• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

SISWA SMA MELALUI PEMBELAJARAN INKUIRI MODEL ALBERTA

C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Gambaran umum mengenai rata-rata KBKM siswa sebelum dan setelah penelitian serta N-gain berdasarkan kelompok pembelajaran dan level sekolah disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1

Skor Pre-test, Post-test, dan N-gain KBKM Siswa Berdasarkan Pembelajaran dan Level Sekolah

Kategori Stat P-IMA P-KV Pre- test Post- test N-gain Pre- test Post- test N-gain Level Sekolah Tinggi n 31 31 31 28 28 28 Rerata 1,677 17,226 0,289 2,536 9,500 0,132 SB 1,681 9,646 0,164 1,795 3,448 0,050 Sedang n 38 38 38 40 40 40 Rerata 1,474 13,000 0,198 1,500 7,500 0,111 SB 1,370 5,643 0,087 1,783 2,918 0,040 Keseluruhan Siswa n 69 69 69 68 68 68 Rerata 1,565 14,899 0,239 1,927 8,324 0,120 SB 1,510 7,928 0,134 1,847 3,276 0,045

Keterangan: Skor ideal maksimal pretest dan posttest adalah 56. N-gain maksimal adalah 1.

Berdasarkan Tabel 1, dapat dilihat bahwa pada masing-masing level sekolah dan secara keseluruhan, siswa yang mendapat pembelajaran IMA memiliki rata-rata skor KBKM yang lebih tinggi daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional (KV). Begitu juga dengan rata- rata N-gain KBKM siswa yang mendapat pembelajaran IMA lebih tinggi daripada N-gain KBKM siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 149 Sebelum menganalisis data peningkatan KBKM siswa, terlebih dahulu dilakukan uji persyatan analisis data. Hasil uji normalitas distribusi data peningkatan KBKM siswa menunjukkan bahwa data peningkatan KBKM siswa kelas eksperimen (pembelajaran IMA) dan kelas kontrol (pembelajaran konvensional) berdistribusi normal pada taraf signifikansi α = 0,05. Sedangkan hasil uji homogenitas data peningkatan KBKM menunjukkan bahwa kedua kelompok data tidak homogen atau memiliki varians yang tidak sama. Oleh karena itu untuk menguji perbedaan peningkatan KBKM siswa antara yang mendapat pembelajaran IMA dan yang mendapat pembelajaran KV menggunakan uji–t' atau uji–t tanpa asumsi kesamaan varians.

Hasil uji perbedaan peningkatan KBKM siswa antara yang mendapat pembelajaran IMA dan yang mendapat pembelajaran KV dengan menggunakan uji–t' disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2

Uji Perbedaan Peningkatan KBKM Siswa Kedua Kelompok Pembelajaran

Pembelajaran N Rata- rata Beda Rata-rata t dk Sig. H0 IMA 69 0,239 0,091 6,98 83 0,000 Ditolak KV 68 0,120

Hasil pada Tabel 2, menunjukkan bahwa peningkatan KBKM siswa yang mendapat pembelajaran IMA lebih baik daripada peningkatan KBKM siswa yang mendapat pembelajaran KV. Hasil ini menyatakan bahwa pembelajaran IMA berperan dalam meningkatkan KBKM siswa.

Sebelum melakukan uji perbedaan peningkatan KBKM siswa setiap level sekolah antara yang mendapat pembelajaran IMA dan yang mendapat pembelajaran konvensional terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan homogenitas varians kedua kelompok data. Hasil uji normalitas data adalah bahwa kedua kelompok data berdistribusi normal, sedangkan uji homogenitas varians diperoleh bahwa kedua kelompok data tersebut tidak homogen. Oleh karena itu untuk menguji perbedaan rata-rata peningkatan KBKM siswa antara kedua kelompok pembelajaran untuk setiap level sekolah menggunakan uji–t'.

