• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hambatan Mencapai Pendidikan Tinggi

Kesetaraan Akses

4.5 Hambatan Memperoleh Pendidikan Bermutu

4.5.2 Hambatan Mencapai Pendidikan Tinggi

35 30 25 20 15 10 8 7 6 5 4 3 2 1 0 Menikah Dini (%) M ur id P er empuan P utus sekolah (%)

Persentase pernikahan dini di daerah pedesaan lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah perkotaan.36

Antara tahun 2000 – 2008, tingkat pernikahan dini menurun sedikit lebih cepat di daerah pedesaan dibandingkan daerah perkotaan, meskipun pada tahun 2008 pernikahan dini di daerah pedesaan masih 15% lebih tinggi dari perkotaan. Angka kelahiran ibu berusia remaja dilaporkan 9% lebih tinggi di daerah pedesaan dibandingkan dengan perkotaan dan berkorelasi dengan tingginya angka pernikahan dini. Tingkat kelahiran ibu berusia remaja menurun lebih cepat di daerah perkotaan dibandingkan dengan pedesaan. Dengan menyelesaikan pendidikan, remaja perempuan dapat menunda kehamilan dan memperluas kesempatan untuk meningkatkan penghasilan.37 Namun, kehamilan di luar pernikahan bagi ibu berusia remaja memang terjadi dan merupakan kenyataan untuk pendidikan menengah di seluruh Indonesia. Kepala Sekolah melaporkan pada FGD Tinjauan ini bahwa rata-rata 1-2 kehamilan di luar pernikahan bagi ibu berusia remaja terjadi di sekolahnya setiap tahun.

4.5.2 Hambatan Mencapai Pendidikan Tinggi

Kesempatan (akses) mencapai pendidikan tinggi dipengaruhi oleh banyak faktor: tingkat pencapaian akademis di jenjang pendidikan dasar dan menengah; ekonomi orang tua, dan sikap orang tua tentang nilai untuk pendidikan bagi anak perempuan dan laki-laki. Kelas sosial ekonomi dan pekerjaan orang tua menentukan jati diri keluarga dan mempengaruhi secara kuat kemampuan anak remaja laki-laki dan perempuan namun dengan pola yang berbeda. Norma budaya dan agama tentang hubungan gender mempunyai pengaruh kuat terhadap kesempatan mencapai pendidikan tinggi. Remaja penyandang disabilitas menghadapi tantangan lebih berat lagi. Masyarakat tidak mampu di daerah pedesaan dan pesisir memanfaatkan remaja laki-laki untuk bekerja penuh dalam sektor pertanian atau perikanan informal, sehingga tidak mungkin melanjutkan pendidikan formal lagi. Pernikahan dini, kehamilan remaja dan tanggungjawab rumah tangga menghambat perempuan untuk melanjutkan pendidikannya.

Lingkungan dimana murid berada atau kondisi yang harus dihadapi – seperti jarak fisik ke kampus atau mutu pendidikan – mendorong atau menghambat remaja laki-laki dan perempuan untuk mencapai pendidikan yang lebih tinggi. Data BPS 2010 menunjukkan bahwa APM pendidikan tinggi di Yogyakarta jauh lebih tinggi dari daerah lainnya baik untuk laki-laki (45,7%) maupun perempuan (35,7%). Angka tinggi tersebut disebabkan oleh kedatangan mahasiswa dari provinsi lain untuk kuliah pada perguruan tinggi yang terkenal bermutu tinggi di Yogyakarta. Di sisi lain, APM pendidikan tinggi Riau sangat rendah baik untuk murid laki-laki (5%) maupun perempuan (4,7%) yang disebabkan antara lain oleh alasan ekonomi dan jarak ke perguruan tinggi terdekat. Kemdikbud mengakui hambatan kesempatan kuliah tersebut dan berencana mendirikan perguruan tinggi baru di beberapa daerah yang saat ini tidak memiliki akses terhadap pendidikan tinggi, termasuk Riau. Mulai tahun 2012, ada kebijakan afirmatif dimana Kemdikbud menambah jumlah penerima beasiswa pendidikan tinggi untuk murid tidak mampu dari 50.000 menjadi 80.000 orang.

