• Tidak ada hasil yang ditemukan

Property Rights dan Common Pool Resources (CPRs)

DAFTAR LAMPIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Property Rights dan Common Pool Resources (CPRs)

Property rights didefinisikan sebagai hak untuk mendapatkan laba/keuntungan secara aman (secure) karena orang lain respect terhadap aliran laba tersebut (Broomley, 1992). Property rights juga dapat diartikan sebagai kepemilikan atas sesuatu yang di dalamnya terkandung makna hak untuk mengambil manfaat dari sesuatu tersebut. Oleh karena property merupakan hak yang harus ditegakkan/dihormati oleh pihak lain, maka property dalam penegakannya memerlukan badan/lembaga yang berwenang menjamin tegak- tegaknya hak tersebut (Hidayat 2010). Property rights memiliki karakteristik yang melekat dan tidak bisa dipisahkan. Beberapa karakteristik property rights menurut Titienberg (1988) adalah sebagai berikut: (1) Exclusivity: meliputi pemanfaatan, nilai manfaat dari ssesuatu dan biaya penegakan, dimana secara ekslusif jatuh ke tangan pemilik termasuk juga keuntungan yang diperoleh dari transfer hak kepemilikan tersebut; (2) Transferability: seluruh hak kepemilikan dapat dipindahkan dari satu pemilik ke pemilik lain secara sukarela melalui jual beli, hibah, dan lain-lain; dan (3) Enforceability: hak kepemilikan bisa ditegakkan, dihormati, dan dijamin dari praktek perampasan oleh pihak lain. Property rights

mencakup hak memiliki, hak istimewa (privilages) dan batasan dalam memanfaatkan sumberdaya. Sandberg (1993) membagi property rights ke dalam lima elemen yang berbeda yaitu hak mengakses (right to access), hak memanen (right to harvest), hak mengelola (right to manage), hak untuk melarang masuk (right to exclude), dan hak untuk memindahkan sumberdaya (right to alienate). Seluruh elemen ini tidak harus selalu ada dalam sebuah hak kepemilikan.

Ostrom (1990) membagi property right ke dalam beberapa tipe rezim kepemilikian. Pertama adalah rezim kepemilikan individu (private property regime), yakni kepemilikan pribadi atas sesuatu, dimana hak tersebut melekat kepada pemiliknya sehingga aturan berkenaan dengan sesuatu tersebut ditetapkan sendiri dan hanya berlaku untuk pemiliknya. Kedua yaitu rezim kepemilikan bersama (common property regime), yakni kepemilikan oleh sekelompok orang tertentu dimana hak, kewajiban, dan aturan ditetapkan dan berlaku untuk anggota kelompok tersebut. Ketiga adalah rezim kepemilikan negara (state property regime)

dimana memiliki ciri bahwa hak kepemilikan dan aturan-aturannya ditetapkan oleh negara, dan individu tidak boleh memilikinya. Keempat yaitu rezim akses terbuka (open access regime) yang berarti tidak ada aturan yang mengatur mengenai hak dan kewajiban. Rezim open access biasanya terjadi pada sumberdaya dengan skala besar dan sulit dijangkau penegakannya. Sejak awal dibangunnya Waduk Cirata sebagai PLTA, pemerintah dan pemilik waduk telah memberikan komitmen pemanfaatan area waduk bagi masyarakat terdampak yang lahannya terpakai untuk pembangunan waduk berupa usaha KJA. Masyarakat terdampak dapat melakukan pengembangan budidaya ikan dengan KJA dalam rangka upaya pemanfaatan Waduk Cirata untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat setempat. Bentuk hak yang diberikan oleh pemerintah tersebut termasuk dalam

common property regime, yang berarti hak kepemilikan sumberdaya Waduk Cirata adalah milik bersama. Ostrom (1990) menyebut sumberdaya dalam common property regime sebagai common pool resources (CPRs).