Hasil uji perbedaan peningkatan KBKM siswa setiap level sekolah antara yang mendapat pembelajaran IMA dan yang mendapat pembelajaran KV disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3

Uji Signifikansi Perbedaan Peningkatan KBKM

Siswa Kedua Kelompok Pembelajaran untuk Setiap Level Sekolah

Level Sekolah Pembelajaran N

Rata- rata Beda Rata-rata t dk Sig. H0 Tinggi IMA 31 0,289 0,157 5,09 36 0,000 Ditolak KV 28 0,132 Sedang IMA 38 0,197 0,087 5,61 51 0,000 Ditolak KV 40 0,111

150 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Hasil pada Tabel 3, menunjukkan bahwa peningkatan KBKM siswa yang mendapat pembelajaran IMA lebih baik daripada peningkatan KBKM siswa yang mendapat pembelajaran KV pada setiap level sekolah (tinggi dan sedang).

Berdasarkan hasil uji normalitas data sebelumnya bahwa kedua kelompok data yakni data N-gain KBKM siswa dari level sekolah tinggi dan sedang yang mendapat pembelajaran IMA berdistribusi normal. Selanjutnya, hasil uji homogenitas varians diperoleh bahwa kedua kelompok data tersebut tidak homogen. Oleh karena itu, untuk menguji perbedaan peningkatan KBKM siswa kedua level sekolah setelah mendapat pembelajaran IMA menggunakan uji–t'. Hasil uji - t' tersebut disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4

Uji Perbedaan Peningkatan KBKM Siswa Kedua Level Sekolah Setelah Mendapat Pembelajaran IMA

Level Sekolah N Rata- rata Beda Rata-rata t dk Sig. H0 Tinggi 31 0,289 0,091 2,80 43 0,004 Ditolak Sedang 38 0,197

Tabel 4, menunjukkan bahwa nilai probabilitas (sig.) lebih kecil dari 0,05 sehingga H0 ditolak.

Dengan demikian, terdapat perbedaan rata-rata peningkatan KBKM yang signifikan antara siswa level sekolah tinggi dan sedang setelah mendapat pembelajaran IMA. Karena rata-rata peningkatan KBKM siswa level sekolah tinggi yang mendapat pembelajaran IMA lebih besar daripada KBKM siswa level sekolah sedang yang juga mendapat pembelajaran IMA, maka dapat disimpulkan bahwa peningkatan KBKM siswa level sekolah tinggi yang mendapat pembelajaran IMA lebih baik daripada peningkatan KBKM siswa level sekolah sedang yang juga mendapat pembelajaran IMA. Implikasi dari temuan ini adalah bahwa pembelajaran IMA lebih cocok digunakan pada sekolah level tinggi di SMAN Kota Pekanbaru guna meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa. Untuk mengetahui ada atau tidak adanya interaksi antara pembelajaran dengan level sekolah terhadap peningkatan KBKM siswa digunakan ANAVA dua jalur. Interaksi tersebut disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5

Uji Interaksi antara Pendekatan Pembelajaran dengan Level Sekolah terhadap Peningkatan KBKM

Sumber Kuadrat Jumlah dk Rata-rata Kuadrat F Sig. H0

Pembelajaran 0,499 1 0,499 54,726 0,000 Ditolak Level Sekolah 0,106 1 0,106 11,581 0,001 Ditolak

Interaksi 0,042 1 0,042 4,588 0,034 Ditolak

Total 6.265 137

Secara grafik, interaksi antara pembelajaran dengan level sekolah dalam peningkatan KBKM diperlihatkan pada Diagram 1.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 151 Diagram 1. Interaksi antara Pembelajaran dengan Level Sekolah

terhadap Peningkatan KBKM

Pada Tabel 5, terlihat bahwa ada perbedaan peningkatan KBKM siswa yang signifikan berturut- turut berdasarkan perbedaan pembelajaran dan level sekolah. Begitu juga, terdapat interaksi antara pembelajaran (IMA dan KV) dengan level sekolah (tinggi dan sedang) dalam peningkatan KBKM siswa.