36. BAPPENAS. 2010. MDGs Roadmap. Jakarta.

4.6 Kesimpulan

Angka partisipasi yang dibahas di atas menunjukkan bahwa keluarga tidak mampu – baik laki-laki maupun perempuan – menghadapi kendala terhadap kesempatan memperoleh pendidikan (akses). Hal tersebut menggambarkan bahwa kesetaraan gender tidak hanya menyangkut perempuan dewasa dan anak melainkan juga mencakup laki-laki dewasa dan anak. Walau Indonesia telah mencapai banyak keberhasilan dalam upaya wajib belajar 9 tahun serta telah mencapai paritas gender untuk pendidikan dasar, namun hal ini belum dicapai untuk pendidikan menengah atas. Jumlah perempuan yang menjabat sebagai pemimpin pada semua lembaga masih belum seimbang dengan jumlah laki-laki. Keseimbangan antara perempuan dan laki-laki pada jabatan tersebut dapat membantu menjamin bahwa kebutuhan perempuan maupun laki-laki diperhitungkan dan suara perempuan maupun laki-laki didengarkan. Selain itu, tidak hanya cukup dengan mengumpulkan data yang terpilah menurut jenis kelamin – walaupun data ini sangat diperlukan – melainkan data tersebut perlu digunakan untuk menanggapi kesenjangan dan ketidaksetaraan gender. Mengaitkan antara penelitian dan kebijakan sangat penting. Diperlukan lebih banyak data dan analisis sebagai dasar penentuan kebijakan pada tingkat kabupaten/kota. Data tersebut harus bersifat kuantitatif maupun kualitatif berdasarkan informasi yang dikumpulkan dari tingkat sekolah.

4.7 Ringkasan Temuan

Tingkat Keaksaraan Usia 15-24. Tingkat keaksaraan nasional bagi orang berusia 15-24 telah mencapai 99,9% pada 2010, terdiri dari 99,46% untuk perempuan dan 99,53% persen untuk laki-laki. Pada tahun 2010, tingkat keaksaraan nasional untuk kelompok usia 15+ meningkat selama satu dasawarsa menjadi 94,9%.

Angka Partisipasi Murni (APM) nasional untuk laki-laki maupun perempuan telah meningkat dalam semua jenjang pendidikan selama dasawarsa terakhir. Sasaran Pendidikan Untuk Semua Nasional adalah 100% APM di sekolah dasar dan menengah pertama pada tahun 2015. Pada tahun 2010, APM nasional untuk sekolah dasar (SD) telah mencapai 94,76% sedangkan APM nasional untuk sekolah menengah pertama (SMP) adalah 67,73% dan sekolah menengah atas (SMA) 45,59%. Selama periode 2000 - 2010, peningkatan APM tertinggi adalah peningkatan APM laki-laki untuk pendidikan menengah pertama, dengan angka sebesar 8,02% dibandingkan dengan peningkatan bagi perempuan sebesar 6,87%. Hal yang sama terjadi juga untuk pendidikan menengah atas, yaitu peningkatan APM laki-laki sebesar 7,86% sedangkan peningkatan perempuan hanya sebesar 4,58%. Untuk jenjang pendidikan tinggi, APM 2010 telah meningkat secara signifikan menjadi 11,1% untuk perempuan dan 10,8% untuk laki-laki.

IPG dalam APM tingkat nasional. Untuk pendidikan menengah atas (SMA / MA / Paket C), data Susenas menunjukkan IPG (rasio perempuan terhadap laki-laki) dalam APM sedikit menurun dalam 5 tahun terakhir dari 100% pada tahun 2006 menjadi 96% pada tahun 2010.

