• Tidak ada hasil yang ditemukan

39 Tabel 1. Skor cemaran getah kuning pada aril

HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Wilayah Kegiatan

Kecamatan Sebrang Musi termasuk kawasan pengembangan jeruk di Kabupaten Kepahiang dengan luas wilayah 7665 ha dan seluas 4936 ha merupakan lahan kering. Kecamatan ini terdiri dari 13 desa (BPS Kabupaten Kepahiang, 2016). Lahan kering yang ada masih berpeluang untuk dikembangkan menjadi kawasan jeruk. Lokasi wilayah berada pada ketinggian 460-700 m dari permukaan laut (dpl) dengan topografi lahan bergelombang dan berbukit curam dengan kemiringan 15 – 300; jenis tanah Andosol, latosol, dan lain-lain serta curah hujan 2000-3000 mm/tahun. Kelompok tani jeruk di wilayah ini berjumlah 3 kelompok tani (BP3K Sebrang Musi, 2015).

Karakteristik Petani

Karakteristik petani di kawasan pengembangan jeruk Kepahiang cukup bervariasi. Petani responden di kawasan pengembangan jeruk Kecamatan Sebrang Musi yang terbanyak pada umur 36-45 tahun yaitu sebanyak 34%, sedangkan presentase yang paling rendah adalah petani yang berusia 56-64 tahun yaitu sebanyak 3% (Tabel 1). Usia produktif berada pada kisaran usia 15 – 55 tahun. Hampir seluruh petani responden tergolong usia produktif, dimana pada usia ini, seseorang masih memiliki minat yang tinggi untuk belajar serta mempunyai keinginan untuk mencoba inovasi teknologi atau hal-hal yang baru. Menurut Mayasari et al. (2012), penyuluhan yang efektif dapat disebabkan oleh usia responden.

Tabel 1. Karakteristik peserta pelatihan PTT jeruk di Kecamatan Sebrang Musi tahun 2015

No. Karakteristik Petani responden Kelompok Jumlah (orang) %

1. Umur 16 – 25 26 – 35 36 – 45 46 – 55 56 – 64 4 8 10 7 1 13 27 34 23 3 Jumlah 30 100 2. Pendidikan SD SMP SMA Diploma Sarjana 7 9 13 0 0 23 30 47 0 0 Jumlah 30 100 3 Pengalaman usahatani 0 30 100 0< s/d 3 tahun 0 0 > 3 tahun 0 0 Jumlah 30 100

4 Keaktifan dalam berorganisasi

(poktan/gapoktan)

Anggota Pengurus

Jumlah 30 100

Sumber : Data primer (2015)

Pada tabel 1 terlihat bahwa tingkat pendidikan petani berada pada kriteria pendidikan rendah sampai sedang dimana petani yang mempunyai tingkat pendidikan SMP dan SMA adalah yang dominan yaitu berturut-turut sebesar 30% dan 47%, sedangkan yang tingkat pendidikan SD hanya 23%. Tidak ada petani responden yang mempunyai tingkat pendidikan D-3 maupun sarjana. Tingkat pendidikan seseorang berpengaruh terhadap pola pikir dan daya nalar, sehingga semakin tinggi tingkat pendidikan maka pola pikir dan daya penalarannya akan semakin rasional (Saridewi dan Siregar, 2010). Dengan latar belakang pendidikan seperti ini, diharapkan sebagian besar petani mampu memahami inovasi teknologi yang diberikan.

Pengalaman petani dalam melaksanakan usahataninya merupakan salah satu karakteristik petani yang diduga mempengaruhi kemampuan petani dalam menerima pengetahuan maupun menerapkan inovasi teknologi yang baru.

Peningkatan pengetahuan petani

Salah satu upaya untuk meningkatkan pengetahuan petani tentang inovasi PTT jeruk adalah dengan menyelenggarakan pelatihan. Tabel 2 memperlihatkan adanya peningkatan pengetahuan petani

54

pada kawasan jeruk di Kecamatan Sebrang Musi, Kabupaten Kepahiang sebelum dan sesudah pelatihan dilaksanakan. Pada tabel tersebut terlihat bahwa terjadi perubahan positif (peningkatan) pengetahuan petani peserta pelatihan teknologi PTT jeruk dari nilai 11,7 menjadi 63,0 yang berarti terjadi peningkatan sebesar 51,36.

Tabel 2. Tingkat pengetahuan petani tentang PTT jeruk di kawasan jeruk Kecamatan Sebrang Musi Kabupaten Kepahiang tahun 2015

No Teknologi Sebelum Pelatihan Sesudah Pelatihan Perubahan 1 Pengertian PTT jeruk 0 94 94 2 Benih sehat 47 100 53 3 Pemangkasan bentuk 26 77 51 4 Cara pemupukan 29 100 71 5 Rekomendasi pupuk 0 11 11

6 Penyebab penyakit utama 8 57 49

7 Metode pengendalian penyakit utama 5 44 39

8 Penggunaan bubur belerang (bubur kalifornia) 11 72 61

9 Pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan

pestisida yg tepat 0 22 22

10 Panen 3 17 14

11 Koordinasi antar petani/poktan/gapoktan 0 100 100

17 Rata-rata 11,73 63,09 51,36

Sumber : Data primer (2015)

Hasil analisis data dengan menggunakan paired samples T-test) memperlihatkan bahwa tingkat pengetahuan petani di Kabupaten Kepahiang sebelum dan sesudah pendampingan berbeda secara signifikan yaitu 0,00 (nilai sig < 0,05%).

Tabel 3. Hasil paired samples T-test tingkat pengetahuan petani jeruk sebelum dan sesudah pelatihan di Kecamatan Sebrang Musi Kabupaten Kepahiang tahun 2015

Paired Differences t df Sig.

(2-tailed) Mean Std. Deviation Std. Error Mean 95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper Pair 1 awal akhir -6,50 1,79 ,422 -7,39 -5,61 -15,4 29 0,000

Peningkatan pengetahuan yang tinggi tercapai pada beberapa aspek seperti pengertian PTT jeruk, penggunaan benih sehat dan cara pemupukan jeruk. Pengetahuan tentang aspek tersebut mudah dipahami dan mudah diingat, karena dalam pelatihan dilakukan praktek lapang pengamatan benih tanaman jeruk yang sehat serta cara memupuk tanaman jeruk.

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Ridwan et al. (2010) yang menyatakan bahwa setelah pelaksanaan pelatihan maka komponen teknologi PTKJS yang diadopsi oleh semua petani (100%) antara lain penggunaan bubur kalifornia dan pemangkasan. Petani di lokasi pengembangan kawasan jeruk Kecamatan Sebrang Musi sebagian besar belum pernah menanam jeruk sebelumnya, sehingga walaupun tingkat pengetahuannya meningkat secara signifikan, tetapi pada pengetahuan beberapa aspek lainnya masih perlu diperdalam lagi.

Untuk komponen teknologi lainnya seperti rekomendasi pupuk, khususnya tentang dosis pupuk sesuai umur tanaman, petani masih belum menguasai dengan baik. Oleh karena itu masih diperlukan materi tercetak tentang rekomendasi pupuk. Perhitungan kebutuhan pupuk untuk tanaman jeruk produktif yaitu berdasarkan unsur hara yang terangkut tanaman (Sutopo, 2011) juga perlu disampaikan lagi secara rinci, karena tingkat pendidikan petani yang bervariasi sehingga menyebabkan baru sebagian kecil yang mampu memahaminya.

Materi lainnya yang masih belum dikuasai petani dengan baik adalah metode pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan menggunakan pestisida yang tepat. Materi ini merupakan aspek penting yang perlu dikuasai petani jeruk, karena tanaman jeruk RGL lebih disukai hama dan penyakit sehingga umumnya tingkat serangan hama penyakitnya juga lebih tinggi. Pemahaman petani terhadap

55

komponen pengendalian hama dan penyakit tanaman jeruk masih kurang, hal ini disebabkan karena materi tentang hama dan penyakit memang agak sulit dipahami di tingkat petani yang tingkat pendidikannya relatif rendah hingga sedang. Materi pengendalian hama penyakit tanaman merupakan materi yang paling rumit, sehingga perlu pelatihan yang intensif atau penyelenggaraan sekolah lapang. Dalam pengembangan kawasan agribisnis jeruk, pengelolaan kebun terutama pengendalian hama penyakit perlu perhatian khusus. Penyakit utama yang harus diwaspadai adalah penyakit CVPD (Citrus Vein Phloem Degeneration). Penyakit tersebut dapat menurunkan produksi secara drastis sehingga menyebabkan turunnya minat petani dalam berusahatani jeruk dan beralih ke komoditas lainnya (Asaad et al., 2006). Oleh karena itu, perlu dilakukan pencegahan berkembangnya penyakit tersebut pada kawasan pengembangan jeruk yang baru.