Pada Diagram 1, nampak adanya interaksi antara pembelajaran (IMA dan KV) dengan level sekolah. Hal ini dapat dilihat dari selisih peningkatan KBKM siswa pada sekolah tinggi antara yang mendapat pembelajaran IMA dan yang mendapat pembelajaran konvensional lebih besar dibandingkan dengan siswa sekolah level sedang. Implikasi dari temuan ini adalah bahwa pembelajaran IMA lebih tepat digunakan pada siswa level sekolah tinggi daripada siswa level sekolah sedang dalam peningkatan KBKM siswa di kota Pekanbaru.

Berdasarkan hasil-hasil penelitian di atas dapat diketahui bahwa penerapan pembelajaran IMA dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa. Siswa yang mendapat pembelajaran IMA memiliki peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis lebih tinggi daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional, baik ditinjau secara keseluruhan siswa, maupun setiap level sekolah (tinggi dan sedang). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Kuhne bahwa pembelajaran berbasis inkuiri dapat membantu siswa menjadi lebih kreatif, lebih positif, dan lebih mandiri. Ini berlaku untuk semua siswa, termasuk mereka yang membutuhkan perhatian yang lebih individu selama proses (dalam Alberta Learning, 2004).

Berdasarkan hasil penelitian di atas juga ditemukan bahwa peningkatan KBKM siswa level sekolah tinggi yang mendapat pembelajaran IMA lebih baik daripada siswa level sekolah sedang yang juga mendapat pembelajaran IMA. Berarti level sekolah berpengaruh terhadap peningkatan KBKM siswa. Hasil yang demikian tidaklah mengherankan, karena berdasarkan hasil pengamatan selama proses pembelajaran IMA ditemukan bahwa siswa sekolah level tinggi lebih mandiri dan bantuan guru lebih sedikit daripada siswa di sekolah level sedang. Hal ini karena jumlah siswa berkemapuan atas pada sekolah level tinggi lebih banyak daripada di sekolah level sedang dan jumlah siswa berkemampuan bawah pada sekolah level sedang lebih banyak daripada di sekolah level tinggi, sehingga tiap kelompok yang dibentuk secara heterogen pada sekolah level tinggi, terdapat siswa berkemampuan atas yang bisa memimpin diskusi dan membantu siswa berkemampuan tengah dan bawah. Akibatnya, diskusi kelompok di sekolah level tinggi lebih efektif dan efisien daripada di sekolah level sedang.

Selain itu, aspek lingkungan dan disiplin sekolah juga memberikan dampak terhadap pencapaian belajar siswa, dalam hal ini pencapaian KBKM. Pada sekolah level tinggi, lingkungan sekolahnya luas, nyaman dan tenang, sehingga kondusif untuk belajar. Sebaliknya, pada sekolah level sedang

0,000 0,050 0,100 0,150 0,200 0,250 0,300 0,350

Sekolah Tinggi Sekolah Sedang

N -g ai n KB K M P-IMA P-KV

152 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

tidak demikian, lingkungan sekolahnya agak sempit sehingga suara ribut dari luar lapangan olahraga yang berada di depan ruang kelas mengganggu konsentrasi belajar siswa. Pada sekolah level tinggi lebih disiplin daripada sekolah level sedang. Akibatnya, siswa di sekolah level tinggi sudah terbiasa disiplin dan patuh kepada guru, lebih mudah untuk diarahkan dan diatur, sehingga belajar lebih tertib daripada sekolah level sedang.

Berdasarkan analisis data ditemukan bahwa terdapat interaksi antara pembelajaran (IMA dan KV) dengan level sekolah (tinggi dan sedang) terhadap peningkatan KBKM siswa. Dengan kata lain, terdapat pengaruh bersama (simultan) antara level sekolah dan model pembelajaran terhadap peningkatan KBSM dan KBKM siswa.

Hal ini berarti pembelajaran IMA lebih tepat digunakan pada siswa level sekolah tinggi daripada siswa level sekolah sedang dalam peningkatan KBKM siswa. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Ratnaningsih (2007) yang menemukan bahwa terdapat interaksi yang signifikan antara pembelajaran (kontekstual dan konvensional) dengan level sekolah.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh beberapa kesimpulan berikut : (1) Peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang mendapat pembelajaran IMA lebih baik daripada yang mendapat pembelajaran konvensional baik secara keseluruhan siswa maupun pada setiap level sekolah (tinggi dan sedang). (2) Peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa level sekolah tinggi yang mendapat pembelajaran IMA lebih baik dari peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa level sekolah sedang yang juga mendapat pembelajaran IMA. (3) Terdapat interaksi antara faktor pembelajaran dengan level sekolah terhadap peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis.

Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan bahwa pembelajaran IMA dapat digunakan sebagai salah satu model pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa terutama pada siswa level sekolah tinggi. Sebelum melaksanakan pembelajaran IMA sebaiknya guru memperhatikan masalah yang akan diberikan kepada siswa, agar masalah yang diberikan merupakan masalah yang menantang dan membuat siswa penasaran ingin menyelesaikannya. Guru juga perlu memperhatikan kesulitan siswa terhadap materi-materi yang terkait dengan penyelesaian masalah tersebut dan membuat suatu antisipasi nya. Hal ini diperlukan terkait dengan pemberian scaffolding kepada siswa dalam proses pembelajaran.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 153 DAFTAR PUSTAKA

Alberta Learning. (2004). Focus On Inquiry: A Teacher‟s Guided to Implementing Inquiry-Based Learning. [Online]. Tersedia: http://www.learning.gov.ab.ac/ k-12/ curriculum/bySubject/ focusoninquiry. pdf. [20 Juni 2009].

Ernest, P. (1991). The Philosophy of Mathematics Education. London: The Falmer Press.

Evans, J.R. (1991). Creative Thinking in the Decision and Management Sciences. Cincinnati, Ohio: South-Western Publishing Co.

Filsaime, D. K. (2008). Menguak Rahasia Berpikir Kritis dan Kreatif. Jakarta: Prestasi Pustakaraya.

Gani, R. A. (2007). Pengaruh Pembelajaran Metode Inkuiri Model Alberta terhadap Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Sekolah Menengah Atas. Desertasi pada PPs UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Killen, R. (1998). Effective Teaching Strategies. Katoomba: Social Science Press.

Mann, E. L. (2005). Mathematical Creativity and School Mathematics: Indicators of Mathematical Creativity in Middle School Students. Disertasi pada University of Connecticut. [Online]. Tersedia: http://www.gifted. uconn.edu/Siegle/ Dissertations/Eric%20Mann.pdf [15 November 2009].

Meissner, H. (2007). Creativity and Mathematics Education. [Online]. Tersedia: http://www.math.ecnu.edu.cn/earcome3/sym1/sym104.pdf [15 November 2009].

Munandar, S.C. Utami. (1999). Mengembangkan Bakat dan KreativitasAnak Sekolah. Petunjuk Bagi Para Guru dan Orang Tua. Jakarta.: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Ratnaningsih, N. (2007). Pengaruh Pembelajaran Kontekstual terhadap Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematis serta Kemandirian Belajar Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertasi pada PPs UPI Bandung : tidak diterbitkan.

Ruseffendi, E. T. (2005). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan & Bidang Non Eksakta lainnya. Bandung: Depdiknas.

--- (2006). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya Dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Sanjaya, W. (2008). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.

Silver, E. A. (1997). Fostering Creativity through Instruction Rich in Mathematical Problem Solving and Problem Posing. Dalam Zentralblatt für Didaktik der Mathematik (ZDM)–The International Journal on Mathematics Education. [Online]. Vol 97(3), 75 – 80. [Online]. Tersedia: http://www.emis.de/ journals/ ZDM/zdm973a3.pdf. [15 Januari 2010].

154 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

PEMBELAJARAN ETNOMATEMATIKA DENGAN MEDIA LIDI