• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRODUKSI PANAS KELINCI LOKAL YANG DIBERI RANSUM KANDUNGAN ENERGI DAN PROTEIN YANG BERBEDA

I.M. Nuriyasa1), I.M. Mastika2), E. Puspany1)

1) Laboratorium Klimatologi, 2) Laboratorium Nutrisi2), Universitas Udayana, Denpasar, Bali madenuriyasa@yahoo.com, Phone: 085739571118

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produksi panas kelinci lokal yang diberi ransum dengan kandungan energi dan protein serta dipelihara pada kandang berbeda. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK), pola split-plot 2 × 4 dengan empat kali ulangan. Hasil penelitian mendapatkan bahwa Temperature Humidity Index (THI) pada kandang underground shelter lebih rendah (P<0,05) daripada kandang battery. Tidak terjadi perbedaan yang nyata (P>0,05) pada konsumsi energi, energi tercerna dan energi termetabolis diantara perlakuan jenis kandang. Retensi energi pada tubuh kelinci yang dipelihara pada kandang underground shelter lebih tinggi (P<0,05) daripada kandang battery. Kelinci yang dipelihara pada kandang underground shelter menghasilkan

produksi panas lebih rendah daripada kandang battery (85,51 kcalME W0,75/hari vs. 120,68 kcalME W0,75/hari).

Perlakuan ransum dengan kandungan energi dan protein berbeda tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap THI. Ransum dengan kandungan energi 2600 kkalME/kg dan protein kasar 17% (R3) dan 2800 kkalME/kg dan protein kasar 18,5% (R4) menyebabkan konsumsi ransum, energi tercerna dan energi termetabolis lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan ransum dengan kandungan energi 2400 kkal/kg dan protein kasar 15,5% (R2) dan 2200 kkal/kg dan

protein kasar 14% (R1). Kelinci yang diberi ransum R3 menghasilkan produksi panas (89,12 kkal W0,75/hari) lebih

rendah dibandingkan dengan R4, R1 dan R2 masing-masing 104,64 kkal W0,75/hari, 106,86 kkal W0,75/hari, dan 111,75

kkal W0,75/hari. Kesimpulan dari hasil penelitian adalah kelinci yang diberi ransum dengan kandungan energi 2600

kkal ME/kg dan protein 17% serta dipelihara pada kandang underground shelter menghasilkan produksi panas lebih

rendah dan lebih efi sien menggunakan energi untuk pertumbuhan.

Kata kunci: Kelinci local, temperature humidity index, produksi panas, kandang underground shelter, kandang battery.

Abstract

An experiment was carried out to study heat production of local rabbit offered different level of energy and protein feeds and housed in two housing systems. A split – plot design consisted of two main plot : under ground shelter and battery housing systems, four diets with different energy and protein level as sub plot and four replicates each was used in this experiment. Results of this experiment showed that temperature and humidity of under ground shelter

cage lower (P<0,05) than the battery cage. No signifi cant different (P>0,05) on energy consumption, digestible

energy and metabolizable energy between different cages. Rabbit housed in under ground shelter produced higher (P<0,05) energy retention than in battery cages. Rabbit housed in under ground shelter produced lower heat

production than those in battery cages (85.51 kcal ME W0,75d-1 vs. 120.68 kcal ME W0,75d-1). Diets with different

energy and protein level did not give signifi cant (P>0,05) effect on temperature and humidity variable. Diets with

the energy content of 2600 kcal ME kg-1 and 17% CP (R3) and 2800 kcal ME kg-1 and 18.5% CP (R4) caused higher

(P<0,05) energy consumption, digestible energy and metabolizable energy than 2400 kcal ME kg-1 and 15.5% CP

(R2), 2200 kcal ME kg-1 and 14% CP (R1). R3 diet produced the lowest heat production that was 89.12 kkalW0,75d-1

compared to R4, R1 and R2 where it was 104.64 kcalW0,75d-1, 106.86 kcalW0,75d-1, and 111.75 kcalW0 75d-1 respectively.

