• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesetaraan Akses

4.5 Hambatan Memperoleh Pendidikan Bermutu

4.5.1 Hambatan di Tingkat Sekolah

Data Susenas tahun 2009 (Tabel 3) mengungkapkan bahwa alasan utama laki-laki maupun perempuan tidak melanjutkan pendidikan mereka adalah karena tidak mampu membiayai. Alasan mencari nafkah juga disebut oleh laki-laki dan perempuan, terutama perempuan di daerah perkotaan. Pada kelompok

31. AusAID. 2011. Studi Kebutuhan Pengetahuan dan Kendala Pasokan untuk Penelitian Gender dalam Sektor Pengetahuan Indonesia. Universitas Indonesia, Jakarta

usia 13-14 tahun hanya perempuan yang memberikan alasan putus sekolah karena pernikahan dini, baik di perkotaan maupun di pedesaan.

Tabel 3. Alasan untuk Putus Sekolah, 2009

Alasan

Usia 13 -14 tahun Usia 16 – 18 tahun

Perkotaan Pedesaan Perkotaan Pedesaan

Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Tidak punya uang 70,2 64,6 60,0 64,0 70,6 64,3 67,1 64,3 Kerja/mencari nafkah 7,6 9,6 7,8 4,4 13,6 18,0 13,1 7,0 Tidak diijinkan 0,3 2,1 0,2 0,5 1,0 0,4 0,9 0,5 Sekolah terlalu jauh 0,0 0,9 4,9 6,6 0,0 0,4 2,4 2,2 Tingkat pendidikan dipandang cukup 0,5 3,6 3,6 4,2 4,8 3,6 5,0 6,0 Malu 1,7 2,7 1,4 1,8 0,7 0,9 0,7 0,9 Menikah/beru-mah tangga 0,0 0,1 0,0 1,2 0,2 7,2 0,3 11,9 Lainnya 19,7 16,5 22,2 17,4 9,1 5,2 10,5 7,1 Sumber: Susenas 2009

Tidak adanya SMP dan SMA di daerah pedesaan dan terpencil juga masih menjadi salah satu masalah. Namun Pemerintah Indonesia berencana untuk membangun atau memperluas sekitar 4.700 SMP hingga 2014. Sekitar 3.500 SD akan ditingkatkan menjadi SMP (Satu Atap) yang bertempat di lokasi yang lama; sedangkan 1.200 sekolah akan merupakan sekolah yang berdiri sendiri di lokasi baru32.

Meskipun terdapat perbedaan Angka Mengulang antara perempuan dan laki-laki, namun interpretasi data ini harus dilakukan secara hati-hati. Tingginya Angka Mengulang untuk murid laki-laki sering kali menunjukkan kinerja akademis yang kurang. Namun, data tersebut juga bisa dimaknai sebagai perhatian sekolah yang lebih besar pada laki-laki dibandingkan perempuan karena laki-laki lebih menonjol dan lebih sering dipilih untuk mengulang kelas. Tapi hampir semua negara di dunia mengalami kesenjangan gender di mana justru perempuan cenderung maju lebih cepat dari laki-laki pada saat menjalani pendidikan dasar33. Pengalaman mengulang bisa memengaruhi kepercayaan diri dan motivasi murid sehingga menimbulkan kesan bahwa mereka gagal atau tidak mampu. Mengulang kelas berarti murid akan mengulangi bahan ajar yang sama seperti apa yang telah mereka pelajari dan biasanya juga dengan guru yang sama, sehingga dapat menurunkan motivasi murid, terutama jika pengajarannya kurang bermutu. Mengulang tidak menjawab mengapa kinerja murid rendah sehingga kemungkinan tidak dapat meningkatkan kinerja murid secara signifikan dan bahkan dalam banyak kasus dapat menyebabkan putus sekolah.

Banyak anak secara berkala tidak hadir di sekolah dasar karena berbagai alasan. Hal ini mengakibatkan murid harus mengulang karena banyaknya pelajaran yang tidak diikuti. Biaya sekolah yang terdiri dari biaya langsung (uang sekolah) dan biaya tidak langsung (seragam, transportasi, bahan, hilangnya pendapatan karena tidak bekerja) termasuk alasan utama bagi banyak keluarga tidak mampu yang mempengaruhi keputusan tentang sekolah. Jika seorang anak gagal atau harus mengulang kelas maka kemungkinan besar keluarganya akan menarik anak tersebut dari sekolah (putus sekolah) dengan alasan penghematan.

32. AusAID. Oktober 2010. Kemitraan Pendidikan Australia dengan Indonesia: Suatu Kontribusi terhadap Program yang Mendukung Sektor Pendidikan Pemerintah Indonesia.

