• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN 1 Profil Perajin (UKM) Batik

KUANTITAS PRODUKSI SENTRA BATIK DI WILAYAH JAWA TIMUR (KABUPATEN

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 1 Profil Perajin (UKM) Batik

Hasil analisis terhadap perajin (UKM) batik di Kabupaten Sampang, Trenggalek dan Tuban disajikan pada Tabel 1.

a. Umur Responden

Komposisi usia pemilik UKM relatif seimbang, yang berumur 31-40 dan 41-50 tahun masing-masing sebanyak 31

persen, sedangkan yang berumur di atas 50 tahun terbanyak yaitu sebesar 38 persen dari total sampel yang diamati. b. Lama Usaha Kerajinan Batik

Sedikitnya UKM batik yang melakukan usaha kurang dari 2,5 tahun, dimungkinkan karena permintaan produk batik baru mulai meningkat tajam beberapa tahun terakhir, setelah pemerintah mencanangkan hari batik nasional. Dampak dari kebijakan pemerintah tersebut, industri batik mulai menjamur di berbagai daerah, hal tersebut berpengaruh pada generasi muda yang diharapkan untuk mengambil bagian dalam bisnis batik.

Bila dilihat dari pengakuan oleh UNESCO tahun 2009 bahwa produk batik sebagai warisan budaya bangsa Indonesia, tampaknya terdapat gejala bahwa kerajinan batik lebih didominasi oleh pelaku lama, karena sebelum ada pengakuan tersebut mereka telah melakukan usaha kerajinan batik, walaupun belum ada stimulan dari pemerintah daerah yang memfasilitasi berbagai kegiatan pengembangan kerajinan batik.

c.Cara Memulai Usaha

Tingginya UKM yang memulai dengan merintis sendiri dapat dianalisis dengan pendekatan 2 hal, yaitu pengakuan budaya batik dan teknologi pembelajaran ketrampilan batik. Adanya fasilitasi dari pemerintah dan meningkatnya kebutuhan batik setelah era pengakuan internasional, yang diimbangi dengan promosi penggunaan batik dalam kehidupan sehari-hari menyebabkan dinamika produksi dan

pemasaran yang menjanjikan. Peluang tersebut

dimanfaatkan oleh perajin batik yang mendalami teknologi produksi untuk mulai mengelola usaha mulai dari proses produksi yang dikerjakan sendiri dan pemasaran sendiri. d. Sebaran Jumlah Tenaga Kerja

Hasil analisis terhadap jumlah tenaga kerja UKM batik, tenaga kerja yang dewasa terdiri dari 95 persen yang terdiri dari 15 persen laki-laki dan 80 persen perempuan. Sisanya sebesar 5 persen merupakan tenaga kerja anak-anak. Batik merupakan produk kerajinan yang memerlukan ketekunan dan kecermatan dalam proses pembuatan, oleh karena itu perempuan lebih mampu menekuni pekerjaan tersebut. Tenaga kerja laki-laki sebagian besar mengerjakan tugas pewarnaan (pencelupan), karena tugas tersebut relatif berat dibandingkan dengan tugas yang lain (pembuatan, motif, pembatikan dan solet).

PROSIDING SEMINAR NASIONAL APTA, Jember 26-27 Oktober 2016

Tabel 1. Profil UKM Perajin Batik

No. Parameter Nilai

(%) 1. Umur responden :

 ≤40 tahun 31

 41-50 tahun 31

 > 50 tahun 38

2. Lama usaha batik :

 < 1 tahun 0

 >1 – 2,5 tahun 15

 > 2,5 tahun 85

3. Cara memulai usaha:

 Warisan keluarga 25

 Merintis sendiri 75

4. Jumlah tenaga kerja yang terlibat :

 Anak-anak 5  Pria dewasa 15 5. Teknologi/Metode produksi  Batik tulis 69  Batik tulis-cap 31 6. Kapasitas produksi  <20 lembar/bulan 41  21-50 lembar/bulan 17  >50 lembar/bulan 42 7. Bahan pewarna  Sintetis 92

