• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesetaraan Gender dalam Manajemen Berbasis Sekolah Manajemen sekolah memiliki peran memayungi seluruh kegiatan sekolah untuk menjamin bahwa

Satu Dasawarsa Terakhir

5.5 Kesetaraan Gender dalam Manajemen Berbasis Sekolah Manajemen sekolah memiliki peran memayungi seluruh kegiatan sekolah untuk menjamin bahwa

lingkungan sekolah mendukung pengalaman belajar yang tanggap gender. Pihak manajemen sekolah bertanggung jawab untuk menyediakan bahan ajar yang tanggap gender serta melatih kembali para guru dalam proses belajar mengajar yang tanggap gender. Selain itu, tanggung jawab pengelola sekolah adalah menyusun, melaksanakan serta memantau peraturan/perundangan yang akan mengubah sekolah menjadi lingkungan yang tanggap gender. Manajemen sekolah juga seharusnya menyediakan sumber daya manusia yang mampu menjalankan manajemen dan tata kelola (governance) sekolah yang bersifat tanggap gender. Apabila ada orang tua yang tidak menyekolahkan anaknya, perempuan maupun laki-laki, maka pihak pengelola sekolah sebaiknya mendekati tokoh masyarakat dan memberi masukan kepada anggota masyarakat tentang pentingnya pendidikan.

Para pengawas dan kepala sekolah perlu dilatih agar mengerti pentingnya pengumpulan dan analisis data yang dipilah menurut jenis kelamin guna mendukung Manajemen Berbasis Sekolah yang efektif. Hal ini akan memungkinkan perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan strategi serta pemantauan terhadap penghapusan kesenjangan gender dalam keikutsertaan (akses) maupun prestasi belajar murid di tingkat sekolah. Rencana Peningkatan Sekolah (School Improvement Plans) serta Evaluasi Diri Sekolah yang baru diperkenalkan tidak mewajibkan pengumpulan dan analisis data yang dipilah menurut jenis kelamin agar kesenjangan gender dalam keikutsertaan dan prestasi belajar di tingkat sekolah dapat ditemukan dan ditanggapi. Misalnya, mengapa kinerja murid perempuan dalam Bahasa Indonesia lebih baik dari kinerja murid laki-laki dan mengapa kinerja murid laki-laki lebih baik dari kinerja murid perempuan dalam IPA? Strategi apa yang dapat dilaksanakan oleh sekolah untuk mengatasi kekurangan kinerja murid laki-laki dan perempuan dalam mata pelajaran yang berbeda? Mengapa lebih banyak murid perempuan atau laki-laki putus sekolah serta apa yang dapat dilakukan oleh sekolah untuk mencegah hal tersebut?

Semua program pelatihan calon kepala sekolah dan kepala sekolah harus mengikutsertakan kesetaraan gender dalam pendidikan. Para kepala sekolah perlu tahu bagaimana mengembangkan strategi untuk meningkatkan kinerja belajar di setiap mata pelajaran baik untuk murid laki-laki maupun perempuan. Para kepala sekolah harus bekerjasama dengan komite sekolah untuk membantu peningkatan kesadaran orang tua tentang pentingnya kehadiran anaknya di sekolah (pada saat penelitian lapangan, beberapa sekolah melaporkan bahwa ketidakhadiran menjadi masalah besar bagi murid laki-laki). Para kepala sekolah harus mengamati berapa kali guru memberi pekerjaan rumah serta apakah pekerjaan rumah tersebut diperiksa guru dan hasilnya dibicarakan dengan murid. Selain itu, perlu diamati sampai seberapa jauh pekerjaan rumah tersebut dikerjakan oleh murid laki-laki dan perempuan. Beberapa sekolah melaporkan bahwa murid perempuan lebih tekun mengerjakan pekerjaan rumah dibandingkan dengan murid laki-laki. Perbedaan ini menjadi lebih bermakna jika mengingat perbedaan kinerja antara murid laki-laki dan perempuan dalam mata pelajaran tertentu. Para kepala sekolah harus menjamin juga bahwa setiap murid memiliki buku ajar. Penelitian QEM menemukan bahwa hanya dua pertiga dari murid di 150 MTs di seluruh Indonesia mempunyai buku ajar untuk Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Survei tersebut menemukan juga bahwa murid yang memiliki akses dalam mendapatkan materi belajar dan yang mempunyai buku ajar untuk mata pelajaran tersebut cenderung memiliki sikap yang lebih positif tentang berkegiatan di sekolah.

