• Tidak ada hasil yang ditemukan

a = nilai daya tarik lokasi alternatif

VI. KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA

6.3 Keberlanjutan Kegiatan Wisata Bahar

Pengembangan wisata bahari mendapat perhatian yang serius dari Pemda Kabupaten Wakatobi, sektor ini telah ditetapkan sebagai sektor unggulan bersama dengan perikanan laut. Pemda Wakatobi menunjukkan keseriusannya dengan menetapkan visi daerah yaitu: “terwujudnya surga nyata bawah laut di jantung segitiga karang dunia”. Guna mendukung kegiatan wisata bahari dan menambah kunjungan wisatawan ke daerah ini, PEMDA Wakatobi melakukan kegiatan promosi pariwisata, baik ditingkat nasional maupun internasional. Pariwisata di Kabupaten Wakatobi difokuskan pada wisata bahari, wisata pantai dan wisata budaya.

Kegiatan wisata bahari di Kabupaten Wakatobi melibatkan pihak swasta dan masyarakat. Keterlibatan masyarakat di Gugus Pulau Kaledupa dalam kegiatan wisata bahari hanya terbatas pada beberapa pulau tertentu saja. Lokasi utama yang dijadikan tempat wisata bahari dan wisata pantai terletak di Pulau Hoga, dan beberapa wilayah pesisir di pulau lain seperti Pantai Peropa dan Pantai Sombano di Pulau Kaledupa serta Pantai Onembiha di Pulau Darawa. Kegiatan wisata bahari yang melibatkan masyarakat lokal yaitu dalam hal penyediaan home stay (‘pondok-pondok’) bagi para wisatawan dan peneliti di Pulau Hoga, dan penyediaan kamar sebagai tempat penginapan di Pulau Kaledupa. Home stay yang dibangun menggunakan bahan baku lokal dan menggunakan arsitektur tradisional, dengan penyediaan sarana penunjang yang sangat sederhana yaitu tanpa listrik (menggunakan lampu teplok), sehingga mencerminkan keasrian pulau tersebut.

Kunjungan wisatawan di Gugus Pulau Kaledupa bersifat fluktuatif, dan tidak berlangsung merata sepanjang tahun. Pada musim-musim tertentu yaitu bulan Maret wisatawan dan peneliti banyak berkunjung. Jumlah kunjungan wisatawan dan peneliti mencapai puncaknya pada bulan Mei hingga Agustus pada setiap tahunnya.

Kegiatan wisata bahari yang ditetapkan sebagai sektor unggulan Kabupaten Wakatobi, diharapkan dapat memberi dampak positif bagi pembangunan di daerah ini. Dampak positif yang diharapkan adalah peningkatan sumbangan pendapatan asli daerah (PAD) dan peningkatan pendapatan masyarakat dari sektor pariwisata. Selain peningkatan pendapatan dan sumbangan PAD, adanya kesinambungan dari kegiatan ini merupakan hal yang perlu pula mendapat perhatian. Pada batasan inilah

Wisatawan

Ting kat perubahan jumlah wisatawan

kualitas maksimum kawasan

separuh dari nilai titik jenuh kualitas kawasan

Faktor ling kung an

Faktor modal

modal maksimum

Modal Investasi separuh dari nilai titik jenuh modal Faktor wisatawan

peng aruh jumlah wisatawan

daya tarik lokasi

Lingkung an

Sub Model Wisatawan

penelitian ini dilakukan, dengan tujuan untuk mengetahui status keberlanjutan kegiatan wisata bahari di wilayah Gugus Pulau Kaledupa.

Keberlanjutan kegiatan wisata bahari di wilayah GPK dikaji dari dimensi ekonomi dan ekologi. Alat analisis yang digunakan adalah model minimal wisata bahari yang diadaptasi dari a minimal model menurut Casagrandi dan Rinaldi (2002). Model ini dibangun dari tiga aspek utama yaitu wisatawan, lingkungan dan modal. Analisis dimulai dari membangun model dinamis keberlanjutan wisata bahari. Untuk memudahkan dalam menganalisis, model keberlanjutan wisata bahari dibagi ke dalam tiga sub model yaitu: sub model wisatawan (tourism), sub model lingkungan (environment), dan sub model modal investasi (capital). Berikut disajikan gambar sub model wisatawan di wilayah GPK.

Gambar 15 Sub model dinamis wisatawan pada analisis keberlanjutan wisata bahari di wilayah GPK.