 Alami dan sintetis 8

8. Permasalahan pengembangan usaha

 Keterampilan tenaga kerja 55

 Pasar 36

 Kapasitas alat 9

9. Cara membuat desain

 Belajar sendiri 63

 Melihat/mencontoh motif batik lain 25

 Mengikuti diklat 12

10. Cara UKM mendapatkan permodalan untuk pengembangan usaha

 Modal sendiri 23

 Pinjaman Bank 23

 Modal sendiri dan pinjaman 54

11. Cara memasarkan produk batik yang dihasilkan

 Memasarkan langsung door-to-door 15

 Memasarkan di koperasi 8

 Memasarkan di koperasi, membuka

outlet dan memasarkan door-to-door 31

 Membuka outlet dan memasarkan di

koperasi 31

 Memasarkan door-to-door &

membuka outlet 15

 Menyerahkan pada distributor 0

Rata-rata perajin batik di Jawa Timur menggunakan tempat tinggal sekalian tempat usaha dan nyaris semuanya dikelola perempuan. Pembatik mengerjakan di tempat usaha atau dibawa pulang dengan sistem borongan. Umumnya

dikerjakan ibu-ibu PKK di rumah tanpa meninggalkan aktivitas di rumah (Mardiantoro, et. al., 2012).

Tenaga kerja anak-anak hanya sebagian kecil yang ada di kerajinan batik, hal tersebut lebih didominasi di wilayah Kabupaten Tuban. Konsep pembelajaran batik pada generasi muda tersebut banyak dilakukan di wilayah Tuban, karena adanya pembinaan dari pemerintah daerah maupun pihak

industri setempat sebagai media implementasi community

development. Sedikitnya tenaga kerja dari generasi

dikarenakan image bekerja di pabrik lebih bergengsi dan pendapatan kerja di sektor industri lebih tinggi. Dominasi tenaga kerja orang tua kurang menarik bagi generasi muda. e. Teknologi Produksi

Teknologi batik cap berkembang pesat di wilayah Kabupaten Tuban, sedangkan di Trenggalek dan Sampang masih mengandalkan pada batik tulis. Hasil wawancara dengan menunjukkan bahwa sebagian besar cenderung ingin mempertahankan metode produksi batik tulis, dengan konsekuensi waktu pengerjaan lama dan harga relatif tinggi sehingga daya saing terhadap pakaian dari tekstil menjadi lemah. Disisi lain dari sudut pandang konsumen, walaupun batik memberikan motif pakaian yang bagus, namun daya tahan warna batik relatif lebih pendek dan perlu penanganan pencucian yang hati-hati.

Batik cap merupakan alternatif solusi. Tingginya kecepatan produksi berdampak pada meningkatnya pendapatan buruh UKM batik dan juga harga pokok produksi (HPP) lebih rendah sehingga daya serap pasar lebih tinggi. Hal tersebut dibuktikan oleh kapasitas produksi batik di Tuban lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain, karena telah banyak menerapkan teknik produksi batik gabungan cap dan tulis.

f. Kapasitas Produksi UKM

Kapasitas produksi batik dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain: teknologi produksi (cap atau tulis), besarnya kemitraan yang dimiliki oleh UKM perajin batik serta luasnya jaringan pemasaran yang dikuasai.

g. Bahan Pewarna

Bahan pewarna alami yang digunakan oleh perajin meliputi indigo, sedangkan bahan pewarna buatan yang banyak digunakan meliputi Remazol dan Naftol. Tingginya penggunaan bahan pewarna sintetis dikarenakan keunggulan-keunggulan berikut:

1) Ragam bahan pewarna sintetis lebih mudah didapatkan

di pasaran, tidak seperti halnya pewarna alami relatif sulit didapatkan di pasaran. Jika harus membuat sendiri keberadaan bahan baku sulit serta proses pembuatan memakan waktu yang lama serta ketrampilan teknologi bagi perajin.