Pengawas dan kepala sekolah perlu dilatih untuk menciptakan lingkungan sekolah yang ramah anak dan tanggap gender dan juga menegakkan ketaatan dalam kode etik yang tujuannya mencegah perilaku anti sosial. Kepala sekolah juga perlu dilatih strategi pencegahan terjadinya pelecehan dan intimidasi gender. Kemitraan dengan LSM terbukti sangat efektif di Kabupaten Sleman (lihat studi kasus di bawah).

PengawasSMP-SMA di Klaten menyatakan bahwa, “Kami belum dilatih pengarusutamaan gender dalam pendidikan. Dalam pengelolaan sekolah, termasuk evaluasi dan pengawasan, kesetaraan gender seharusnya wajib disertakan.”

5.5.1 Standar Pelayanan Minimal Sekolah

Standar Pelayanan Minimal (SPM) harus dipenuhi agar hasil peningkatan kapasitas tenaga pendidikan/ kependidikan dapat dimanfaatkan untuk mendukung kesetaraan gender dan mutu proses belajar mengajar. Standar yang termasuk dalam SPM misalnya penyediaan sarana dan prasarana sekolah, guru yang memenuhi kualifikasi serta bahan ajar. Banyak masyarakat kurang mampu di Indonesia yang masih belum memiliki sekolah yang baik dengan prasarana dan sarana yang memenuhi SPM dan syarat akreditasi57. Syarat tersebut umpamanya toilet, persediaan air untuk fasilitas sanitasi dan ruang perpustakaan. Pada tahun 2008, hanya sekitar 32% SD/MI dan 63% SMP mempunyai ruang perpustakaan.

Sekolah yang dipimpin oleh kepala sekolah perempuan di Pulau Jawa cenderung mempunyai tingkat pencapaian SPM yang lebih tinggi. (2010 Studi QEM Madrasah58). Hubungan positif antara kinerja murid dengan ketersediaan prasarana dan sarana serta tenaga kependidikan yang memenuhi syarat dan sumber daya belajar telah dibuktikan juga oleh survei QEM. Temuan ini memberi masukan kepada sekolah serta pemerintah pusat dan daerah dalam pengalokasian sumber daya. Selain itu, survei tersebut menggarisbawahi pentingnya pemantauan serta penggunaan dana secara khusus untuk mengatasi hal-hal tertentu yang masih berkekurangan. Studi yang melibatkan 150 madrasah (MTs) menemukan bahwa secara keseluruhan dan di semua kawasan, MTs hanya memenuhi 40% - 50% dari syarat fasilitas SPM yang berjumlah 20 syarat. Hanya 0,7% MTs yang memenuhi semua syarat dan sebanyak dua kali lipat yang tidak memenuhi sama sekali. Secara keseluruhan MTs di Pulau Jawa lebih baik dari MTs di kawasan Barat dan Timur Indonesia.

Seorang guru sekolah (SD) di daerah pesisir Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, dalam diskusi kelompok untuk studi ini, mengatakan sebagai berikut:

“Tolong, saya mohon pemerintah daerah untuk menyediakan fasilitas memadai bagi kami, baru kemudian bisa dipikir tentang pengarusutamaan gender di sekolah kami.”

Sekolah yang terletak di desa nelayan di pesisir Pulau Jawa ini tidak memiliki toilet sama sekali, apalagi ruang perpustakaan. Sekolah pernah membangun bangunan dari beton dan berlantai tanah, namun pembangunan tidak selesai. Keadaan fisik sekolah sangat jelek karena dikelilingi air laut yang sudah tercemar oleh banjir yang sering terjadi di daerah tersebut. Karena kondisi seperti itu, sekolah ini tidak memiliki lingkungan yang mendukung untuk kegiatan belajar mengajar. Sekolah dasar ini melaporkan bahwa 23 peserta didik putus sekolah pada tahun 2011 (16 laki-laki dan 7 perempuan).