Dalam usaha pengendalian hama dan penyakit tanaman tidak hanya semata-mata mengetahui bahan, alat serta cara pengendaliannya saja, namun petani haruslah mengetahui terlebih dahulu tentang hama dan penyakit yang menyerang tanaman mereka. Hal inilah yang masih dirasakan sulit dipahami petani dilapangan, sehingga sering terjadi ketidaksesuaian antara serangan hama dan penyakit yang terjadi dengan aplikasi pengendalian oleh petani. Rendahnya tingkat pengetahuan petani dalam hal pengendalian hama dan penyakit jeruk akan berdampak terhadap tingkat serangan hama penyakit dan perilaku petani dalam mengendalikan hama tersebut.

Sudarta (2002) menyatakan bahwa pengetahuan petani sangat membantu dan menunjang kemampuannya untuk mengadopsi teknologi dalam usahataninya dan kelanggengan usahataninya. Semakin tinggi tingkat pengetahuan petani maka kemampuannya dalam mengadopsi teknologi di bidang pertanian juga tinggi, dan sebaliknya. Diantara berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media masa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi didalam diri individu (Azwar, 2000). Ancok (1997), menyatakan bahwa adanya pengetahuan tentang manfaat suatu hal akan menyebabkan seseorang bersikap positif terhadap hal tersebut.

Dari hasil kajian ini terlihat bahwa peningkatan pengetahuan petani baru mencapai setengah dari target materi yang diberikan. Hal ini mencerminkan bahwa petani belum mampu menyerap ilmu yang diberikan hanya dengan sekali pelatihan. tetapi masih perlu dibimbing secara lebih intensif. Materi yang diberikan juga sebaiknya tidak sekaligus tetapi sedikit demi sedikit karena kemampuan penerimaan pengetahuan oleh petani juga terbatas.

Setelah memperoleh pengetahuan tentang inovasi teknologi, teknologi yang dianjurkan kepada petani tersebut tidak akan begitu saja diterapkan atau diadopsi oleh petani. Suatu inovasi mulai diperkenalkan sampai diadopsi oleh seseorang memerlukan waktu. Pernyataan ini didukung Mardikanto (1993), yang menyatakan bahwa kecepatan seseorang mengadopsi atau menerapkan suatu inovasi atau teknologi baru dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti:luas usahatani, tingkat pendidikan, umur petani, keberanian mengambil resiko, aktivitas mencari ide atau informasi baru, dan sumber informasi yang digunakan. Sejalan dengan yang dinyatakan oleh Sudarta (2002) pengetahuan petani sangat membantu dan menunjang kemampuannya untuk mengadopsi teknologi dalam usahataninya dan kelanggengan usahataninya. Semakin tinggi tingkat pengetahuan petani maka kemampuannya dalam mengadopsi teknologi di bidang pertanian juga tinggi, dan sebaliknya. Jika pengetahuan tinggi dan individu bersikap positif terhadap suatu teknologi baru di bidang pertanian, maka penerapan teknologi tersebut akan memberikan hasil secara lebih memuaskan baik secara kuantitas maupun kualitas.

David dan Erickson dalam Ridwan et al. (2010) menyatakan bahwa penyerapan suatu inovasi teknologi oleh pengguna berjalan melalui proses dalam tahap-tahap yang sistematis, yaitu: (1) kesadaran (pada tahap ini masyarakat telah mendengar tentang teknologi tersebut tetapi belum mendapat informasi yang memadai untuk mengambil keputusan penggunaan); (2) minat, (pengguna cukup tertarik untuk memiliki teknologi itu); (3) evaluasi (pengguna memutuskan untuk mencoba atau tidak teknologi itu); (4) percobaan (pengguna mencoba teknologi itu); dan (5) penyerapan (pengguna menerapkan teknologi tersebut secara teratur).

Korelasi umur dan pendidikan dengan tingkat pengetahuan

Dari hasil analisis korelasi ternyata umur petani jeruk dikawasan Sebrang Musi tidak berkorelasi dengan peningkatan pengetahuan petani tentang PTT jeruk (Tabel 4).