Berdasarkan Gambar 15, terlihat bahwa jumlah wisatawan yang mengunjungi Gugus Pulau Kaledupa dipengaruhi oleh tingkat perubahan jumlah wisatawan. Tingkat perubahan jumlah wisatawan dipengaruhi secara positif oleh: faktor lingkungan dan faktor modal. Sedangkan faktor wisatawan itu sendiri dan nilai daya tarik lokasi lain (selain di wilayah GPK) yang menjadi alternatif untuk dikunjungi, memberikan pengaruh negatif terhadap tingkat perubahan jumlah wisatawan. Pengaruh positif dan negatif inilah yang akan menentukan jumlah wisatawan yang berkunjung ke wilayah GPK pada tahun

Lingkungan

Peningkatan Kualitas Lingkungan

Fungsi Pertumbuhan

Penurunan Kualitas Lingkungan Laju Pertumbuhan

Daya Dukung

Faktor Modal pada Lingkungan

Pengaruh Modal

Faktor Turis pada Lingkungan

Pengaruh Turis Modal Investasi

Wisatawan

Sub Model Lingkungan

selanjutnya. Faktor wisatawan dipengaruhi oleh jumlah wisatawan pada waktu sebelumnya (Tahun 2007), yang juga akan memberi dampak negatif bagi jumlah wisatawan yang mengunjungi wilayah GPK pada tahun berikutnya (2008). Faktor lingkungan dipengaruhi oleh luasan kawasan yang dapat dinikmati oleh wisatawan. Lingkungan pada wilayah GPK ditandai dengan luasan terumbu karang yang berada dalam kondisi baik yang dapat dinikmati keindahannya, juga dipengaruhi oleh kualitas maksimum kawasan (lingkungan), dan daya tarik konstan dari lingkungan tersebut. Sedangkan faktor modal dipengaruhi oleh jumlah modal yang diinvestasikan bagi kegiatan wisata bahari, juga dipengaruhi oleh jumlah modal maksimum yang digunakan dan separuh dari nilai titik jenuh modal.

Sub model berikutnya yang menyusun model keberlanjutan wisata bahari di wilayah GPK adalah sub model lingkungan (environment). Sub model lingkungan di wilayah GPK dijelaskan pada gambar berikut:

Gambar 16 Sub model dinamis lingkungan pada analisis keberlanjutan wisata bahari di wilayah GPK.

Berdasarkan Gambar 16, terlihat bahwa lingkungan yang menjadi objek daya tarik wisata (ODTW), dipengaruhi oleh tingkat perubahan kualitas lingkungan. Fungsi pertumbuhan akan meningkatkan kualitas lingkungan, sedangkan faktor modal pada lingkungan dan faktor wisatawan pada lingkungan, akan menurunkan kualitas lingkungan. Fungsi pertumbuhan

Modal Investasi

Tingkat perubahan modal

Nilai investasi untuk setiap wisatawan

Wisatawan

Nilai Penyusutan

Sub Model Modal Investasi

dipengaruhi oleh laju pertumbuhan (pertumbuhan instrinsik), yang diwakili oleh laju pertumbuhan karang dan daya dukung lingkungan. Faktor modal yang diinvestasikan untuk lingkungan, dipengaruhi oleh jumlah modal yang diinvestasikan untuk kegiatan wisata bahari dan nilai koefisien dari modal yang diinvestasikan. Faktor wisatawan pada lingkungan dipengaruhi oleh jumlah wisatawan yang berkunjung ke wilayah GPK dan koefisien pengaruh wisatawan.

Sub model berikutnya yang menyusun model keberlanjutan wisata bahari di wilayah GPK adalah sub model modal investasi (capital). Sub model modal investasi di wilayah GPK di jelaskan pada Gambar 17.

Gambar 17 Sub model dinamis modal investasi pada analisis keberlanjutan wisata bahari di wilayah GPK.

Berdasarkan Gambar 17 di atas, terlihat bahwa modal dipengaruhi oleh tingkat perubahan jumlah modal yang diinvestasikan. Tingkat perubahan modal dipengaruhi oleh: (a) jumlah wisatawan, (b) nilai investasi untuk setiap wisatawan, (c) jumlah modal yang diinvestasikan, dan (d) nilai penyusutan. Setiap faktor-faktor yang mempengaruhi modal, yaitu jumlah wisatawan, nilai investasi untuk setiap wisatawan dan jumlah modal yang diinvestasikan, memberikan pengaruh positif, sedangkan nilai penyusutan memberikan pengaruh negatif.

