• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNTUK EFISIENSI IRIGASI DAN PRODUKTIVITAS BERAS MERAH

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Variabel Kebutuhan Air Irigasi

2.3.6. Produktivitas

Produktivitas per plot dihitung berdasarkan berat panen sampel dengan luasan plot yang dikalibrasikan dengan koefi sien rataan produktivitas total dalam satu petak pemilikan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Variabel Kebutuhan Air Irigasi 3.1.1. Evapotranspirasi Tanaman (Etc)

Berdasarkan data unsur-unsur iklim selama dua puluh tahun (1994-2013) yang telah dirata-ratakan dan dari persamaan rumus empiris Penman, diperoleh nilai evapotranspirasi potensial (Eto) dan evapotranspirasi tanaman (Etc) untuk satu siklus tanam pada lokasi penelitian seperti tercantum pada Tabel 1. Dalam hal ini karena di lokasi tidak terjadi kasus kekurangan air, maka evapotranspirasi tanaman (Etc) besarnya sama dengan evapotranspirasi maksimum (Etm).

Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa nilai evapotranspirasi potensial (Eto) dari Bulan Pebruari sampai dengan Bulan Juni berkisar antara 3,50 sampai dengan 4,70 mm/hari. Nilai evapotranspirasi potensial (Eto) tertinggi sebesar 4,70 mm/hari yang terjadi pada Bulan Februari periode I. Nilai tertinggi tersebut disebabkan tingkat suhu, radiasi matahari dan kecepatan angin yang relatif tinggi dibanding bulan lainnya. Sedangkan nilai Eto terendah adalah sebesar 3,50 mm/hari yang terjadi pada Bulan Juni periode II. Nilai terendah tersebut disebabkan oleh kondisi unsur iklim yang nilai relatif kecil dibanding bulan lainnya. Tinggi atau rendahnya nilai Eto dipengaruhi oleh tingkat suhu, radiasi matahari dan kecepatan angin pada tempat penelitian. Semakin tinggi tingkat suhu, radiasi matahari dan kecepatan angin, maka semakin tinggi pula nilai Eto. Menurut Sitompul dan Guritno (1993) di daerah Candikuning (Tabanan) nilai Eto untuk siklus setahun berkisar antara 3,7 sampai dengan 4,1 mm/hari. Sementara dari penelitian yang dilakukan oleh Tika (2002) untuk DAS Ho (Tabanan) nilai Eto dalam siklus setahunnya berkisar antara 3,49 sampai dengan 5,02 mm/hari.

Berdasarkan besarnya nilai koefi sien tanaman (kc) diperoleh nilai kebutuhan air tanaman (Etm) padi beras merahcukup besar pada saat tanaman memasuki usia bulan ke dua pada saat fase vegetatif. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Bustomi (1999) yang mengatakan kebutuhan air konsumtif dipengaruhi oleh jenis dan usia tanaman (tingkat pertumbuhan tanaman). Pada saat tanaman mulai tumbuh, nilai kebutuhan air konsumtif meningkat sesuai pertumbuhannya dan mencapai maksimum pada saat pertumbuhan vegetasi maksimum. Setelah mencapai maksimum dan berlangsung beberapa saat menurut jenis tanaman, nilai kebutuhan air konsumtif akan menurun sejalan dengan pematangan biji.

Besarnya nilai perkolasi untuk di Indonesia disebutkan sebesar 2 sampai dengan 5 mm/hari oleh Limantara (2010). Walaupun harus diakui antar daerah jelas nilainya tidak sama, tetapi kisaran nilai tersebut dapat digunakan sebagai acuan sebelum ditemukan metode pengukuran yang lebih akurat. Berdasarkan pendekatan dengan metode pengukuran infi ltrasi yang menggunakan pipa ditancapkan pada lahan dengan kedalaman sampai lapisan hardpan diperoleh besarnya nilai perkolasi pada lokasi penelitian sekitar 4 mm/hari.