IPG dalam APM tingkat provinsi. Data Susenas untuk IPG dalam APM di tingkat provinsi menunjukkan kesenjangan gender di beberapa provinsi untuk pendidikan menengah pertama dan terutama pendidikan menengah atas serta pendidikan tinggi.

Angka Mengulang. Data Kemdikbud menunjukkan Angka Mengulang untuk pendidikan dasar tertinggi secara keseluruhan. Di semua provinsi, lebih banyak laki-laki mengulang kelas dibandingkan dengan perempuan. Untuk SMP/MTs dan SMA/MA, Angka Mengulang murid laki-laki lebih tinggi pada sebagian besar provinsi (26 provinsi untuk SMP/MTs dan 31 provinsi untuk SMA/MA).

Angka Putus Sekolah. Data Susenas dan Kemdikbud menunjukkan Angka Putus Sekolah untuk pendidikan menengah pertama dan atas telah menurun cukup signifikan selama satu dasawarsa terakhir baik untuk laki-laki maupun perempuan. Namun Angka Putus Sekolah untuk laki-laki di pendidikan menengah atas tetap yang tertinggi, yaitu 4,11% dibandingkan dengan perempuan dengan angka 2,51%.

Angka Melanjutkan. Data Kemdikbud menunjukkan Angka Melanjutkan yang cenderung meningkat selama satu dasawarsa terakhir di tingkat nasional baik untuk laki-laki maupun perempuan. Sejak adanya BOS pada tahun 2005, Angka Melanjutkan ke pendidikan menengah pertama untuk perempuan telah meningkat, mencapai kesetaraan dengan laki-laki. Namun, Angka Melanjutkan ke pendidikan menengah atas untuk murid perempuan 10% lebih rendah dari Angka Melanjutkan untuk murid laki-laki.

Rata-rata Lama Sekolah (RLS). Menurut data Susenas, Rata-rata Lama Sekolah telah meningkat sejak tahun 2004. Pada tahun 2010, RLS untuk perempuan adalah sebanyak 7,5 tahun, lebih rendah dari laki-laki yang memiliki RLS sebanyak 8,3 tahun.

Data Susenas and Kemdikbud menunjukkan kesenjangan antar dan di dalam provinsi untuk semua indikator di atas.

4.8 Rekomendasi

1. Memastikan data yang dipilah menurut jenis kelamin dari semua sekolah di tingkat kabupaten/kota dikumpulkan secara sistematis dan mencakup indikator partisipasi serta kinerja. Hal ini dilakukan untuk menjamin instrumen untuk pengumpulan data di tingkat sekolah memungkinkan kabupaten/ kota dengan mudah merekam dan menganalisis data yang dipilah menurut jenis kelamin.

y Pelatihan pengembangan profesi dan khususnya pelatihan manajemen berbasis sekolah untuk kepala sekolah dan pengawas, harus mencakup kepentingan dan kebutuhan pengumpulan dan analisis data yang dipilah menurut jenis kelamin.

y Perlu ada peraturan yang mewajibkan kepala sekolah menyelenggarakan perencanaan dan penganggaran yang efektif untuk meningkatkan kinerja secara keseluruhan dan menghilangkan kesenjangan gender pada tingkat sekolah.

y Memastikan Rencana Pengembangan Sekolah (RPS) dan Evaluasi Diri Sekolah (EDS) yang baru diperkenalkan serta Pemantauan Sekolah oleh Kabupaten/Kota (MSD) memerlukan analisis data yang dipilah menurut jenis kelamin agar dapat mengidentifikasi dan menanggapi kesenjangan gender dalam partisipasi dan kinerja tingkat sekolah.