Istilah Common Pool Resources (CPRs) diperkenalkan secara spesifik oleh para peneliti yang dipelopori oleh Ostrom (1990) yang menyebutkan bahwa CPRs merujuk kepada sumberdaya alami atau buatan manusia yang cukup luas dan untuk membuatnya membutuhkan biaya yang besar serta dibuat untuk tujuan terbatas dengan pengguna sumberdaya yang terbatas pula. CPRs dicirikan dengan sifatnya yang rivalness/substractable dan non-excludable. Rivalness atau ketersaingan berarti dalam pemanfaatan oleh seseorang akan mengurangi kemampuan orang lain untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut. Excludability merupakan kemampuan untuk melarang pihak lain dalam memanfaatkan suatu sumberdaya. Contoh sumberdaya dengan karakteristik rivalness adalah sumberdaya yang tidak dapat diperbarui, sumberdaya yang dapat diperbarui, dan sumberdaya buatan dimana waduk termasuk di dalamnya. Karakteristik spesifik untuk jenis CPRs tertentu dan penggunanya sangat mempengaruhi pengelolaan sumberdaya tersebut. Semakin sama jenisnya, sederhana dan dalam skala yang kecil, maka semakin mudah untuk mendesign struktur kelembagaan sehingga semakin terlindungi sumberdaya tersebut dari degradasi dan penggunaan berlebihan. Sumberdaya yang kompleks dengan berbagai interaksi dan eksternalitas negatif biasanya sangat sulit dikelola. Karakteristik individu pengguna CPRs, seperti preferensi, aset, dan karakteristik dari kelompok (koherensi, tingkat kepercayaan, homogenitas, besarnya kelompok) mempengaruhi kelembagaan pengelolaan sumberdaya. CPRs kemudian dipengaruhi oleh kelembagaannya, pengelolaan kelembagaan itu sendiri, dan ketersediaan teknologi (Dolsak & Ostrom 2003).

Istilah CPRs juga digunakan untuk mengacu kepada setiap sumberdaya alami/buatan manusia yang dimanfaatkan oleh beberapa individu, terlepas dari jenis hak milik (property rights) yang terlibat. Menurut Schlager dan Ostrom (1992), skema property rights dalam pemanfaatan sumberdaya adalah mulai dari

authorized user, claimant, proprietor, dan owner. Sebagai individu yag melakukan kegiatan sehari-hari dan mengatur kegiatan tersebut, mereka terlibat dalam dua level baik operational maupun collective choice levels of action (Kiser dan Ostrom 1982). Kegiatan operasional dibatasi dan diprediksi berdasarkan operational-level rules terlepas dari sumber aturan tersebut. Aturan operasional (operational rules) diubah oleh collective-choice actions. Tindakan tersebut dilakukan dalam seperangkat collective-choice rules yang menentukan siapa yang dapat berpartisipasi dalam mengubah aturan operasional dan tingkat kesepakatan yang dibutuhkan untuk perubahan mereka.

Kecenderungan pemanfaatan secara berlebihan (overuse) dan adanya pihak- pihak yang mendapatkan manfaat tetapi tidak berkontribusi pada biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk menyediakan, memelihara, serta mengatur pemanfaatan sumberdaya (free rider) merupakan masalah yang sekaligus menjadi penciri dari CPRs. Permasalahan-permasalahan tersebut memerlukan mekanisme dan sistem kelembagaan yang dapat memberikan solusi. Salah satu tantangan paling penting dalam pengelolaan dan pemanfaatan CPRs terletak pada fakta bahwa persediaan dan aliran sumberdaya ini seringkali sulit untuk dipastikan, bahkan penggunaan CPRs tak jarang mengakibatkan eksternalitas bagi pihak lain. Begitu pula keberadaan Waduk Cirata dengan usaha KJA di dalamnya, apabila tidak dikelola secara baik melalui suatu kelembagaan akan terjadi overuse untuk mengejar target produksi yang akhirnya menimbulkan eksternalitas dan berakibat pada penurunan kualitas perairan.

11

2.2 Eksternalitas

Rosen (1988) menyatakan bahwa eksternalitas terjadi ketika aktivitas suatu satu kesatuan mempengaruhi kesejahteraan kesatuan lain yang terjadi di luar mekanisme pasar (non-market mechanism). Tidak seperti pengaruh yang ditransmisikan melalui mekanisme harga pasar, eksternalitas dapat mempengaruhi efisiensi ekonomi. Fisher (1996) menyatakan bahwa eksternalitas terjadi bila satu aktivitas pelaku ekonomi (baik produksi maupun konsumsi) mempengaruhi kesejahteraan pelaku ekonomi lain dan peristiwa yang terjadi di luar mekanisme pasar. Sehingga ketika terjadi eksternalitas, umumnya tidak menghasilkan sesuatu yang efisien secara ekonomi. Fauzi (2004) mendefinisikan eksternalitas sebagai dampak (baik positif maupun negatif) atau net cost/benefit dari tindakan satu pihak terhadap pihak lain. Eskternalitas terjadi ketika kegiatan produksi atau konsumsi dari satu pihak mempengaruhi utilitas (kegunaan) dari pihak lain secara tidak diinginkan, dan pihak pembuat eksternalitas tidak menyediakan kompensasi terhadap pihak yang terkena dampak. Keberadaan eksternalitas yang merupakan barang publik seperti polusi udara, air, dan suara merupakan eksternalitas yang memerlukan instrumen ekonomi untuk menginternalisasikan dampak tersebut dalam aktivitas dan analisa ekonomi.