Pada tahun 2008-2009, Kabupaten Gorontalo ikut serta dalam kegiatan peningkatan kapasitas manajemen pendidikan kabupaten59. Kegiatan berbentuk pelatihan pemetaan sekolah secara partisipatif dengan menggunakan SPM sebagai ukuran. Pada kunjungan lapangan Tinjauan ini, pemangku kepentingan di Gorontalo melaporkan adanya perbaikan di semua sekolah sebagai hasil dari pelatihan tersebut dan sekarang diikuti dengan alokasi anggaran untuk perbaikan prasarana dan sarana, peningkatan proses belajar mengajar, dan pengembangan sekolah menengah pertama60.

57 Asesor dari Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah menentukan status sekolah berdasarkan fasilitas yang tersedia sesuai dengan kriteria khusus. Status Akreditas (A, B, atau C) yang diberikan kepada sekolah digunakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dalam merencanakan dan mengalokasikan dana untuk perbaikan sekolah.

58 Kementerian Agama, Penelitian Mutu Pendidikan di Madrasah (Quality of Education in Madrassah Study) yang dibiayai AIBEP. Laporan Utama.

59 MGP-BE District Management Capacity Development Project didukung UNICEF 60 ACDP005 Penelitian Studi Kasus, Gorontalo, April 2012

5.5.2 Kode Etik Sekolah

Sekolah membutuhkan kode etik yang secara jelas melarang diskriminasi oleh tenaga kependidikan dan murid agar sekolah memiliki lingkungan belajar yang aman dan dapat mendukung proses belajar mengajar dengan baik. Walaupun pelecehan oleh kepala sekolah, guru ataupun sesama murid jarang terjadi, namun jika hal itu terjadi, penanganannya seringkali dilakukan secara kurang tegas. Di dalam FGD dengan tenaga kependidikan di Kupang, didapatkan laporan mengenai kepala sekolah yang dituduh memaksa murid perempuan secara seksual dan sebagai sanksinya kepala sekolah tersebut hanya dipindah secara diam-diam ke sekolah lain di daerah pedesaan. Setiap kali seorang murid dilecehkan secara seksual dengan kata-kata atau tindakan fisik, baik oleh tenaga kependidikan ataupun oleh sesama murid, hal tersebut dapat mengurangi martabat dan rasa amannya, menganggu pendidikannya serta mempengaruhi kemampuan mereka untuk merealisasikan semua potensi hidupnya.

Kode etik yang ditegakkan serta bertujuan untuk mencegah perilaku ketidakhadiran tanpa ijin / membolos juga sangat diperlukan. (Para guru melaporkan bahwa bolos menjadi masalah untuk murid laki-laki). Pada saat penelitian lapangan Tinjauan ini, seorang guru Matematika di Gorontalo menyatakan “Lebih banyak murid laki-laki daripada perempuan yang tidak mengikuti kelas Matematika karena tidak menyukai mata pelajaran tersebut.” Sangat penting untuk dijelaskan kepada orang tua tentang tanggung jawab mereka untuk menjamin agar anaknya hadir di sekolah. Mendorong kesetaraan gender serta menyadarkan dampak negatif dari perilaku yang anti sosial seperti bullying dan pelecehan seksual menjadi bagian penting dari kurikulum. Di salah satu kecamatan di Kabupaten Sleman dilaporkan bahwa kemitraan dengan LSM setempat sangat efektif dalam pemberdayaan murid untuk mengatasi masalah-masalah tersebut melalui pendekatan rekan setara (peer to peer) yang didukung oleh guru sebagaimana diceritakan di bawah ini.

Studi Kasus: Mendukung Kesedaran Gender dan Perilaku Anti Sosial, di Sleman, Jawa Tengah

Salah satu LSM di Kabupaten Sleman, Jawa Tengah (Pusat Keluarga Berencanan Indonesia or PKBI) yang pembiayaannya didukung oleh lembaga donor, selain menghasilkan dana sendiri dari klinik kesehatan, menyediakan pelatihan bagi relawan yang berasal dari sekolah. Bermitra dengan pemerintah kecamatan untuk melatih 7 SMA pedesaan, LSM tersebut menyelenggarakan pelatihan rekan setara (peer to peer) bagi murid laki-laki dan perempuan dalam peningkatan kesadaran gender serta pencegahan bullying dan diskriminasi. Adapun fokus lain pelatihan termasuk pendidikan kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS di sekolah-sekolah tersebut. Murid dan guru melaporkan dampak positif dari pendekatan ini. LSM tersebut juga menyelenggarakan pelatihan yang sama bagi organisasi kepemudaan.