Setelah membangun sub model dinamis pada masing-masing penyusun parameter keberlanjutan wisata bahari, selanjutnya model tersebut dianalisis menggunakan program Stella Version 8, sehingga diperoleh hasil analisis keberlanjutan wisata bahari di wilayah GPK (Gambar 18). Parameter

23:45 22 Jul 2009 Keberlanjutan Wisata Bahari

Page 1 0.00 3.00 6.00 9.00 12.00 Time 1: 1: 1: 2: 2: 2: 3: 3: 3: 0 10 20 0 0 0 0 10 20

1: Wisatawan 2: Lingkungan 3: Modal Inv estasi

1 1 1 1 2 3 2 2 2 3 3 3

yang ditampilkan adalah jumlah wisatawan, kualitas lingkungan (terumbu karang) dan modal yang diinvestasikan untuk kegiatan wisata bahari, yang diproyeksikan selama 12 tahun mulai Tahun 2007 sebagai tahun pertama, sampai dengan Tahun 2018.

Gambar 18 Hasil analisis keberlanjutan wisata bahari di wilayah GPK.

Berdasarkan hasil analisis, terlihat bahwa jumlah wisatawan mengalami tren peningkatan dari awal tahun kajian (2007) sampai dengan tahun ke dua belas (2018). Hal yang sama juga terjadi pada modal yang diinvestasikan, trennya juga mengalami peningkatan. Sedangkan kualitas lingkungan, mengalami penurunan.

Peningkatan jumlah wisatawan disebabkan keadaan kualitas lingkungan yang baik, yang menjadi ujung tombak dalam kegiatan wisata bahari. Wilayah dengan kondisi lingkungan yang baik (berkualitas) akan meningkatkan jumlah wisatawan yang berkunjung ke wilayah tersebut. Selain faktor lingkungan, jumlah kunjungan wisatawan juga dipengaruhi oleh modal yang diinvestasikan. Peningkatan sarana prasarana pendukung kegiatan wisata, akan menarik wisatawan untuk berkunjung, sehingga jumlah wisatawan tentu akan mengalami peningkatan. Peningkatan jumlah wisatawan selanjutnya menyebabkan peningkatan jumlah modal yang diinvestasikan untuk kegiatan wisata bahari. Investasi pada kegiatan wisata bahari dilakukan

dengan membangun dan menambah infrastruktur pendukung kegiatan wisata bahari. Pembangunan dilakukan selain untuk dapat menampung wisatawan yang jumlahnya mengalami peningkatan, juga disebabkan adanya akumulasi modal dari keuntungan peningkatan jumlah wisatawan, kemudian diinvestasikan kembali untuk menambah infrastruktur bagi keperluan wisatawan. Penyediaan infrastruktur bagi kegiatan wisata bahari di wilayah GPK juga mendapat dukungan dari pemerintah. Hal ini dibuktikan dengan pembangunan bandar udara Matahora di Pulau Wangi-Wangi pada Tahun Anggaran 2008 dan direncanakan selesai pembangunannya pada Tahun 2010. Adanya penyediaan transportasi udara tersebut, diharapkan dapat membuka keterisolasian wilayah Wakatobi, dan dapat memudahkan aksesibilitas wisatawan ke daerah ini, sehingga dapat meningkatkan jumlah kunjungan wisata pada tahun-tahun selanjutnya.

Namun peningkatan jumlah wisatawan akan menurunkan kualitas lingkungan, sebagai akibat dari aktivitas wisatawan (perilaku wisatawan). Penurunan kualitas lingkungan terjadi pada terumbu karang yang disebabkan oleh aktivitas wisatawan ketika melakukan diving atau snorkling. Demikian pula, peningkatan modal yang diinvestasikan, juga akan menurunkan kualitas lingkungan. Peningkatan modal akan memicu penambahan fasilitas bagi wisatawan, sehingga untuk keperluan pembangunan sarana seperti pelabuhan, akan menurunkan kualitas lingkungan atau mengurangi luasan wilayah terumbu karang. Hubungan antara sub sistem lingkungan, kapital dan wisatawan menurut Adrianto (2006) merupakan hubungan yang bersifat siklik (cyclical relationship) dimana efek antar sub sistem berlainan satu sama lain terhadap sistem pariwisata pesisir dan laut (wisata bahari).

