• Tidak ada hasil yang ditemukan

sp.) MENGGUNAKAN METODE PERENDAMAN VAKUM

Kobajashi Togo Isamu

1*

, Tamrin

1

, Rosayanti Dwi Utami

2

*Jurusan Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Teknologi dan Industri Pertanian, Universitas Halu Oleo, Jl. H.E.A.

Mokodompit, Anduonohu, Kendari, 93232, Indonesia

², ³Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi dan Industri Pertanian, Universitas Halu Oleo, Jl. H.E.A. Mokodompit, Anduonohu, Kendari, 93232, Indonesia

*E-mail: kobajashi.tisamu@yahoo.com

ABSTRAK

Bakso adalah salah satu wujud produk diversifikasi pangan perikanan yang banyak diminati masyarakat namun memiliki nilai pH mendekati netral sehingga ideal sebagai media pertumbuhan mikroorganisme. Hal ini menyebabkan perlu diterapkan proses pengawetan yang dapat mempertahankan masa simpan produk ini lebih lama dari biasanya tanpa menurunkan kualitas gizi yang terkandung didalamnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perendaman asap cair dengan teknik vakum terhadap karakteristik kimia bakso ikan tuna. Konsentrasi asap cair yang digunakan adalah 10%. Metode perendaman asap cair yang digunakan adalah metode perendaman asap cair secara non- vakum (V0) dan metode perendaman asap cair secara vakum (V1). Suhu penyimpanan yang digunakan adalah suhu penyimpanan ambient (T0) dan suhu penyimpanan dingin (T1). Masa pengamatan bakso ikan tuna dilakukan hingga mencapai hari ke-14. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bakso ikan tuna yang direndam asap cair secara vakum dan disimpan dalam suhu dingin menghasilkan nilai kualitas karakteristik kimia yang lebih baik hingga masa penyimpanan terakhir.

Kata kunci : Bakso Ikan Tuna, Asap Cair, Metode Perendaman Vakum

PENDAHULUAN

Laut sulawesi merupakan salah satu perairan Indonesia yang menjadi potensi kehidupan ikan tuna. Pada tahun 2007 produksi perikanan tangkap ikan tuna di Kota Kendari mencapai 604, 54 ton, 606, 04 ton pada tahun 2008 dan tahun 2009 telah mencapai 608, 64 ton (BKPM, 2015). Bakso ikan tuna adalah produk olahan daging berbentuk bola yang diperoleh dari campuran daging ikan tuna dan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan bahan pangan yang diizinkan (BSN, 1995). Namun bakso juga merupakan produk pangan yang memiliki kadar air yang tinggi, kaya nutrisi dan memiliki pH yang mendekati netral sehingga bisa menjadi media kultur pertumbuhan yang ideal bagi mikroorganisme (Sugiharti, 2009). Tidak sedikit pedagang bakso yang mencoba melakukan penyalahgunaan pemakaian zat aditif pangan dengan menambahkan bahan- bahan yang dilarang digunakan sebagai BTP, dengan tujuan sebagai bahan pengawet makanan tersebut. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan (BTP), formalin dan boraks bukan bahan pengawet makanan sehingga keduanya tidak termasuk ke dalam jenis Bahan Tambahan Pangan (BTP). Formalin biasanya digunakan sebagai bahan pengawet mayat dan pengawetan hewan

untuk penelitian. Formalin juga berfungsi sebagai desinfektan, antiseptik, antihidrolik serta bahan baku

industri pembuatan lem plywood, resin dan tekstil

(Saparinto & Hidayati, 2010). Damiyati (2007) melaporkan bahwa formalin dapat memperpanjang daya awet bakso dan boraks dapat mengenyalkan bakso, namun keduanya sangat membahayakan kesehatan (Sudarwati, 2007). Hasil laporan tahunan BPOM Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2010 menyatakan, dari 1263 sampel makanan yang diuji, diperoleh 0,07% mengandung formalin, 1,10% mengandung

Rhodamin B dan 0,15% mengandung boraks (Syaputri,

2012).