Sumber: ACDP 005 Penelitian Studi Kasus, FGD Sleman DIY, Februari, 2012

Penelitian di Indonesia dan negara lain telah menemukan bahwa menghukum dengan memukul/ menampar murid (corporal punishment) di sekolah berdampak negatif terhadap hasil belajar. Murid cenderung enggan bicara dengan guru apabila ada ancaman kekerasan fisik atau lisan atau takut mendapat sindiran dari guru. Pelecehan dan intimidasi di antara murid dilaporkan menjadi masalah besar pada beberapa sekolah menengah, khususnya di antara murid laki-laki, sebagaimana dimuat oleh media massa baru-baru ini tentang beberapa sekolah di Jakarta. Studi QEM di madrasah (MTs) menemukan bahwa kode etik murid dan guru berkorelasi dengan prestasi belajar di mana korelasi tersebut lebih kuat di pulau Jawa dibandingkan Indonesia bagian Timur dan Barat.

Studi Kasus PKBM, Sleman: Model Praktik yang Baik (Best Practice) Pendidikan Non Formal.

PKBM yang bersangkutan merupakan salah satu dari 5 PKBM yang dipilih untuk program uji coba pengarusutamaan gender Kemdikbud di bawah koordinasi Direktorat Pembinaan Pendidikan Masyarakat. Pemerintah Kabupaten Sleman menerima block grant untuk membiayai pelatihan tenaga PKBM oleh Pokja Gender setempat.

PKBM ini mendorong masyarakat agar mereka menerima semua peserta didik tanpa diskriminasi. Para tutor dilatih untuk mengenali stereotip gender dalam buku ajar serta bagaimana caranya menerapkan pendekatan pembelajaran yang bersifat tanggap gender serta manajemen berbasis kelas. Data peserta didik dipilah menurut jenis kelamin dan dianalisis, termasuk jumlah peserta didik dan hasil ujian per mata pelajaran. Silabus PKBM tersebut menyatakan bahwa perencanaan pembelajaran harus menghormati hak asasi laki-laki maupun perempuan. Tersedia fasilitas toilet yang terpisah untuk laki-laki dan perempuan.

Semua peserta didik di PKBM ini berasal dari murid yang terpaksa putus sekolah karena kemiskinan dan sebagian kecil akibat kehamilan di luar pernikahan. Setiap tahun, PKBM ini menerima rata-rata 3 murid perempuan yang terpaksa putus sekolah karena hamil di luar pernikahan. Semua peserta didik diperkenalkan dengan kesetaraan gender. Kesadaran akan kekerasan gender dan pelecehan seksual termasuk dalam pelatihan dan kesetaraan gender diintegrasikan di seluruh silabus.

Sumber: ACDP 005 Penelitian Studi Kasus, FGD &Kunjungan PKBM, Kabupaten Sleman, Februari 2012

Kehamilan Di Luar Pernikahan dan Pendidikan Kesehatan Reproduksi. Platform for Action (Tujuan Strategis B161) dari Konferensi Dunia PBB terkait Perempuan Keempat yang diselenggarakan di Beijing 1995 meminta pemerintahan semua negara untuk “menyediakan lembaga pendidikan yang menghilangkan semua hambatan bagi para remaja hamil dan ibu muda dalam memperoleh pendidikan termasuk, jika diperlukan, penitipan bayi yang terjangkau secara fisik maupun biaya serta pendidikan bagi orang tua/wali yang bertanggung jawab atas anak-anak ataupun adiknya yang masih berusia sekolah agar mereka mendorong anak/saudara mereka kembali sekolah atau melanjutkan sampai menyelesaikan pendidikannya.”