2. Memberi prioritas dalam peningkatan kinerja bagi kabupaten/kota dan sekolah yang kinerjanya rendah. Pemerintah daerah agar:

y Mengembangkan sistem untuk menemukan sekolah yang berisiko tinggi dan murid laki-laki maupun perempuan yang memiliki risiko tersebut.

y Mendukung sekolah untuk mencapai tujuan yang telah mereka tetapkan untuk pengembangan sekolah termasuk kesetaraan gender. Menciptakan sistem insentif untuk mendukung peningkatan kinerja murid sebagaimana diukur dalam penurunan Angka Putus Sekolah dan keberhasilan pelajaran bagi murid laki-laki dan perempuan.

y Melakukan pemetaan sekolah dengan menggunakan model Pemetaan Sekolah Partisipatif yang telah berhasil di Gorontalo agar dapat mencapai SPM di semua sekolah.

3. Meskipun bukti menunjukkan bahwa tidak ada bias gender dalam alokasi subsidi murid miskin laki-laki dan perempuan, pemantauan ketat Program Beasiswa Miskin perlu dilakukan untuk memastikan bahwa subsidi tersebut diterima langsung oleh penerima yang berhak – baik murid perempuan maupun laki-laki yang tidak mampu. Pemantauan tersebut memerlukan pengumpulan secara sistematis data yang dipilah menurut jenis kelamin. Juga perlu untuk mempertimbangkan perluasan beasiswa untuk menambah jumlah laki-laki dan perempuan miskin yang melanjutkan ke pendidikan menengah pertama dan menengah atas.

4. Melaksanakan pelaporan kemajuan tahunan bagi kabupaten/kota berdasarkan indikator Pendidikan Untuk Semua dengan menggunakan statistik tingkat sekolah yang dipilah menurut jenis kelamin. Laporan ini akan memberikan gambaran singkat dari situasi yang terjadi di sekolah serta mengungkapkan unsur penting untuk memahami arah pengembangan sistem pendidikan kabupaten/kota.

5. Bekerjasama dengan mitra perguruan tinggi dan LSM untuk penelitian tentang 1) anak remaja yang menikah dini dan 2) murid perempuan yang hamil di luar pernikahan, terutama murid kelas 12, untuk lebih memahami gejala putus sekolah pada kelompok tersebut serta keputusan kepala sekolah untuk membantu atau tidak membantu murid tersebut menyelesaikan pendidikan formalnya. Mempertimbangkan kebijakan dan pedoman bagi sekolah untuk menjamin bahwa murid perempuan tersebut bisa mengikuti ujian akhir sekolah.

6. Analisis lebih lanjut diperlukan untuk lebih memahami penyebab:

a) Angka Mengulang untuk laki-laki lebih tinggi daripada perempuan pada semua tingkat pendidikan di sebagian besar provinsi. Analisis tersebut sebaiknya dilakukan pada provinsi yang menunjukkan tingkat mengulang kelas yang tertinggi untuk laki-laki maupun perempuan. Selain itu, analisis tersebut juga dilakukan untuk melihat keterkaitan tingkat mengulang kelas dengan indikator lain termasuk tingkat putus sekolah.

b) Putus sekolah murid laki-laki dan perempuan. Kabupaten/kota mengadopsi strategi praktik yang baik (best practice) agar langkah pengaman dapat dilakukan untuk mengurangi Angka Putus Sekolah dan membantu murid yang telah putus sekolah untuk kembali.

c) Analisi kesenjangan IPG dalam APM antara kabupaten/kota. Pemerintah provinsi dan kabupaten/ kota dengan IPG dari APM yang lebih rendah atau lebih tinggi dari rata-rata perlu melakukan analisis untuk menjelaskan kesenjangan tersebut terutama untuk pendidikan menengah pertama dan menengah atas.

7. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota agar menindaklanjuti rendahnya jumlah kepala sekolah perempuan yang memenuhi syarat untuk pendidikan menengah pertama dan terutama menengah atas.

8. Perguruan tinggi agar menindaklanjuti rendahnya jumlah dosen perempuan yang memenuhi syarat sebagai tenaga pengajar di institusi masing-masing.