Oleh karena itu diperlukan penggunaan pengawet yang aman, salah satu pengawet yang dapat digunakan adalah asap cair. Asap cair dapat digunakan sebagai pengawet makanan karena adanya sifat antimikroba dan senyawa antioksidan, seperti aldehid, asam karboksilat dan fenol. Pengasapan dengan asap cair mudah dilakukan, cepat, keseragaman produk dapat diperoleh, karakteristik makanan yang didapatkan baik serta tidak terdepositnya senyawa karsinogenik hidrokarbon aromatik polisiklik dalam makanan yang diawetkan (Alçiçek, 2011). Kandungan

benzo[a]pyrene pada asap cair juga sangat rendah, bahkan

PROSIDING SEMINAR NASIONAL APTA, Jember 26-27 Oktober 2016

memungkinkan untuk menghasilkan produk asap yang tidak

mengandung benzo[a]pyrene dan senyawa karsinogenik

lainnya. Faktor yang menyebabkan terbentuknya senyawa

PAH adalah suhu pengasapan dan benzo[a]pyrene tidak

terbentuk jika suhu pirolisis dibawah 425°C (Guillen et al. 2000; Stolyhwo & Sikorski 2005), sehingga asap cair tempurung kelapa aman digunakan untuk produk pangan.

Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan

penelitian yang berjudul “Aplikasi Perendaman Vakum

Asap Cair pada Bakso Ikan Tuna (Thunnus sp.) Selama

Penyimpanan”.

BAHAN DAN METODE Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah larutan asap cair hasil pirolisis tempurung kelapa yang diproduksi secara komersial di Kab. Bogor Jawa Barat serta daging ikan tuna segar yang diperoleh langsung dari tempat pelelangan ikan (TPI) Kota Kendari, Sulawesi Tenggara dan bahan lain sebagai pengisi bakso ikan tuna diantaranya tapioka, merica, bawang putih, putih telur dan garam yang diperoleh di pasar tradisional Kota Kendari.

Prosedur pembuatan bakso ikan tuna (Thunnus sp.) Ikan tuna yang masih segar dicuci, diambil dagingnya, dibersihkan dari duri-duri kecil dan serat-serat putihnya, kemudian dicuci kembali dan didinginkan dengan menambahkan es batu disekitar daging ikan tuna yang telah dibersihkan. Selanjutnya daging ikan tuna yang telah dipotong kecil-kecil ditambahkan 30 gr garam, 20 ml air es, 100 gr tapioka/200 gr daging ikan tuna, bumbu yang telah dihaluskan berupa 30 gr bawang putih, merica/lada secukupnya serta 1 butir putih telur, lalu digiling

menggunakan blender/food processor hingga halus dan

homogen. Adonan ini dicetak menjadi bulatan-bulatan kecil lalu dimasak dengan merebusnya dalam air mendidih sampai mengapung, hasil rebusan ditiris dan diperoleh bakso matang yang siap diberi perlakuan perendaman asap cair. Proses pembuatan bakso ikan ini berpedoman pada penelitian Olivia (2013) yang telah dimodifikasi.

Aplikasi teknik perendaman asap cair pada bakso ikan tuna (Thunnus sp.)

Bakso yang menjadi perlakuan kontrol direndam dalam asap cair 10% (Merpati et.al.) tanpa menggunakan mesin vakum kemudian ditiriskan, dikemas dalam kemasan jenis

PE (Polyethylen) dan disimpan pada suhu ambient (30°C).

Selanjutnya, beberapa butir bakso lainnya dengan perlakuan yang sama hingga tahap pengemasan, disimpan pada suhu dingin (10°C).

Setelah itu, mesin vakum disiapkan. Larutan asap cair 10% dan bakso ikan lainnya dimasukkan ke dalam vakum dan dilakukan proses perendaman selama 10 menit (Hakim

et.al.,2014) kemudian bakso ikan ditiriskan, dikemas dalam

kemasan PE dan disimpan pada suhu ambient (30°C) dan suhu dingin (10°C).

Metode Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap pola Faktorial (RALF). Faktor I adalah metode perendaman asap cair pada bakso ikan tuna yang terdiri dari 2 taraf, yaitu perendaman asap cair 10% tanpa

menggunakan mesin vakum dan perendaman asap cair 10% menggunakan mesin vakum (V0 dan V1). Faktor II adalah suhu penyimpanan yang terdiri dari 2 taraf yaitu,

penyimpanan pada suhu ambient dan penyimpanan pada

suhu dingin (T0 dan T1). Terdapat 4 kombinasi perlakuan dari kedua faktor dengan 6 kali ulangan sehingga diperoleh 24 unit percobaan.

