Joko Widodo segera mampu menghentikan persoalan-persoalan bangsa ini lebih cepat. Karena menyelesakan persoalan lebih cepat, pasti akan menguntungkan rakyat baanyak. Presiden tidak harus menunggu opini masyarakat terlalu lama. Penasihat presiden di berbagai lingkaran yang ada, akan dapat membantu membuat percepatan keputusan tersebut.****

Ditulis, 9 Maret 2015.

SALING MENDUKUNG,