2) Bahan pewarna sintetis lebih awet (tahan lama) sehingga

lebih disukai oleh konsumen, tahan terhadap panas dan sinar matahari sehingga tidak memerlukan perlakuan khusus dalam pencucian dan penjemuran.

3) Variasi warna lebih banyak, sehingga lebih

memungkinkan perajin melakukan pengembangan desain batik mengikuti perkembangan jaman, terutama dengan semakin banyaknya desain batik kontemporer yang memanfaatkan aneka warna yang cerah dan variatif. Jika menggunakan pewarna alami, untuk

PROSIDING SEMINAR NASIONAL APTA, Jember 26-27 Oktober 2016

mendapatkan warna alami yang bagus perajin

mengekstrak tumbuhan sesuai yang dikehendaki. Ada beberapa bagian tumbuhan yang dapat menghasilkan warna utama. Misalnya daun tanaman nila (Indigofera

tinctoria) dapat menghasilkan warna biru, daun kenikir

sayur dapat menghasilkan warna kuning cerah, dan

batang tangkai pohon secang (Caesalpinia sappan)

dapat menghasilkan warna merah.

4) Pewarna sintesis memungkinkan biaya produksi yang

lebih rendah dibandingkan pewarna alami, sehingga akan mempengaruhi harga jual.

Memang saat ini cukup sulit mendapatkan warna alami yang berasal dari tumbuh-tumbuhan yang ramah lingkungan. Namun di lain pihak, proses pembatikan dengan pewarna alami relatif aman bagi kesehatan para perajin dan konsumen batik. Selain itu, dampak bagi lingkungan tidak signifikan, dan bahan alami dapat mengeluarkan aroma wangi serta dapat memberikan rasa nyaman dan hangat bagi pemakai.

h. Permasalahan Pengembangan Usaha

Hasil penelitian Yuafni (2012) beberapa faktor yang mempengaruhi antara lain: 1) modal sebesar 39,8%, 2) tenaga kerja sebesar 25,6%, 3) Alat dan bahan sebesar 50,7%, serta 4) modal, tenaga kerja, alat dan bahan secara bersamaan mempengaruhi produksi batik sebesar 69,1%.

Permasalahan ketrampilan tenaga kerja disebabkan beberapa hal berikut:

1) Sebagian besar ketrampilan terbaik dimiliki oleh tenaga

perajin yang telah lanjut usia dengan pengalaman kerja bertahun-tahun, karena dalam melatih ketrampilan membatik diperlukan kesabaran dan ketekunan serta waktu kerja yang lama.

2) Persentase tenaga terampil perajin muda sulit

dikembangkan karena kurangnya minat.

Sulitnya pengembangan pemasaran batik disebabkan oleh beberapa hal berikut:

1) Produk batik tulis merupakan produk pakaian yang

harganya relatif mahal bila dibandingkan dengan pakaian non-batik kelompok tekstil, oleh sebab itu produk batik hanya dikonsumsi oleh segmen masyarakat kelompok menengah ke atas.

2) Daya tahan pakaian batik relatif lebih rendah

dibandingkan dengan pakaian dari nilon, terutama dari ketahanan warna. Oleh sebab itu diperlukan upaya peningkatan kualitas warna batik yang lebih mendekati ketahanan pewarna tekstil lain.

3) Dari segi bahan kain, batik didominasi serat alami

(cotton dan sutera) yang mempunyai ketahanan lebih

rendah dibandingkan nilon, walaupun kenyamanan dipakai lebih tinggi.

4) Isu batik baru menggeliat setelah produk tersebut diakui

oleh UNESCO, oleh karena itu perkembangan batik di daerah baru dimulai pesat setelah adanya peran pemerintah daerah yang memfasilitasi penyuluhan, diklat teknologi dan manajemen, pengurusan paten, permodalan dan jejaring pemasaran. Kabupaten/kota mulai bersemangat menumbuhkan industri batik, mengusahakan supaya ada pengrajin batik, serta mencari

ciri khas jenis dan motif yang sesuai untuk dijadikan identitas daerah.