Variabel Penelitian

Variabel yang diamati adalah karakteristik kimia bakso ikan tuna yang meliputi kadar air (metode AOAC, 2005),

kadar protein (metode AOAC, 2000), dan kadar lemak

(metode AOAC, 2005) dengan menggunakan persamaan

berikut : % kadar air =

% kadar protein =

% N x Faktor Pengencer

% lemak totol =

HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Air

Kadar air merupakan salah satu parameter pendukung yang diukur pada penelitian ini. Menurut Winarno (1996), kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan

acceptability, kesegaran dan keawetan bahan makanan.

Kadar air bakso ikan tuna hasil perendaman asap cair 10% dan suhu penyimpanan yang berbeda selama masa pengamatan berkisar antara 71,18% - 75,84%. Hasil ini sesuai dengan standar kadar air yang tercantum pada SNI Nomor 01-3819 Tahun 1995 tentang syarat mutu bakso ikan, yaitu maksimal 80%.

Gambar 4.5. Rerata Persentase Kadar Air Bakso Ikan Tuna Hasil Perendaman Asap Cair 10% dan Suhu Penyimpanan yang Berbeda pada Masa Pengamatan Hari ke-0, Hari ke-7 dan Hari ke-14.

Keterangan : (*) = produk telah rusak

Tingginya kandungan kadar air bakso ikan tuna dapat disebabkan oleh kadar air ikan tuna/100 g yang tinggi, yaitu sebesar 74,03% (Wahyuni, 2011). Selain itu, lama pemanasan atau perebusan bakso ikan sebelum direndam dalam larutan asap cair 10%, juga menentukan persentase kadar air bakso ikan tuna. Menurut Putra et al. (2011), lama pemanasan menyebabkan peningkatan jumlah air yang terserap, karena air dapat berdifusi ke dalam makanan dan berikatan dengan pati dan protein. Selain itu, (Vaclavic and Christian, 2003) menyatakan bahwa perlakuan pemanasan menyebabkan terjadinya kehilangan struktur granula pati sehingga air masuk ke dalam struktur granula. Dengan berlanjutnya pemanasan, semakin banyak air yang

PROSIDING SEMINAR NASIONAL APTA, Jember 26-27 Oktober 2016

memasuki granula pati dengan mudah. Pati mengikat air

karena adanya gugus-gugus hidroksil yang mampu menyerap cukup banyak air.

Saat masa penyimpanan lebih dari 0 hari bakso ikn tuna yang direndam asap cair 10% dan disimpan pada suhu

ambient mengalami kerusakan dan kemunduran mutu

dimulai pada hari ke-3. Hal ini ditandai oleh rusaknya tekstur bakso, aroma tidak sedap menyengat dan warna- warna lain (selain warna asli produk) yang bermunculan yang mengindikasikan bahwa produk tersebut telah ditumbuhi banyak bakteri patogen. Menurut Candra et al.

(2014) dengan semakin banyaknya jumlah bakteri, maka air yang dihasilkan dari metabolisme akan memberikan sumbangan kadar air dalam bakso, hal ini terjadi karena mikroorganisme tersebut memanfaatkan komponen dalam bahan pangan tersebut untuk berkembang biak dan melakukan metabolisme, sehingga bahan makanan mengalami perubahan bau dan rasa, yang menyebabkan bahan makanan tidak dapat dikonsumsi lagi. Oleh karena itu, produk bakso ikan tuna yang disimpan dalam suhu

ambient tidak dianalisis lebih lanjut karena dinilai tidak

layak untuk dikonsumsi.

Analisis kadar air dalam penelitian ini hanya dilanjutkan untuk produk bakso ikan tuna hasil perendaman asap cair 10% yang disimpan dalam suhu dingin (10°C). Hasil uji lanjut ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata persentase kadar air bakso ikan tuna yang terdapat pada sampel bakso ikan tuna yang direndam asap cair secara non vakum dan disimpan dalam suhu dingin (V0T1) dengan bakso ikan tuna yang direndam asap cair secara vakum dan disimpan dalam suhu dingin (V1T1). Hal tersebut diduga karena selama penyimpanan, bakso ikan dikemas

menggunakan plastik polyethylene yang dapat menahan

masuknya air ke dalam produk. Menurut Syarief et al. (1989), plastik polyethylene memiliki sifat kedap air dan uap air.