Tabel 1. Nilai Evapotranspirasi potensial (Eto), Evapotranspirasi Maksimum (Etc), Curah Hujan andalan 80% (R80), Curah Hujan Efektif (Re),dan Kebutuhan Air Irigasi secara Teoritis(KAI)

No. Bulan Periode Eto (mm/

hari) kc (mm/hari)Etm atau T R80hari) (mm/ Rehari) (mm/ KAI (mm/hari)

1. Pebruari I 4,70 - 16,31 8,30 6,64 9,67 2. Pebruari II 4,30 - 16,02 8,10 6,48 9,54 3. Maret I 4,25 0,90 3,83 4,80 0,00 3,83 4. Maret II 4,33 1,10 4,76 4,60 0,00 4,76 5. April I 4,54 1,20 5,45 2,60 0,00 5,45 6. April II 4,31 1,25 5,39 2,90 0,00 5,39 7. Mei I 4,15 1,25 5,19 0,50 0,00 5,19 8. Mei II 3,68 1,10 4,05 0,40 0,00 4,05 9. Juni I 3,80 0,70 2,66 0,20 0,00 2,66 10. Juni II 3,50 0,70 2,45 0,40 0,00 2,45 3.1.2.Pengolahan Tanah

Pada masa pengolahan tanah nilai evapotranspirasi maksimum (Etm) tidak ditulis (nol) hal ini karena nilai tersebut telah dihitung bersama dengan nilai perkolasi dianggap sebagai air yang hilang pada saat pengolahan tanah. Jika dibandingkan dengan dengan kebutuhan air tanaman, maka nilai kebutuhan air saat pengolahan tanah jauh lebih besar. Fakta di lapangan yang memperkuat data ini adalah seringnya petani selaku anggota subak melakukan kegiatan nyilih yeh (penggunaan air secara bergilir) pada saat pengolahan tanah.

Seperti disajikan pada Tabel 1, perbedaan kebutuhan air pada pengolahan tanah diduga dipengaruhi oleh nilai evapotranspirasi potensial (Eto) atau lebih tepatnya karena perbedaan nilai evaporasi, karena pada saat tersebut belum ada tanaman di lahan. Semakin tinggi nilai Eto maka semakin tinggi tingkat kebutuhan air pada pengolahan tanah, dan berlaku sebaliknya.

3.1.3. Curah Hujan Efektif

Berdasarkan nilai curah hujan andalan 80 persen (R80) yang didapat dengan pendekatan metode Gumbel Sederhana (Limantara, 2010), diperoleh nilai curah hujan efektif (Re) pada lokasi penelitian, seperti tercantum pada Tabel 1.

Nilai curah hujan efektif hanya diperoleh pada Bulan Pebruari, yang berarti hujan yang terjadi di luar bulan tersebut dianggap tidak berpengaruh pada tingkat kebutuhan air irigasi tanaman. Kelemahan dalam pendekatan curah hujan efektif ini jika dikaitkan dengan kondisi real di lapangan adalah pada bulan-bulan dengan nilai Re nol, petani di subak sering tidak memberikan air irigasi pada lahannya, tetapi tanamannya tidak mngalami gangguan yang berarti. Kelemahan yang tampak adalah mngabaikan curah hujan andalan jika nilainya kurang dari 5 mm/hari. Padahal di satu sisi nilai perkolasi sebagai variabel kebutuhan air irigasi nilainya sekitar empat mm/hari atau bahkan kurang yang jika dibandingkan dengan rata-rata curah hujan harian (6,09 mm/hari) pada saat penelitian dilaksnakan. Dengan demikian maka kurang adil jika di satu sisi mengabaikan nilai rata-rata curah hujan yang besarnya 6,09 mm/hari, sementara di satu sisi menghitung nilai perkolasi yang besarnya empat mm/hari bahkan kurang.