Rendahnya kapasitas alat produksi, disebabkan akibat teknik prosesing pembuatan batik masih mengandalkan pada batik tulis, peningkatan kapasitas dapat dilakukan dengan kombinasi antara batik cap dan tulis. Oleh sebab itu untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang dialami oleh UKM batik dalam pengembangan usaha, diperlukan strategi kombinasi pengembangan pasar kesemua segmen.

i. Cara membuat Desain

Selain belajar mendisain sendiri, cara yang paling praktis adalah dengan melihat/mencontoh motif batik lain, hal tersebut dipercepat dengan adanya permintaan terhadap motif tertentu yang telah beredar di pasar. Umumnya para UKM batik menganggap mencontoh motif paling mudah dilakukan, dibandingkan harus melakukan perancangan desain sendiri yang memerlukan pemikiran dan percobaan yang banyak.

Dalam membuat disain, umumnya pemilik langsung terlibat. Disain dapat ditawarkan kepada calon konsumen, konsumen membawa disain sendiri lalu perajin tinggal mengerjakan, atau perajin menjual disain langsung jadi. Sayangnya beberapa perajin tidak sempat menyimpan arsip atau prototype disain batiknya. Karena kebutuhan modal semua ikut terjual sehingga menyulitkan pelanggan bila memilih contoh disain yang dikehendaki.

j. Sebaran Modal

Hampir semua UKM telah menyadari bahwa

penggunaan dana pinjaman dapat mempercepat

pengembangan usaha. Di beberapa wilayah khususnya Kabupaten Tuban jumlah pemanfaat pinjaman Bank semakin banyak dengan adanya fasilitasi pembinaan manajemen produksi dari beberapa industri besar. Hal ini diperkuat adanya pembinaan dinas terkait (Disperindag dan Diskop UKM) yang mencarikan peluang usaha pinjaman dengan bunga rendah. Pembinaan intensif meningkatkan kesadaran UKM untuk bermitra dengan perbankan dalam memperbesar modal produksi.

k. Cara memasarkan produk

Dari data terlihat bahwa semua cara ditempuh oleh UKM batik untuk memasarkan produknya, hal tersebut merupakan indikasi bahwa semua kerajinan batik masih dikerjakan oleh UKM sendiri, dengan tingkat permodalan dan produksi yang masih relatif kecil. Hal tersebut seiring dengan pemanfaatan teknologi produksi yang digunakan oleh batik masih relatif sederhana. Tidak satu pun UKM yang memasarkan produknya dengan menyerahkan sepenuhnya pada distributor tunggal, karena metode tersebut bersifat kerja sama mengikat dan membutuhkan transparansi biaya produksi serta komitmen jangka panjang yang biasa dilakukan oleh perusahaan besar.

Salah satu hal yang dapat dilakukan sebagai bagian dari strategi pemasaran adalah produsen batik harus mencari motif yang tetap mencerminkan ciri khas dan melakukan

branding secepatnya agar dapat diketahui masyarakat luas,

khususnya perajin baru (Mardiantoro, et. al., 2012). Citra produk harus dibangun dan dijaga sebaik mungkin sehingga

dapat memperkuat branding dan menciptakan konsumen

PROSIDING SEMINAR NASIONAL APTA, Jember 26-27 Oktober 2016

3.2. Motif Batik

1) Motif Batik Pinggiran atau Sumberdaya Alam (SDA) Evaluasi desain batik menunjukkan hampir semua bermotif sumber daya alam.