56

Tabel 4. Korelasi tingkat pengetahuan petani jeruk sebelum dan sesudah pelatihan di Kecamatan Sebrang Musi tahun 2015

peningkatan umur pendidikan

Peningkatan Pearson Correlation 1 -0,200 0,469* Sig. (2-tailed) 0,384 0,049 N 30 30 30 Umur Pearson Correlation -0,200 1 0,059 Sig. (2-tailed) 0,384 0,817 N 30 30 30 Pendidikan Pearson Correlation 0,469* 0,059 1 Sig. (2-tailed) 0,049 0,817 N 30 30 30

Hal ini bertentangan dengan pendapat Mayasari et al. (2012) yang menyatakan bahwa penyuluhan yang efektif dapat dipengaruhi oleh usia responden, karena semakin muda umur petani biasanya akan lebih mudah untuk menerima sesuatu yang baru. Saridewi dan Siregar (2010) juga menyatakan bahwa semakin muda usia petani biasanya mempunyai semangat yang lebih tinggi untuk mengetahui berbagai hal yang belum diketahui, sehingga mereka biasanya berusaha lebih cepat untuk melakukan adopsi inovasi.

Menurut Saridewi dan Siregar (2010), tingkat pendidikan seseorang berpengaruh terhadap pola pikir dan daya nalar, sehingga semakin lama seseorang mengenyam pendidikan maka pola pikir dan daya penalarannya akan semakin rasional. Demikian juga dengan pernyataan Soekartawi (1988), mereka yang berpendidikan tinggi relatif cepat dalam melaksanakan adopsi teknologi. Begitu juga sebaliknya mereka yang berpendidikan rendah relatif lebih agak sulit untuk melaksanakan adopsi inovasi dengan cepat.

Namun tidak demikian halnya dengan hasil evaluasi di kawasan pengembangan jeruk Sebrang Musi Kepahiang. Hasil evaluasi memperlihatkan bahwa terdapat korelasi yang rendah antara tingkat pendidikan dengan tingkat pengetahuan petani, semakin tinggi tingkat pendidikan tidak diikuti dengan tingkat pengetahuan yang lebih tinggi. Hal ini diduga terjadi karena sebagian dari peserta pelatihan adalah peserta program pengembangan kawasan jeruk di Kabupaten Kepahiang yang sebelumnya tidak pernah menanam jeruk (belum mempunyai pengalaman dalam bertanam jeruk). Dengan demikian, bukan usia petani saja yang menentukan peningkatan pengetahuan, tetapi pengalaman usahatani juga menentukan peningkatan pengetahuan tentang PTT jeruk. Rukka, et al. (2006) menjelaskan bahwa pengalaman petani dalam berusahatani berpengaruh terhadap cara merespon suatu inovasi. Semakin lama pengalaman berusahatani, maka tingkat respon terhadap suatu teknologi akan semakin tinggi.

Hasil kajian memperlihatkan bahwa petani belum mampu menyerap sebagian besar ilmu yang diberikan dalam jangka waktu yang singkat, tetapi masih perlu dibimbing lebih intensif. Dari hasil kajian ini, diperoleh informasi yang akan digunakan untuk menyusun kegiatan diseminasi selanjutnya agar peningkatan pengetahuan menjadi lebih optimal sehingga petani mampu memahami dan mau menerapkan teknologi PTT jeruk dengan baik. Agar setiap inovasi baru dapat diterima dengan baik, petani perlu diberikan pendidikan informal secara terus menerus sesuai dengan kebutuhannya. Kegiatan pendidikan informal yang dibutuhkan tersebut antara lain berupa pelatihan yang lebih intensif, praktek, demonstrasi (demonstrasi hasil dan demonstrasi cara) dan didampingi dengan bahan informasi tercetak yang memuat informasi yang rinci untuk masing-masing komponen teknologi PTT jeruknya, baik yang disajikan berupa leaflet, brosur, buku. Selain itu juga diperlukan bahan informasi elektronik seperti video (VCD) yang bisa dipelajari dengan melihat langsung penerapan teknologi yang dianjurkan. Penyuluh lapangan perlu membimbing petani secara intensif untuk mempercepat peningkatan pengetahuan petani di kawasan jeruk di Kepahiang.

57

KESIMPULAN

1. Pengetahuan petani jeruk tentang teknologi PTT jeruk di kawasan pengembangan jeruk Sebrang Musi Kabupaten Kepahiang meningkat sebesar 51,36 yaitu dari nilai 11,73 menjadi 63,09. 2. Pengetahuan petani jeruk tentang pengendalian hama penyakit dan dosis pupuk masih perlu

ditingkatkan karena pemahaman petani tentang aspek tersebut masih rendah.