Eksternalitas timbul setiap kali kesejahteraan beberapa pelaku ekonomi yang secara langsung dipengaruhi oleh tindakan pelaku lain baik konsumen ataupun produsen di dalam perekonomian. Contohnya yaitu eksternalitas produktivitas perikanan dipengaruhi oleh aktivitas yang ada di hulu sungai yang mencemari air sungai sehingga produktivitas perikanan menjadi menurun. Eksternalitas timbul pada dasarnya karena aktivitas manusia yang tidak mengikuti prinsip-pinsip ekonomi yang berwawasan lingkungan. Dalam pandangan ekonomi, eksternalitas dan ketidakefisienan timbul karena salah satu atau lebih dari prinsip-prinsip alokasi sumberdaya yang efisien tidak terpenuhi. Karakteristik barang atau sumberdaya publik, ketidaksempurnaan pasar, kegagalan pemerintah, merupakan keadaan- keadaan dimana unsur hak kepemilikan atau pengusahaan sumberdaya (property rights) tidak terpenuhi. Sejauh semua faktor ini tidak ditangani dengan baik, maka eksternalitas dan ketidakefisienan tidak bisa dihindari. Namun jika kondisi tersebut dibiarkan

Secara umum ada beberapa tindakan untuk mencegah atau mengurangi terjadinya eskternalitas yaitu dengan memberikan hak kepemilikan (property rights), internalisasi, dan pemberlakuan pajak. Internalisasi merupakan upaya untuk menginternalkan dampak yang ditimbulkan dengan cara menyatukan proses pengambilan keputusan dalam satu unit usaha. Pemberian hak milik yang tepat, walaupun tetap akan ada eksternalitas tetapi bisa menimbulkan tawar-menawar antara pihak-pihak terkait sehingga pihak-pihak terkait bisa bersama-sama mencari solusi yang terbaik yang dikenal dengan teorema Coase. Terorema Coase adalah suatu pendapat bahwa jika pihak-pihak swasta dapat melakukan tawar-menawar mengenai alokasi sumberdaya tanpa harus mengeluarkan biaya, mereka dapat menyelesaikan masalah eksternalitas mereka dengan sendirinya. Teorema Coase sangat penting untuk memahami implikasi kebijakan dari eksternalitas. Aturan hukum dan hak milik menjadi pusat dari teorema Coase. Eksternalitas yang terjadi di Waduk Cirata, berupa pencemaran badan air di perairan waduk merupakan ekses dari pemanfaatan waduk sebagai Common Pool Resources dan di sisi lain karena tidak efektifnya kelembagaan dimana kelembagaan-kelembagaan pengelola Waduk

Cirata tidak berperan secara optimal. Tragedy of the commons yang terjadi di Waduk Cirata muncul dari hak umum dalam memanfaatkan sumberdaya waduk. 2.3 Kelembagaan

Kelembagaan umumnya banyak dibahas dalam ilmu sosiologi, antropologi, hukum dan politik, organisasi dan manajemen, psikologi, maupun ilmu lingkungan. Saat ini kelembagaan kemudian berkembang ke dalam ilmu ekonomi karena banyak ekonom berkesimpulan bahwa kegagalan pambangunan ekonomi umumnya karena kegagalan kelembagaan. Dalam bidang sosiologi dan antropologi kelembagaan banyak ditekankan pada norma, tingkah laku, dan adat istiadat. Dalam bidang politik ilmu kelembagaan banyak ditekankan pada aturan main (the rules) dan kegiatan kolektif (collective action)untuk kepentingan bersama. Ilmu psikologi melihat kelembagaan dari sudut tingkah laku manusia (behaviour). Ilmu hukum menegaskan pentingnya kelembagaan dasri sudut hukum, aturan, dan penegakan hukum serta instrumen dan proses litigasinya. Pendekatan ilmu biologi, ekologi, atau lingkungan melihat institusi dari sudut analisis sistem lingkungan (ecosystem) atau sistem produksi dengan menekankan struktur dan fungsi sistem produksi atau sistem lingkungan kemudian dapat dianalisis keluaran serta kinerja dari sistem tersebut dalam beberapa karakteristik atau kinerja (system performance atau system propeties) seperti produktivitas, stabilitas, sustainabilitas, penyebaran dan kemerataannya. Ilmu ekonomi yang berkembang dalam cabang barunya ilmu ekonomi institusi baru (neo institutional economics) melihat kelembagaan dari sudut biaya transaksi (transaction costs) dan tindakan kolektif (collective action). Di dalam analisis biaya transaksi termasuk analisis tentang kepemilikan dan penguasaan sumberdaya alam atau faktor produksi (property rights), ketidakseimbangan akses dan penguasaan informasi (information asymmetry) serta tingkah laku opportunistik (opportunistic behaviour). Ilmu ekonomi institusi baru ini sering pula disebut sebagai ilmu ekonomi biaya transaksi (transaction cost economics) sedangkan yang lain menyebutkannya sebagai peradigma informasi yang tidak sempurna (imperfect information paradigm).

Kelembagaan (institusi) adalah aturan dan rambu-rambu yang digunakan sebagai panduan oleh para anggota suatu kelompok masyarakat untuk mengatur hubungan yang saling mengikat atau saling tergantung satu sama lain (Ostrom et al. 1994). North (1990) mendefinisikan kelembagaan sebagai batasan-batasan yang dibuat untuk membentuk pola interaksi yang harmonis antara individu dalam melakukan interaksi politik, sosial, dan ekonomi. Schmid (2004) menyatakan kelembagaan sebagai sejumlah aturan yang berlaku dalam sebuah masyarakat, kelompok, atau komunitas yang mengatur hak, kewajiban, tanggung jawab, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok. Wlliamson (1985) menyatakan bahwa kelembagaan mencakup penataan institusi untuk memadukan organisasi dan institusi. Penataan istilah institusi adalah suatu penataan hubungan antara unit-unit ekonomi yang mengatur cara unit-unit ini apakah dapat bekerjasama dan atau berkompetisi. Dalam pendekatan ini organisasi adalah suatu pertanyaan mengenai aktor atau pelaku ekonomi dimana ada kontrak atau transaksi yang dilakukan dan tujuan utama kontrak adalah mengurangi biaya transaksi.

Pejovich (1990) menyatakan bahwa kelembagaan memiliki tiga komponen, yaitu: (1) aturan formal yang meliputi konstitusi, status hukum, dan regulasi pemerintah lainnya. Aturan formal membentuk sistem politik (struktur

13

pemerintahan, hak-hak individu), sistem ekonomi (hak kemilikan dalam kelangkaan sumberdaya, kontrak), dan sistem keamanan (peradilan, penegakan); (2) aturan informal meliputi pengalaman, nilai-nilai tradisional, agama, dan seluruh faktor yang mempengaruhi bentuk persepsi subjektif individu; serta (3) mekanisme penegakan dimana semua kelembagaan tersebut tidak akan efektif jika tidak diiringi dengan mekanisme penegakan. Ciri umum kelembagaan menurut Bogason (2000) adalah adanya sebuah struktur yang didasarkan pada interaksi antar aktor, adanya pemahaman bersama tentang nilai-nilai, dan adanya tekanan untuk berperilaku sesuai dengan disepakati/ditetapkan. Kelembagaan dilihat sebagai aturan main yang memberi naungan dan sanksi terhadap individu-individu dan kelompok-kelompok dalam menentukan pilihannya.

Untuk kasus Waduk Cirata, lembaga yang berwenang dalam melakukan pengelolaan mengalami kesulitan dalam mengatasi pencemaran yang terjadi di badan air perairan Waduk Cirata. Pada satu sisi aturan Pemerintah Provinsi Jawa Barat memberikan sinyal bagi pembatasan jumla KJA di perairan waduk, namun di sisi lain begitu banyak investor yang masuk untuk ikut serta dalam usaha budiaya KJA. Tarik ulur kepentingan dari berbagai pihak menyebabkan sulitnya BPWC membuat keputusan yang mengarah pada optimalisasi penggunaan perairan Waduk Cirata bagi semua pihak. Keyakinan bahwa kelembagaan dapat menjadi sumber efisiensi dan kemajuan ekonomi telah diterima oleh sebagian besar ekonom, bahkan yang paling liberal sekalipun. Hanya saja sampai saat ini masih banyak kendala dalam pembentukan maupun penerapan kelembagan.