Berdasarkan gambar diatas, terjadi penurunan persentase kadar air dengan semakin bertambahnya masa penyimpanan. Menurut Sanger (2010), penurunan kadar air dipengaruhi oleh aktifitas kimiawi bahan maupun penguapan air. Selain itu, kehilangan air dapat menyebabkan produk menjadi kurang menarik dengan tekstur kurang baik sehingga kualitasnya menjadi lebih rendah. Pengurangan kadar air ini berakibat pada perubahan tekstur bakso ikan tuna yang berubah menjadi keras. Hal ini sesuai dengan penelitian Martinez et al.(2007), suhu dingin dan lamanya penyimpanan akan menyebabkan kerusakan sel daging terutama sarkolemanya, sehingga daging kehilangan daya mengikat air. Selanjutnya air akan banyak yang keluar dari bakso dan tekstur bakso menjadi keras dan kering (case hardening).

Kadar Protein

Protein merupakan suatu zat yang amat penting bagi tubuh karena zat ini berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Protein dapat juga digunakan sebagai bahan bakar apabila keperluan energi tubuh tidak terpenuhi oleh

karbohidrat dan lemak (Winarno 1997).Kadar protein bakso

ikan tuna hasil perendaman asap cair 10% dan suhu penyimpanan yang berbeda selama masa penyimpanan

berkisar antara 10,55% - 11,77%. Ini lebih tinggi daripada standar minimal kandungan kadar protein bakso ikan yang ditetapkan SNI Nomor 01-3819 Tahun 1995 tentang syarat mutu bakso ikan, yaitu minimal 9%.

Gambar 4.6. Rerata Persentase Kadar Protein Bakso Ikan Tuna Hasil Perendaman Asap Cair 10% dan Suhu Penyimpanan yang Berbeda pada Masa Pengamatan Hari ke-0, Hari ke-7 dan Hari ke-14.

Keterangan : (*) = produk telah rusak

Tingginya kandungan kadar protein bakso ikan tuna yang direndam asap cair 10% diduga disebabkan oleh kadar protein ikan tuna yang juga tinggi, yaitu sekitar 24,40/100g ikan tuna (Wahyuni, 2011). Selain itu, sedikitnya jumlah tapioka yang digunakan dalam penelitian ini, yakni 1 : 2 untuk perbandingan tepung tapioka dan daging putih ikan tuna juga menjadi sebab tingginya perolehan kadar protein bakso ikan tuna. Hal ini didukung oleh penelitan Restu (2012) yang menyatakan bahwa semakin tinggi persentase tapioka, maka semakin rendah kadar protein yang dikandung bakso.

Selama melalui masa penyimpanan, bakso ikan tuna hasil perendaman asap cair 10% secara vakum maupun non

vakum yang disimpan dalam suhu ambient, mengalami

kerusakan dan kemunduran mutu yang disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme. Menurut Kok and Park (2007), terbentuknya lendir mengindikasikan bahwa produk tersebut sudah mengalami kemunduran mutu akibat aktivitas bakteri, sehingga sebaiknya sudah tidak dikonsumsi lagi. Menurut Suzuki (1981), kerusakan bahan makanan yang disebabkan oleh aktivitas bakteri atau mikroorganisme, terjadi karena mikroorganisme tersebut memanfaatkan komponen dalam bahan pangan untuk berkembang biak dan melakukan metabolisme, sehingga bahan makanan mengalami perubahan bau dan rasa yang menyebabkan bahan makanan tidak dapat dikonsumsi lagi. Aktivitas bakteri yang memanfaatkan protein untuk metabolisme, menyebabkan penurunan kadar protein atau terjadinya degradasi protein

pada penyimpanan suhu ambient yang disebabkan oleh

adanya enzim protease yang mengkatalisis protein menjadi polipeptida dan enzim peptidase yang mengkatalisis peptida menjadi peptida sederhana dan asam amino.

