• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ngurah Intan Wiratmini

Program Doktor Ilmu Peternakan Pascasarjana Universitas Udayana. Jalan PB. Sudirman Denpasar Bali

wiratminiintan@yahoo.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek embriotoksik dan teratogenik tepung daun lamtoro terdetoksifi kasi

(TDLP) pada ransum tikus putih selama periode bunting terhadap perkembangan pralahir. Sebanyak 24 ekor tikus putih bunting dibagi menjadi empat kelompok perlakuan yang diberi pakan dalam bentuk pellet dengan dengan level 0% TDLP (P0), 7,5% TDLP (P1), 15% TDLP (P2) dan 22,5% TDLP (P3). Pemberian pakan perlakuan dimulai saat post coitus sampai 15 hari umur kebuntingan. Pada umur kebuntingan 18 hari semua sampel pada tiap kelompok di bedah Caesar dan semua fetus dkeluarkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah corpus luteum, jumlah implantasi, kehilangan embrio praimplantasi, jumlah fetus, fetus hidup, bobot fetus dan panjang fetus tidak berbeda nyata P>0,05 antara kontrol dan perlakuan. Kelainan morfologi juga tidak ditemukan baik kontrol maupun perlakuan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah penambahan TDLP sampai level 22,5% dalam ransum tikus bunting tidak menyebabkan embriotoksik dan teratogenik fetus pralahir.

Kata kunci: leucaena, detoksifi kasi, embriotoksik, teratogenik, tikus.

Abstract

This study aims to determine the embryotoxic and teratogenic effects of leucaena leaf meal were detoxifi ed (TDLP)

on feed rats during pregnancy on prenatal development. A total of 24 pregnant rats were divided into four treatment groups were fed a pelleted with the level of 0% TDLP (P0), 7.5% TDLP (P1), 15% TDLP (P2) and 22.5% TDLP (P3) . Provision of treatment begins when a post coitus until 15 days of gestation. When pregnancy 18 days all samples

in each group were sacrifi ced and all the fetuses removed. The results showed that the number of corpus luteum,

implantation, preimplantation embryo loss, number of fetuses, live fetuses, fetal weight and fetal length were not

signifi cantly different P> 0.05 between control and treatment. Morphological abnormalities are also not found in

either the control or treatment. The conclusion of this study is the addition TDLP up 22.5% level in the diet pregnant

rats did not cause either embryotoxic or tertogenic on prenatal fetuses.

Keywords: leucaena, detoxifi cation, embryotoxic, teratogenic, rats.

1. PENDAHULUAN

Lamtoro (Leucaena leucocephala) adalah tanaman jenis legum pohon yang berasal dari Amerika Tengah dan sekarang banyak ditemukan di daerah tropis dan subtropis di seluruh dunia (Yeung et al., 2002). Hijauan lamtoro sangat baik sebagai pakan ternak karena kandungan protein daun lamtoro cukup tinggi dibandingkan dengan hijauan lainnya, yaitu mencapai 25-35% berdasarkan bahan kering (Gosh dan Bandyopadhyay, 2007). Kandungan asam amino daun lamtoro hampir berimbang dengan asam amino pada tepung kedelai dan tepung ikan, kecuali lisin dan metionin yang lebih rendah (Jayanegara dan Sofyan, 2008). Selain kandungan nutrisi yang tinggi, lamtoro memilki palatabilitas dan tingkat kecernaan tinggi bagi ruminansia (Radostits et al., 2000). Kemampuan lamtoro hidup di daerah tropis dapat dimanfaatkan sebagai tanaman alternatif untuk memenuhi kualitas hijauan pada musim kemarau.