a. Kabupaten Sampang

Batik di wilayah Sampang didominasi oleh motif flora dan fauna seperti daun mengkudu dan burung Merak. Batik Sampang tradisional banyak didominasi oleh warna sogan cenderung kecoklatan. Pewarnaan ini tidak bisa ditiru di daerah lain di Madura. Bahkan beberapa proses pewarnaan daerah lain dilakukan di Sampang. Warna lain batik di Sampang hampir sama dengan warna batik pada umumnya di Madura. Sebagian perajin yang ada di wilayah utara (Banyuates) motif batiknya cenderung dipengaruhi oleh batik Tanjung Bumi (Bangkalan), sedangkan di pantai selatan (Camplong) lebih dipengaruhi oleh motif batik Pamekasan yang sebagian besar lebih mengarah pada motif kontemporer. Dari segi kualitas sebenarnya batik Sampang lebih cerah dan lembut. Kadar pH air di tanah berkapur mendukung pewarnaan.

b. Kabupaten Trenggalek

Batik tradisional di Trenggalek sebagain besar bermotif kawung, sedangkan untuk batik moderen dicirikan dengan adanya bunga Cengkeh yang dianggap merupakan produk komoditi pertanian unggulan, atau menggunakan flora yang lain seperti buah Manggis. Produksi batik tradisional (kawung) pada saat sekarang cenderung mengalami penurunan dikarenakan tergeser oleh batik kontemporer dengan aneka motif dan pewarnaan yang lebih dinamis dan disukai anak muda.

c. Kabupaten Tuban

Batik di wilayah Kabupaten Tuban termasuk dalam kategori batik pinggiran yang dicirikan dengan motif sumberdaya alam (SDA), adanya gambar pelengkap sebagai isen yaitu daun Lontar (barbar) pada setiap jenis batik. Daun tersebut merupakan tanaman khas di daerah pantai utara wilayah Tuban. Bila dilihat dari kain yang digunakan maka di Tuban terdapat batik tulis mori dan batik tulis tenun Gedog. Pengembangan desain batik di Tuban berkembang sangat pesat sejak dahulu, hal tersebut telah dibuktikan dengan telah adanya hak paten sejumlah 40 motif batik Tuban, dengan peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.01-HC.03.01 tahun 1987.

Batik motif pinggiran disebut juga pedesaan atau pesisir adalah jenis batik yang desainnya tidak mengacu pada batik kraton (Solo maupun Yogyakarta), akan tetapi menggunakan tanaman maupun hewan yang ada disekitar wilayah perajin batik (Anonymous, 2012). Hal tersebut nampak jelas bahwa Trenggalek menggunakan ikon bunga cengkeh karena wilayah tersebut pernah menjadi penghasil cengkeh terbesar di Jawa Timur, disisi lain wilayah Tuban banyak tumbuh tanaman Lontar, oleh sebab itu perajin di daerah tersebut melibatkan daun lontar (babar) dalam desain batik yang mereka produksi.

2) Motif Desain Batik Budaya

Hasil pengamatan menunjukkan belum banyak motif desain yang mengacu pada budaya masing-masing wilayah. Sebagai contoh batik Blitar, Malang dan Kediri belum dapat menampilkan desain yang mencerminkan budaya lokal,

walaupun di ketiga kabupaten tersebut banyak menyimpan artefak budaya yang tersimpan pada candi yang dapat digunakan sebagai media eksplorasi budaya daerah. Di wilayah Madura terdapat batik yang telah mulai menampilkan motif budaya karapan sapi dan aduan ayam, akan tetapi di wilayah Kabupaten Sampang belum juga nampak desain batik yang memanfaatkan budaya leluhur dari daerah tersebut. Sulitnya mengekplorasi budaya disebabkan sedikitnya artefak budaya yang berupa prasasti bebatuan seperti halnya candi maupun patung yang relatif tahan lama seiring perkembangan jaman.

3.3. Perkembangan Kualitas dan Kuantitas Batik 1) Kualitas

Kualitas batik yang ada di ketiga sentra UKM batik yang telah dievaluasi menunjukkan perubahan umum dari batik tulis sebagai motif lama menuju ke batik kontemporer, yang mengarah pada perubahan desain bebas dan menggunakan warna yang relatif beragam. Kualitas batik sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah desain batik, kain, bahan pewarna dan juga teknologi produksi yang digunakan (Anonymous, 2012).