Analisis kadar protein dilanjutkan pada produk bakso ikan tuna yang disimpan dalam suhu dingin. Kadar protein bakso mengalami penurunan pada suhu dingin saat masa penyimpanan berlangsung, namun persentase kadar protein bakso yang direndam asap cair secara vakum lebih tinggi jika dibandingkan dengan bakso yang direndam asap cair secara non vakum. Hal ini diduga disebabkan karena semakin banyak dan kuat efek dari senyawa-senyawa asam dan fenol yang terkandung dalam asap cair. Menurut Karseno et al. (2002), fenol dan turunannya dapat bersifat

PROSIDING SEMINAR NASIONAL APTA, Jember 26-27 Oktober 2016

bakteriostatik atau bakterisidal karena mampu

menginaktifkan enzim-enzim esensial, mengkoagulasi SH dan NH protein. Oleh karena itu, bakso ikan tuna yang direndam asap cair 10% secara vakum, memiliki kadar protein yang lebih tinggi disetiap masa penyimpanan, karena lebih banyak mengandung senyawa antibakteri. Kadar Lemak

Lemak merupakan salah satu unsur yang penting dalam bahan pangan, karena lemak berfungsi untuk memperbaiki bentuk dan struktur fisik bahan pangan, menambah nilai gizi dan kalori, serta memberikan citarasa yang gurih pada bahan pangan (Winarno, 1997). Kadar lemak bakso ikan tuna hasil perendaman asap cair 10% dan suhu penyimpanan yang berbeda selama masa penyimpanan berkisar antara 4,94% - 12,17%.

Gambar 4.7 Rerata Persentase Kadar Lemak Bakso Ikan Tuna Hasil Perendaman Asap Cair 10% dan Suhu Penyimpanan yang Berbeda pada Masa Pengamatan Hari ke-0, Hari ke-7 dan Hari ke-14.

Keterangan: (*) = produk telah rusak

Dalam penelitian ini bakso ikan tuna yang disimpan

dalam suhu ambient mengalami kerusakan dengan semakin

bertambahnya masa penyimpanan. Bakso tersebut lebih cepat mengalami oksidasi sehingga menimbulkan bau tengik dan tampilan visual yang buruk bagi bakso. Kondisi seperti ini menjadikan bakso tidak layak untuk dikonsumsi lagi, sehingga sampel bakso yang disimpan dalam suhu

ambient tidak dianalisis lebih lanjut. Menurut Ketaren

(1986), kerusakan bahan pangan berlemak disebabkan oleh absorbsi bau oleh lemak, aktivitas enzim dalam jaringan bahan mengandung lemak, aktivitas mikroba, oksidasi oleh oksigen, kombinasi dari dua atau lebih penyebab kerusakan tersebut. Oksidasi dimulai dari pembentukan peroksida dan hidroperoksida. Tingkat selanjutnya ialah terurainya asam- asam lemak disertai dengan konversi hidroperoksid menjadi aldehid dan keton serta asam-asam lemak bebas. Aldehid berperan dalam pembentukan ketengikan, termasuk malonaldehid yang dapat diuji sebagai kadar TBA. Peroksida dapat mempercepat proses timbulnya bau tengik dan flavor yang tidak dikehendaki dalam bahan pangan. Jika jumlah peroksida lebih dari 100 meq peroksid/kg minyak akan bersifat sangat beracun dan mempunyai bau yang tidak enak.

Selama masa penyimpanan berlangsung, bakso ikan tuna yang direndam asap cair 10% secara vakum dan disimpan dalam suhu dingin, memiliki nilai kadar lemak yang lebih tinggi daripada perlakuan sebaliknya. Hal ini diduga disebabkan oleh kadar senyawa fenol dari asap cair yang lebih banyak terdapat dalam bakso yang direndam asap cair 10% secara vakum, daripada bakso yang direndam asap cair

10% secara non vakum. Senyawa fenol yang terkandung dalam asap cair dapat menghambat oksidasi lemak sehingga mencegah kerusakan lemak (Yunus, 2011). Menurut Hadiwiyoto (1983), selama penyimpanan, kadar lemak cenderung menurun, ini menunjukkan mulai terjadi penguraian lemak karena proses oksidasi atau hidrolisis yang keduanya dapat terjadi secara autolisis maupun kegiatan mikroba.