Namun, penggunaan lamtoro menjadi terbatas terutama karena adanya mimosin yang merupakan asam amino bukan protein dan produk degradasi primernya, yaitu 3-hydroxy, 4 (1H) pyridine (DHP) yang beracun bagi ternak (Aung et al., 2006). Mimosin memiliki aktivitas antimitosis yang menghambat tahap G1 dari siklus sel (Khanna dan Lavin, 1993), dan menghambat sintesis DNA (Gilbert et al., 1998). Pemberian lamtoro pada tikus betina menyebabkan gangguan estrus, penurunan konsepsi dan tingginya kegagalan perkembangan fetus (Joshi, 1968). Kejadian rontok rambut, gondok dan penurunan fertilitas pada sapi

betina yang diberi pakan daun lamtoro juga dilaporkan oleh Meulen et. al. ( 1979). Namun penelitian yang dilakukan oleh Alam et al. (2009), bahwa tanaman lamtoro dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein alternatif untuk meningkatkan berat badan, produksi susu dan kinerja reproduksi postpartum pada sapi. Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Gosh et al. (2007), bahwa pemberian tepung daun lamtoro dalam waktu kurang dari 22 hari sebanyak 25%, 50% dan 75% dari total ransum dapat meningkatkan produksi susu pada sapi tanpa menimbulkan rontok rambut maupun gondok.

Mengingat kebutuhan pakan hijauan pada musim kemarau cukup serius, maka peranan tanaman lamtoro untuk memenuhi kebutuhan tersebut merupakan hal yang perlu diperhatikan. Perhatian para peneliti saat ini adalah upaya untuk mendetoksifi kasi (menurunkan) kadar mimosin daun lamtoro agar pemanfaatannya sebagai pakan ternak khususnya ternak monogastrik lebih optimal. Upaya detoksifi kasi mimosin daun lamtoro dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan, salah satu diantaranya adalah perendaman dengan air. Pemberian daun lamtoro yang direndam air pada babi selama periode pertumbuhan mampu meningkatkan pertambahan berat badan, konsumsi pakan dan FCE (Zakayo et al., 2000). Namun sejauh ini, belum ada yang melaporkan pengaruh daun lamtoro hasil perendaman terhadap kemunculan kelainan perkembangan embrio dan fetus.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian tepung daun lamtoro terdetoksifi kasi dalam ransum tikus bunting terhadap perkembangan embrio tikus putih pralahir sebagai hewan model ternak monogastrik.

2. BAHAN DAN METODE

2.1 Bahan

Bahan penelitian adalah daun lamtoro (Leucaena leucocephala) yang diperoleh dari tanaman lamtoro yang tumbuh di sepanjang Jalan By Ngurah Rai Denpasar Bali. Bahan kimia yang lainnya adalah adalah NaCl 0,9%, CMC, pakan babi CP 551, alcohol 70%, ether, asam pikrat, Giemza 10%. Sedangkan alat yang digunakan adalah bak plastik berukuran 33x25x14 cm, beserta tutup, botol minum, dissecting set, bak paraffi n, alat-alat gelas yang mendukung, loop, timbangan analitik dan mikroskop cahaya.

2.2 Metode

2.2.1 Pembuatan pelet

Daun lamtoro didetoksifi kasi melalui perendaman dengan air selama 12 jam, selanjutnya daun lamtoro (TDLP) dikeringkan sampai mencapai berat kering yang konstan. Daun lamtoro yang sudah kering selanjutnya dibuat tepung dan dicampur dengan pakan komersial (pakan babi CP 551).

2.2.2 Hewan coba

Sebanyak 24 ekor tikus betina umur 2 bulan berat sekitar 180- 200 g, belum pernah kawin digunakan sebagai hewan coba, dan 24 ekor tikus jantan dewasa berat 200-250 g untuk mengawinkan. Semua hewan diadaptasikan selama 1 minggu, dan diberi pakan berupa pakan babi CP 551 dan minum air ledeng secara

ad libitum. Selama adaptasi, tikus betina dipisahkan dengan tikus jantan. Setelah 1 minggu, pemeriksaan siklus estrus dilakukan melalui pemeriksaan ulas vagina dan diamati di bawah mikroskop. Apabila tikus berada pada fase proestrus (hasil ulas vagina menunjukkan adanya epitel menanduk, banyak mucus/lendir), maka pada sore hari dimasukkan ke dalam kandang yang terdapat 1 ekor tikus jantan. Jika pada keesokan paginya terdapat sumbat vagina maka dinyatakan sebagai hari ke-0 masa kebuntingan

