• Tidak ada hasil yang ditemukan

SUMBANGAN POSITIF ATAS DITOLAKNYA REVISI UNDANG-UNDANG KPK

MESKIPUN anggota DPR masih sibuk mencoba merevisinya, tetapi penolakan Presiden Joko Widodo terhadap revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), secara sosial dan politik dapat dipandang berguna. Satu hal yang mendapat sorotan masyarakat adalah soal digunakannya kewenangan penyadapan dalam melaksanakan tugas. Beberapa anggota partai politik mencoba mengutak-atik ketentuan ini. Akan tetapi dengan tidak disetujuinya revisi tersebut, penggunaan penyadapan tetap dapat dilakukan.

Kapolri, Jendral Badrodin Haiti mengatakan bahwa untuk keperluan koupsi yang besar, penyadapan tetap dapat dilakukan. Namun, yang penting juga dilihat dari sisi penolakan revisi ini adalah manfaat dan pemaknaannya bagi masyarakat, termasuk juga manfaat politisnya.

Pada hakekatnya masyarakat merupakan pengendali negara dengan memberikan kewenangan itu kepada presiden melalui pemilihan umum langsung. Sedangkan KPK merupakan lembaga yang dibutuhkan negara dalam kerangka melindungi segala penyimpangan keuangan atau tindakan yang dilakukan oleh aparat. Pada titik inilah terjadi hubungan penting antara presiden dengan rakyat saat melaksanakan tugas demi melindungi kepentingan rakyat. Dengan demikian, penolakan revisi undang-undang tersebut mempunyai makna bahwa presiden telah membaca bagaimana sikap rakyat terhadap berbagai pendapat yang menginginkan adanya revisi terhadap undang-undang KPK itu. Dalam banyak hal, boleh dikatakan revisi yang digelindingkan oleh sebagian politisi pusat tersebut memunculkan perasaan-perasaan tidak puas dari rakyat, dan juga perasaan-perasaan-perasaan-perasaan mencurigakan.

Rasa ini muncul karena terjadi di saat KPK sedang dilanda tekanan bertubi-tubi, yang dipicu oleh kasus Budi Gunawan beberapa waktu lalu.

Munculnya keinginan merevisi pada saat adanya tekanan bertubi-tubi itu, dinilai mempunyai kaitan dengan upaya pelemahan lembaga ini. Padahal KPK merupakan amanat langsung dari reformasi 1998. Reformasi muncul sebagai akibat ketidakpuasan dari rakyat karena adanya korupsi di masa lalu. Karena

itulah kemudian, ketika Presiden menolak revisi aturan tersebut, mempunyai manfaat sosial yang besar sebagai cermin dari pelaksanaan kedaulatan rakyat dan pelaksanaan tugas sebagai presiden pilihan rakyat secara langsung. Pada konteks ini, Presiden Joko Widodo tidak perlu merasa tertinggal dengan DPR apalagi kemudian merasa tertinggal dari para pendukungnya di tingkat masyarakat.

Di tengah banyaknya kritik kepada presiden yang dipandang mudah dipengauhi oleh komponen atau kelompok politisi tertentu, penolakan revisi ini mempunyai nilai politik penting. Pada hakekatnya politik merupakan tindakan seni untuk memperlihatkan kekuatan dan kekuasaan. Disini, setelah mendapatkan berbagai kritik tersebut, maka keputusan menolak revisi ini masuk ke dalam satu cara memperlihatkan pengaruh, bahwa terhadap hal yang berkaitan langsung dengan tujuan-tujuan dasar masyarakat, presiden mampu melakukannya dengan baik. Pemberantasan korupsi merupakan kepentingan dasar masyarakat, kepentingan politik reformasi dan mempunyai tujuan idealis untuk memeratakan hasil pembangunan kepada masyarakat. Korupsi apabila mampu diberantas dengan baik, akan dapat menyediakan dana untuk berbagai pembangunan masyarakat. Upaya merevisi Undang-Undang KPK mendapat menentangan karena dinilai melemahkan kekuatan lembaga ini, terutama soal penghapusan kewenangan untuk melakukan penyadapat.

Sebab, hasil dan negosiasi dari penyimpangan, kolusi dan nepotisme tersebut banyak dilakukan secara diam-diam, berusaha serahasia mungkin, di tempat yang dipandang paling sepi. Untuk hal-hal yang terakhir inilah sebenarnya diperlukan penyadapat tersebut.

Di bawa ke ranah etika berpolitik dan budaya, penolakan presiden terhadap upaya revisi tersebut, juga mampu memberikan sumbangan positif.

Selama ini, polik di Indonesia gemuruhnya selalu mencari kesempatan di dalam tekanan yang dialami pihak lain, dengan cara menyudutkan lawan politik manakala sang lawan mempunyai masalah. Persoalan KPK pun sekarang boleh dikatakan menyangkut masalah politis karena ada tangan-tangan tertentu yang berupaya melumpuhkannya dengan berbagai cara.

Kekalahan di praperadilan KPK yang kontroversial, sampai tuduhan kepada pimpinan yang terkesan terlalu dibuat-buat, adalah politisasi pelemahan lembaga tersebut. Karena itu, apabila KPK sedang menghadapi masalah,

terus dicoba diutak-atik lagi undang-undang yang mengatur kehadirannya di negara ini, sangatlahh tidak etis secara politik dan secara budaya.

Politik seharusnya berjalan melalui jalur positif. Jalur tersebut bergulir diatas norma yang ada. Dalam praktik, itu dilakukan dengan melakukan adu argumentasi secara terbuka. Baik tindakan untuk berargumentasi maupun strategi yang dilakukan, terjadi pada saat kedua belah pihak sama-sama siap, bukan sama-sama lemah atau salah satu lemah. Contohnya adalah perdebatan dalam televisi, atau di saat kampanye, mendatangi khalayak ke basis pada waktu yang dibolehkan undang-undang tanpa harus menjelekkan pihak lain.

Maka ketika KPK sedang “sakit” sekarang, tidaklah elok kalau kemudian ingin

“berpolitik” untuk melakukan pelemahan lagi terhadap lembaga tersebut.

Konon, politisi Indonesia di jaman kemerdekaan telah mempraktikkan politik sportif ini sehingga seharusnya itu menjadi contoh bagi politisi sekarang.

Secara kultural masyarakat Indonesia menghargai adanya kedukaan sebagai sebuah bentuk keprihatinan bersama. Konsepsi “sebel banjar” atau

“sebel keluarga” misalnya pada masyarakat Bali memperlihatkan bagaimana harus memberikan rasa simpati kepada pihak yang terkena musibah, baik kesakitan maupun kematian. Pada saat seperti itu, pihak komunitas banjar tidak akan melakukan kegiatan apa-apa, untuk memberi rasa simpati kepada pihak yang terkena musibah. Inilah salah satu bentuk etika budaya bersama dalam satu komunitas. Komisi Pemberantasan Korupsi dapat diibaratkan sebagai anggota komunitas pada penyelenggaraan kepemerintahan di Indonesia. Sangat wajar kita tidak menyudutkannya lagi pada saat sedang terpuruk. Apalagi saat ini panitia seleksi sedang giat-giatnya menyusun strategi dan langkah-langkah untuk mendapatkan pimpinan KPK untuk jabatan mendatang.

Dengan demikian, tindakan tidak mengutak-atik lagi persoalan Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi akan memberikan sumbangan berupa upaya menghormati etika politik yang terkait dengan etika budaya dalam masyarakat Indonesia. ****

Ditulis, 20 Juni 2015

HUKUM YANG MENGUTAMAKAN