Kurangnya fasilitas sanitasi di sekolah menjadi masalah khusus untuk anak perempuan setelah mereka mencapai masa puber dimana mereka terpaksa tidak hadir di sekolah selama seminggu dalam setiap bulan. Masalah ini dilaporkan dalam penelitian untuk Tinjauan ini di satu sekolah dasar di Indramayu, Jawa Barat (di mana ada murid perempuan yang berusia lebih tua dari rata-rata usia rekan sekelasnya) dan tidak memiliki fasilitas toilet. Banyak murid yang juga membantu pekerjaan rumah tangga atau mencari nafkah atau keduanya. Hal ini terjadi terutama untuk anak tidak mampu di daerah pedesaan dan pesisir. Selama penelitian untuk Tinjauan ini di daerah pesisir di Indramayu, satu sekolah dasar melaporkan bahwa para orang tua yang bekerja sebagai nelayan sering menarik anak laki-laki keluar dari sekolah pada musim tertentu untuk menemani ayahnya melaut. Sedangkan anak perempuan ditarik ke luar sekolah untuk membantu ibunya dalam usaha pengeringan ikan asin. Angka Putus Sekolah baik untuk murid laki-laki atau perempuan untuk SD tersebut cukup tinggi.34

Bayangan/persepsi tentang pengaruh pendidikan terhadap masa depan dan kesempatan kerja sudah terbukti berdampak pada Angka Putus Sekolah dan Angka Melanjutkan dan dipengaruhi juga oleh kondisi lingkungan. Di daerah pedesaan dan terpencil, adanya kesempatan melanjutkan ke pendidikan menengah pertama atau yang lebih tinggi mempengaruhi keputusan orang tua terkait penyelesaian pendidikan dasar untuk anak-anak mereka. Persepsi orang tua mengenai mutu pendidikan dan kesempatan anak untuk berhasil mencapai tingkat yang lebih tinggi juga mempengaruhi prioritas rumah tangga tentang pendidikan.35 Selain itu, jika orang tua pernah bersekolah, maka anak akan disekolahkan juga dan cenderung melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. Sikap dan tindakan yang berdasarkan gender yang terjadi di keluarga, masyarakat dan sekolah berdampak pula pada pola kesempatan (akses) bagi perempuan dan laki-laki. Pernikahan dini dan kehamilan di luar pernikahan mempengaruhi kesempatan perempuan untuk menyelesaikan pendidikan menengah atas (lihat Bab V).

Walaupun di Indonesia telah terjadi penurunan dalam pernikahan dini, hal ini masih dilakukan di banyak tempat. Data BPS 2010 menunjukkan penurunan yang cukup signifikan terjadi di beberapa Provinsi seperti DKI Jakarta (12,2%), Yogyakarta (16,8%), Sumatera Barat (16,5%) dan Kepulauan Riau (13%). Namun di sisi lain, angka pernikahan dini terbesar terjadi di Sulawesi Tengah (37,2%), Sulawesi Barat (36,4%) dan Papua (36,8%). Hukum Fikih dalam agama Islam tidak menyebutkan usia tertentu dimana seorang perempuan wajib menikah. Di Indonesia, masih banyak orang tua yang memaksa anak perempuannya untuk menikah dini. Di kelompok usia 16-18 tahun, murid laki-laki maupun perempuan menyebutkan pernikahan dini sebagai alasan untuk putus sekolah, dengan jumlah perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki (lihat Tabel 3). Gambar 26 menunjukkan korelasi tinggi antara pernikahan dini dan putus sekolah bagi murid perempuan di pendidikan menengah atas.

Pernikahan Dini di Kabupaten Indramayu

Dinas Pendidikan Indramayu , “Pernikahan usia dini dianggap sebagai fenomena sosial-budaya yang dapat diterima di daerah ini. Data Suseda tahun 2004 menunjukkan bahwa 75% perempuan menikah pada usia 18 tahun atau di bawahnya. Lima tahun kemudian, Dinas Pendidikan Indramayu mencatat bahwa 79% perempuan menikah sebelum usia 19 tahun. “

Kepala Sekolah SMK Eretan Kulon Indramayu, “Kode etik kami melarang orang yang terdaftar sebagai murid untuk menikah. Pada tahun 2007 dua murid perempuan putus sekolah untuk menikah. Kami mencoba untuk membujuk orang tuanya agar mengizinkan anak perempuannya menyelesaikan pendidikannya dulu, tapi mereka tidak mau

mendengarkan masukan kami. “

Gender Focal Point Universitas Bandung, “Pendidikan dan pekerjaan di luar industri rumah tangga harus didorong untuk mencegah peningkatan jumlah kasus pernikahan dini di Kabupaten Indramayu.”

Sumber: ACDP 005 Penelitian Studi Kasus, Januari 2012

34. Studi Kasus Penelitian Reviu Tinjauan, FGD SD Eraton Kulon, Kecamatan Kandanghaur, Indramayu, Jawa Barat. 35. ADB PRMAP/IPB. 2009. Parents Satisfaction Survey in Indramayu.

Gambar 26. Pernikahan Dini dan Putus Sekolah Murid Perempuan Tingkat SMA (Korelasi: 0.288; Nilai P: 0.104)

Dokumen terkait