In conclusion rabbits offered diets contained energy 2600 kcal ME kg-1 and 17% CP (R3) and housed in under

ground shelter cage show lower heat production and more effi ciently in using energy for growth.

Keywords: Local Rabbit, Microclimate, Heat production, Under Ground Shelter cage, Battery cage.

1. PENDAHULUAN

Ternak kelinci sangat potensial dikembangkan di Negara berkembang dengan kepadatan penduduk tinggi, lahan peternakan sempit seperti daerah perkotaan di Indonesia. Menurut Mailafi a et al. (2010) kelinci merupakan ternak beranak banyak (prolifi k) dan tidak menimbulkan kegaduhan sehingga dapat

terhindar dari masalah keleluhan dari tetangga. Schiere (1999) menyatakan ternak kelinci merupakan salah satu komoditas peternakan yang dapat menghasilkan daging berkualitas dengan kandungan protein tingggi dan rendah kolesterol. Pengembangan peternakan kelinci memberi peluang cukup besar dalam memenuhi kebutuhan gizi masyarakat karena ternak kelinci memiliki beberapa kelebihan di antaranya: (1) menghasilkan daging berkualitas tinggi, (2) dapat memanfaatkan limbah pertanian dan limbah dapur sebagai bahan ransum, (3) selain produk utama berupa daging, hasil sampingannya (kulit/bulu, kepala, kaki, ekor serta faeses) dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Bivin dan King (1995) menyatakan bahwa usaha budidaya ternak kelinci sebagai penghasil daging lebih menguntungkan dibandingkan ternak lain, terutama ruminansia besar seperti sapi.

Menurut laporan BMKG (2013), Indonesia termasuk beriklim tropika basah mempunyai temperatur rata-rata 26,5 oC dan kelembaban udara berada pada rentang 79% - 86% . Yan dan Li (2008) menyatakan bahwa temperatur nyaman bagi ternak kelinci adalah 20 oC dengan kelembaban udara berkisar 50%-70%. Berdasarkan data BMKG daerah tropis terutama dataran rendah kurang ideal untuk pengembangan ternak kelinci. Hasil penelitian Suc et al. (1996) mendapatkan bahwa sistem pemeliharaan ternak kelinci dengan lantai tanah yang dilengkapi dengan lubang berlindung (underground Shelter) menyebabkan temperatur udara rata-rata dalam lubang berlindung adalah 25,9oC dan kelembaban udara 80,4% sedangkan temperatur udara dengan kandang battery adalah 29,4oC dan kelembabab udara 75,9%. Cervera dan Carmona (1998) menyatakan cekaman panas dapat diminimalkan melalui pemberian ransum dengan kandungan energi dan protein yang sesuai dengan kondisi lingkungan. Menurut pendapat Xiangmei (2008) kandungan energi dan protein ransum pada ternak kelinci sangat penting diperhatikan. Pergeseran kandungan energi dan protein ransum dari standar kebutuhan menyebabkan perbedaan pertumbuh.

2. BAHAN DAN METODE

Ternak Kelinci dan kandang

Penelitian penggunaan 32 ekor ternak kelinci lepas sapi (umur 5 minngu) dengan berat badan rata-rata 189,25 ± 1,54 g. 16 ekor kelinci dipelihara pada kandang underground shelter dan 16 ekor di kandang

battery. Masing-masing petak kandang dilengkapi dengan tempat pakan dan air minum dari tempurung kelapa. Kandang underground shelter dan battery mempunyai ukuran yang sama yaitu panjang 70 cm, lebar 50 cm dan tinggi 45 cm.

Ransum dan Air Minum

Ransum kelinci disusun dari beberapa bahan yaitu jagung kuning, dedak padi, bungkil kelapa, tepung ikan, tepung kedelai, tepung tapioka, rumput gajah, serbuk gergaji, minyak kelapa, mineral mix dan tepung tulang. Ransum dibuat dalam bentuk pelet dengan kandungan energi termetabolis 2200 kkal/ kg dan protein kasar 14.00% (R1), 2400 kkal/ kg dan protein kasar 15,50% (R2), 2600 kkal/kg dan protein kasar 17,00% (R3), 2800 kkal/kg dan protein kasar 17,50% (R4). Ransum dan air minum diberikan secara ad libitum.