3. Penyuluhan melalui metode demplot atau demfarm PTT jeruk serta sekolah lapang diperlukan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani.

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Badan Litbang Pertanian yang telah memfasilitasi kajian ini dan kepada Bapak Dr. Dedi Sugandi, MP yang telah membina kami selama ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada rekan – rekan penyuluh dan peneliti atas bantuan dan masukannya dalam pelaksanaan kegiatan ini dan dalam penulisan karya tulis ilmiah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ancok, D. 1997. Teknik Penyusunan Skala Pengukuran. Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

Arikonto,S. 2002. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan dan Praktek. Bina asksara. Jakarta

Asaad, M., Warda dan Sahardi. 2006. Kajian keragaan teknologi dan dampak serangan penyakit CVPD pada tanaman jeruk siam Malangke. Dalam Prosiding Seminar Nasional Jeruk Tropika Indonesia pada tanggal 28 - 29 Juli 2005 di Batu Malang:253-256

Azwar dan Saifuddin, 2000. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Edisi ke 2. Cetakan IV. Pustaka Pelajar. Yogyakarta

BP3K Sebrang Musi. 2016. Programa penyuluhan Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Sebrang Musi. Kabupaten Kepahiang.

BPS Kabupaten Kepahiang. 2016. Statistik Daerah Kecamatan Sebrang Musi. Badan Pusat Statistik Kabupaten Kepahiang. https://kepahiangkab.bps.go.id/webbeta/ website/pdf_publikasi/Statistik-Daerah-Kecamatan-Seberang-Musi-2016.pdf. [Diunduh Tgl 1 September 2016].

BPS Provinsi Bengkulu. 2016. Produksi Sayuran dan Buah-Buahan Provinsi Bengkulu. Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu.

Mardikanto, T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Sebelas Maret University Press, Surakarta.

Mayasari, R., H. Sitoros dan L. Pratama. 2012. Dampak Penyuluhan Terhadap Peningkatan Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Masyarakat Tentang Malaria di Desa Sukajadi Kabupaten OKU. Jurnal Pembangunan Manusia 6 (3).

Ridwan, H.K., A. Ruswandi, Winarno, A. Muharam dan Hadiyanto. 2010. Sifat inovasi dan aplikasi teknologi pengelolaan terpadu kebun jeruk sehat dalam pengembangan agribisnis jeruk di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Jurnal Hortikultura 18: 477-490.

Rukka H., Buhaerah dan Sunaryo. 2006.Hubungan karakteristik petani dengan respon petani terhadappenggunaan pupuk organik padapadi sawah(Oryza sativa L.). Jurnal Agrisistem 2 (1): 12 – 18.

Sudarta, W. 2002. Pengetahuan dan Sikap Petani Terhadap Pengendalian Hama Terpadu. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian dan Agribisnis, SOCA2 (1): 31 – 34.

Saridewi, T.R. dan Siregar, A. N. 2010. Hubungan antara peran penyuluh dan adopsi teknologi oleh petani terhadap peningkatan produksi di Kabupaten Tasikmalaya. Jurnal Penyuluhan Pertanian Volume 5 No.1 Mei 2010. http://stpp-bogor.ac.id/userfiles/file/06-Dewi%20edited.pdf. [Diunduh Tgl 7 November 2012].

Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Sugiyono.2011. Statistik Untuk Penelitian. Alfabeta. Bandung

Sutopo. 2011. Rekomendasi pemupukan untuk tanaman jeruk. Balai Penelitian Jeruk dan Tanaman Sub-Tropika. http://balitjestro.litbang.pertanian.go.id/rekomendasi-pemupukan-untuk-tanaman-jeruk/. [Diunduh Tgl 12 Maret 2011].

58

Sudarta, W. 2005. Pengetahuan dan Sikap Petani Terhadap Pengendalian HamaTanaman Terpadu. http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/(6)%20 soca-sudarta-pks%20pht(2).pdf. [Diunduh Tgl 15 Desember 2014].

Ridwan, H.K, Sabari , S. B. Rofik, S. Rahman dan R. Agus. 2010. Adopsi Inovasi Teknologi Pengelolaan Terpadu Kebun Jeruk Sehat (PTKJS) di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. J. Hort. 20 (1): 96-102

59