Para kepala sekolah menengah atas melaporkan kehamilan di luar pernikahan di sekolah mereka terjadi sebanyak rata-rata 1-2 kali setahun bagi murid perempuan kelas 12 (meskipun salah satu SMK di Jawa Barat melaporkan enam murid yang hamil di luar pernikahan pada tahun 2011)62. Kepala sekolah melaporkan bahwa murid yang berada dalam periode awal kehamilan diizinkan mengikuti ujian nasional atau diatur secara khusus agar mereka bisa mengikuti ujian nasional. Seorang kepala sekolah perempuan melaporkan bahwa tiba-tiba ditemukan murid yang sudah hamil tua. Kepala sekolah tersebut menyarankan agar kehamilannya dirahasiakan agar murid tersebut dapat tetap mengikuti ujiannya. Murid tersebut akhirnya melahirkan segera setelah lulus dan kemudian ia sendiri menjadi guru. Tindakan kepala sekolah yang tidak diskriminatif tersebut memungkinkan murid tersebut berhasil lulus dan kemudian bekerja serta memiliki penghasilan. Hal ini mungkin tidak akan terjadi jika tidak dibantu kepala sekolah yang bersangkutan63. Saat ini tidak ada kebijakan atau pedoman bagi kepala sekolah yang mengatur tentang perlakuan terhadap murid yang hamil di luar pernikahan di sekolahnya. Para kepala sekolah yang diwawancarai menyatakan bahwa adanya kebijakan yang jelas serta pedoman pelaksanaan akan memudahkan mereka dalam menghadapi masalah yang peka ini secara tanggap gender. Dilaporkan bahwa kebanyakan kepala sekolah tidak mendorong murid perempuan untuk terus bersekolah dan menyelesaikan ujian, terutama jika tidak ada dukungan orang tua. Sebaliknya murid perempuan yang hamil seolah ‘dipaksa’ untuk putus sekolah formal, mendapatkan cap buruk (stigma) dan sendirian menghadapi kehamilannya– sementara pasangan laki-laki yang menghamili dapat menyelesaikan pendidikannya tanpa diskriminasi atau mendapatkan cap yang buruk. Walaupun beberapa murid hamil bisa masuk pendidikan non formal (PKBM), masih banyak lagi murid perempuan yang kemudian putus sekolah. Beberapa tanggapan berikut muncul pada saat diskusi kelompok di tingkat kabupaten:

61 http://www.un.org/womenwatch/daw/beijing/platform/educa.htm#object1

62 ACDP 005 FGD penelitian lapangan, di Sleman, Klaten, Kupang dan Indramayu, Januari-Maret, 2012 63 ACDP 005 FGD penelitian lapangan, di Sleman, Klaten, Kupang dan Indramayu, Januari-Maret, 2012.

Penelitian Studi Kasus: Pandangan tentang Murid Hamil di Luar Pernikahan

Kepala SMA Kabupaten Sleman mengatakan “Untuk SMP dan SMA tidak ada kebijakan yang dapat mencegah murid perempuan hamil dari putus sekolah. Keputusan tentang hal tersebut sepenuhnya terserah pada sikap kepala sekolah “(FGD, kepala sekolah, guru dan tenaga pendidikan, Januari, 2012).

Staf Dinas Pendidikan Kota Kupang menyatakan, “Tidak ada kebijakan pemerintah dalam kasus atau peristiwa tersebut. Dari segi disiplin sekolah, memang murid hamil seharusnya dikeluarkan. “

Sumber: ACDP 005 Penelitian Studi Kasus, Januari-Februari, 2012

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014 menyertakan sasaran untuk sektor kesehatan yaitu pembinaan dan peningkatan keterlibatan untuk berpartisipasi dalam Keluarga Berencana melalui peningkatan pengetahuan, keterampilan dan perilaku remaja dalam bidang kesehatan reproduktif, HIV/AIDS, narkoba, pendidikan keterampilan hidup serta pendidikan kehidupan keluarga bagi remaja. Peningkatan kerjasama antara Kemdikbud, Kemenag serta Kementerian Kesehatan diperlukan untuk meninjau kembali kurikulum untuk menjamin sinergi informasi pendidikan. Diperlukan juga pelatihan guru dalam metode pengajaran menyeluruh bagi hal-hal yang peka ini. Selain itu, diperlukan pelatihan kepala sekolah tentang bagaimana caranya meningkatkan kesadaran komunitas sekolah tentang pentingnya kurikulum kesehatan reproduktif bagi murid, terutama apabila materi tersebut kurang disetujui masyarakat.

Dokumen terkait