3.1.4. Analisis Kebutuhan Air Irigasi Secara Teoritis.

Kebutuhan air irigasi pada tingkat skala percobaaan dapat dianggap mewakili gambaran tingkat kebutuhan air irigasi pada tingkat subak, karena pada subak ada aturan (awig-awig) tentang keteraturan jadwal dan pola tanam. Dengan demikian gambaran tingkat kebutuhan air irigasi sejalan dengan usia tanaman pada skala subak dapat diukur melalui gambaran yang sama pada skala lahan percobaan.

Sesuai dengan prinsip imbangan air, tingkat kebutuhan air secara teoritis adalah jumlah dari epavotranspirasi tanaman dan perkolasi. Tetapi dalam pendekatan imbangan ini nilai perkolasi dapat diabaikan karena dikompensasi oleh nilai curah hujan rata-rata harian seperti dijelaskan dalam pembahasan curah hujan efektif. Berdasarkan pendekatan tersebut maka tingkat kebutuhan air irigasi secara teoritis pada skala lahan percobaan atau pada skala subak adalah dalam unit tinggi kolom air per satuan waktu

(mm/hari) seperti disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan nilai pada Tabel 1, dapat disebutkan tingkat curah hujan sangat mempengaruhi tingkat kebutuhan air irigasi terutama pada awal jadwal kegiatan budidaya karena pada saat tersebut tingkat curah hujan relatif besar untuk mempengaruhi tingkat kebutuhan air irigasi pada lahan percobaan ataupun tingkat subak.

3.1.5. Analisis Ketersediaan dan Penggunaan Air Irigasi

Sama halnya dengan kebutuhan air irigasi, ketersediaan air irigasi pada tingkat skala percobaaan dapat dianggap mewakili gambaran tingkat ketersediaan air irigasi pada tingkat subak. Adanya anggapan demikian karena pada subak juga ada aturan (awig-awig) tentang sistem distribusi air yang berprinsip proporsional dan keadilan. Menurut Windia (2008), sisem distribusi yang proporsional sesuai dengan luasan pemilikan lahan dan adil sesuai dengan kewajiban (ayahan) yang dilakukan anggota subak merupakan salah satu kunci bertahannya organisasi subak sampai saat ini.

Pendekatan analisis dalam menentukan tingkat penggunaan air irigasi dilakukan berdasarkan prinsip selisih dan imbangan air yang masuk dengan air yang keluar pada setiap demplot di lahan percobaan. Pendekatan demikian sesuai dengan metode perhitungan tingkat air irigasi yang diberikan dalam lahan oleh Pasandaran (1991). Pada sistem irigasi subak khususnya pada musim kemarau jumlah air irigasi yang masuk dapat dianggap sebagai jumlah air yang tersedia, karena pada kondisi demikian petani cendrung menggunakan sepenuhnya jumlah kuota yang diperolehnya walaupun kadang-kadang juga terjedi kelebihan. Air irigasi yang berlebih tersebut didrainasekan pada saluran khusus yang telah tersedia untuk itu.

Berdasarkan kondisi demikian, ketersediaan air irigasi pada saluran tersier bagi petani anggota subak nilainya akan sama dengan tingkat penggunaannya jika tidak ada yang didrainasekan. Dengan demikian tingkat penggunaan air irigasi secara aktual dapat dihitung dari air yang tersedia yang sekaligus juga merupakan air yang masuk ke petak atau lahan subak dengan sisa air irigasi yang didrainasekan. Berdasarkan pengukuran di lapangan dan pendekatan analisis imbangan air tingkat ketersediaan dan penggunaan air irigasi pada lokasi penelitian diperoleh seperti disajikan pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Hasil Analisis Penggunaan Air Irigasi(PAI) dan Efi siensi Penggunaan Air Irigasi(EfAI)