2.2.3 Langkah penelitian

Tikus yang dinyatakan bunting di bagi menjadi 4 kelompok perlakuan secara acak masing-masing terdiri dari 6 ekor tikus.

a. Perlakuan kontrol (P0) diberikan pellet yang mengandung pakan komersial tanpa TDLP b. Perlakuan 1 (P1) diberikan pellet mengandung pakan komersial 92,5% + 7,5% TDLP

c. Perlakuan2 (P2) diberikan pakan pellet yang mengandung pakan komersila 85% + 15% TDLP d. Perlakuan3 (P3) dieberikan pellet mengadung pakan komersial 77,5% + 22,5% TDLP

Pakan kontrol dan perlakuan diberikan pada hari post coitus sampai kehamilan hari ke-15. Pada hari ke-18 tikus dibius dengan ether, kemudian tikus dikorbankan dan dibedah caesar. Semua fetus dikeluarkan

dari uterus dan dimasukkan ke dalam cawan petri yang berisi 0,9% NaCl. Parameter yang diamati adalah efek embriotoksik (jumlah korpus luteum (CL), jumlah implantasi, kehilangan praimplantasi) dan efek teratogenik ( jumlah fetus, jumlah fetus hidup, bobot fetus, panjang fetus dan morfologi fetus). Morfologi fetus dilakukan pengamatan terhadap kelengkapan dan adanya kelainan pada tangan, kaki (clubfoot), akauda dan ekor melilit (kinky tail), telinga (mikrootia), mata terbuka, celah langit dan hemoragi dengan menggunakan kaca pembesar (loop).

2.2.5 Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan ANOVA dengan bantuan SPSS 20,0, selanjutnya apabila terdapat perbedaan yang nyata antara kontrol dengan perlakuan dilanjutkan dengan uji Duncan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1. dapat dilihat bahwa penambahan tepung daun lamtoro terdetoksifi kasi (TDLP) dalam ramsum tikus bunting post coitus tidak menunjukkan perbedaan yang nyata P>0,05 terhadap jumlah implantasi jika dibandingkan dengan kontrol. Hal ini mengindikasikan bahwa penambahan TDLP dalam ransum tidak menghambat perkembangan embrio untuk mencapai tahap blastokista akhir. Zigot mengalami sejumlah pembelahan mitosis (cleavage) secara cepat menuju terbentuknya masa sel yang kecil (morula). Selanjutnya morula masuk ke dalam rongga uterus, hingga terbentuk blastosit hingga akhirnya berimplantasi ke dalam endometrium. Keberhasilan embrio melakukan implantasi dapat dilihat dari jumlah implantasi sedangkan jumlah implantasi ditentukan oleh jumlah ovum yang diovulasi. Dalam penelitian ini dilakukan pengamatan terhadap jumlah korpus luteum, karena korpus luteum menggambarkan jumlah ovum yang diovulasikan.

Tabel 1. Data pengamatan fetus setelah dilakukan pembedahan

Parameter Perlakuan P0 P1 P2 P3 Jumlah CL 8,00±1,10a 8,67±1,03a 8,17±0,75a 8,17±1,12a Jumlah implantasi 7,83±0,75a 8,33±1,03a 8,00±0,89a 7,83±0,75a Kehilangan praimplantasi (%) 1,67±4,08a 3,75±5,87a 2,08±5,10a 3,52±5,46a Jumlah Fetus 7,67±0,82a 8,00±0,89a 7,83±0,75a 7,66±0,81a Fetus hidup (%) 97,92±5,10a 96,25±5,86a 98,15±4,53a 97,92±5,10a Bobot fetus (g) 1,77±0,10a 1,77±0,01a 1,77±0,01a 1,77±0,03a Panjang fetus (cm) 3,02±0,03a 3,02±0,02a 3,02±0,03a 3,00±0,01a

Keterangan : angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan hasil tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%