Kualitas bahan dasar (kain) yang digunakan untuk kerajinan batik mengarah pada kain katun dengan jenis Primisima, hanya sebagain kecil yang sudah mengarah ke kain sutera. Disisi lain penggunaan kain tenun cenderung berkurang, hanya di wilayah Tuban yang masih mempertahankan batik tulis Gedog. Menurunnya penggunaan kain tenun disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah: struktur kain terlihat kurang padat dan merata dan kasar sehingga kurang disukai oleh konsumen, kain terlihat keras sehingga kurang fleksibel untuk digunakan berbagai variasi pakaian, hanya cocok untuk selendang. Hal tersebut hampir sama dengan berbagai kerajinan tenun yang terjadi di Batak, Sumatera Barat dan Sasak di Lombok.

Bahan pewarna yang digunakan pada kerajinan batik cenderung mengarah ke penggunaan pewarna sintetis, hanya sedikit UKM yang menggunakan pewarna alam. Hal tersebut disebabkan akibat sulitnya mendapatkan bahan baku untuk produksi pewarna alam, proses pembuatan relatif lama, dan corak warna yang relatif terbatas serta daya tahan warna terhadap panas dan sabun kurang.

Tekologi Produksi masih didominasi oleh batik tulis, hal tersebut dengan pertimbangan harga relatif tinggi dan tidak membutuhkan investasi modal yang besar. Dalam perkembangan teknologi produksi mengarah ke batik cap yang dikombinasi dengan tulis (Tuban), serta sablon yang dikombinasi dengan tulis (Trenggalek). Metode kombinasi tersebut dapat dianggap sebagailangkah yang paling strategis saat kini, karena kecepatan produksi meningkat akibat adanya cap dan sablon, disisi lain kualitas batik masih bertahan bagus karena masih menggunakan tulis sebagai isen desain batik (jadi cap dan sablon hanya digunakan sebagai induk motifnya saja).

2) Kuantitas

Kapasitas produksi UKM perajin batik secara umum perlahan-lahan mengalami kenaikan, hal tersebut disebabkan oleh meningkatnya kesadaran masyarakat untuk menggunakan busana batik. Secara rinci belum ada data

PROSIDING SEMINAR NASIONAL APTA, Jember 26-27 Oktober 2016

perubahan jumlah produksi riil di ketiga sentra produksi

batik pada periode ketiga tahun terakhir. Di Tuban kapasitas produksi terbesar pada tahun 2006 terdapat UKM sebanyak 627 unit, dengan jumlah tenaga kerja 816 orang dan kapasitas produksi total batik tulis sebanyak 6.020 lembar dan kain 17.080 meter, tenun gedog 10.550 meter, kaos batik 108.000 unit (Indagkop Tuban, 2006). Kapasitas produksi batik di wilayah Kabupaten Sampang dan Trenggalek masih relatif kecil. Pada tahun 2013 di wilayah Kabupaten Sampang sebanyak 400 lembar/bulan dengan sentra di 5 kecamatan dan jumlah UKM 10 unit; sementara di Trenggalek kapasitas produksi 665 lembar/bulan.

Faktor lain yang menyebabkan meningkatnya penggunaan batik di daerah adalah adanya kegiatan promosi

baik dalam hal wisata maupun acara fashion. Kegiatan

tersebut didukung oleh pernyataan Murtadlo (2013) yang

menyatakan bahwa perkembangan budaya dan fashion dapat

berdampak positif bagi pengembangan batik Malangan. Batik telah mampu menjadi warisan budaya yang digemari,

menjadi tren, berkembang pesat, dimodifikasi,

dikembangkan, dan disebarluaskan sehingga menjadi budaya yang tidak pernah punah oleh perkembangan zaman. Untuk meningkatkan kapasitas produksi kedua jenis batik tersebut adalah untuk batik cap diperlukan tindakan proaktif mengadakan pelatihan perajin menggunakan tenaga kerjalaki-laki khususnya generasi muda, karena memerlukan tenaga yang cukup besar untuk melakukan tugas tersebut. Disisi lain untuk mempertahankan kapasitas produksi batik tulis, yang harus dilakukan pemerintah adalah memperbanyak jumlah tenaga wanita terampil. Manfaat lain dari pemberdayaan perempuan adalah pekerjaan kerajinan batik dapat dikerjakan di rumah. Konsep kerjasama inti- plasma dengan UKM kerajinan batik berbasis gender sangat bagus diterapkan.

