• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelembagaan Eksisting Pengelolaan Waduk Cirata

DAFTAR LAMPIRAN

VIII. KELEMBAGAAN PENGELOLAAN WADUK CIRATA

6. Balai Pelestarian Perikanan Perairan Umum dan Ikan Hias (BP3UIH)

8.3 Kelembagaan Eksisting Pengelolaan Waduk Cirata

Berdasarkan hasil penelitian koordinasi yang terjadi diantara para stakeholder belum optimal terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumebrdaya perikanan di Waduk Cirata. Walaupun sudah ada kesepakatan mengenai pemanfaatan Waduk Cirata oleh masing-masing stakeholder, namun dalam implementasinya masih belum berjalan. Setiap stakeholder menjalankan perannya didasarkan pada keputusannya masing-masing, sehingga terjadi konflik kepentingan dalam kegiatan pengelolaan waduk. Perbedaan kepentingan paling besar dan saling mempengaruhi yaitu antara BPWC dan DKP Provinsi. BPWC memanfaatkan waduk dalam kegiatannya untuk menjamin terpenuhinya pasokan listrik. Oleh karena itu besar sekali kepentingan BPWC dalam menjaga keelstarian waduk. Sedangkan Dinas perikanan menggunakan waduk sebagai lokasi budidaya ikan yang dalam kegiatnnya telah teridentifikasi sebagai salah satu penyebab dari penurunan kualitas air Waduk Cirata.

Pada awalnya pihak BPWC memang mengizinkan adanya pemanfaatan waduk untuk budidaya ikan dengan sistem KJA yang dimaksudkan sebagai kompensasi bagi masyarakat yang kehilangan pekerjaan akibat adanya pembangunan waduk. Melihat potansi yang sangat besar untuk kegiatan budidaya tersebut, pada tahun 2003 Gubernur Jawa Barat, Bupati Bandung Barat, Cianjur, dan Purwakarta, serta Direktur Utama PT. PJB membuat eksepakatan tentang pengembangan pemanfaatan Waduk Cirata. Kegiatan pemanfaatan budidaya ikan dengan KJA meruapakan salah satu yang disetujui dengan syarat tidak emngganggu kegiatan pembangkitan listrik. Dalam Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 41 Tahun 2002 telah diatur bahwa kuota KJA untuk seluruh wilayah dianjurkan sebanyak 12.000 petak. Pada kenyataannya jumlah KJA yang terdapat di Waduk Cirata lebih dari 60.000 petak (BPWC, 2014).

Biaya operasional yang semakin meningkat dan laju sedimentasi yang tinggi adalah dampak yang harus diterima oleh BPWC akibat jumlah KJA yang sangat berlebih. Di samping itu, terlalu banyaknya jumlah KJA yang ada juga mempengaruhi kualitas dan kuantitas dari ikan yang diproduksi itu sendiri. Tipe pengelolaan sumberdaya perikanan di Waduk Cirata tergolong ke dalam tipe instruktif dan konsultatif. Tipe instruktif terjadi ketika terdapat komunikasi dan tukar informasi yang minimal antara pemerintah dan pelaku perikanan. Sedangkan pada tipe konsultatif, terdapat mekanisme dialog antar pemerintah dan pelaku periknan namun pengembilan keputusan masih dilakukan oleh pemerintah. Petani ikan memberikan aspirasi mereka melalui penyuluh lapang yang kemudian akan disampaikan dalam berbagai rapat pengambilan keputusan mengenai pengelolaan waduk. Kelembagaan eksisting pengelolaan Waduk Cirata, baik aturan main maupun struktur sudah ada namun faktanya kelembagaan tersebut belum mampu berjalan sebagaimana mestinya. Aturan main yang ada tidak diterapkan dalam pengelolaan di lapangan sehingga banyak terjadi aktivitas-aktivitas yang menyalahi aturan yang menimbulkan kondisi chaotic di Waduk Cirata. Waduk Cirata yang saat

73

ini dianggap dalam kondisi kurang keberlanjutan oleh para stakeholder merupakan dampak dari kelembagaan pengelolaan yang tidak efektif. Analisis kelembagaan eksisting pengelolaan Waduk Cirata berdasarkan indikator kelembagaan ideal tersaji dalam Tabel 8.3 sebagai berikut.