Periode praimplantasi sangat rentan terhadap agen yang bersifat antimitosis, karena pada periode ini embrio secara aktif melakukan pembelahan untuk mencapai tahap blastula akhir. Leucaena mengandung mimosin yang merupakan asam amino bukan protein. Mimosin memiliki aktivitas menghambat mitosis dengan mempengaruhi sintesis atau fungsi protein dalam mengatur translasi mRNA yang menyebabkan penghambatan replikasi DNA (Wang et al., 2000). Keberhasilan zigot mencapai tahap blastula akhir dalam penelitian ini kemungkinan disebabkan penurunan kadar mimosin daun lamtoro hasil detoksifi kasi selama 12 jam di dalam air hingga 73% (Wiratmini, NI. 2013) (Tidak dipublikasi) jika dibandingkan kadar mimosin daun lamtoro sebelum direndam. Penurunan kadar mimosin ini menyebabkan aktivitas antimitosis daun lamtoro juga menurun, sehingga tidak menghambat pembelahan mitosis selama perkembangan zigot mencapai tahap blastula akhir. Hasil analisis terhadap kehilangan praimplantasi pada Tabel 1, menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata P>0,05 antara P0 dengan ketiga perlakuan (P1, P2 dan P3) karena jumlah korpus luteum dan jumlah implantasi menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata P>0,05 antara kontrol dan perlakuan.

Tahap perkembangan selanjutnya setelah embrio berimplantasi adalah tahap organogenesis (hari ke-6 sampai 15 umur kebuntingan). Memasuki periode organogenesis, terjadi proses histogenesis, pematangan fungsional dan pertumbuhan. Maniferstasi adanya teratogen pada periode ini bersifat lebih luas antara lain muncul dalam bentuk hambatan pertumbuhan dan kelainan fungsional. Periode organogenesis merupakan

tahap pembentukan organ-organ fetus, dimana sangat rentan terhadap pengaruh luar (teratogen). Pada penelitian ini dilakukan pengukuran berat badan dan panjang fetus karena parameter ini cukup sensitif jika dibandingkan dengan malformasi dan kematian (Ryan et al, 1991). Penyusutan berat dan panjang badan merupakan bentuk teringan dari ekspresi teratogen sehingga mampu menjadi indikator terjadinya hambatan pertumbuhan akibat gangguan terhadap proses-proses yang mendasari pertumbuhan seperti pembelahan sel, metabolisme, dan sintesis di dalam sel.

Hasil analisis terhadap bobot dan panjang fetus, menunjukkan bahwa pemberian TDLP pada level yang bertingkat tidak perbedaan nyata P>0,05 kontrol. Rata-rata jumlah fetus dan jumlah fetus hidup juga menunjukkan tidak berbeda nyata P>0,05 antara kontrol dengan perlakuan. Dalam penelitian ini juga tidak ditemukan adanya embrio yang diresorbsi. Resorbsi ditandai oleh adanya gumpalan merah pada uterus yang tidak memberi respon bila disentuh. Resorbsi berarti tidak berkembangnya embrio menjadi fetus normal, hal ini terjadi akibat kesalahan morfologi dengan berbagai cacat tubuh yang berakhir dengan kematian (Peters & Berkvens, 1996).

Jika teratogen mencapai blastula yang sedang berdiferensiasi, maka teratogen tersebut dapat mengakibatkan terjadinya kelainan malformasi. Hasil pengamatan bentuk morfologi tidak ditemukan adanya cacat makroskopis pada kelompok perlakuan seperti terlihat pada Gambar 1.

Gambar1. Morfologi fetus pralahir tikus putih yang diberi tambahan TDLP pada ransum selama bunting.

Nagaol et al. (1986) mengemukakan hukum “all or none yang menyatakan bahwa suatu teratogen yang bekerja pada embrio tahap praimplantasi (zigot, pembelahan dan blastokista) akan menyebabkan embrio tersebut mati atau tumbuh normal. Sejalan dengan penelitian ini, penambahan TDLP dalam ransum dengan level 7,5%, 15% dan 22,5% post coitus tidak menyebabkan hambatan perkembangan praimplantasi sehingga embrio mampu melanjutkan perkembangan sampai tahap organogenesis. Selama tahap organogenesis, kadar mimosin TDLP yang berkurang hingga 73% tidak menghambat proliferasi dan diferensiasi sel embrio sehingga tidak memunculkan kelainan morfologi pada fetus pralahir.