Pengarusutamaan gender telah diterima di seluruh dunia sebagai strategi untuk mencapai kesetaraan gender dalam pendidikan. Pengarusutamaan gender bukanlah tujuan, namun proses pembentukan pengetahuan dan kesadaran serta pertanggungjawaban untuk mencapai kesetaraan gender dalam pendidikan bagi tenaga profesional dalam sektor ini. Pembangunan pendidikan di Indonesia berlandaskan pada tiga pilar: pemerataan akses, mutu dan relevansi serta efisiensi dalam pengelolaan. Ketiga pilar tersebut bertujuan untuk memperkuat penyelenggaraan pendidikan bermutu untuk semua murid. Strategi kesetaraan gender dalam pendidikan harus ikut memberi sumbangan terhadap pencapaian pilar pendidikan tersebut. Pilar tersebut juga sangat erat kaitannya dengan pencapaian enam tujuan Pendidikan Untuk Semua yang ditetapkan di Dakar tahun 2000:

y Perluasan dan peningkatan perawatan dan pendidikan anak usia dini, secara menyeluruh, terutama bagi anak yang paling rentan dan tertinggal

y Menjamin bahwa, pada tahun 2015 semua anak, terutama perempuan, anak dalam keadaan sulit dan anak etnis minoritas, memperoleh kesempatan mengikuti dan menyelesaikan program wajib belajar gratis pendidikan dasar yang bermutu

y Menjamin bahwa kebutuhan belajar anak, remaja dan dewasa telah terpenuhi di mana mereka memiliki akses untuk melakukan kegiatan yang mendukung peningkatan keterampilan belajar dan keterampilan hidup yang tepat

y Mencapai peningkatan 50% dalam kemampuan membaca dan menulis (literacy) dewasa pada tahun 2015, terutama bagi perempuan serta pemerataan dalam kesempatan mengikuti pendidikan dasar dan pendidikan seumur hidup bagi semua orang dewasa

y Menghapus disparitas gender di jenjang pendidikan dasar dan menengah pada tahun 2015 dan mencapai kesetaraan gender dalam pendidikan pada tahun 2015 dengan menitikberatkan pada jaminan bagi perempuan untuk bisa memperoleh akses secara penuh dan sama dengan laki-laki serta keberhasilan yang sama dengan laki-laki dalam pendidikan dasar yang bermutu baik

y Peningkatan semua unsur mutu pendidikan dan menjamin keunggulan mutu bagi semua agar semua murid bisa berhasil mencapai tolok ukur yang disepakati bersama dan bisa diukur, terutama dalam membaca (literacy), menghitung dan keterampilan hidup yang mendasar

Meningkatkan paritas dalam tingkat partisipasi merupakan langkah pertama untuk mencapai kesetaraan gender dalam pendidikan karena paritas partisipasi hanya “mengobati gejala” daripada “menyembuhkan akar” ketidaksetaraan. Jika hanya memperhatikan kesempatan belajar (akses) sebagai isu utama bagi semua perempuan dan laki-laki, mutu dan relevansi pendidikan dapat terlupakan. Oleh sebab itu, Bab ini tidak hanya mengkaji tentang kesempatan belajar, melainkan memperluas kajian hingga mencakup dimensi mutu pendidikan yang berdampak terhadap kesetaraan. Bab ini mengkaji beberapa aspek pendidikan dari sudut pandang gender yaitu proses belajar mengajar, isi kurikulum dan bahan ajar lainnya, pendidikan dan pelatihan guru, keberhasilan murid, hubungan guru-murid, serta keamanan lingkungan belajar. Kajian tentang isu-isu tersebut berdasarkan hasil penelitian di Jawa Barat, Jawa Tengah, Kupang dan Gorontalo serta hasil beberapa penelitian yang dilakukan di Indonesia dan tempat lain.

Dokumen terkait