TEMUAN PENELITIAN
4.3 Temuan Penelitian
4.3.1 Deskripsi Informan Inti
4.3.1.4 Informan IV Dukun Singkohor
Nama Parsiyem
Usia 69 Tahun
Agama Islam
Suku Jawa
Alamat Desa Singkohor
Pendidikan Terakhir Tidak tamat SD
Status Menikah
Mbah Parsiyem adalah dukun bayi terlatih yang sangat terkenal di Kecamatan Singkohor, mbah yang lahir pada tahun 1948 bersuku Jawa yang merupakan pendatang transmigrasi dari pulau Jawa ke Kecamatan Singkohor.
Peneliti sudah bersilaturahmi pada tanggal 14 Juli 2017 untuk memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud dan tujuan peneliti, sekalian meminta kesediaan waktu beliau untuk dapat membantu peneliti dalam penelitian ini. Hal ini peneliti lakukan karena peneliti dapat informasi dari seorang teman peneliti yang tinggal
di Desa Singkohor bahwa mbah Parsiyem merupakan dukun bayi yang memiliki banyak pasien dibandingkan dukun bayi lainnya yang ada di Kecamatan Singkohor. Sehingga perlu meminta waktu luang beliau untuk bersedia diwawancara tanpa mengganggu aktifitas atau pekerjaan yang harus beliau lakukkan sehari-hari.
Tanggal 22 Juli 2017 peneliti mewawancarai mbah Parsiyem yang bertepatan hari sabtu, hari dimana mbah tidak pernah mau melayani pasien baik kusuk maupun yang lainnya, karena menurut informasi dari teman peneliti lagi bahwa hari sabtu adalah hari yang pantang bagi mbah untuk melakukan aktivitas pertolongan persalinan dan perawatan. Wawancara dilakukan sekitar jam 12.45 bertepatan setelah mbah selesai melaksanakan sholat juhur. Mbah menyambut peneliti dengan baik, seperti sudah mengenal peneliti sebelumnya. Mbah juga sibuk menghidangkan dua cangkir teh panas untuk menemani percakapan kami nantinya. Mbah tinggal ber empat dengan suami dan dua orang cucunya yang sekolah di Desa Singkohor, pekerjaan suami beliau mengurus ladang sawit mereka yang terletak tidak jauh dari tempat tinggal mereka.
Persalinan pertama yang dilakukannya sendiri itu dimulai pada tahun 1990, pada saat itu daerah Singkohor merupakan desa terpencil yang jauh dan sulit untuk dilalui. Susahnya akses jalan dan tidak adanya bidan dan dokter didaerah itu membuat pemerintah setempat memberikan pelatihan kebidanan kepada mbah Parsiyem agar ibu hamil dapat mendapatkan pertolongan persalinan.
Sesuai dengan kutipan wawancara peneliti pada tanggal 22 Juli 2017:
”Yah karena disini belum ada bidan dan dokter, tahun 1990 sekitar 3 bulan entah 4 bulan aku mulai menolong persalinan aku dapat surat dari Kecamatan untuk mengikuti pelatihan dukun terlatih untuk daerah terpencil selama dua hari, pelatihannya seperti cara menolong persalinan,
bagaimana menolong persalinan bila ada kendala seperti bayi melintang, ntah anak itu pantatnya dulu atau tangannya dulu, cara memandikan bayi, dengan boneka lah dipraktekkan gitu”.
Hingga sekarang persalinan yang ditolong oleh mbah Parsiyem bila dihitung sudah mencapai ratusan, bahkan satu keluarga aja bisa sampai 3 keturunan beliau yang tolong, baik itu orang Jawa maupun orang Kampung yang ada di Desa Singkohor terkadang sampai ke desa tetangga Desa Mukti Jaya dan Desa Lae Pinang. Ketrampilan dalam menolong persalinan merupakan keahlian yang didapat dari Eyangnya hampir semua keluarga dari mbah Parsiyem adalah dukun bayi yang ada di Jawa,
“Iya mamaknya saya dulu memang dukun bersalin juga dulu waktu diJawa. Dari turunan, dari eyang buyut saya dulu juga dukun bayi. nenek saya itu anaknya 6, 5 perempuan semua dukun bayi, tapi lain-lain desa.
Kalau mamak saya 4 orang cuma saya yang jadi dukun bayi yang lainnya enggak ada keturunan Karena nenek saya itu orangnya keras, jadi enggak ada yang berani dekat sama dia, tapi saya sendiri yang berani akhirnya bakatnya menurun ke saya. Malah ibu saya itu kalau diJawa sering dapat uang fitrah dari ibu-ibu melahirkan karena gitu kalau orang Jawa itu kalau anaknya belum sunat bayar fitrahnya itu ke dukun”.