No. Bulan K0 K1 K2 K3 K4 K5

Periode PAI EfAI PAI EfAI PAI EfAI PAI EfAI PAI EfAI PAI EfAI

1 Feb I 18,0 54 18,0 54 18,0 54 18,0 54 18,0 54 18,0 54 2 Feb II 18,0 53 18,0 53 18,0 53 18,0 53 18,0 53 18,0 53 3 Mar I 3,99 96 3,83 100 3,83 100 3,83 100 3,83 100 3,83 100 4 Mar II 4,76 100 4,76 100 2,29 100 4,76 100 4,76 100 4,76 100 5 Apr I 5,99 91 5,45 100 5,45 100 5,45 100 5,45 100 5,45 100 6 Apr II 13,82 39 5,86 92 7,82 69 7,38 73 6,91 78 6,20 87 7 Mei I 13,66 38 5,90 88 7,80 66 7,31 71 6,92 75 6,18 84 8 Mei II 13,50 30 5,87 69 7,79 52 7,36 55 6,86 59 6,14 66 9 Jun I 8,58 31 3,64 73 4,84 55 4,59 58 4,29 62 3,86 69 10 Jun II 4,02 61 2,45 100 2,45 100 2,45 100 2,45 100 2,45 100 Rata-rata 10,43 59 7,38 83 7,83 75 7,91 76 7,75 78 7,49 81

Tingkat kebutuhan air irigasi secara teoritis untuk semua perlakuan besarnya sama karena dalam analisis dengan menggunakan rumus empiris Penman variabel-variabel yang terlibat nilainya sama. Kejadian tersebut terjadi karena lokasi penelitian untuk keenam perlakuan secara geografi s adalah sama. Kasus yang sama juga terjadi pada olah tanah. Dalam hal ini disamping variabel dalam analisis juga sama, teknik pengolahan yang digunakan juga sama yaitu menggunakan traktor tangan dengan sistem

rotary. Tingkat penggunaan air dengan sistem SRI dapat dipastikan lebih hemat dari teknik budidaya secara konvensional karena secara visual sangat nyata tampak penggunaan air irigasi secara SRI sifatnya macak-macak, sementara secara konvensional terdapat genangan 3 – 5 cm.

3.2. Analisis Efi siensi Penggunaan Air Irigasi (EfAI)

Efi siensi penggunaan air irigasi dihiting berdasarkan imbangan antara kebutuhan air irigasi secara teoritis dengan tingkat penggunaan air irigasi secara aktual di lapangan. Sebenarnya secara aktual jika pada lahan tidak ada air yang didrainasekan maka efi siensi penggunaan air irigasinya adalah 100%, tetapi dalam kasus tersebut bisa saja faktor kehilangan (loss factor) akibat teknik budidaya terabaikan. Dengan demikian pendekatan efi siensi penggunaan air irigasi lebih tepat jika tingkat penggunaannya dibandingkan dengan kebutuhan secara teoritis. Dari perbandingan antara tingkat air irigasi yang dibutuhkan secara teoritis dengan air yang digunakan secara aktual dapat dihitung efi siensi penggunaan air irigasi seperti disajikan pada Tabel 2.

3.3. Analisis Produktivitas

Berdasarkan tingkat hasil panen dan luasan demplot, diperoleh tingkat produktivitas hasil tanam pada demplot penelitian seperti disajikan pada Tabel 3 dan Gambar 1.

Tabel 3. Hasil Analisis Produktivitas

No. Perlakuan U1 U2Produktivitas (kwt/ha)U3 Rata-rata

1 K0 55,5 57,0 61,5 58,0 2 K1 69,8 69,4 69,6 69,6 3 K2 56,9 60,5 63,2 60,2 4 K3 67,8 69,0 69,9 68,9 5 K4 71,1 68,4 70,8 70,1 6 K5 71,0 69,2 70,4 70,2

Dari Tabel 3 dan Gambar 1, dapat dihitung produktivitas hasil panen dengan perlakuan metode teknik irigasi SRI yang dikombinasikan dengan budidya sistem tanam jajar legowo (K5) mampu meningkatkan produktivitas sebesar 21% dari metode konvensional (K0). Menurut Anonim (2005), budidya sistem

tanam jajar legowo prinsipnya memanipulasi sistem lokasi tanaman sehingga seolah-olah tanaman padi

dibuat menjadi tanaman pinggir lebih banyak. Tanaman padi yang terletak dipinggir pada umumnya akan menghasilkan produksi lebih tinggi.

Gambar 1. Tingkat produktivitas dari enam perlakuan dalam penelitian 4. KESIMPULAN

Dari hasil penelitian dan analisis yang dilakukan maka dapat disimpulkan tingkat efi siensi penggunaan air irigasi tertinggi diperoleh pada perlakuan budidaya dengan metode SRI dan sistem legowo 6:1 (K5) yaitu sebesar 81%, sedangkan terendah pada perlakuan konvensional(K0) yaitu 59%. Produktivitas tertinggi juga diperoleh pada perlakuan budidaya dengan metode SRI dan sistem legowo 6:1 (K5) yaitu 70,2 kwt/ ha yang nilainya hampir sama dengan budidaya dengan metode SRI dan sistem Legowo 5:1 (K4) yaitu

70,1 kwt/ha, sedangkan terendah pada perlakuan konvensional (K0) yaitu sebesar 58,0 kwt/ha. Dengan demikian metode budidaya SRI yang dikombinasikan dengan sistem legowo 6:1 mampu meningkatkan

efi siensi penggunaan air irigasi sebesar 22% dan produktivitas hasil panen sebesar 21% dibandingkan

dengan metode konvensional.

Terkait dengan hasil penelitian maka perlu dilakukan penelitian sejenis pada musim tanam yang berbeda, jenis varietas yang berbeda, dan pada lokasi subak yang lain. Dengan dilakukannya penelitian seperti itu maka akan diperoleh sumber acuan yang lebih lengkap dalam pengelolaan air irigasi pada sistem subak. Bahkan dalam rangka revitalisasi subak, sangat mendesak dilakukan demplot sistem pendampingan terhadap petani.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim.2012. Beras Merah Organik Jatiluwih. http://berasmerahjatiluwih.blogspot.com/. Terakhir diakses tanggal 9 April 2013.

Anonim, 2012.Tanam Padi Sistem Tanam Jajar Legowo. http://distan.majalengkakab.go.id/. Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Majalengka.Terakhir diakses tanggal 12 April 2013.

Anonim.2005. Padi Beras Merah: Pangan Bergizi yang Terabaikan. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian.ISSN 0216-4427.Vol.27. No.4.Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor.

Hansen, V.E., Orson, W.I., dan Glen, E.S. 1992. Dasar–Dasar Praktek Irigasi. Penerbit Erlangga. Jakarta. Kijne J.W. (1980) Determining Evapotranspiration, in Drainage Princpiles and Application. International

Institute for Land Reclamation and Improvement, Wageningen. Limantara, L.M., 2010, Hidrologi Teknik, Lubuk Agung, Bandung.

Pasandaran, E. (1991) Irigasi di Indonesia (Strategi Pengembangan). Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. Jakarta.

Soemarto, C.D. 1987. Hidrologi Teknik Usaha Nasional. Surabaya.

Sutawan, N., 2008, Organisasi dan Manajemen Subak di Bali, Pustaka Bali Post, Denpasar.

Tabbal, D.F., R.M., Lampayan, and S.I. Bhuiyan. 1989. Water Effi ciement Irrigation Technique for Rice, Soil and Water Science Division. IRRI, Manila.

Tika, I.W. 2002. Analisis Kebutuhan Dasar Air Irigasi dan Waktu Tanam pada Daerah Irigasi Sungai Ho Tabanan – Bali. Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya, Malang.

Windia, Wayan. 2008. Menuju Sistem Irigasi Subak yang Berkelanjutan di Bali. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Dalam Bidang Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian Pada Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Denpasar.

PENGUSAHAAN AGRO-EKOWISATA SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN