• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENEGASAN JOKO WIDODO MENGUASAI KENDALI ELIT POLITIK

PRESIDEN Joko Widodo akhirnya merombak cabinet untuk kedua kalinya selama ia memimpin pemerintahan di Indonesia. Beberapa menteri yang relative muda “terdepak” dari jajaran cabinet dan sebaliknya, tokoh-tokoh yang sudah banyak makan asam-garam, kembali masuk jajaran. Misalnya Sri Mulyani yang menjadi meenteri keuangan serta Jenderal Wiranto yang menjabat Menkopolhukam.

Patai Golkar memasukkan satu kadernya, yaitu Airlangga Hartarto. Sekretaris partai Golkar, Idrus Marhan yang sebelumnya banyak dibicarakan menjadi salah satu menteri, justru tidak terpanggil. Terbentuknya “kabinet baru” ini tentu saja memberikan rasa penasaran bagi public karena terkesan mendadak, meskipun sebelumnya telah berkali-kali disebutkan oleh media.

Secara internal, mungkin pergantian cabinet ini telah berlangsung dengan proses yang cukup panjang di lingkungan politik negara. Proses tawar menawar dari berbagai kekuatan politik antara luar istana dengan dalam istana, pasti telah berlangsung. Akan tetapi, kemunculannya yang mendadak memberikan kesan bahwa pergantian cabinet tidak perlu harus menjadi persoalan yang serius dari masyarakat. Artinya masyarakat tidak perlu merasa khawatir tentang pergantian ini yang kemudian membuat krisis politik, apalagi krisis moneter karena pola demikian merupakan hal yang biasa dalam politik yang bertujuan memperbaiki kinerja pemerintah. Dikatakan mendadak karena kurang dari 24 jam sebelumnya, Presiden memanggil beberapa menteri ke Istana, termasuk juga memanggil wakil presiden ke Istana Presiden. Yang perlu dicatat juga adalah, begitu para menteri ini dipilih dan kemudian dilantik, hari itu juga ada sidang cabinet untuk menentukan kinerja yang mesti dilakukan.

Cara dan tindakan presiden diatas, sesungguhnya mengandung pesan penting bahwa disamping masyarakat tidak perlu heboh dengan pergantian personal cabinet, juga yang ddipentingkan adalah bahwa kerja merupakan orientasi utama dari cabinet pemerintahan Joko Widodo. Jadi, ini merupakan langkah untuk bekerja, bukan sekedar langkah politis untuk memperbaiki keseimbangan peta politik di Indonesia. Problema yang ada di berbagai

pemerintahan di dunia, hanya dapat dipecahkan dengan menunaikan pekerjaan, tugas dan fungsi dari pemerintahan. Jadi, inilah pesann pertama yang harus dilihat ddari cara Presiden Joko Widodo ketika secara cepat melakukan perombakan cabinet dan kemudian secara cepat pula melakukan rapat untuk menentukan pola kinerja dari masing-masing menteri yang baru ditunjuk.

Jelas, sebagai pemimpin pemerintahan, seorang presiden harus mampu menciptakan stabilitas politik. Dii negara yang memakai sistem demokrasi, penopang utama pemerintahan adalah partai politik. Partai inii sebagai sebagai satu unsur yang dapat berpengaruh kemana-mana seperti ke parlemen, kebijakan dan membuat keputusan. Di Indonesia, identitas partai politik yang kelihatan lebih banyak condong kepada kekuasaan. Akan tetapi, stabilitas politik yang diinginkan tersebut, tetap mempunyai tujuan agar kinerja pemerintah dapat berlangsung dengan aman, tanpa gangguan. Karena, seperti yang sudah menjadi realitas sebelumnya, sedikit saja ada gangguan politik, yang terjadi adalah gaduh politik. Hampir sebagian partai politik akan mencari perhatian dan tokoh-tokohnya ribut dan menimbulkan kekhawatiran di masyarakat. Inilah kemudian yang memaksa Presiden Joko Widodo untuk membuat langkah keseimbangan.