Kemudian peneliti bertanya apa yang membedakan menolong persalinan dengan orang menolong orang Jawa dengan orang Kampung berdasarkan kebiasaan atau adat istiadat yang dipercayainya :
“....Mamak saya itu kalau diJawa sering dapat uang fitrah dari ibu-ibu melahirkan karena gitu kalau orang Jawa itu kalau anaknya belum sunat bayar fitrahnya itu ke dukun bayinya, memang disini ngasih ke aku juga kadang aku dapat beras sampai 200 kg lebih terkadang duit sampai 2 juta sampai 3 juta. Tapi orang Kampung (suku Kampung) disini enggak pernah ada ngasih ke aku, kadang ada juga orang kita Jawa juga enggak ngasih mungkin karena enggak tau atau orangtuanya tidak ada disini.
Pokoknya kalau orang Jawa itu ngasih fitrahnya itu ya ke aku.
“...Terkadang kalau orang Jawa ini pas potong tali pusat dukunnya dikasih duit Rp. 50.000 kalau kita orang Jawa ya kayak gitu syaratnya, wajib dikasih. Tapi kalau orang Kampung ya enggak, dan saya pun enggak pernah minta, kalau orang Jawa udah tahu tradisi seperti itu. Kalau orang Jawa itu yang pertama kali dikasih waktu bersalin itu ya dukun pada saat pelepasan tali pusar”.
Mendengar hal seperti itu peneliti berinisiatif bertanya kenapa tidak mbah minta atau dibisikin kesalah satu keluarga pasien, kalau memang seperti itu kepercayaan yang mbah yakini.
“Ya itu kan wajib bagi tradisi orang Jawa, yang orang Kampung yang enggak ngasih ya enggak apa-apa. aku ya enggak ngomong bagi kami dukun ya pantang kalau meminta tapi kalau orang kita Jawa ya enggak diminta pun udah tau. Begitupula kalau ada pasien yang nanyak berapa mbah ongkos perawatannya, ya aku enggak mau bilang berapa karena itu pantang cuma sering bilang ya udah coba tanya sama temannya biasanya berapa gitu”.
Dalam menjalin hubungan kerjasama ini mbah Parsiyem menggunakan handphone untuk mempermudah mereka dalam berkomunikasi dalam berbagi informasi. Sesuai dengan transkrip wawancara peneliti dengan mbah Parsiyem :
"Iya nelpon, kadang kalau pasien kemari, tak suruh ke Puskesmas ya aku nelpon dia “nie Umdah ada yang mau melahirkan, Umdah datang, mbah udah disini (Puskesmas), Kadang kalu Umdah mau nolong sendiri, pasiennya suruh jemputlah mbok. Jadi Umdah nelpon dulu gitu. Kadang dia nanyak juga sama pasien “nie gimana mau jemput mbah Parsiyem atau tidak, ya pasien Jawab ya jemputlah mbah gitu”. Tapi kalau pasiennya enggak ngotot jemput mbah ya dia bilang ya udah enggak usah dijemput nie bayinya mau lahiran enggak usah jemput embahnya capek” jadi Umdah nelpon mbah bilang “ nie pasien udah melahirkan, anaknya ini”
karena nanti aku yang mandi kan ibunya, kusuk juga, dan menguburkan ari-arinya juga”.
Sebelum kemitraan mereka di ikat dengan Mou, mbah Parsiyem dan mbak Umdah sudah lama bersama dalam menolong persalinan sehingga mbah Parsiyem sangat mengenal dengan baik kepribadian dan ketrampilan dari mbak Umdah, hal ini terlihat dari percakapan peneliti dengan mbah Parsiyem :
“Hubungan orang tua Umdah dan Umdah sama ku udah baiklah, udah kayak saudara. “Tapi alhamdulillah sejak saya sama Umdah saya tidak pernah memberitahu dia karena dia udah berani, ari-ari lengketpun dia udah berani menarik”.
Saat peneliti tanya apa yang mendorong mbah Parsiyem mau bermitra :
“ Makanya aku suka ada mitra kesehatan soalnya kalau ada kesulitan apa-apa aku enggak bingung, waktu dulu aku bingung kali waktu tidak ada dokter dan bidan, dulu pernah teman aku mbok Sukinah juga dukun bayi yang juga dari Jawa udah pindah kesini pernah dapat pasien pendarahan, ntah dia kurang pemahaman, atau dia tidak tau meninggal pasiennya itu”.
“...kalau ada kek mana-mana ya aku yang kena, aku dipenjaralah”.
Manfaat dari kemitraan yang di rasakan oleh mbah Parsiyem adalah :
“Manfaatnya ya saya ini orang bodoh, orang desa dengan kemitraan ini dapat pengalaman dapat pengertian, pokoknya dapat segala-galanyalah.
Dengan persalinan bersama memang aku udah tahu tapi tambah tahunya, nambah keberanian, nambah persaudaraan pokoknya nambah semuanyalah”.