Dari kondisi di atas, menggambarkan bahwa kegiatan wisata bahari di wilayah GPK tidak dapat berkelanjutan, jika kualitas lingkungan terus menurun. Keberlanjutan kegiatan wisata bahari tersebut dapat dipertahankan dengan syarat harus memperhatikan kualitas lingkungan, dalam hal ini adalah kualitas dan keindahan terumbu karang yang menjadi objek dan daya tarik wisata (ODTW). Keindahan terumbu karang yang menjadi daya tarik utama bagi kegiatan wisata bahari mesti dijaga kelestariannya, juga dibarengi dengan peningkatan infrastruktur yang mendukung kegiatan wisata bahari. Namun yang menjadi catatan dan perlu mendapat perhatian bagi semua pihak adalah: pembangunan infrastruktur harus direncanakan dengan baik dan diusahakan

dapat ditekan seminimal mungkin kerusakan yang ditimbulkannya terhadap lingkungan sekitar. Demikian pula, jumlah wisatawan yang terus mengalami peningkatan, beserta aktivitas yang dilakukannya perlu diperhatikan agar tidak sampai menurunkan kualitas lingkungan yang telah ada. Sebab jika kualitas lingkungan memburuk, maka ODTW tidak dapat dinikmati lagi keindahannya. Jika tidak ada lingkungan yang dapat dinikmati, maka tidak akan ada lagi wisatawan yang berkunjung ke wilayah tersebut, sehingga kegiatan wisata bahari di wilayah GPK tidak dapat dilaksanakan lagi.

Perkembangan kegiatan pariwisata pesisir dan laut dimulai dari eksplorasi, kemudian diikuti dengan pengembangan kawasan (development). Ada tiga pola keberlanjutan pariwisata pesisir dan laut, yaitu: (a) stagnasi pada level maksimumnya, (b) terus turun hingga level tertentu yang kemudian stagnan pada level tersebut, dan (c) terus turun hingga mencapai level terendah (Adrianto 2006).

Sebuah destinasi atau tempat tujuan wisata dapat menurun kualitasnya karena turunnya mutu lingkungan. Untuk itu, menjaga keberlangsungan daerah tujuan wisata agar tetap menjadi tujuan wisatawan yang berkesinambungan memerlukan serangkaian strategi tindakan. Dari banyak literatur, menyatakan bahwa konsep-konsep keberlanjutan destinasi wisata (sustainable tourism destination) merupakan bagian integral dari konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Secara teoritis, keberlanjutan adalah sebuah sikap dan tindakan yang mempunyai dua implementasi hukum-hukum terkait dengan output dan input

dalam lingkungan, yaitu: (a) segi output menyatakan bahwa emisi atau bahan- bahan pencemar dari sebuah proyek (dalam hal ini pembangunan destinasi wisata) harus dipertimbangkan. Apakah ekosistem mampu mengolahnya dalam daur materi dan energi pada lingkungan lokal tersebut, tanpa harus menunda dan membebankan proses daur ulang pada masa yang akan datang, (b) segi input tergantung kepada sumberdaya yang dinilai. Bagi sumberdaya yang dapat diperbaharui, penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya harus dijaga apakah sumberdaya dan ekosistem tersebut mampu melakukan proses regeneratif. Bagi sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui, harus ada sebuah kebijakan yang mengatur penggunaan sumberdaya tersebut agar tidak melebihi proses-proses pembentukannya (Pimentel et al. 2000 diacu dalam Hakim 2004).

Sebagaimana diuraikan oleh Whitten et al. (1995), pembangunan berkelanjutan memerlukan kebijakan dan peraturan yang harmonis dan tidak saling bertentangan untuk: (a) meningkatkan dan memelihara integritas ekosistem, (b) meminimalkan kemerosotan mutu lingkungan dan sumberdaya, (c) meminimalkan limbah yang dihasilkan dan sebaliknya, meningkatkan proses-proses daur ulang, (d) menetapkan akses terhadap sumberdaya yang adil serta alokasi peraturan yang pantas, (e) memecahkan kesulitan dalam

perbaikan ekosistem terpadu dan pembangunan sosial ekonomi, dan (f) menghargai keanekaragaman hayati dan manusia (Hakim 2004).

Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan dalam kegiatan wisata bahari di wilayah GPK harus mencerminkan hal-hal seperti: (a) melibatkan semua pihak, (b) harmonis dengan lingkungan, (c) ditujukan untuk memecahkan masalah dengan sebaik mungkin terhadap masalah yang sedang dihadapi dan yang akan datang, (d) dapat diterima tidak hanya secara ekonomi, tetapi juga dari segi kesinambungan dan keterlibatan masyarakat, dan (e) dapat dievaluasi dan dipantau.

VII. PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN