TEMUAN PENELITIAN
4.3 Temuan Penelitian
4.3.1 Deskripsi Informan Inti
4.3.1.3 Informan 3 Bidan Desa Pea Jambu
Nama Yeni Preskanti, Amd. Keb
Usia 31 Tahun
Agama Islam
Suku Batak Pak-Pak
Alamat Desa Pea Jambu
Pendidikan Terakhir Akbid Helvetia Medan
Tamat tahun 2007
Status Menikah dan memilik 3 anak
Hari Kamis tanggal 20 Juli 2017 pukul 09.00 wib peneliti menjumpai bidan Jenni (panggilan bidan yenni) di Pustu Pea Jambu, sesampainya di Pustu bidan Jenni tidak berada ditempat beliau sedang memandikan bayi di Desa Srikayu, peneliti hanya berjumpa dengan kader desa dan seorang bidan bakti di Pustu tersebut, sambil menunggu bidan Jenni menyelesaikan kewajibannya peneliti bergerak menjumpai dukun bayi (Asiah) di desa tersebut.
Tepat azan zuhur, peneliti meninggalkan kediaman ibu Asiah, langsung menuju kerumah bidan Jenni. Sesampainya di rumah bidan Jenni, peneliti langsung minta izin untuk melakukan sholat zuhur, peneliti cukup kenal baik dengan bidan Jenni dan keluarga sehingga wawancara yang dilakukan tidak terlalu formal malah cenderung santai, Jenni begitu kami biasa memanggilnya termasuk bidan yang sering dipanggil untuk Desa Pea Jambu dan Desa tetangga Srikayu sehingga aktivitas beliau setiap hari selalu padat dari memandikan bayi ke rumah pasiennya maupun mengobati pasien yang sakit dirumahnya. Walaupun masih muda, peneliti melihat bidan Jenni memiliki tanggung Jawab dan pekerjaan
yang cukup besar disamping harus melayani ibu hamil dan bersalin beliau juga harus mengurus 3 anaknya yang masih sangat kecil, karena memang di Kecamatan Singkohor untuk mencari asisten rumah tangga yang seharian full bekerja dirumah itu sangat sulit. Hal ini disebabkan mereka memilih bekerja sebagai BHL (buruh harian lepas) pada dua perkebunan besar yang ada dikecamatan itu. Beruntung Jenni bisa membangun rumah tepat di belakang Pustu Pea Jambu jadi tidak begitu susah untuk membagi waktu antara urusan rumah tangga dan urusan kesehatan warga Desa Pea Jambu sendiri.
Wawancara peneliti mulai dengan pertanyaan bagaimana pengalaman beliau selama jadi bidan :
“Tamat aku kak tahun 2007 bulan 10 begitu pulang belum lagi ijazah ditangan udah menolong orang melahirkan langsung, ditambah lagi masyarakat langsung percaya dengan posisi Jenni kak. Baru pulang dari wisuda belum lagi ngabdi udah langsung nolong karena dipanggil orang cemana kita bilangkan. Setelah menerima ijazah baru lah aku langsung ngabdi di Puskesmas Singkohor”
Lalu peneliti bertanya lagi sudah berapa kali beliau melaksanakan persalinan bersama dengan dukun bayi :
“Enggaklah dihitung kak, sering kami bersama cuma belakangan ini karena dukun bayi kakinya sakit jadi enggak gitu aktif lagi. Jadi kalau dia dipanggil dia bilang panggil juga bidannya”.
Masyarakat Desa Pea Jambu hampir sama dengan masyarakat Desa Singkohor yang sebagaian besar berasal dari transmigrasi dari Pulau Jawa, jadi tidak heran sebagian besar masyarakatnya adalah suku sunda dan Jawa, hanya
sebagian kecil saja orang Kampung. Jadi kepercayaan mereka cukup besar terhadap dukun bayi yang juga suku sunda sehingga peneliti tertarik menanyakan kepada bidan Jenni bila terjadi persalinan biasanya pasien terlebih dahulu memanggil dukun bayi atau bidan desa :
“Sekarang udah aku kak, kalau dulu iya lebih sering dia duluan dipanggil.
Itu karena pertama-tama kali kita tinggal disini biasanya itu kan kak, kepercayaan orang masih sama dia. Namanya pun pertama kali masuk ke Kampung orang lain saya sih enggak apa-apa kak. Cuma kita lah yang mencoba mendekatkan diri dengan mengikuti wirid yasin, bergaul ramah dengan masyarakat. Biar dekat kita sama mamak-mamaknya, kek gitu-gitulah pintar-pintar hidup kak”.
Peneliti lanjutkan lagi dengan menanyakan bagaimana inisiatif beliau agar dilibatkan dalam proses persalinan :
“Dulu pertama kali yang dipanggil dukun kak, tapi kalau udah susah kali baru panggilnya kita. Lama-lama kita kasih pengertian, walaupun enak melahirkan, walaupun enggak ya sama-sama. “Jangan susah aza dikasih sama aku gitu” alhamdulillah mau juga mbah tu mendengarkan kak, baik itu susah. Baik itu enak/ normal gitu sama-sama. Dulu pertama-tama enggak dulu dia sanggup, misalnya ari-arinya lama udah lebih dari setengah jam atau satu jam “panggil bidan katanya” tapi itu dulu. Kalau kita kan kita suntikkan vitogin kan baru keluar tapi sekarang enggak lagi, enggak dia gitu lagi, kitalah yang beri masukkan ke dia kak”.
Contoh susahnya gimana Jenni, peneliti tanyakan lagi :
“Pernah dulu kak, kejadiannya ada dulu pasien juga yang ditanganinya trauma kencing, Uretranya itu trauma kak karena lama lahir bayinya atau ari-arinya dipaksa gitu jadikan uretra itu trauma enggak bisa kecing dia satu hari satu malam, nangislah dia (pasien) kak sampai jerit-jerit, kan sakit itu kan. Dipanggillah aku kak, jadi aku kateterlah barulah dia bisa kencing”.
Selanjutnya peneliti bertanya bagaimana hubungan mereka sejak ada program kemitraan :
“Sejak ada program ini ya tetap sama-sama kak, tapi sejak dia sakit ajalah enggak lagi kak. Enggak aktif lagi kak, terakhir kami menolong bersama bulan 1 entah bulan 2 kemaren kak, dia pun sepertinya udah minta mengundurkan diri tapi siapalah yang menggantikan. Kalau dukun bayi itu orang jaman dulu nya cuma susahnya cari, terkadang mbah bilang udah susah kaki ku, apalagi musim hujan ya kan”.
Mengenai sanksi untuk dukun bayi yang tidak patuh dengan kemitraan ini, menurut bidan Jenni tidak ada cuma ditekankan aja kalau pada saat mereka menolong persalinan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan harus dipertanggungJawabkan sendiri, dan harus mereka sendiri yang membawa pasien tersebut ke rumah sakit. Hal ini membuat dukun bayi berpikir sebelum mereka menolong persalinan sendiri ditambah lagi menurut bidan Jenni pada saat sosialisasi sudah ditekan bahwa tidak boleh main tunggal harus didampingi tenaga kesehatan.
Peran dan tugas bidan desa dan dukun bayi di Desa Pea Jambu juga tidak ada dibuat secara tertulis, tugas dukun menurut bidan Jenni pada transkrip wawancara :
“Enggak ada kak secara tertulis kak, cuma kalau aku ya kak, secara pribadi biar sama-sama kerja ya kan, jadi pada waktu bayinya lahir, plasentanya lahir, ku suruhlah dia membedong biar ada tugas/ kerjanya. Jadi diakan merasa dilibatkan”
...dia paling megang-megang perutnya sambil bilang terus-terus setelah ada perintah dari ku untuk mengejan. Kalau aku memimpin suruh ngedan dia bantu-bantu support lah, bilang baca-baca doa sebut Allah sama pasien, gitunya ku tengok kak”
...pokoknya sekarang kalau aku dipanggil gitu kan langsung dia langsung ke samping, langsung aku dibawah kaki pasien. Dia pun langsung memotivasi pasiennya”.
Selanjutnya peneliti bertanya apakah beliau mendukung program kemitraan ini dan apa upaya-upaya yang beliau lakukan agar kemitraan ini berjalan, beliau Jawab singkat sesuai dengan transkrip wawancara beliau :
“Mendukung kak, kemitraan ini bermanfaat sekali bagi saya secara pribadi dalam hal saya bisa melakukan aktivitas lain pada saat sebelum persalinan karena ada nek Asiah yang tetap terus mendampingi pasien, upaya yang harus dilakukan, ya seperti tetap berkomunikasi yang baik dan tetap menjaga tugas masing-masing”.