Dengan demiikian, langkah yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo ini merupakan jalan tengah untuk mencari kestabilan tersebut. Inilah yang terlihat manakalla ia memberikan jatah “minimalis” kepada Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional masing-masing satu menteri di dalam kabinetnya yang baru. Dua partai ini adalah partai “ngeyel” yang sebelumnya, saat Joko Widodo menjadi presiden, bergabung dengan Koalisi Merah Putih. Memberikan jatah menteri, disamping memberikan apresiasi atas kesediannya bergabung dengan pemerintah, juga berupaya “mengikat” dua partai itu agar tidak bertingkah di masa mendatang. Bagaimanapun, potensi bertingkah ini akan tetap ada mengingkat keduanya mempunyai massa yang banyak dan anggota perlemen yang potensial. Dengan ikatan itulah kemudian stabilitas politik negara berupaya dicapai agar kinerja cabinet bisa berlangsung dengan maksimal. Bertingkahnya partai politik, akan membikin gaduhnya suasana sosial.

Upaya menjaga stabilitas sosial, mencegah kegaduhan dan memelihara suasana kondusif dalam menjalankan pemerintahan, Joko Widodo juga memberhentikan menteri-menteri yang suka membuat pernyataan controversial, atau menteri-menteri yang suka “bertengkar’ sesama menteri. Kegaduhan yang

dibuat oleh para menteri ini, membikin malu internal pemerintahan sendiri yang mencoreng citra cabinet. Dengan demikian, mengganti menteri-menteri yang berpotensial membikin malu cabinet, merupakan langkah positif agar citra tersebut mampu berubah positif. Harus pula dilihat bahwa pergantian menteri yang berkualifikasi seperti ini, menjadi pelajaran dan peringatan bagi menteri-menteri lain di cabinet agar lebih focus bekerja sesuai dengan bidangnya masing-masing. Sebab, seperti yang telah menjadii teori, melakukan penunjukan dan penggantian menteri, merupakan hak prerogative presiden.

Jadi, kalau ada menteri yang suka membikin onar lagi, bukan tidak mungkin akan dikeluarkan lagi oleh presiden.

Yang penting dilihat adalah soal masuknya lagi Sri Mulyani dan Wiranto ke dalam jajaran cabinet. Dua personil ini boleh dikatakan berpengalaman pada bidangnya masing-masing. Dalam konteks pertumbuhan perekonomian dan pendapatan negara, penunjukan Sri Mulyani boleh jadi mencerminkan bahwa ada masalah terhadap pertumbuhan pendapatan negara setelah Indonesia tidak dapat bergantung lagi pada minyak bumi. Jadi, pajaklah yang akan tetap dipakai sebagai soko guru untuk menaikkan pendapatan negara. Seluruh warga harus siap-siap dengan persoalan pajak ini. Bukan tidak mungkin ke depan aka nada tindakan tegas terhadap persoalan pajak ini. Secara politis, penunjukan Sri Mulyani ini boleh dikatakan memperlihatkan kekuatan posisi Joko Widodo dalam penunjukan menteri. Sebelumnya Sri Mulyani sempat dikeluarkan dari cabinet setelah didesak oleh tokoh politik tertentu, yang konon karena Sri Mulyani mempersoalkan pembayaran pajak dari tokoh politik itu. Konon tokoh itu adalah Aburizal Bakrie. Jika hal ini benar, maka posisi Joko Widodo kini telah lebih memiliki power, yang bisa jadi merupakan bargaining posisi pada dipilihnya menteri dari Partai Golkar.

Penunjukan Wiranto memperlihatkan kondisi di dalam negeri harus tetap kondusif untuk memelihara keamanan dan kestabilan. Meski kelompok Santoso telah berhasilditangkap, tetapi belum ada jaminan keamanan Indonesia bisa terkendali. Pilihan kepada Wiranto lebih pada pengalamannya pada berbagai jabatan politis sejak jaman Orde Baru sampai dengan masa reformasi. Joko Widodo, setidaknya kini dapat dipandang menguasi medan politik Indonesia, seperti juga halnya Ahok yang menguasai partai politik di Jakarta.****

Ditulis, 27 Juni 2016.

