• Tidak ada hasil yang ditemukan

Informan 1 Bidan Singkohor

Dalam dokumen TESIS. Oleh: ERNAWATI KOTO NIM (Halaman 87-93)

TEMUAN PENELITIAN

4.3 Temuan Penelitian

4.3.1 Deskripsi Informan Inti

4.3.1.1 Informan 1 Bidan Singkohor

Nama Umdatul Muniroh, Amd. Keb

Usia 41 Tahun

Agama Islam

Suku Jawa

Alamat Desa Singkohor

Pendidikan Terakhir Akbid Mona Medan Sumatera Utara Tamat Tahun 2010

Status Menikah dan memiliki 2 anak

Mbak Umdatul Muniroh adalah seorang PNS yang telah bekerja sebagai bidan selama 21 tahun di Puskesmas Singkohor. Mbak Umdah begitu sehari-hari ibu dari 2 anak ini dipanggil merupakan penduduk asli Singkohor dan berdomisili di Desa Singkohor jadi tidak mengherankan bila hampir seluruh warga di desa ini sangat mengenal baik beliau bahkan orang tuanya. Sebagian besar ibu hamil dibantu persalinannya oleh beliau dengan pertimbangan selain sesama suku yaitu suku Jawa, beliau juga bidan senior yang mempunyai pengalaman yang cukup lama menjadi bidan dibanding dengan bidan lainnya. Berdasarkan wawancara kepada beliau bahwa jumlah ibu hamil yang ditolongnya rata-rata sampai 5-7 orang perbulan. Proses wawancara dengan beliau dilakukan secara langsung tanggal 22 Juli 2017 sekitar jam 14.00 Wib di rumah beliau.

Peneliti memulai wawancara dengan terlebih dahulu bertanya berapa kali persalinan yang dilakukannya bersama dukun bayi :

“Ya udah sering kali enggak kehitung lagi, bisa dibilang hampir semua persalinan kami lakukan berdua dengan mbah iyem”

Mbak Umdah dan mbah Parsiyem berasal dari suku yang sama sehingga dalam berkomunikasi mereka menggunakan bahasa Jawa, tetapi pada saat melakukan persalinan mereka menyesuaikan dengan pasien yang mereka tolong, bila berhadapan dengan pasien dari Jawa mereka menggunakan bahasa Jawa tetapi bila pasiennya orang Kampung mereka menggunakan bahasa indonesia hal ini mereka lakukan agar saat persalinan, pasien juga mengerti apa yang mereka bicarakan sesuai dengan kutipan wawancara :

“Kalau pasiennya orang Jawa ya kami bahasa Jawa tapi kalau pasiennya orang Kampung kami menggunakan bahasa indonesia karena bahasa Kampung kami enggak bisa ngomong....mbah Iyem udah lancar bahasa indonesia walau sedikit-sedikit ada menggunakan istilah dalam bahasa Jawa”

Handphone adalah sarana komunikasi yang sering mbah Umdah pakai untuk menghubungi mbah Parsiyem karena aktivitas mereka juga cukup padat, mereka sering berbagi informasi mengenai keberadaan ibu hamil dan ibu yang akan bersalin, bahkan ibu yang sudah bersalin. Informasi tersebut dilakukan 2 arah terkadang mbah iyem yang menghubungi mbak Umdah bila ada pasien yang akan melahirkan begitu pula sebaliknya terkadang mbak Umdah yang menghubungi mbah Parsiyem.

Baiknya komunikasi diantara mereka membuat pasien juga nyaman untuk bersalin dengan mereka berdua. Pasien biasanya menghubungi mbah Parsiyem kemudian bersama-sama ke Puskesmas dimana mbak Umdah sudah standby ditempat setelah dihubungi mbah Parsiyem atau keluarga dari ibu hamil, hampir seluruh ibu hamil mereka lakukan berdua, tetapi bila ada yang ditolong mbak Umdah sendiri, keluarga menghubungi mbah Parsiyem untuk perawatan bahkan terkadang mbak Umdah sendiri yang menghubungi, hal ini membuat peneliti bertanya apakah dengan demikian membuat pasien ketergantungan harus melahirkan didampingi mereka berdua, sesuai dengan transkrip wawacara dibawah ini :

“Kadang enggak juga, rata-rata mereka kan pengen kusuk setelah melahirkan makanya memanggil dua orang, kalau memang dibutuhkan pada saat persalinan saja, saya yang nolong sendiri setelah itu nanti dia manggil dukun, dukunnya enggak ada masalah”.

