• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONEKSI MATEMATIS SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan pada uraian latar belakang, masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran berbasis masalah dengan strategi kooperatif Jigsaw lebih baik daripada siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional?

2. Apakah terdapat interaksi antara pembelajaran yang digunakan dengan kualifikasi sekolah dalam peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa?

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 109 3. Apakah terdapat perbedaan sikap siswa terhadap pembelajaran berbasis masalah dengan

strategi kooperatif Jigsaw berdasarkan kualifikasi sekolah? TINJAUAN PUSTAKA

1. Koneksi Matematis

Koneksi matematis berasal dari bahasa Inggris ―Mathematical Connection‖ yang kemudian dipopulerkan oleh NCTM yang mengulas masalah ini untuk pembelajaran matematika dari tingkat dasar sampai menengah. Koneksi dengan kata lain dapat diartikan sebagai keterkaitan.

Menurut NCTM (2000), terdapat tiga tujuan koneksi matematis di sekolah. Pertama, memperluas wawasan pengetahuan siswa. Kedua, memandang matematika sebagai suatu keseluruhan yang terpadu bukan sebagai materi yang berdiri sendiri. Ketiga, menyatakan relevansi dan manfaat baik di sekolah maupun di luar sekolah.

Berdasarkan tujuan yang telah dikemukakan di atas, koneksi matematis diklasifikasikan menjadi tiga macam yang meliputi:

a. Koneksi antartopik dan proses matematika;

b. Koneksi antara konsep matematika dengan disiplin ilmu lain; c. Koneksi antara konsep matematika dengan kehidupan sehari-hari.

Dari klasifikasi tersebut, dapat dikatakan bahwa ruang lingkup matematika tidak hanya mencakup permasalahan yang berkaitan dengan bidang studi matematika saja, tetapi meliputi bidang studi lain dan dengan kehidupan sehari-hari. Representasi pemikiran yang berbeda dari suatu permasalahan yang dikemukakan, merupakan suatu sudut pandang siswa yang sesuai dengan interpretasi siswa terhadap masalah dan penyelesaiannya. Bila siswa menjadi lebih memahami secara matematis, maka mereka akan lebih fleksibel untuk mendekati situasi dalam berbagai cara dan mampu mengenal cara pandang yang berbeda.

Pengalaman koneksi matematis siswa memiliki karakteristik dasar sebagai berikut: a. Menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari.

b. Menghubungkan kemampuan prosedural dan konseptual. c. Melihat matematika secara keseluruhan yang saling berkaitan.

d. Menerapkan berpikir matematis dan membuat model pemecahan masalah yang berasal dari disiplin ilmu lain.

e. Menggunakan nilai-nilai yang berkaitan di antara topik-topik matematika.

f. Mengenali kesamaan representasi dari konsep yang serupa (Coxford dalam Juandi, 2006: 44). Sumarmo (2002: 15) menyatakan bahwa beberapa indikator kemampuan koneksi matematis diantaranya adalah: mencari hubungan berbagai representasi konsep dan prosedur; memahami hubungan antartopik matematis; menggunakan matematika dalam bidang studi lain atau kehidupan sehari-hari; memahami relevansi ekuivalensi konsep atau prosedur yang sama; mencari koneksi satu prosedur ke prosedur lain dalam representasi yang ekuivalen; menggunakan koneksi antartopik matematika dan antara matematika dengan topik lain.

Kemampuan koneksi matematis yang akan dikaji dalam penelitian ini akan terfokus pada kemampuan memahami relevansi ekuivalensi konsep atau prosedur yang sama, mencari koneksi satu prosedur ke prosedur lain dalam representasi yang ekuivalen, dan menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari.

2. Pembelajaran Berbasis Masalah

Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem-Based Learning) adalah sebuah pendekatan yang lahir dari adanya perubahan yang sangat mendasar disebabkan pergeseran pandangan dalam memahami bagaimana siswa belajar matematika. Belajar tidak lagi dipandang sebagai proses menerima

110 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

informasi untuk disimpan pada memori siswa yang diperoleh melalui pengulangan praktek dan penguatan, namun siswa belajar dengan mendekati setiap persoalan baru dengan pengetahuan yang telah ia miliki, mengasimilasi informasi baru dan membangun pengertian sendiri. Sebagaimana diungkapkan oleh Duch (1995) bahwa,

Problem-based learning (PBL), at its most fundamental level, is instructional method

characterized by the use of „real world‟ problem as a context for student to learn

critical thinking and problem solving skill, and acquire knowledge of the essential concept of the course.

Ini mengandung arti bahwa pembelajaran berbasis masalah merupakan metode pengajaran yang mempunyai ciri menggunakan masalah nyata sebagai konteks bagi siswa untuk belajar berpikir kritis, keterampilan pemecahan masalah, dan memperoleh pengetahuan mengenai esensi konsep. Ibrahim dan Nur (2000) memberikan karakteristik masalah yang diketengahkan dalam PBM sebagai berikut:

1. Autentik, yaitu masalah harus lebih berakar pada pengalaman dunia nyata siswa daripada berakar pada prinsip-prinsip dasar disiplin ilmu tertentu.