KESIMPULAN

Bakso ikan tuna yang direndam asap cair dengan konsentrasi 10% secara vakum bisa mempertahankan nutrisi bakso hingga masa pengamatan terakhir (14 hari) tanpa menyimpang dari batas persentase kadar nutrisi produk bakso yang telah ditetapkan SNI (Standar Nasional Indonesia). Suhu penyimpanan sangat berpengaruh terhadap kualitas karakteristik kimia bakso ikan tuna. Bakso ikan

tuna yang disimpan dalam suhu ambient tidak bisa

mempertahankan mutu dan kualitas bakso hingga mencapai penyimpanan satu pekan (7 hari), sedangkan suhu penyimpanan dingin dapat mempertahankan kualitas nutrisi bakso hingga masa penyimpanan terakhir (14 hari).

UCAPAN TERIMAKASIH

Penelitian ini terlaksana atas bantuan dana mandiri tahun 2015.

DAFTAR PUSTAKA

Alçiçek, Z., 2011, The Effects of Thyme (Thymus vulgaris

L.) Oil Concentration on Liquid-Smoked Vacuum-

Packed Rainbow Trout (Oncorhynchus mykiss

Walbaum, 1792) Fillets During Chilled Storage.Food

Chemistry Journal., No. 128, hal. 683–688.

[BKPM] Badan Koordinasi Penanaman Modal. 2015. Profil

Daerah Kota Kendari. Profil Komoditi Unggulan di

Daerah. Perikanan. Kendari.

http://regionalinvestment.bkpm.go.id/ Diakses pada tanggal 12 Mei 2015.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1995. Bakso Ikan.

SNI 01-3819-1995. Jakarta : Badan Standardisasi Nasional.

Damiyati, N., 2007. Ada Pengenyal Bakso selain Boraks. http://www.pikiranrakyat.com Diakses pada tanggal 1 Mei 2015.

Guillen, M.D., P. Sopelana and M.A. Partearroyo. 2000. Polycyclicaromatic hydrocarbons in liquid smoke flavorings obtained from different types of wood, effect of storage in polyethyleneflasks on their concentrations. Journal Agric Food Chem 48:5083-6087.

Hadiwiyoto, S. 1983. Hasil-hasil Olahan Susu, Ikan, Daging dan telur. Liberty, Yogyakarta.

Ketaren, S. 1986. Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI Press.

Kok, T.N. and Park, J.W. 2007. Extending the Shelf Life of Set Fish Ball. Journal of Food Quality 30:1-27.

Putra, A.A., N. Huda, and R. Ahmad. 2011. Changes during the processing of duck meatballs using different fillers after the heating and preheating process. International Journal of Poultry Science 10 (1): 62-70.

PROSIDING SEMINAR NASIONAL APTA, Jember 26-27 Oktober 2016

Restu. 2012. Pembuatan Bakso Ikan Toman (Channa

micropeltes) Making Meatball of Toman Fish (Channa

micropeltes) Fakultas Perikanan Universitas Kristen.

Palangka Raya.

Saparinto, C dan Hidayati, D. 2010. Bahan Tambahan

Pangan. Yogyakarta: Kanisius.

Stolyhwo, A. and Z.E. Sikorski. 2005. Polycyclic aromatichydrocarbons in smoked fish- a critical review. Food Chem91: 303-311.

Sudarwati, 2007. Pembuatan Bakso Daging Sapi Dengan

Penambahan Kitosan. Skripsi. Medan: Universitas

Sumatera Utara.

Sugiharti, S. 2009. Pengaruh Perebusan dalam Pengawet

Asam Organik Terhadap Mutu Sensori dan Umur

Simpan Bakso. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian.

Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Syaputri, F. 2012. Identifikasi Kandungan Rhodamin B dan

Metahnil Yellow yang terdapat pada minuman jajanan

anak SD di Kota Kendari. Karya Tulis Ilmiah. Jurusan

Gizi Poltekkes Kendari.

Vaclavic, V.A. and E.W. Christian. 2003. Essentials of Food Science. Springer. New York.

Wahyuni, S. 2011. Histamin Tuna (Thunnus sp.) dan

Identifikasi Bakteri Pembentuknya pada Kondisi Suhu

Penyimpanan Standar. Skripsi. Institut Pertanian Bogor,

Bogor.

Winarno, F.G. 1996. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

PROSIDING SEMINAR NASIONAL APTA, Jember 26-27 Oktober 2016

KARAKTERISTIK FISIK EDIBLE FILM