Pada saat peneliti bertanya mengenai pandangan beliau tentang program kemitraan bidan desa dan dukun bayi, beliau menerangkan bahwa kerjasama antara dirinya dan mbah Parsiyem sudah lama mereka lakukan sebelum program ini dicanangkan dan ditetapkan berdasarkan Mou yang dilaksanakan pada tahun 2015. Alasan beliau untuk bermitra dengan mbah Parsiyem diJawab sesuai dengan transkrip dibawah ini :

“Karena kepercayaan masyarakat yang kuat terhadap dukun, apapun masalah kehamilan diceritakan kedukun pertama kali jadi dengan bermitra ke dukun kita dapat informasi yang lebih dan kebiasaan masyarakat yang masih percaya dukun bayi sebagai penolong persalinan dengan adanya kemitraan ini terdapat alih fungsi yang awalnya dukun sebagai penolong kelahiran sekarang menjadi mitra kerja dalam merawat ibu dan bayinya”.

Kerjasama yang dilakukannya sekarang ini, lebih menguatkan posisi bidan desa dan dukun, juga lebih memudahkan beliau dalam memberikan saran apabila ada pasien yang harus dirujuk segera. Pandangan tentang kemitraan beliau jelaskan dengan manfaat yang beliau rasakan sejak kemitraan ini berjalan.

“Ya bagi saya ada untungnya ya kan, kadang dukun kalau pasien ke dukun nanti dukunnya langsung nelpon saya, nanti kalau ada masalah cepat dia manggilnya”

“Iya kadang kalau ada dulu persalinan “ini enggak bisa” dia Jawab “nanti aja dulu tunggu jam sekian kayak gitu, kalau sekarang enggak kalau saya bilang “ini enggak bisa mbah” langsung dia bilang “ ya udah bawa aja”

langsung dia tanggap, enggak ada lagi sanggahan. Kalau dulu nanti aja nanti jam segini-jam segini kalau sekarang enggak lagi, ya enaknya disitulah”.

“Saling membantu gitu kak, meringankan beban, jadinya dengan adanya kemitraan sedikit banyaknya ya terbantulah kerjaanku”.

Dengan adanya kemitraan ini juga mbak Umdah merasa lebih senang dan lebih menguntungkan karena beliau bisa melakukan bisa beraktivitas lainnya:

“Sebenarnya lebih enak berdua ya, berdua lebih lah. Daripada sendiri ya capek semua sendiri kan kalau berdua ntah kita mau kesana sebentar ada mbah itu. Kan mbah itu udah kita ajarkan enggak boleh melakukan ini-ini, enggak boleh itu, udah ngerti dia makanya enak saya kan. Pas saya ada perlu sebentar, pasiennya masih lama ya udah saya kesana sebentar, enggak lagi susah kita, enggak lagi sendiri”.

Pembagian peran dan tugas saling mereka pahami walau tidak ada pembagiannya secara tertulis, peran mbah Umdah sebagai bidan adalah penolong ibu bersalin, peran mbah Parsiyem sebagai dukun hanya mendampingi memberikan motivasi kepada ibu bersalin dengan tugas yang mereka bagi menurut wilayah mereka masing-masing, sesuai dengan transkrip wawancara peneliti dengan bidan Umdah :

“Biasanya kami bidan posisi kami dibawah kan, paling nanti mbah iyem angkat bayinya, udah lahir bayinya, sudah kita potong tali pusarnya, dia yang ngurus bayinya kadang ya bilang “mbah dilap dulu, tarok diatas perut ibu” gitu kan sekarang udah enggak kita perintah, dia udah tau sendiri dia”

“Pada saat proses persalinan dia mendampingi paling dia ngelus-ngelus perut ibu supaya meransang bayi agar mau keluar, itu enggak membahayakan kita juga kadang ngelakukannya juga, dielus-elus aza tapi enggak dikusuk. Untuk meransang kontraksi, seperti digelitik-gelitik gitu.