2. Tidak terdefinisi dengan baik, maksudnya adalah masalah tidak terspesifikasikan dan kurangnya informasi yang diberikan sehingga memungkinkan siswa untuk melakukan investigasi, eksplorasi, konjektur sebelum pemecahan masalah.

3. Sesuai dengan tingkat perkembangan intelektual. 4. Konsisten dengan tujuan kurikulum.

Secara garis besar langkah-langkah dalam PBM ditinjau dari indikator kegiatan siswa dan aktivitas guru adalah sebagai berikut (Ibrahim dan Nur, 2000: 13):

Tabel 1

Langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Masalah

Fase Indikator Kegiatan Guru

1 Mengorientasikan siswa

pada masalah Menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang diperlukan, memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya.

2 Mengorganisasikan siswa untuk belajar

Membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut. 3 Membimbing penyelidikan

mandiri dan kelompok Mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk penjelasan dan pemecahan masalah.

4 Mengembangkan dan

menyajikan hasil karya Membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya.

5 Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah

Membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.

3. Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Strategi Jigsaw

Salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang mendorong siswa aktif dan saling membantu dalam menguasai materi atau konsep untuk mencapai pemahaman yang maksimal adalah pembelajaran kooperatif Jigsaw. Adapun tahap-tahap pembelajarannya sebagai berikut:

a. Tahap pertama, pembentukan kelompok-kelompok kecil dengan kriteria setiap kelompok heterogen terdiri dari empat sampai enam orang. Pembentukan kelompok ini disebut sebagai kelompok asal.

b. Tahap kedua, setiap anggota kelompok ditugaskan untuk memecahkan masalah tertentu yang diberikan pada pembelajaran. Kemudian siswa-siswa dari kelompok lain yang memiliki masalah yang sama berkumpul untuk secara bersama-sama melakukan investigasi, memunculkan atau

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 111 mengkonstruksi pertanyaan, melakukan eksplorasi dan observasi, mengemukakan jawaban sementara (hipotesis), yang pada akhirnya diperoleh pemecahan masalahnya. Pembentukan kelompok ini disebut sebagai kelompok ahli.

c. Tahap ketiga, setelah dalam kelompok ahli diperoleh pemecahan masalah dari masalah yang ditugaskan, kemudian masing-masing perwakilan tersebut dalam kelompok ahli kembali ke kelompok asal. Selanjutnya masing-masing anggota tersebut saling menjelaskan pada teman satu kelompoknya sehingga teman satu kelompok dapat pula memecahkan masalah yang diberikan.

d. Tahap keempat, siswa diberi tes/kuis oleh guru untuk mengevaluasi proses pembelajaran. Adapun tahapan PBM melalui model kooperatif Jigsaw disajikan pada Tabel berikut:

Tabel 2

Langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Strategi Kooperatif Jigsaw

Fase Indikator Kegiatan Guru

1 Mengorientasikan siswa pada masalah

Mengajukan masalah (melalui soal), selanjutnya guru meminta siswa untuk mengemukakan ide, teori yang dapat digunakan dalam memecahkan masalah tersebut.

2 Mengorganisasikan siswa

untuk belajar Mengorganisir siswa untuk belajar melalui model kooperatif Jigsaw.

3 Membimbing penyelidikan

mandiri dan kelompok Pada tahap ini siswa melakukan pemecahan masalah bersama kelompok ahli kemudian menerangkan kembali kepada teman kelompoknya di kelompok asal. Guru sifatnya membantu dan mendorong siswa sehingga benar- benar mengerti permasalahannya.

4 Mengembangkan dan

menyajikan hasil karya Menyuruh mempresentasikan hasil pemecahan masalah di depan salah satu kelompok ahli untuk kelas, diberikan kesempatan kepada kelompok ahli lain untuk mengajukan pertanyaan atau komentar, guru membantu jika siswa mengalami kesulitan.

5 Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah

Membantu menganalisis dan mengevaluasi hasil pemecahan masalahnya sehingga ditemukan suatu formula atau definisi yang diinginkan.

4. Sikap Siswa terhadap Pembelajaran

Indikator keberhasilan siswa dalam belajar tidak hanya dilihat dari nilai tes yang diperolehnya. Sikap siswa dalam proses belajar pun merupakan salah satu indikator keberhasilan siswa dalam belajar. Oleh karena itu, sikap siswa dalam belajar matematika menjadi penting karena matematika akan dapat dipahami dengan baik oleh siswa, apabila siswa memiliki sikap yang positif. Sikap terbentuk dari adanya interaksi yang dialami individu. Azwar (1995: 30) menyatakan bahwa dalam interaksinya, individu membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek psikologi yang dihadapinya.