Tabel 8.3 Analisis kelembagaan eksisting pengelolaan Waduk Cirata berdasarkan indikator kelembagaan ideal

Sumber: Ostrom (1990) dengan modifikasi No Indikator Sub-indikator

Kelembagaan Eksisting Ada Tidak Diterapkan Tidak

Diterapkan 1. Batas-batas yang

Jelas (clearly defined boundaries)

Stakeholder yang terlibat  -  -

Zonasi pemanfaatan  - - 

Peran masing-masing

stakeholder  - - 

Pihak yang memiliki akses -  - -

Jumlah maksimum  - -  2. Kelembagaan penyediaan dan pemanfaatan sesuai dengan kondisi lokal (congruence between appropriation and provision rules and local conditions)

Waktu yang

diperbolehkan melakukan pemanfaatan

-  - -

Lokasi yang boleh

dimanfaatkan  - - 

Teknologi dan alat bahan yang digunakan  - -  Kegiatan yang diperbolehkan dalam pemanfaatan  -  - Pelestarian  -  - 3. Pengaturan pilihan kolektif (collective- choice arrangements)

Pihak yang mungkin terdampak dari

pemanfaatan/pengelolaan

-  - -

Kesempatan bagi pihak terdampak untuk berpartisipasi dalam mengubah aturan-aturan operasional -  - - Mekanisme partisipasi  - -  4. Pengawasan (monitoring)

Pihak yang mengawasi  - - 

Pihak yang diawasi  - - 

5. Penerapan Sanksi (graduated sanctions)

Pihak yang memberikan

sanksi  - - 

Sanksi yang diberlakukan  - - 

Mekanisme penindakan  - - 

6. Mekanisme Resolusi Konflik (conflict-resolution mechanism)

Pihak yang berwenang

menangani konflik  - - 

Mekanisme penanganan

konflik  -  -

7. Pengakuan minimal atas hak untuk mengelola (minimal recognition of rights to organize)

Wewenang/otoritas pemerintah atas hak kepemilikan sumberdaya  - -  Kesempatan masyarakat untuk merancang kelembagaan informal -  - - 8. Kelembagaan lain yang melengkapi (nested enterprises)

Institusi lain yang

mendukung  - - 

Hak, kewajiban, dan peran

kelembagaan lain -  - -

9. Budgeting Anggaran untuk

Pemanfaatan Waduk Cirata yang luas dengan berbagai kepentingan di dalamnya seharusnya diatur oleh koordinasi yang baik antar stakeholdernya. DKP Provinsi Jawa Barat menentukan aturan main pengelolaan sumberdaya perikanan di Waduk Cirata dan kegiatan teknis di lapangan dilakukan oleh BP3UIH. Masing- masih DKP kebupaten mengatur pemanfaatan perikanan di wilayahnya. Dalam pengaturan izin dan retribusi langsung ke provinsi, hanya Kabupaten Cianjur yang mendapatkan retribusi dari kegiatan KJA untuk PAD. Kurangnya insentif bagi daerah kabupaten menyebabkan tidak optimalnya pengelolaan waduk oleh DKP Kabupaten. BPWC berwenang menerbitkan SPL bagi KJA. SPL merupakan salah satu syarat bagi pembuatan ijin di tingkat provinsi. Diagram alur hubungan antar stakeholder kelembangaan eksisting pengelolaan Waduk Cirata dapat dilihat pada Gambar 8.2

Gambar 8.2 Keterkaitan antar stakeholder kelembangaan eksisting pengelolaan Waduk Cirata

Keterangan

: Garis Koordinasi

: Garis Koordinasi di Lapangan : Garis Konsultasi

: Garis Instruksi

Berdasarkan struktur tersebut, pihak yang paling berpengaruh dalam membuat kebijakan pengelolaan Waduk Cirata adalah BPWC dan DKP Provinsi. BPWC mendapat kewenangan dalam pengelolaan Waduk Cirata atas instruksi dari

POKMASWAS

Kelompok Pembudidaya Ikan, Kelompok Nelayan, Kelompok Pengelola Ikan, Pedagang Ikan, Kelompok Penjual Pakan

(Gudang/Juragan, GPMT) Dinas Peternakan

Perikanan dan Kelautan Kabupaten Cianjur

Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bandung Barat

Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan

Kabupaten Purwakarta

BPBP2U/UPT

D Kabupaten ASPINDAC

BP3U/UPTD Provinsi Kementerian Kelautan dan Perikanan

Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa

Barat PLN

PT. PJB

BPWC BPMPT

Operational Choice Level

75

PT. PJB yang merupakan anak perusahaan dari PLN. Segala peraturan dan kebijakan yang dibuat oleh DKP Jawa Barat juga harus sejalan dengan peraturan yang telah dibuat oleh KKP. DKP Provinsi dibantu oleh DKP Kabupaten Cianjur, Bandung Barat, dan Purwakarta untuk urusan teknis di lapangan. DKP Provinsi berwenang memberikan koordinasi terhadap tiga wilayah kabupaten tersebut dalam menentukan arah pengelolaan perikanan di Waduk Cirata. Selain itu, kegiatan teknis di lapangan dilakukan oleh BP3U yang mendapat koordinasi langsung dari DKP Provinsi Jawa Barat. BPWC berkoordinasi dengan DKP Provinsi Jawa Barat dalam pengelolaan KJA di Waduk Cirata. Secara berkala BPWC memberikan laporan kualitas air kepada DKP Provinsi sebagai bahan pertimbangan pengelolaan KJA yang akan dilakukan oleh provinsi. SPL yang diterbitkan oleh BPWC merupakan syarat bagi Izin Usaha Perikanan (IUP) yang diterbitkan Badan Penanaman Modal danPerizinan Terpadu (BPMPT) atas persetujuan DKP Provinsi. Dalam pelaksanaan penertiban SPL, BPWC dibantu oleh aparat desa dan penyuluh perikanan menggunakan sistem jemput bola. Sebelum sampai di provinsi, terlebih dahulu pengaju harus mendapatkan rekomendasi teknis dari DKP Kabupaten tempatnya berasal.

BPWC menerbitkan SPL berdasarkan Keputusan Direksi PT. PLN Pembangkitan Tenaga Listrik Jawa Bali II No. 055 K/010/DIR/1999. Terdapat beberapa persyaratan dalam pembuatan SPL, namun dalam surat keputusan mengenai SPL tersebut belum mengatur batas maksimum jumlah KJA yang seharusnya dimiliki oleh RTP. SPL hanya mengatur tata letak KJA sesuai zonasi. Peraturan pembatasan jumlah KJA baru ada di tingkat provinsi, salah satunya dalam Peraturan Jawa Barat Nomor 7 Tahun 2011 yang membatasi jumlah KJA paling banyak adalah 20 petak dengan ukuran keramba 7 x 7 m. Hal tersebut menyebabkan tidak adanya kewenangan yang dimiliki oleh BPWC untuk membatasi jumlah KJA yang dimiliki oleh petani ikan, padahal mekanisme SPL merupakan langkah pertama dalam penertiban KJA yang ada di Waduk Cirata. Pembatasan jumlah KJA untuk setiap RTP oleh pemerintah provinsi juga belum berjalan dengan baik walaupun sudah tertuang dalam peraturan di tingkat provinsi. Jumlah KJA berlebih yang dimiliki petani dapat diketahui ketika pengurusan SIUP ke tingkat provinsi, begitu juga pengawasan yang dilakukan pemerintah provinsi yang masih lemah.

Berdasarkan Surat Keputusan Direksi PT. PLN Pembangkitan Tenaga Listrik Jawa Bali II No. 055 K/010/DIR/1999 tentang Mekanisme Perizinan Pemanfaatan Waduk Cirata Jawa Barat, BPWC dapat memfasilitasi pengurusan SIUP dan SPBI ketika petani ikan mengurus SPL. Namun sekrang hal tersebut tidak berjalan karena tingginya biaya operasional yang tidak sebanding dengan pendapatan yang diperoleh dari pengurusan SPL. Padahal jika sistem ini masih dilaksanakan akan mempermudah dalam pembatasan jumlah KJA karena dilakukan bersamaan antara peraturan di BPWC mengenai SPL dan tingkat provinsi mengenai pembatasan jumlah KJA untuk setiap petani ikan. Banyaknya jumlah KJA yang meningkat tiap tahunnya disebabkan karena kurangnya instrumen pengawas yang dimiliki BPWC maupun pemerintah provinsi. Jumlah KJA yang meningkat menjadi tidak terkontrol. Pemberian SPL sekarang diberikan kepada petani ikan yang telah selesai mendirikan KJA, bukan lagi kepada petani ikan yang baru akan mendirikan KJA. Selain itu tidak jelasnya kewenangan antara BPWC dan pemerintah menjadikan mekanisme pembatasan jumlah KJA menjadi kurang efisien.

BPWC berkordinasi dengan DKP Kabupaten dalam menjaga kualitas lingkungan perairan Waduk Cirata. Beberapa kegiatan seperti pembersihan eceng gondok, pembersihan sampah stereofoam, penertiban KJA dilakukan secara bersama-sama. Masing-masing DKP Kabupaten memiliki penyuluh untuk melakukan kegiatan pembinaan kepada petani ikan. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan beberapa informan, jumlah penyuluh yang ada dirasa masih kurang. DKP Kabupaten Cianjur memiliki UPTD daerah yang melakukan kegiatan teknis di lapangan yaitu BPBP2U. Keberadaan lembaga ini di Kabupaten Cianjur mengindikasikan bahwa Kabupaten Cianjur lebih terfokus dalam pengelolaan KJA di Waduk Cirata, berbeda dengan kedua wilayah lainnya yang memiliki waduk lain di wilayah administrasinya. Di Kabupaten Bandung Barat terdapat paguyuban kelompok-kelompok petani ikan yaitu Asosiasi Pembudidaya Ikan dan Nelayan di Danau Cirata (ASPINDAC). ASPINDAC ini juga sering melakukan kegiatan pembinaan berupa tukar informasi diantara petani ikan dan melakukan kegiatan- kegiatan pelestarian Waduk Cirata.

Kelompok-kelompok yang mendapatkan pembinaan dari DKP Provinsi maupun Kabupaten yaitu Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS), kelompok pembudidaya ikan, kelompok nelayan, kelompok pengolah ikan, dan pedagang ikan. POKMASWAS bertindak mengawasi jalannya kegiatan perikanan. Namun kenyataannya peran dari kelompok ini masih kurang dirasakan. Kelompok penjual pakan memiliki pengaruh yang besar bagi petani ikan. Pakan yang dibayar di akhir setelah panen ikan dapat menjadi hutang apabila petani ikan tidak mampu membayarnya. Apabila hutang tersebut tidak kunjung dibayar maka KJA milik petani ikan dapat diambil atau dibongkar. Beberapa penjual pakan yang disebut gudang ini juga bertindak sebagai penampung hasil panen ikan dari para petani ikan. Terdapat kelompok Gabungan Pengusaha Pakan yang bernama GPMT. GPMT ini sering mengikuti kegiatan pelestarian waduk seperti pembersihan eceng gondok, pembersihan sampah, dan restocking ikan di Waduk Cirata.

8.4 Kelembagaan Pengelolaan Waduk Cirata sesuai Dasar Hukum yang