Produksi Panas

Kandungan energi ransum (GE) ditentukan dengan bomb kalorimeter dan komposisi zat-zat makanan pada ransum ditentukan dengan analisa proksimat. Energi pada feses (FE) ditentukan dengan bomb kalori meter (AOAC,1984). Banyaknya energi bruto yang dikonsumsi ditentukan dari kosumsi ransum dikalikan dengan kandungan energi bruto dari ransum.

Penentuan energi tercerna atau Digestible Energy (DE) dilakukan dengan mengunakan metode koleksi total yakni dengan cara mengurangi energi total (GE) yang dikonsumsi oleh ternak dengan energi yang ada dalam feses (FE). Digestible Energy (DE) ditentukan dengan rumus Parigi Bini dan Xiccato (1998), sebagai berikut : DE = E dikonsumsi – E feses.

Parigi Bini dan Xiccato (1998) menyatakan bahwa dasar perhitungan kebutuhan energi ternak kelinci dalam bentuk ME dapat dicari dengan mengalikan DE dengan bilangan konstanta (k). Beberapa peneliti mendapatkan nilai k yang sama yaitu 0,95 diantaranya : de Blas et al. (1985); Parigi Bini dan Xiccato (1986); Partridge et al. (1989); Xiccato et al. (1995). Berdasarkan ketentuan diatas maka perhitungan ME sebagai berikut: ME = 0,95 × DE.

Retensi energi ditentukan dengan cara mengurangi jumlah energi tubuh akhir penelitian dengan jumlah energi tubuh pada awal penelitian, sesuai dengan metode Parigi Bini dan Xiccato (1998). Produksi panas dihitung dengan formulasi :

PP = ME - RE Keterangan: PP : Produksi panas RE : Retensi energi ME : Energi termetabolis Rancangan Penelitian

Kelinci jantan lokal umur 5 minggu sebanyak 32 ekor dengan berat badan 189,25 g ± 1,54 dipergunakan dalam percobaan ini. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola

split plot 2 x 4. Dalam percobaan ini menggunakan dua faktor yaitu jenis kandang berbeda (K) dan faktor kandungan energi dan protein ransum (R). Faktor (K) terdiri dari: kandang underground shelter (K0) dan kandang battery (K1). Kandang underground shelter berada 40 cm dibawah permukaan tanah dengan alas dari batu bata yang dilengkapi dengan lubang tempat berlindung. Kandang battery merupakan kandang bentuk panggung dengan ketinggian 75 cm di atas permukaan tanah. Faktor K ditetapkan sebagai main plot. Faktor ransum ternak kelinci dengan kandungan energi dan protein berbeda ditetapkan sebagai sub plot. Faktor R terdiri dari : ransum ternak kelinci yang mengandung energi termetabolis 2201,15 kkal/kg dan protein kasar 14,03% (R1), energi termetabolis 2402,17 kkal/kg dan protein kasar 15,50% (R2), energi termetabolis 2603,45kkal/kg dan protein kasar 17,01% (R3), energi termetabolis 2801,81 kkal/kg dan protein kasar 18,50% (R4). Ransum ternak kelinci dibuat dalam bentuk pellet.

Analisis Statistik

Data yang diproleh dianalisis dengan analisis sidik ragam, apabila diantara perlakuan terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) maka analisis dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (Steel dan Torrie, 1980).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada Tabel 1 nampak bahwa temperatur dan kelembaban udara dalam kandang battery (K1) lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan kandang underground shelter (K0). Kandang K1 yang berbentuk panggung dengan ketinggian 0,75 cm dari permukaan tanah menerima radiasi gelombang panjang lebih banyak daripada kandang K0 yang berada 40 cm di bawah permukaan tanah. Jarak yang lebih jauh antara atap dengan lantai kandang menyebabkan makin banyak radiasi gelombang panjang yang diabsorbsi oleh material atmosfer (aerosol, gas dan uap air) sehingga radiasi matahari gelombang panjang yang sampai di petak kandang lebih kecil (Lean dan Rind, 1996). Lubang tempat berlindung yang ditutup dengan papan pada kandang K0 juga berfungsi sebagai isolator panas yang efektif.

Hambatan oleh material atmosfer yang lebih banyak karena jarak yang lebih panjang menyebabkan intensitas radiasi gelombang panjang lebih rendah, sesuai dengan pendapat Oke, (1978). Keadaan ini menyebabkan temperatur udara pada kandang K0 lebih rendah daripada K1. Kelinci yang diberi ransum dengan kandungan energi termetabolis 220 kkal/kg dengan protein kasar 14% (R1) tidak menyebabkan perbedaan yang nyata (P>0,05) terhadap temperatur dan kelembaban udara didalam kandang dibandingkan dengan kelinci yang diberi ransum dengan kandungan energi termetabolis 2400 kkal/kg dengan protein kasar

15,5% (R2), 2600 kkal/kg dengan protein kasar 17% (R3) dan energi termetabolis 2800 kkal/kg dengan protein kasar 18,5% (R4). Hal ini disebabkan karena perbedaan panas metabolisme yang ditimbulkan oleh perbedaan konsumsi energi dan protein pada perlakuan ransum berbeda, belum mempengaruhi temperatur udara yang terukur. McNitt (1996) menyatakan konsumsi energi dan protein yang lebih tinggi menyebabkan panas metabolisme yang dihasilkan akan lebih tinggi pula. Ventilasi kandang memungkinkan adanya pergerakan udara sehingga perbedaan panas dari perbedaan metabolisme ternak tidak sampai terakumulasi dan mempengaruhi temperatur udara yang terukur di dalam kandang.

Table 1. Iklim Mikro dan Produksi Panas pada Kandang pada Kandang Underground Shelter dan Battery

Variabel Perlakuan

KO K1 SEM

Pengaruh Perlakuan terhadap Iklim Mikro Kandang

Temperatur Udara (oC) 27,12b 28,71a 0,06

Kelembaban Udara (%) 75,51b 76,33a 0,05

Pengaruh Perlakuan terhadap Keseimbangan Energi

Konsumsi Energi (kkal/hari) 252,23a 270,72a 16,29

Energi Feses (kkal/hari) 67,50a 64,12a 6,81

Energi Tercerna (kkal/hari) 184,73a 206,59a 7,66

Energi Termetabolis (kkal/hari) 175,49a 196,26a 2,74

Retensi Energi (kkal/hari) 50,58a 37,40b 0,23

Produksi Panas (kkal W 0,75/hari) 85,51b 120,68a 1,60

1) K0 : Kandang under ground shelter

K1 : Kandang Battery

2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata (P>0,05) dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) 3) SEM : Standard Error of The Treatment Means

Konsumsi energi kelinci jantan lokal yang dipelihara pada kandang K1 dengan temperatur rata-rata 28,71 oC (Tabel 1) adalah 270,72 kkal/hari . Kelinci yang dipelihara pada kandang K0 dengan temperatur rata-rata 27,12 oC mengkonsumsi energi 252,23 kkal/hari. Hasil penelitian yang sama didapatkan oleh de Blas dan Wiseman (1998) bahwa kelinci yang dipelihara pada temperatur pemeliharaan 18 oC mengkonsumsi energi 284,21 kkal/hr sedangkan pada temperatur pemeliharaan 9 oC mengkonsumsi energ 213,16 kkal/hr.

Tabel. 2 Iklim Mikro dan Produksi Panas dalam Tubuh Kelinci yang Diberi Ransum Berbeda

Variabel R1 R2 PerlakuanR3 R4 SEM

Pengaruh Perlakuan terhadap Iklim Mikro Kandang

Temperatur Udara (oC) 27,91a 27,84a 28,01a 27,90a 0,06

Kelembaban Udara (%) 74,99a 74,79a 74,95a 74,96a 0,09

Pengaruh Perlakuan terhadap Keseimbangan Energi

Konsumsi Energi (kkal/hari) 212,77c 248,92b 286,53a 297,68a 10,42

Energi Feses (kkal/hari) 57,30b 61,16a 63,53ab 81,27a 0,79

Energi Tercerna (kkal/hari) 155,47c 187,76b 223,00a 216,41a 7,66 Energi Termetabolis (kkal/hari) 147,7c 178,37b 211,85a 205,56a 6,13

Retensi Energi (kkal/hari) 31,63b 35,64b 60,05a 48,65a 3,59

Produksi Panas (kkalW0,75/hari) 106,86a 111,75a 89,12a 104,64a 9,44 1) R1 : Ransum dengan kandungan energi: 2201,15 kkal ME/kg dan PK: 14,03%

R2 : Ransum dengan kandungan energi: 2402,17 kkal ME/kg dan PK: 15,50% R3 : Ransum dengan kandungan energi: 2603,45 kkalME/kg dan PK: 17,01% R4 : Ransum dengan kandungan energi: 2801,81 kkalME/kg dan PK: 18,50%

2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata (P>0,05) dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) 3) SEM : Standard Error of The Treatment Means

Kelinci yang diberi ransum R3 dan R4 mengkonsumsi energi lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan ransum R2 dan R1. Ransum R3 dan R4 mengandung energi lebih tinggi dan lebih palatabel dibandingkan dengan R2 dan R1 sehingga konsumsi energi lebih tinggi. Hasil penelitian mendapatkan bahwa konsumsi ransum kelinci per hari pada perlakuan R3, R4, R2 dan R1 masing-masing 58,91g, 54,81g, 53,12g dan 44,65g. Hasil yang sama didapatkan oleh Prasad et al. (1996) menyatakan bahwa kelinci New Zeland White yang diberi ransum dengan kandungan energi 2585 kkalDE/kg dan protein 16%, 2778 kkalDE/kg dan protein 20%, 3034 kkalDE/kg dan protein 22,7% mengkonsumsi energi masing-masing 296 kkalDE/hari, 318 kkalDE/hari dan 287 kkalDE/hari.

Energi tercerna (206,59 kkal/hari) dan energi termetabolis (196,26 kkal/kg) pada kelinci yang dipelihara pada kandang K1 lebih tinggi dibandingkan dengan energi tercerna (184,73 kkal/hari) dan energi termetabolis (175,49 kkal/hari) pada kelinci yang dipelihara pada kandang K0. Kondisi iklim mikro pada kandang K1 (temperatur dan kelembaban udara) lebih tinggi dari kebutuhan nyaman bagi ternak kelinci seperti data hasil penelitian pada Tabel 1. Pada kondisi cekaman panas (heat stress) ternak membutuhkan energi lebih tinggi karena sebagian energi yang dikonsumsi akan dipergunakan untuk beradaptasi mengatasi kondisi lingkungan, sesuai dengan pendapat Lesson (1986). Kondisi ini menyebabkan energi tercerna (DE) dan energi termetabolis (ME) kelinci pada kandang K1 lebih tinggi daripada kelinci di kandang K0.

Energi tercerna dan energi termetabolis pada kelinci yang ransum R3 dan R4 lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan R2 dan R1. Hal ini disebabkan karena kandungan energi ransum perlakuan R3 dan R4 lebih tinggi daripada R2 dan R1 dan konsumsi ransum kelinci yang diberi ransum perlakuan R3 dan R4 lebih tinggi daripada R2 dan R1. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Prasad et al. (1996) yang mendapatkan bahwa kelinci new zeland white yang diberi ransum dengan kandungan energi 2585 kkal DE/kg dan PK 16%, energi 2778 kkal DE/kg dan PK 20% dan energi 3043 kkal DE/kg dan PK 22,70% menyebabkan energi tercerna (DE) masing-masing 296 kkal/hari, 318 kkal//hari dan 287 kkar/hari.

Retensi energi kelinci yang dipelihara pada kandang K1 lebih rendah (P<0,05) daripada kandang K0. Keadaan ini disebabkan karena penggunaan energi untuk mengatasi kondisi lingkungan (hidup pokok) kelinci yang dipelihara pada kandang K1 lebih tinggi daripada K0 (142,83 kkal/hr vs 103,41 kkal/hr). Hasil penelitian yang sama didapatkan oleh Kasa et al. (1995) dimana domba saenan yang berlari pada tread mill dengan kecepatan 30 km/jam pada temperatur 40 oC produksi panasnya lebih tinggi daripada temperatur 30 oCdan 20 oC. Peningkatan produksi panas ini disebabkan karena peningkatan denyut jantung dan laju respirasi yang merupakan respon ternak untuk mensuplai lebih banyak oksigen dalam tubuh. Retensi energi pada kelinci yang diberi perlakuan ransum R3 dan R4 lebih tinggi (P<0,05) daripada R2 dan R1. Hal ini disebabkan karena konsumsi ransum dan konsumsi energi termetabolis (ME) pada perlakuan ransum R3 dan R4 lebih tinggi dibandingkan ransum R2 dan R1.

Produksi panas pada tubuh ternak kelinci merupakan hasil sampingan dari hasil metabolisme di dalam tubuhnya. Produksi panas ini dipergunakan untuk kebutuhan hidup pokok yaitu menjamin kesinambungan hidup ternak kelinci dan mempertahankan temperatur tubuh kelinci melalui proses termeregulasi (McNitt

et al., 1996). Kelinci yang dipelhara pada kandang K1 menghasilkan produksi panas lebih tinggi daripada kandang K0 (158,86 kkal/hari vs 125,03 kka/hari). Ternak kelinci mengkonsumsi energi untuk memenuhi hidup pokok dan untuk pertumbuhan (de Blas dan Wiseman, 1998). Kondisi yang kurang nyaman pada kandang K1 diindikasikan oleh temperatur dan kelembaban udara (Tabel 1) yang lebih tinggi daripada kandang K0. Nuriyasa (2013) menyatakan bahwa pada kondisi cekaman panas ternak kelinci akan mengalami kesulitan untuk mempertahankan temperatur tubuhnya. Pada kondisi seperti ini, ternak akan memerlukan energi lebih banyak untuk kebutuhan hidup pokok seperti mempercepat frekuensi pernafasan dan meningkatkan denyut jantung. Energi untuk hidup pokok diambil dari energi hasil metabolisme sehingga metabolisme meningkat dan produksi panas juga meningkat. Perlakuan ransum dengan kandungan energi dan protein berbeda tidak menyebabkan perbedaan secara nyata (P>0,05) pada variabel produksi panas. Pada Tabel 1 nampak bahwa perlakuan ransum tidak menyebabkan perbedaan temperatur dan kelembaban udara. Kondisi ini mengindikaskan bahwa tidak terjadi perbedaan proses termoregulasi pada ternak kelinci yang diberikan ransum dengan kandungan energi dan protein berbeda.

4. KESIMPULAN

Iklim mikro pada kandang underground shelter lebih baik sehingga produksi panas pada tubuh kelinci yang dipelihara pada kandang underground shelter lebih rendah dibandingkan dengan kandang

battery. Ransum dengan kandungan energi dan protein berbeda tidak berpengaruh terhadap iklim mikro kandang dan produksi pada pada tubuh kelinci.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis menyampaikan banyak terima kasih pada pemerintah Indonesia melalui LPPM Universitas Udayana atas bantuan dana yang diberikan sehingga penelitian dapat dilaksanakan sesuai dengan yang direncanakan. Rasa terima kasih yang mendalam juga penulis sampaikan kepada Bapak Rektor Universitas Udayana, Bapak Dekan Fakultas Peternakan, Universitas Udayana atas bantuan sarana dan prasarana Laboratorium yang telah dipergunakan selama penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Alhaidary A., H.E. Mohamed and A.C. Beynen. (2010). Impact of dietary fat type and amount on growth performance and serum cholesterol in rabbits. American Journal of Animal and Sciences 5(1): 60-64.

AOAC. (1990). Offi cial methods of analysis (15th Ed). Association of Offi cial Analytical Chemists, Arlington, VA.