INSPIRASI DARI DUA FIGUR PIMPINAN

HARI Rabu tanggal 27 Juli 2016 yang lalu, ada dua peristiwa politik menarik di Indonesia. Dua peristiwa itu adalah perombakan cabinet dari Presiden Joko Widodo siang harinya, dan sorenya ada pernyataan Basuki Tjahya Purnama (Ahok) untuk mencalonkan diri melalui partai politik untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta, periode kedua. Secara politik, peristiwa ini biasa-biasa saja. Akan tetapi apabila kita lihat latar belakang peristiwa tersebut, ada hal menarik yang mesti dilihat, baik dari sisi karakter masing-masing politisi maupun latar belakang kemunculannya. Baik Joko Widodo maupun Ahok, merupakan pemimpin yang dipilih secara langsung, dipandang kharismatis, dan pernah berpasangan dalam memimpin Jakarta.

Perombakan cabinet yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo, memang mempunyai tujuan untuk memperbaiki kinerja pemerintahan. Kita tahu, cabinet sebelumnya banyak diganggu oleh persaingan antara menteri yang terwujud dari berbagai pernyataan yang dikeluarkan. Juga kelihatan adanya ketidakprofesionalan dari beberapa menteri. Namun demikian, apabila kita lihat masuknya Partai Golkar ke pemerintahan, juga Partai Amanat Nasional, bolehlah kita mengatakan bahwa sesungguhnya pengaruh dari Joko Widodo secara politik memang kuat. Dua partai ini adalah pihak yang berseberangan frontal dengan Joko Widodo pada awal dilantiknya menjadi presiden. Tetapi kekuatan politik Joko Widodo kiranya secara politik membuat dua partai ini berbalik mendukung. Inilah bukti kekuatan politik Joko Widodo. Apabila kita lihat ke belakang, cara yang dipakai menghadapi sikap frontal dua partai ini, adalah kesabaran. Mencoba melayani kritiknya dan membuktikan kekuatan politik yang dimiliki Joko widodo. Mungkin ini bisa dikatakan sebagai strategi politik sabar atau mengulur waktu demi menguras tenaga lawan. Seperti dalam pertandingan olahraga, manakala tenaga alwan terkuras, akan mudah menaklukkan.

Fenomena yang dipakai Ahok hampir mirip, hanya dengan strategi yang berbeda. Sebelum memilih mencalonkan diri dengan kendaraan partai politik (Golkar, Nasdem dan Hanura), Ahok secara lantang dan berani mengatakan

dirinya maju melalu jalur idependen. Bahkan berani menggertak PDI Perjuangan. Ternyata relawan yang berpihak pada Ahok tidak sia-sia. Jutaan tanda-tangan berhasil dikumpulkan dan memuluskannya untuk maju melalui jalur independen. Jajak pendapat yang dilakukan oleh beberapa lembaga juga memperlihatkan bahwa Ahok tetap mempunyai nilai elektabilitas tinggi, selalu unggul dibanding lawan-lawannya kendatidigempur di sana-sini.

Fenomena ini pula yang terlihat pada Joko Widodo yang selalu mendapatkan angka tinggi ketika disurvei, meski digoyang oleh Koalisi Merah Putih.

Dalam hal Ahok, itulah yang kemudian membuat semacam kesadaran pada partai politik, bahwa figure mereka memang tidak bisa dikalahkan.

Golkar kemudian menyadari itu dan kemudian menyatakan mendukung Ahok tanpa prasyarat. Demikian pula kiranya sebelumnya dengan apa yang dilakukan oleh Partai Nasdem dan Partai Hanura. Jadi, bolehlah kita katakana bahwa dua figure ini, Joko Widodo dan Ahok telah berhasil mengatasi partai, dengan cara-cara yang berbeda, masing-masing melalui cara yang sabar dan cara yang tegas.

Sesungguhnya menjadi pelajar bagi partai dan politisi, bahwa rakyat kini tidak dapat digerakkan dengan uang lagi, tidak dapat dipengaruhi dengan berbagai gertakan apapun. Politisi yang hendak menjadi pemimpin juga harus mendapat pelajaran, bahwa memerintah secara jujur tanpa korupsi dan bekerja sungguh-sungguh pasti akan dicintai rakyat. Mudah-mudahan dua figure ini mampu memberikan inspirasi.****

Ditulis, 27 Juni 2016

KABINET 1

DENGAN SEGALA