4. KESIMPULAN

Penambahan tepung daun lamtoro terdetoksifi kasi hingga 22,5% pada ransum tikus putih selama periode bunting tidak menimbulkan efek embriotoksik dan teratogenik fetus pralahir

DAFTAR PUSTAKA

Alam, M.G.S., Rahman, M.A., Khatun, M. and Ahmed, J.U. (2009) Feed supplementation and weight change, milk yield and post-partum oestrus in Desi cows. The Bangladesh Veterinarian. 26 (2) : 39-47.

Aung, A., Ngwe, T., Meulen, U. Ter., Gessler, F. and Bohnel, H. (2006) Control of leucaena toxicosis in Myanmar sheep using IBT gottinger-bioreactor grown mimosine degrading ruminal Klebsiella spp. Conference on International Agriculural Research for Development, Tropentag.

1. Morfologi fetus pralahir tikus putih yang diberi tambahan

Ghosh, M.K., Atreja, P.P., Buragohain, R. dan Bandyopadhyay, S. (2007) Infl uence of short-term Leucaena leucocephala feeding on milk yield and its composition, thyroid hormones, enzyme activity, and secretion of mimosine and it metabolites in milk of catlle. The Journal of Agricultural Science 145 (4) : 407- 414.

Gilbert, D.M., Neilson, A., Miyazawa, H., Depamphilis, M.L., Gupta, H.K. and Altreja, P.P. (1998). Infl uence of ferric chloride treated Leucaena leucocephala on metabolism of mimosine and 3-hydroxy-4(1H)-pyridone in growing rabbit. Anim feed Sci Tech. 74:45-55

Jayanegara, A. dan Sofyan, A. (2008) Penentuan aktivitas biologis tannin beberapa hijauan secara in vitro

menggunakan ‘Hohenheim Gas Test’ dengan polietilen glikol sebagai determinan. Med. Pet. 31:44-52.

Joshi, H.S. (1968) The Effect of Feeding on Leucaena leucocephala (LAM) de wit on Reproduction in Rats. Aust. J. Agric. Res. 19 : 341-352.

Khanna, K.K. and Lavin, M.F. (1993) Ionizing radiation and UV induction of P53 protein by different pathway in ataxia-telangiectasia cells. Oncogene 8, 3307-3312

Nagao, T., Ishizuka, Y., and Mizutami, M. 1986. Effects of mitomycin C treatment before implantation on

development of mouse embryo.Cong Anom 26:93-101.

Peters, P.W.J. and Beerkvens, J.M. 1996. General reproduction toxicology. In: Niensink, R.J.M., J.D.Vries, and M.A. Hollingger. Toxicology: Principle and Application. New York: CRC Press.

Radostits, O.M., Blood, D.C., Gay, C.C. (2000) Veterinary Medicine. 8th ed. London: Bailliere Tindal. Rai, A.K., Khanna, N.D. dan Agarwal, S.P.. (1992) Effect of feeding Leucaenaleucocephala with Phaseolus

aconitifolius on growth and thyroid status of camel calves. Indian J Anim Sci. 62:297-301.

Ryan, L.M., Catalano, P.J., Kimmel, C.A., and Kimmel, G.L.(1991) Relationship Between Fetal Weight and Malformation in Development Toxicity Studies. Teratology 44 : 215-223.

Wang, G., Miskimins, R., and Miskimins, W. K.. 2000. Mimosine arrests cells in G1 by enhancing the levels of p27(Kip 1). Exp. Cell Res. 254:64-71.

Yeung, P.K.K., Francis, T.W. Wong, and Joseph, T.Y.Wong. 2002 Mimosine, the allelochemical from the leguminous tree Leucaena leucocephala, selectively enhances cell proliferation in Dinofl agellates.

Appl Environ microbial. 68(10): 5160-5163.

Zakayo, G., Krebs, G.L. and Mullan, B.P. 2000. The use of Leucaena leucocephala leaf meal as protein supplement for pigs. Asian-Aus. J. Anim. Sci. 13 (9) : 1309-1315.

MENENTUKAN KOMPOSISI BOTANI PAKAN RUSA TIMOR