Bivin, W.S. and W.W. King. (1995). Raising Healthy Rabbit. A. Publication of Christian Veterinary Mission, Washington, USA.

BMKG. (2013). Informasi Cuaca, Iklim dan Gempa Bumi Provinsi Bali. Bulletin. Tahun III No. 09 September 2013. Balai Besar Meteorologi Klimatologi dan Geofi sika Wilayah III, Denpasar. Carvera, C and J.F. Carmona. (1998). Climatic Environment. . In. The Nutrition of the Rabbit. Ed. C. de

Blas and J.Wiseman. CABI Publishing, New York.

De Blass, C and J. Wiseman. (1998). The Nutrition of the Rabbit. CABI Publishinr. University of Nottingham. Nottingham. P.39-55.

Kasa, I.W., C.J. Thwaites and N.D. Baillie. (1995). The Effect of Treadmill Exercise on Physiological Responses of Saanen and Toggenburg Goats at Environmental Temperatures of 20, 30 and 40 oC. Triple A Conference Animal, People and Science Progress Through Co – Operation, Wellington, New Zealand.

Lean, J., D. Rin. (1996). The sun and climate. Available at : http://grico.org/CONSEQUENCES/winter 96/index.html. Accessed 24 Juli 2010.

Leeson, S. (1986). Nutritional Considerations of Poultry During Heat Stress. Poultry Sci. 42 : 69-81. Mailafi a, S., M.M. Onakpa, O.E. Oweleke. (2010). Problem and prospect of rabbit production in Nigeria

– a review. Journal of Pure and Applied Sciences, 3(2): 20 – 25.

Mc.Nitt, J.I., N.M. Nephi, S.D. Lukefahr and P.R. Cheeke. (1996). Rabbit Production. Interstate Publishers, Inc.U.S.A.

Nuriyasa, I.M. (2013). Iklim mikro dan response hematologi kelinci local (Lepus nigricollis) pada jenis kandang berbeda. Majalah Ilmiah Peternakan, Vol 15 (1) : 11-15.

Oke. T.R. (1978). Boundry Layer Climate. Methmen dan Co. London.p.3-58.

Prasad, R., S.A. Karim, B.C. Patnayak. (1996). Growth Performance of Broiler Rabbits Maintained on Diets with Varying Levels of Energy and Protein.World Rabbit Science 1996, 4(2), 75-78.

Schiere, J.B. (1999). Backyard Farming in the Tropics. CTA Pubblished.

Steel, R.G.D. and J.H. Torrie. (1980). Principles and procedures of statistics. A biometric approach, second edition. Translated by Sumantri. Gramedia. Jakarta.

Suc, Q. N. D.V. Binh,L.T.T. Ha and T.R. Preston. (1996). Effect of Houshing System (Cage versus Underground Shelter) on Performance of Rabbits on Farm. Finca Ecologica, University of Agriculture and Forestry .http://www.Irrd.org/Irrd8/4/cont 84.htm. Disitir Tanggal 12 Nopember 2010.

Xiangmei, G. (2008). Rabbit Feed Nutrition Study for Intensive, Large-Scale Meat Rabbit Breeding. Qingdao Kangda Food Company Limited, China. http://www.mekarn.org/prorab/guan.htm. Disitir Tanggal 18 Nopember 2010.

Xiccato, G. M.Bernardini, C.Castellini, A. Dalle Zotte, P.I. Queaque and A.Trocino.(1999). Effect of Postweaning Feeding on the Performance and Energy Balance of Famale Rabbits at Different Physiological. States. Journal of Animal Science, Vol. 77 (2) : 416-426. http://jas.fas org/cgi/ content/abstract/77/2/416. Disitir Tanggal 20 Nopember 201.

Yan, Y and Li, M. (2008). Feeding Management and Technology of Breeding Rabbit in Hot Climate. Qingdao Kanada Food Company Limited Kanada Group, Qingdao, 266400, China.Yanyk@vip. sina.com.

EVALUASI KUALITAS NUTRISI TANAMAN KALIANDRA