Kan posisinya mereng, kan mbah posisinya di samping, kadang ngelus pingang pasiennya, kadang pinggang nya sakit. “sakit kali pinggangnya mbah udah mau putus” kata ibu hamil sama mbah, bukan di kusuk tapi diusap-usapnya aja gitu loh”

“Mbah itu orangnya sabar nungguin pasien kalau pasiennya suntuk sedih, dia hibur kadang ada aja yang lucu dibuatnya, kalau udah mau persalinan dia terlihat sibuk melihat kesakitan diwajah, si ibu saya pun sampai bilang

“ iya sabar mbah”.

Pada saat peneliti bertanya apakah pada saat pendampingan yang dilakukan mbah Parsiyem apakah beliau melihat mbah Parsiyem baca mantera agar persalinan lancar :

“...Mbah Iyem enggak ada baca-baca dia, enggak ada pakai mantera-manteranya. dia cuma setelah lahir dikusuk gitu”

Mbak Umdah juga tidak bisa membedakan secara khusus apa yang membedakan ketrampilan beliau dengan ketrampilan mbah Parsiyem dalam menolong persalinan, beliau hanya menjelaskan secara umum saja :

“Kalau kita kan ada prosedurnya ada APN (Asuhan Persalinan Normal) tapi dukun kan tidak ada diajari kayak gitu kan, terkadang ngapain bayi,...tapi kalau menolong sama saya dukun mah posisinya diatas jadi saya kurang terlalu memperhatikan dia dan saya juga enggak pernah nengok dia menolong langsung. Karena saya didepan dan fokus jadi saya tidak tahu perbedaannya seperti apa. Kalau kami prosedur APN yang kami pakai kan”.

Perselisihan jarang terjadi diantara mereka karena menurut mbak Umdah bahwa mitranya itu adalah dukun terlatih sudah pernah mendapatkan pelatihan bagaimana persalinan yang dilakukan jadi setiap ada hal baru atau peraturan baru yang didapatkannya selama pelatihan misal harus memandikan bayi setelah 6 jam dari masa persalinan, beliau sampaikan ke mbah Parsiyem cepat mengerti dan melaksanakannya.

Pada waktu peneliti menanyakan apakah ada hambatan komunikasi diantara mereka (miss komunikasi) mbak Umdah Jawab :

“Kayaknya enggak ada, mudah-mudahan janganlah. Jadi memang ya tergantung kita gimana kita pande-pande bawanya, ya namanya orang tua ya, kalaupun ngalah-ngalah sikit ya enggak papa yang penting jangan sampai putus komunikasi. Mbah sudah paham semua, seperti memandikan bayi harus 6 jam dulu baru bisa dimandikan atau dia juga tau bila keadaan si ibu sudah harus dirujuk ke rumah sakit.

“Kalau saya pun ikut pelatihan, ada informasi baru mengenai kesehatan apapun hasilnya saya kasih tahu, gini-gini saya bilang. Ya alhamdulillah dia cepat ngerti dan mau melaksanakan”.

Selanjutnya peneliti bertanya apa yang membuat hubungan mereka baik sampai sekarang tetap menjalin kemitraan tanpa terputus :

“Itu mungkin ya karena dukunnya itu enak ya kan, kalaus kita ajaripun cepat tanggap, mau. makanya itulah mungkin kami jarang ada masalah”

Mengingat kerjasama ini sudah lama dilakukan sebelum adanya program kemitraan ini membuat peneliti bertanya siapa yang pertama kali yang melakukan inisiatif melakukan pendekatan :

“Mungkin dari pasien kali ya, kalau pertama-pertama saya turun dulu kan sama dukun sama orang jadi pertama saya turun disini pasien itu kan udah di panggil nya dukun nanti dibilang dukun panggillah bidannya nanti takutnya ada gini-gini gitu kan. Namanya pasien lebih percaya sama dukun daripada sama bidan apalagi dulu kan belum ada bidan disini adanya dukun jadi pertama ada kan dukun setelah saya masuk kesini mugkin namanya baru-baru tamat ya enggaklah gitunya kan mereka enggak gitu percaya, setelah ada masalah dipanggil saya bisa selesai makanya dipanggil sampai sekarang...sejak itu kami dekat”.

Dalam dokumen TESIS. Oleh: ERNAWATI KOTO NIM (Halaman 87-93)