4. KESIMPULAN

Telah terjadi perubahanan positif perkembangan kualitas batik. Batik tulis tradisional mengarah ke batik tulis komtemporer dengan ragam motif yang bervariasi. Batik kontemporer menggunakan warna yang relatif berani sehingga produk yang dihasilkan lebih dapat diterima oleh pasar kalangan muda dan dapat dapat menyesuaikan perkembangan mode. Teknologi produksi batik mengarah ke arah kapasitas lebih tinggi dengan menerapkan teknik cap di Tuban dan teknik sablon di Trenggalek. Untuk mempertahankan kualitas batik tulis namun meningkatkan kecepatan produksi, teknik cap dan sablon dapat dikombinasikan dengan isen motif batik tulis, sehingga produk bernilai seni tinggi dan harga bersaing. Perkembangan motif desain masih banyak menggunakan desain sumber daya alam, masih sedikit yang menggali budaya daerah.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini terlaksana atas bantuan dana Hibah Penelitian Kerjasama Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Timur dengan Fakultas Teknologi Pertanian tahun 2013 dengan judul “Kajian Pengembangan Kelompok

Usaha Rumah Tangga Kerajinan Batik untuk Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan”.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous1), 2013. Batik Madura. Online: http://id.wikipedia.

org/wiki/ Batik_Madura. Akses : 8 Februari 2013.

_________2), 2012. Batik Jawa Timur. Online: http://portal-

nasional.com/ tentang-batik-jawa-timur/. Akses: 9 Februari 2013.

_________3), 2012. Sekilas Tentang Batik Tuban. Online:

theangel.wordpress.com/2012/05/16/sekilas-tentang-batik- tuban/. Akses: 9 Februari 2013.

_________4), 2012. Mengenal Pewarna Batik Alami dan Sintetis

(Reaktif, Indigosol, Napthol, dan Rapid). http://www.kidungasmara. com/tag/pewarna-batik-sintetis/ _________5), 2006. Panduan Pengambilan Data dengan Metode

Rapid Rural Appraisal (RRA) dan Participatory Rural Appraisal (PRA). Volume 2. Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Departemen Perikanan dan Kelautan. Tahun 2006. Online : www.coremap.or.id/ downloads/ manual-metode_rra_pra_ok.pdf

Alfianah, Risah, 2011. Pemberdayaan Pengusaha Batik Tulis Di Desa Jetis Kecamatan Sidoarjo Kabupaten Sidoarjo. Skripsi. Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur. Surabaya.

Hasworo, Andika Sukmasakti, 2012. Strategi Pengembangan Obyek Wisata Batik Kota Pekalongan. Skripsi. Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Diponegoro. Semarang. Indriartiningtyas, Retno, 2010. Mengukur Kapabilitas Teknologi.

Online: jurnal. pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/92101118_1412- 8624.pdf.

Indrojarwo, 2010. Development of Indonesia New Batik Design by Exploration of Exploitation of Recent Context. Jurusan Desain Produk Industri, FTSP- ITS. Surabaya. www.its.ac.id/.../3232- baroto-prodes-. Akses: 27 Januari 2013.

Latifah, A, 2011. Batik Dalam Tradisi Kekinian. Online:

staff.uny.ac.id/sites/

default/.../batik%20%20aplikasi%20artikel_0.pdf. Akses : 05 Februari 2013.

Murtadlo, Arif, 2013. Upaya Pengembangan Usaha Pengrajin Batik Malangan (Studi Kasus Di Desa Druju Kecamatan Sumbermanjing Wetan Kabupaten Malang). Skripsi Jurusan Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas